Teori Sistem Masyarakat Niklas Luhmann

Luhmann3.jpg (408×452)

Masyarakat Sebagai Sistem

Pengantar ke dalam buku Social Systems

tulisan Niklas Luhmann

Reza A.A Wattimena[1]

Abstrak: Ada banyak cara memandang masyarakat. Ada teoritikus yang melihat masyarakat sebagai teks yang bisa diubah dengan kapasitas kebebasan dari manusia sebagai agensi. Ada pula teoritikus yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang punya pergerakan logisnya sendiri, dan terlepas dari kapasitas aktif manusia yang ada di dalamnya. Yang pertama adalah khas gaya berpikir teori kritis. Di dalam ranah teori-teori itu, Niklas Luhmann berdiri di posisi yang kedua. Teorinya banyak juga dikenal sebagai teori sistem. Teori sistem mengajak kita untuk berpikir kembali tentang makna kesadaran, makna kebebasan, serta makna komunikasi, serta menempatkan seluruh analisis kita tentang hal-hal mendasar tersebut di dalam relasinya dengan ilmu-ilmu sains, seperti fisika modern dan teori-teori biologi, sehingga optimisme naif dari cita-cita pencerahan dapat kita tanggapi secara kritis dengan berbekal analisis yang bersifat multidispliner, tanpa menghilangkan bobot emansipasinya.

Kata-kata Kunci: Sistem, Autopoiesis, Komunikasi, Kompleksitas

Pendahuluan

Dalam suatu debat dengan salah satu teoritikus sosial terkemuka Jerman, Jürgen Habermas, Niklas Luhmann pernah berkata, “seluruh analisis anda mengenai teori diskursus untuk mencapai konsensus tidaklah relevan dan tidak pernah dapat diterapkan!”. Mendengar kritik semacam itu, Habermas pun menjawab, “seluruh analisis teori sistem yang anda bangun tidak akan pernah bisa menjadi landasan teoritis bagi cita-cita emansipatoris!” Kiranya, perdebatan panas ini menunjukkan posisi teoritis masing-masing pemikir. Habermas dan Luhmann memang berada di kutub pemikiran yang berbeda. Habermas masih mengandaikan bahwa manusia memiliki kebebasan, dan dengan kebebasan itulah ia mengonstruksikan dan mengubah dunianya ke arah lebih baik. Analisis Habermas memang sudah terdengar familiar di telinga kita. Akan tetapi, pemikiran Luhmann masih terdengar asing di tengah dunia pemikiran di Indonesia.

Niklas Luhmann adalah salah seorang teoritikus sosial terkemuka di Jerman. Teorinya sendiri berangkat dari keterbatasan teori-teori sosial pada jamannya.[2] Ia berpendapat bahwa masyarakat dewasa ini telah sampai pada satu titik, di mana sistem sosial politik masyarakat justru bisa mengatur dan membentuk dirinya sendiri dengan cara-cara yang tidak dapat diramalkan. Dengan kata lain, sistem sosial telah berubah menjadi suatu bentuk organisme yang cukup diri, dan bahkan bisa membentuk dirinya sendiri terlepas dari peran individu-individu di dalamnya. Teori-teori tradisional, terutama yang masih mendasarkan diri pada konsep-konsep filosofis klasik, seperti pada strukturalisme, hermeneutika, dan filsafat analitis, “tidak dapat menghalangi proses erosi yang disebabkan oleh modernitas…”[3] Teori-teori tersebut gagal membedah kompleksitas dunia sistem sekarang ini, ataupun mengajukan alternatif solusi atas berbagai krisis yang terjadi.

