
Narasi Diskusi 2 April 2011
Oleh: Reza A.A Wattimena[1]
Rencana tak berjalan mulus. Beberapa peserta tampak kebingungan soal jadwal. Jadwal yang tertera di undangan dan brosur berbeda. Panitia pun tampak kebingungan.
Akhirnya diskusi Tubuh dan Pornografi dimulai pada pk. 10.00 tepat di Gedung A 303, Kampus Dinoyo UNIKA Widya Mandala Surabaya. David Jones berperan sebagai moderator, dan memberikan beberapa kata pengantar. Reza A.A Wattimena maju, dan memulai presentasinya. Diskusi Tubuh dan Pornografi yang diselenggarakan Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya pun dimulai pk. 10.05.[2]
Aspek Biologis Manusia
Manusia memang memiliki dimensi spiritual. Namun manusia tetap adalah mahluk biologis. Maka kebutuhan biologisnya tidak bisa dilupakan. Beginilah pendapat Talita ketika menanggapi presentasi Reza. Talita adalah siswa SMA Santa Maria, Jalan Raya Darmo.
Reza menanggapi begini. Kebutuhan biologis mutlak harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi maka akan tercipta ketidakseimbangan dalam diri manusia. Inilah sumber penyakit.
Prinsip dasarnya menurut Reza adalah, bahwa jangan sampai manusia menjadi budak dari kebutuhan biologisnya. Manusia harus tetap menjadi penguasa dari kebutuhan biologisnya sendiri. Maka manusia memerlukan kesadaran dan keinginan cukup kuat untuk memerintah kebutuhan biologis tersebut.
Merombak Kebiasaan
Namun semua itu menjadi sulit, ketika manusia terbiasa diperbudak oleh kebutuhan biologisnya sendiri. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, bagaimana cara mengubah kebiasaan? Bagaimana melepaskan diri dari perbudakan kebiasaan yang dibuat oleh diri sendiri? Inilah pertanyaan Ivana, seorang siswi dari SMA Santa Maria.
Bagi Reza ada tiga cara mengubah kebiasaan. Pertama, orang perlu menghendaki perubahan tersebut secara kuat. Tanpa kehendak yang kuat, kebiasaan tidak akan pernah dapat diubah.
Kedua, orang perlu mengubah caranya melihat dunia. Orang perlu mengubah cara berpikir. Ia tidak boleh melihat lagi kebiasaan lama sebagai kenikmatan, melainkan sebaliknya, yakni sebagai sesuatu yang mesti diubah.
Tiga, orang perlu mencari kelompok yang bisa menemaninya di dalam proses mengubah kebiasaan. Inilah yang biasa disebut sebagai support group, atau kelompok penopang. Jika tidak ada maka orang perlu membuat kelompok penopangnya sendiri, misalnya bersama orang-orang yang memiliki kebutuhan sama, yakni untuk mengubah kebiasaannya.
Mengubah Cara Berpikir
Pikiran memainkan peranan amat penting di dalam hidup manusia. Cara orang berpikir menentukan perilakunya. Dan perilakunya menentukan segalanya dalam hidup seseorang.
Jika perilaku orang itu baik, maka masyarakat akan menghargainya. Ia pun akan menjadi orang sukses. Dan sebaliknya juga benar. Jika orang berperilaku buruk, maka ia akan ditolak oleh masyarakatnya.
Pertanyaan yang amat penting adalah, bagaimana mengubah cara berpikir? Inilah pertanyaan yang diajukan oleh Karina, salah seorang siswa peserta diskusi dari SMA Santa Maria.
Menurut Reza ada empat cara untuk mengubah cara berpikir. Pertama, orang perlu membuka dirinya pada hal-hal baru. Ia perlu membuka pikirannya untuk mempertimbangkan hal-hal yang sebelumnya ia tolak. Ia perlu merasakan hal-hal yang sebelumnya ia tolak untuk rasakan.
Dua, setelah membuka diri, orang perlu membaca buku-buku yang belum pernah ia baca sebelumnya. Ia harus memasuki area baru yang bisa mengembangkan horison berpikirnya. Buku adalah medium yang paling tepat untuk merangsang orang berpikir baru.
Tiga, orang perlu mendengar hal-hal yang sebelumnya ia abaikan. Ia perlu membuka telinga lebar-lebar pada perubahan dunia. Setelah mendengar lalu ia mempertimbangkan apa yang ia dengar, sambil menarik pelajaran yang penting darinya.
