Facebook: Pencetus Gerakan Massa atau Pencipta Anarki?

Image0720

Facebook: Pencetus Gerakan Massa

atau Pencipta Anarki?

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

 

Fakultas Filsafat kembali membuka ruang diskusi pada 25 Februari 2011 pk. 08.50-10.30 di kampus UNIKA Widya Mandala Dinoyo. Kali ini temanya adalah tentang pro kontra keberadaan facebook dalam kaitannya dengan gerakan massa. Pertanyaannya sederhana apakah facebook dapat membawa dampak positif dengan menggalang gerakan massa menuju perubahan yang lebih baik, atau facebook justru mendorong terciptanya anarki yang mengacaukan keadaan?

Peserta diskusi adalah mahasiswa Fakultas Filsafat, beberapa dosen, baik dari Fakultas Filsafat UKWMS ataupun Universitas Airlangga, dan mahasiswa dari Fakultas Bisnis UNIKA Widya Mandala Surabaya. Diskusi berjalan hangat. Ada tiga butir kesimpulan yang kiranya bisa ditarik dari diskusi ini. Yang pertama facebook pada hakekatnya adalah alat. Tujuan dan arahnya ditentukan sepenuhnya oleh penggunanya, yakni manusia. Manusia hidup dengan facebook, namun selalu memiliki dorongan ataupun kemampuan untuk melampaui, termasuk melampaui facebook itu sendiri.

Yang kedua namun facebook tidak pernah sungguh netral. Sejak awalnya berdirinya facebook telah membawa kepentingan dari ideologi tertentu. Ideologi itu adalah kapitalisme yang selalu membawa kepentingan untuk memperbesar modal. Dengan cara itu facebook menciptakan kebutuhan palsu untuk manusia, yakni kebutuhan yang tampaknya ada, tetapi tidak sungguh-sungguh benar dibutuhkan.

Yang ketiga perilaku orang Indonesia yang gemar facebook-an ternyata juga dipengaruhi fakta historis bangsa ini yang hidup dalam penjajahan dan tekanan rezim Orde Baru. Mental bangsa inferior membuat bangsa ini latah, dan mudah sekali terpikat segala sesuatu buatan Eropa ataupun Amerika. Argumen ini kontroversial dan tentu saja masih perlu penelitian lebih jauh untuk membuktikannya.

Diskusi Cogito fakultas Filsafat bertujuan untuk membantu para penulis buletin Cogito setiap bulannya untuk merumuskan pemikiran mereka. Pada bulan April 2011, penulisnya adalah Kristo yang akan menanggapi secara kritis fenomena facebook dan gerakan massa, serta Aris yang lebih melihat sisi positif facebook dalam kaitannya dengan gerakan massa. Nantikan terbitnya buletin Cogito tersebut, dan sampai jumpa di diskusi berikutnya yang akan dilaksanakan bulan depan.***

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

4 tanggapan untuk “Facebook: Pencetus Gerakan Massa atau Pencipta Anarki?”

  1. Hehehe…..sayang nggak bisa hadir nih. Setuju pada pandangan bahwa facebook adalah alat, dan sebagaimana semua alat di bumi ini, dia punya ‘arah’ atau ‘ideologi’ tertentu. Cetusan gerakan massa sendiri justru berangkat dari impetus sosial yang terjadi karena kanal-kanal interaksi dibuntu. Kebetulan saja, pemerintah-pemerintah yang otoriter tidak segera sadar untuk mensensor facebook dan social network-lainnya. Jadi facebook menjadi saluran diluar kontrol pemerintah yang relatif menjamin kebebasan.

    Yang justru menarik adalah, mengapa instrumen-instrumen penyaluran aspirasi yang seharusnya justru jauh lebih tidak efektif dibanding media social network macam facebook dan twitter? Kenapa lebih banyak rakyat facebook dan rakyat twitter daripada rakyat negeri masing-masing? hehehehe……

    Suka

  2. Ya tapi setiap sensor selalu melahirkan hacker-hacker baru untuk melampaui sensor itu bukan? Itu yang selalu terjadi di dalam dunia digital.

    Ini menarik juga. Mungkin di era digital sekarang ini, konsep kewarganegaraan tidak lagi melekat pada tanah ataupun tradisi tertentu, melainkan cair, seperti kewarganegaraan digital di dalam situs-situs jaringan sosial. Ini sebenarnya hipotesis radikal. Akan menarik jika bisa bikin penelitian lebih jauh tentangnya.

    Saya rasa kita pelan-pelan menuju apa yang disebut Kant sebagai world citizenship, di mana batas-batas negara semakin menjadi relatif. Namun ada fenomena lain yang mengiringi gejala ini, yakni lahirnya fundamentalisme partikular yang semakin radikal. Ini paradoks mengglobal dan melokal.

    Suka

  3. Betul, citizenship menginternasional, dan yang merasa tidak nyaman atas perkembangan ini, memilih untuk menjadi penyeimbang di titik ekstrim satunya. Inilah yang melahirkan fundamentalisme dan radikalisme. Ada radikalisme konvensional berbasisi etnis, agama dan sejenisnya. Tapi juga ada radikalisme dan fundamentalisme baru yang berbasis lifestyle dan ideologi post-modern tertentu (walau kadang tidak begitu jelas ideologinya, namun jelas sekali fundamentalismenya 🙂 )

    Suka

  4. paradoks semacam itu tampaknya akan selalu ada. Tinggal kita sebagai pribadi hendak berjuang secara rasional dan kritis di titik yang mana.

    Tapi itu menarik ya. Fundamentalisme tanpa ideologi… akhirnya cuma ikut-ikutan, dan jadi sekumpulan massa tanpa kesadaran diri…

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.