Luhmann melihat gejala ini. Akan tetapi, tidak seperti Habermas, ia menolak untuk menggambarkan semua situasi ini dalam analisis negatif, seperti krisis legitimasi (legitimation crisis) ataupun krisis komunikasi. Ia mau mencari cara baru untuk menanggapi kompleksitas ini. Ia juga tidak setuju dengan analisis para teoritikus postmodern yang melihat semua ini sebagai suatu gejala matinya narasi-narasi besar (grand narrative). Bagi Luhmann sendiri, berakhirnya apa yang disebut sebagai narasi besar bukanlah sebuah akhir dari teori, melainkan tantangan bagi teori-teori itu sendiri, yakni suatu undangan untuk “membuka diri terhadap perkembangan teoritis di dalam beberapa displin yang, selama beberapa waktu, telah secara sukses bekerja sama dengan model sibernetik yang tidak membutuhkan fiksi ataupun pengamat eksternal..”[4]

Luhmann adalah seorang sosiolog, dan terus menganggap dirinya sebagai seorang sosiolog. Ia ingin mengkaitkan refleksinya tentang masyarakat dengan berbagai teori lainnya, seperti fisika modern, teori informasi, teori sistem klasik, neurofisiologi, dan sains lainnya. Dengan intensinya itu, teori sosial klasik yang cenderung ahistoris dan mekanistis ala Newton akan digantikan dengan refleksi yang lebih bersifat rekursif (recursive), yakni teori yang menekankan perkembangan non linear, serta tidak dapat diramalkan mekanismenya. Di dalam teori multidispliner semacam itu, pengamat dan obyek yang diamati tidak lagi dibedakan secara jelas. Luhmann sendiri sangat dipengaruhi teori fisika modern (modern physics). Fisika modern memiliki tendensi dasar untuk merumuskan suatu teori besar yang mampu menjelaskan seluruh alam semesta.[5] Sintesis antara teori sosial dengan refleksi fisika modern inilah yang merupakan suatu bentuk perubahan pendekatan teori-teori sosial yang menjadi latar belakang pemikiran Luhmann. Pertanyaan yang menjadi kegelisahannya yang paling mendasar adalah, mungkinkah dan sejauh manakah perkembangan sains abad kedua puluh dapat digunakan untuk merefleksi realitas sosial yang menjadi obyek kajian teori-teori sosial?

Di dalam bukunya yang berjudul Social Systems, ia mengajukan jawaban yang menyeluruh dan mendalam terhadap pertanyaan ini. Ia tidak mau menggunakan analisis-analisis krisis untuk melihat realitas sosial, seperti yang dilakukan Habermas dengan teori krisis legitimasinya, melainkan merumuskan teori yang dapat menggali seluruh kemungkinan yang ada dari sains modern (modern science) untuk merefleksikan realitas sosial. Buku ini terdiri dari 627 halaman. Di dalamnya, ia menyediakan semacam landasan teoritis untuk melihat masyarakat modern sebagai sistem-sistem komunikasi yang kompleks yang telah mendiferensiasi dirinya sendiri ke dalam subsistem-subsistem yang saling terhubung. Setiap sistem ini memproduksi dirinya sendiri secara rekursif dengan dasar logika internalnya sendiri. Setiap sistem melihat dirinya sendiri, tetapi selalu dari sudut pandang internalnya sendiri. ‘Tidak ada”, demikian tulis Knodt, “titik Archimedes yang melihat semua jaringan termasuk ke dalam pengetahuan yang mencangkup semua.”[6] Analisis semacam ini merupakan ciri khas Luhmann. Dan seperti semua teori yang memiliki tendensi universal lainnya, analisis Luhmann ini menekankan universalitas dari klaim-klaim yang dibuatnya. Hal ini tidak berarti bahwa teori ini mengklaim kebenarannya yang ultim dan tidak terpengaruh kultur serta sejarah. Tetapi, ia menekankan bahwa teori sistem umum haruslah merefleksikan semua yang terkait dengan dunia sosial, termasuk teori itu sendiri yang merupakan bagian dari realitas yang dianalisisnya. Salah satu yang khas dari pemaparan Luhmann dibuku itu adalah keinginannya “mengatur perbedaan melalui konsep-konsep.”[7]

Tulisan ini merupakan sebuah pengantar ke dalam teori sistem Niklas Luhmann, terutama pada bukunya yang berjudul Social Systems. Untuk mengantar pembaca kepada beberapa tesis pokoknya, saya mengikuti uraian Eva Knodt di dalam pengantar Social Systems. Untuk itu, saya akan menjabarkan pengantar tersebut ke dalam empat bagian. Saya akan menjelaskan riwayat hidup maupun intelektual Luhmann (1). Lalu, saya akan menjelaskan tentang makna kompleksitas di dalam teori sistem (2), tentang autopoiesis (3), tentang autopoiesis dalam kaitannya dengan komunikasi (4), serta tentang landasan epistemologi dan konsep modernitas di dalam teori sistem (5). Seluruh tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan (6).