Empat, orang perlu mengalami hal-hal baru yang belum pernah ia alami. Ia perlu melebarkan horison pengalamannya. Selain membaca buku dan mendengar hal-hal baru, orang juga perlu sedapat mungkin mengalami hal-hal baru. Dari pengalaman itu ia bisa mengolah pelajaran hidup yang berharga, yang bisa mengubah cara berpikirnya ke arah yang lebih baik.
Jika orang menolak keempat hal ini, ia akan menjadi fosil hidup di tengah dunia yang terus berubah setiap detiknya. Ia menjadi tidak relevan.
Peran Agama
Mengubah kebiasaan adalah sesuatu yang amat sulit. Orang memerlukan bantuan untuk melakukannya. Salah satu bentuk bantuan yang konkret adalah adanya kelompok yang mendampingi proses. Dan di Indonesia kelompok itu biasanya adalah kelompok agama. Inilah yang menjadi argumen Dani, salah seorang siswa SMA yang menghadiri diskusi.
Pendapat ini disetujui oleh Reza. Dengan kekuatan kehendak serta didukung oleh adanya kelompok penopang, maka proses mengubah kebiasaan adalah proses yang amat mungkin terjadi. Namun juga jangan sampai ajaran-ajaran agama ditafsirkan secara sembarang, secara fundamentalistis misalnya, ketika orang menjadikan kelompok agama sebagai kelompok penopang.
Agama tetap harus ditempatkan sebagai salah satu aspek di dalam hidup manusia, dan bukan satu-satunya aspek. Jika agama dimutlakkan maka orang akan cenderung memusuhi orang yang berlainan agama dengannya. Ini adalah situasi yang amat tidak sehat untuk masyarakat majemuk, seperti Indonesia. Maka pola pikir semacam ini harus dihindari.
Pikiran dan Pornografi
Pornografi selalu melibatkan dua pihak, yakni subyek yang melihat, dan obyek yang dilihat. Di dalam masyarakat Indonesia, orang sering sulit membedakan antara estetika dan pornografi, antara keindahan dan sesuatu yang merusak moral. Bagaimana ini bisa ditanggapi secara tepat? Inilah pertanyaan Margaretha Rehulina, Dosen Psikologi dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, yang juga menjadi peserta diskusi.
Bagi Reza ada dua prinsip yang mesti dicermati, ketika orang hendak membedakan antara estetika dan pornografi. Pertama, subyek yang melihat harus membersihkan pikirannya. Ia tidak boleh melompat ke dalam kesimpulan terburu-buru, bahwa suatu obyek adalah pornografi. Ia perlu mengambil sikap pemula di dalam melihat dunia.
Dua, orang perlu bertanya dulu, apa maksud keberadaan suatu benda, sebelum ia mengambil kesimpulan, bahwa benda itu merupakan suatu bentuk pornografi. Ia perlu memahami arti keberadaan sebuah benda, dan tidak cepat-cepat mencap sesuatu sebagai pornografi. Dua hal inilah yang perlu diperhatikan, ketika orang ingin membentuk pola berpikir yang kritis dan sehat di dalam melihat dunia.
Bagi Reza masalah terbesar pornografi adalah cara berpikir orang yang melihat. Jika ada bangsa yang membuat UU anti pornografi, maka mungkin pikiran bangsa itu saja yang porno.
Soal Usia
Kata pandangan umum orang tua itu sulit berubah. Hanya orang muda yang masih bisa berubah. Benarkah pandangan umum semacam ini? Inilah pertanyaan Meta, salah seorang peserta diskusi yang berasal dari SMAK Saint Louis I.
Menurut Reza soal usia memang berperan besar. Banyak penelitian soal itu, dan kita memang harus mencermati penelitian-penelitian tersebut. Namun ia yakin bahwa kekuatan kehendak jauh lebih besar daripada soal usia.
Faktor ada tidaknya kelompok penopang juga berperan besar. Jika orang punya kesadaran, namun tak punya kelompok penopang, maka tantangannya juga akan lebih besar, guna mengubah kebiasaan, maupun cara berpikinya. Sebaliknya juga benar. Walaupun memiliki kesadaran yang kuat, namun tak punya kelompok penopang, maka kemungkinan untuk berhasil mengubah kebiasaan maupun cara berpikir akan lebih kecil.
Soal Perempuan
Coba perhatikan; semua obyek yang dicap sebagai obyek pornografi selalu terkait dengan perempuan. Seolah masalah pornografi adalah masalah untuk membatasi tubuh perempuan. Mengapa ini terjadi? Begitu pertanyaan Nova, salah seorang siswa SMA peserta diskusi.
Bagi Reza ini pertanyaan yang amat tajam dan menarik. Baginya ini terjadi karena kultur masyarakat Indonesia amat dipengaruhi oleh pola pikir agama-agama Semitik (Yahudi, Kristen, Islam) yang memang meminggirkan perempuan. Lihat bagaimana Hawa yang dianggap sebagai perempuan pertama tergoda, lalu mengajak Adam untuk masuk dalam dosa. Mengapa bukan Adam yang tergoda? Mengapa harus Hawa?
Pola pikir semacam ini merasuk begitu dalam ke dalam kultur masyarakat Indonesia, sehingga mereka tidak lagi sadar akan kesalahan yang ada di dalamnya. Mereka bahwa itulah yang benar. Padahal tidak.
Bagi Reza kita perlu merombak cara kita beragama, berfilsafat, dan belajar ilmu pengetahuan dengan memberikan ruang yang adil bagi perempuan. Inilah perubahan radikal yang harus dilakukan. Jika ini tidak dilakukan, maka kaum perempuan akan selalu terpinggirkan dari wacana publik. Mereka terus akan menjadi obyek kaum laki-laki, terutama dalam pornografi.
Perempuan dan Kesucian
Selama ini kesucian selalu disamakan dengan keperawanan. Wanita yang suci adalah wanita yang masih perawan. Dan juga sebaliknya bahwa wanita yang sudah tidak perawan dicap tidak lagi suci. Apakah hal ini tepat? Demikian pertanyaan berikutnya dari Nova, salah satu siswa SMA peserta diskusi.
Reza berpendapat bahwa ini merupakan pertanyaan menarik. Argumennya pun jelas dan tegas, bahwa anggapan masyarakat umum itu salah. Itu mitos!
Bagi Reza tidak ada hubungan antara kesucian dan keperawanan. Seorang ibu yang harus melacur, guna memenuhi kebutuhan hidup anaknya jauh lebih suci, daripada seorang perawan yang suka ngegosip, atau memfitnah orang lain. Kesucian itu soal hati dan pikiran, sama sekali bukan soal keperawanan.
Pornografi dan Pendidikan
Di dalam sejarah agama cenderung menabukan seks, terutama agama-agama Semitik, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam. Akibatnya sedari kecil anak tidak mengalami pendidikan seks yang bermutu. Mereka pun coba-coba sendiri, dan akhirnya terjebak di dalam pornografi, atau perilaku seks yang tidak bertanggung jawab.
Inilah pendapat Pak Widodo, salah seorang peserta diskusi. Beliau adalah guru agama SMAK Saint Louis I, Surabaya. Maka fenomena pornografi sebagian besar adalah kesalahan orang tua yang gagal mendidik anaknya. Semakin tema-tema berbau seks dihapus dari pendidikan, semakin besar pula rasa penasaran siswa terhadapnya.
Reza sepakat dengan pendapat ini. Baginya yang sungguh diperlukan adalah perubahan cara berpikir tentang apa artinya mendidik. Tema-tema yang ditabukan justru harus dibuka, dan dijadikan bagian dari diskusi yang sehat.
Peran filsafat amat besar disini, katanya. Filsafat mengajak orang memikirkan berbagai macam tema, tanpa kecuali, dengan kepala dingin dan mendalam. Pornografi dan seks harus sungguh menjadi bagian integral pendidikan kita, jika kita mau serius menanggapi fenomena pornografi yang mewabah.
Diskusi berlanjut terus dengan hangat. Namun waktu sudah menunjukkan jam 12 siang tepat. Maka diskusi harus berakhir.
David Jones selaku moderator memberikan kesimpulan diskusi, bahwa pornografi itu melukai tubuh perempuan. Harapannya para peserta diskusi bisa mengalami perubahan cara berpikir soal pornografi, setelah mengikuti diskusi ini. Tepuk tangan yang meriah menutup diskusi ini. Sampai jumpa di diskusi terbuka Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala berikutnya, begitu kata moderator.***
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
[1] Kebetulan saya adalah presentator dalam diskusi ini. Namun saya akan mengulas proses diskusi ini dari sudut pandang pengamat, dan bukan pembicara.
[2] Makalah lengkap bisa dilihat di https://rumahfilsafat.com/2011/02/15/terperangkap-di-dalam-ruang-ruang-pornografi-membedah-tritunggal-pornografi-tubuh-pikiran-dan-kebiasaan/