1. Riwayat Luhmann dan Pemikirannya

Niklas Luhmann lahir di Lüneburg, Jerman, pada 1927. Ia meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Freiburg pada 1949, tetapi ia sendiri tidak bertahan lama menggeluti bidang ini. Pada 1955, ia mulai berkarir di bidang politik. Selama masa itu, di waktu lenggangnya, ia banyak membaca tulisan-tulisan Descartes, Kant, Husserl, serta teori-teori sosial fungsionalis dari Malinkoswski dan Radcliff-Brown. Sampai saat itu, ia tidak pernah berpikir untuk bekerja di bidang akademik. Pada 1960, ia mengambil cuti setahun untuk mengambil kuliah yang dibimbing oleh Talcott Parsons di Harvard. Hal ini tampak sangat berkesan baginya. Kembalinya dari Harvard, ia memutuskan untuk menghentikkan karirnya di bidang politik, dan bekerja di bidang akademik untuk mengejar ketertarikan intelektualnya. “Sebagai seorang sosiolog”, demikian tulisnya pada suatu kesempatan, “saya bisa melakukan apapun tanpa harus terjebak pada satu tema yang partikular.”[8] Pada 1965-1968, ia menjabat sebagai staff di Administrative Science di Speyer, Institute of Social Research di Dortmund, dan Universitas Münster. Sampai pensiunnya pada 1993, ia mengajar di Universitas Bielefeld.

Pada awal dekade 1970-an, Luhmann dikenal sebagai seorang kritikus yang sangat tajam terhadap teori sosial Jürgen Habermas, teoritikus dari Mazhab Frankfurt. Sebuah karangan bersama pun diterbitkan pada 1971 dengan judul Theory of Society or Social Technology: What Does Systems Research Accomplish?. Buku itu terjual lebih dari 35.000 kopi hanya dalam beberapa tahun. Buku ini pun dikenal sebagai ‘pertempuran’ intelektual antara Frankfurt dan Bielefeld yang juga sebagai simbol polarisasi antara Gerakan Kiri Baru dan apa yang disebut sebagai Gerakan Neo Konservatif Anti Pencerahan di Jerman. Habermas mengkritik Luhmann dengan menyatakan bahwa teorinya bersifat teknokratik-fungsionalis yang menutup semua kemungkinan bagi politik emansipatoris. Sementara, Luhmann melihat teori Habermas tentang etika diskursus yang berorientasi pada konsensus tidaklah memadai untuk menanggapi berbagai problematika di dalam masyarakat kompleks post-industrial yang telah terdiferensiasi. Berbagai kritik dari para pemikir Kiri Baru terus dilontarkan terhadap pemikiran Luhmann. Akan tetapi, teori sistem tetap berkembang sebagai salah satu teori sosial terkemuka sampai sekarang, dan bukan hanya sekedar teori yang membenarkan dominasi borjuis, seperti yang diklaim para teoritikus kiri.

Pada pertengahan dekade 1980-an, pendulum mulai bergerak, dan penerimaan publik atas pemikiran Luhmann memasuki fase kedua. Dunia intelektual Jerman mulai menerima apa yang disebut Luhmann sebagai “teori sosial yang dirumuskan secara solid”.[9] Dengan terbitnya buku Social Systems, pemikirannya pun dapat diakses oleh publik yang lebih luas. Lebih jauh dari itu, ia juga merumuskan suatu perubahan paradigma di dalam teorinya sendiri yang ditandai dengan berkurangnya pengaruh teori struktural-fungsionalis yang dirumuskan oleh Parsons, serta peralihannya ke model-model teori yang dikembangkan di dalam biology of cognition dan teori-teori sibernetik. Kebuntuan analisis teori-teori postmodern juga menciptakan semacam kebutuhan akan teori-teori masyarakat yang lebih kompleks dan menyeluruh. Luhmann pun terus memperluas teori sistemnya. Ia menulis buku-buku lain, seperti Ecological Communication, The Economy of Society, The Sociological Risk, sehingga ia pun mendapatkan perhatian serius dari lingkaran intelektual Jerman, baik di dalam maupun di luar displin sosiologi.[10]

Selama waktu-waktu itu, penerimaan dunia intelektual atas pemikirannya memasuki fase ketiga, yang ditandai dengan semakin kuat ketertarikan dan kepedulian publik terhadap latar belakang teoritis dari karya-karya Luhmann. Ia pun terlibat di dalam perdebatan tentang “pembalikan autopoietic” di dalam ilmu-ilmu sosial bersama dengan Maturana, Foerster, dan Varela. Seluruh perdebatan ini dikenal dengan nama “diskursus konstruktivisme radikal” yang mendominasi panggung intelektual Jerman pada waktu itu. Pada hakekatnya, diskursus ini bersifat mutldispliner dan sama sekali tidak homogen. Konstruktivisme radikal sama sekali bukan suatu teori utuh dan satu, melainkan berbagai analisis yang menyelidiki masyarakat dari macam-macam sudut dan dengan konteks yang juga bervariasi. Walaupun berbeda, semua teori itu berkaitan dengan “pembalikan autopoietic”.[11]

Secara literer, autopoiesis berarti penciptaan diri sendiri. Kata ini berasal dari kata Yunai auto yang berarti diri, dan poiesis yang berarti penciptaan atau produksi. Kata ini pertama kali diperkenalkan oleh biolog asal Chile, yakni Francisco Varela dan Humberto Maturana pada 1973. Sesuatu yang bersifat autopoiesis berarti sesuatu (dalam arti satu dan utuh) yang diatur sebagai jaringan dari proses-proses produksi dari bagian-bagian yang “melalui interaksi di antara mereka dan perubahan yang berkelanjutan terus mereproduksi dan menyatadi proses jaringan yang memproduksi mereka; membentuknya sebagai satu kesatuan yang konkret di dalam ruang di mana mereka berada dengan mengkhususkan ranah realisasinya seperti jaringan”.[12] “Ruang”, demikian tulis mereka, “yang didefinisikan oleh sistem yang autopoiesis bersifat cukup diri dan tidak dapat digambarkan menggunakan dimensi yang mendefinisikan ruang lainnya.”[13]

Contoh yang paling jelas untuk menggambarkan apa yang dimaksud dengan sistem yang bersifat autopoiesis adalah sel-sel biologis mahluk hidup. Sel-sel eukaryotic, misalnya, terdiri dari berbagai komponen biokimia, seperti asam nucleid dan protein. Komponen tersebut diatur di dalam sebuah struktur dengan sel lainnya, seperti sel nukleus, berbagai bentuk organelles, membran sel, dan cytoskeleton. Semua struktur ini menghasilkan komponen-komponen yang nantinya akan membantu mengatur struktur yang pada awalnya justru membentuknya. Sistem yang bersifat autopoiesis seringkali dikontraskan dengan sistem allopoietis. Yang kedua ini dapat dilihat pada pabrik mobil yang menggunakan material ataupun komponen untuk membuat mobil (struktur yang terorganisir) yang berbeda dari dirinya sendiri. Secara umum, kata autopoisesis seringkali ditujukan pada suatu struktur-struktur yang tertata dan tetap stabil dalam jangka waktu yang lama lepas dari masuk dan keluarnya energi ke dalam struktur tersebut.

Dari sudut pandang ini, maka autopoiesis dapat diartikan sebagai pengorganisasian diri sendiri (self-organization). Luhmann menerapkan konsep ini dalam kerangka analisis sosiologi, sehingga berkembang menjadi teori sistem. Ia sendiri merasa skeptis dengan perkembangan dari diskursus ini, terutama karena banyak sekali pihak yang ingin menyederhanakan refleksi yang ada di dalam diskursus tersebut untuk menerbitkan publikasi yang lebih mudah dijual. Tidak ada hal lain yang lebih “menganggu” dia dari komodifikasi instan atas teori-teori sistem yang telah dirumuskan sebelumnya.[14] Ketika suatu teori telah dikomodifikasi untuk memperoleh produk instan yang mudah terjual, maka simplifikasi, reduksi, dan kesalahpahaman pun tidak terhindarkan. Untuk menentang arus komodifikasi itu, Luhmann tetap teguh melanjutkan refleksi teori sistemnya dengan penekanan pada titik tolak pengamat yang netral.

2. Kompleksitas di dalam Teori Sistem

Karyanya yang paling banyak diacu, yakni Social Systems, adalah buku yang sulit dibaca, sangat ambisius di dalam ruang lingkup analisisnya, dan memiliki tingkat abstraksi yang sangat tinggi.[15] Analisisnya melintasi, dan bahkan melampaui, berbagai displin ilmu untuk memperoleh perangkat konseptual guna menganalisis berbagai problematika sosial yang ada di dalam masyarakat. Gaya menulis dan alur buku tersebut mirip dengan sistem filsafat idealisme yang dirumuskan oleh Hegel. Akan tetapi, jika Hegel memulai dan mengakhiri sistemnya dengan kesatuan yang menuju sintesis universal, Luhmann justru memulai dan mengakhiri teori sistemnya dengan perbedaan (difference). Proses membaca Social Systems untuk pertama kali adalah proses yang sangat melelahkan, kecuali pembacanya memiliki “kesabaran, imajinasi, kemampuan intelektual, dan rasa penasaran yang mencukupi untuk mengadopsi sikap eksperimental.”[16]

Untuk menghindari penafsiran yang salah atas buku tersebut, kita harus terlebih dahulu mengerti tujuan utama dari permusan karya itu. Social Systems tidak bertujuan untuk melakukan analisis sosiologis ataupun merumuskan teori tentang masyarakat (Gesellschaftstheorie), tetapi hendak mengelaborasi kerangka konseptual atas teori-teori masyarakat tersebut. Social Systems menyediakan suatu instrumen konseptual untuk mengamati berbagai gejala yang ada di dalam realitas sosial, seperti masyarakat, organisasi-organisasi, dan interaksi-interaksi yang terjadi di dalamnya. Dengan kata lain, teori sistem hendak mempertanyakan kondisi-kondisi kemungkinan bagi analisis tentang dunia sosial.[17] Akan tetapi, tidak seperti yang dilakukan oleh Kant, teori sistem Luhmann tidak menganalisis subyek yang mengetahui, melainkan berpaling kepada realitas sosial yang memiliki karakter penentuan dan pengaturan dirinya sendiri yang dapat diamati secara inderawi. Fokus dari seluruh analisis teori sistem adalah problematika kompleksitas sosial yang dilihat dari satu subsistem yang bersifat partikular, yakni dari ilmu-ilmu (Wissenschaft).[18]

Luhmann mendefinisikan apa yang dimaksud kompleksitas (complexity) dengan dua konsep, yakni antara sistem yang saling terkait dengan elemen-elemen ataupun sistem-sistem di sekitarnya, dan yang keterkaitan tersebut tidak lagi menjadi signifikan. Di dalam analisis-analisis teori-teori informatika, kompleksitas sistem tidak lagi dapat diteropong melalui keterkaitannya dengan sistem ataupun dengan lingkungan (sesuatu yang di luar sistem), melainkan dengan keseluruhan sistem itu sendiri. Kompleksitas selalu membutuhkan pemilahan untuk dapat dimengerti, dan pemilahan seringkali menciptakan reduksi. Reduksi ini adalah reduksi kompleksitas melalui pembedaan, yakni pembedaan antara sistem di satu sisi, dan lingkungan (environment) di sisi lain. Luhmann menyebut pembedaan ini sebagai ‘pembedaan kompleksitas’ (Komplexitätgeffälle) antara sistem dan lingkungan. Pembedaan ini sangatlah penting. Tanpanya, tidak ada yang disebut sebagai sistem sosial yang memiliki cirinya masing-masing. Yang ada hanyalah kekacauan. Kebutuhan akan sistem yang dapat dipilah dan dibedakan dengan lingkungan tersebut mirip dengan metafora sistem fisik psikologis manusia. Keadaan psikis manusia yang terlalu kompleks akan cenderung menjadi patologis. Artinya, manusia akan mengalami ketidakmampuan untuk membuat keputusan, melakukan kerja-kerja yang sederhana, ataupun berperan di dalam kehidupan bermasyarakat. “Apa yang kita sebut sebagai kegilaan”, demikian tulis Knodt di dalam pengantar buku Social Systems, “tidak lain adalah kompleksitas yang berlebih di dalam sistem-sistem psikis yang tidak dapat membedakan lagi dirinya dari lingkungannya.”[19]

Dengan demikian, kemampuan untuk mereduksi kompleksitas dapat juga dianggap sebagai mekanisme perlindungan diri (defense mechanism) dari sistem tersebut. Reduksi juga memungkinkan sistem untuk mengatur dimensi internalnya sendiri, sehingga kompleksitas yang tidak tertata dapat diubah menjadi kompleksitas yang tertata (organized complexity). Seperti sudah disinggung sebelumnya, kompleksitas membutuhkan pemilahan, dan pemilahan tentu menyediakan kemungkinan-kemungkinan pembedaan, dan kemungkinan itu tentunya mengandaikan adanya resiko. Kemungkinan selalu sudah mengandaikan adanya resiko (risk). Pilihan yang tidak tepat dari berbagai kemungkinan akan membuat sistem hancur. Tantangan terberatnya tentu saja adalah sulitnya memberikan definisi-definisi yang koheren terhadap kompleksitas masyarakat tersebut. Kompleksitas tidak pernah sungguh dapat diamati dan dipilah-pilah. Setiap upaya memahami kompleksitas sudah selalu mengikutsertakan proses reduksi, yakni mengubah kompleksitas yang tidak terorganisir menjadi teorganisir. Oleh karena itu, proses reduksi haruslah dilakukan dengan perhitungan-perhitungan yang bersifat strategis, yakni “dengan mata yang melihat potensi perkembangan dari kompleksitas teoritis.”[20] Artinya, seorang analis harus siap menerima bahwa ia adalah bagian dari obyek yang dianalisis, dan obyek yang dianalis tidak bisa diramalkan perkembangan ataupun perubahannya.

Social Systems dimulai dengan sebuah pernyataan ontologis yang sederhana, yakni “Sistem-sistem itu ada.” Sistem juga dibedakan dengan lingkungan. Pembedaan ini berfungsi sebagai “pembedaan untuk membimbing” (Leitdifferenz). Pembedaan ini dapat ditemukan di dalam berbagai analisis teori sistem, seperti analisis tentang waktu, tentang makna, dan tentang komunikasi. Bahkan, teori sistem juga menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek analisis. Dengan kata lain, teori sistem membentuk analisis tentang berbagai konsep yang saling berkaitan dengan berbagai cara, sehingga dapat digunakan untuk menganalisis fenomena sosial.

Konsekuensinya, teori sistem memiliki karakter yang kontingen, dan dapat digunakan untuk menganalisis berbagai macam hal secara fleksibel. “Luhmann”, demikian tulis Knodt di dalam foreword buku tersebut, “secara eksplisit mengajak pembacanya untuk bereksperimen dengan teorinya dan merumuskan dengan cara-cara yang dapat menampung berbagai dan secara progresif membuka pertanyaan dan menjelajah.. pertanyaan-pertanyaan yang ada.”[21] Ia bahkan mencontohkan bagaimana suatu bab kesimpulan di dalam suatu buku justru merupakan titik tolak awal bagi analisisnya. Artinya, tulisan-tulisan Luhmann membentuk pola-pola yang sirkuler, di mana akhir analisis justru merupakan titik awal bagi analisis serupa yang lebih mendalam. Pendekatan semacam inilah yang banyak dipraktekkan pada karya-karya akhirnya.

Buku Social Systems dapat digambarkan sebagai “sebuah labirin pemikiran dan bukan sebuah jalan bebas menuju matahari terbenam.”[22] Sebuah pengantar pun tidak akan dapat mengupas tuntas seluruh pemikiran Luhmann di dalam buku itu, terutama karena tindak mengupas tuntas itu sendiri sama sekali berlawanan dengan tujuan dari buku itu ditulis. Maksimal, pengantar dapat berfungsi sebagai pemandu bagi pembaca, sehingga mereka dapat menempatkan analisis Luhmann di dalam kerangka perbandingan dengan tradisi-tradisi pemikiran lainnya. Yang paling jelas, seluruh analisis Luhmann dirumuskan di dalam pengaruh refleksi sosiologi yang telah dibuat oleh Emile Durkheim dan Talcott Parsons yang banyak dikenal sebagai teori fungsionalis. Tradisi ini berupaya menjelaskan fakta-fakta sosial dengan tidak memperhitungkan peran aktor-aktor individual, sehingga individu hanya dianggap sebagai bagian dari keseluruhan fakta sosial tersebut. Di samping itu, Luhmann juga dipengaruhi oleh tradisi filsafat kesadaran Kant dan Hegel, serta beberapa aspek dari pemikiran posmodern. Akan tetapi, teori sistem kemudian mengkritik tradisi filsafat ini dengan menggunakan kerangka konseptual dari teori-teori sains yang bersifat autopoetic, yakni teori-teori yang digunakan untuk mengamati fenomena-fenomena yang bisa membentuk dan mereproduksi dirinya sendiri. Yang terakhir ini merupakan ciri khas pendekatan teori sistem. Dengan demikian, teori sistem kental dengan gaya analisis yang bersifat autopoiesis yang kemudian diintegrasikan dengan tradisi-tradisi intelektual lainnya dengan cara yang tak terduga, namun luar biasa.

3. Autopoiesis

Luhmann banyak dipengaruhi oleh Humberto Maturana, terutama pada tesisnya bahwa sistem memiliki ciri yang bersifat autopoiesis. “Suatu sistem”, demikian Maturana, “terdiri dari jaringan-jaringan produksi dari komponen-komponen, yang melalui interaksinya, membentuk dan menyadari jaringan yang memproduksi mereka, di dalam ruang di mana mereka ada, batas-batas jaringan sebagai komponen yang berpartisipasi di dalam perwujudan jaringan tersebut.”[23] Yang membedakan sistem yang bersifat autopoiesis dengan sistem tertutup adalah karakter rekursifitasnya, yakni “bahwa mereka tidak hanya memproduksi dan mengganti sendiri struktur-struktur mereka, tetapi semua yang digunakan sebagai unit di dalam sistem diproduksi juga sebagai unit di dalam sistem itu sendiri.”[24]

Refleksi tentang teori sistem sebenarnya dapat dirunut di dalam sejarah filsafat itu sendiri.[25] Ide tentang adanya sistem yang mampu mengatur dan mereproduksi dirinya sendiri memiliki logika internal, bahwa adanya tujuan final dari seluruh gerak alam. Semua refleksi semacam ini dapat ditemukan di dalam metafisika Aristoteles, Monadology tulisan Leibniz, dan Critique of Judgment-nya Immanuel Kant. Dengan munculnya era dominasi kaum borjuis pada abad ke-18, hampir semua teori politik, ekonomi, dan etika mulai untuk menyelidiki bagaimana relasi antara bagian dengan keseluruhan, yakni tentang bagaimana individu-individu sebagai bagian dari komunitas akhirnya dapat membentuk komunitas bersama tanpa saling menghancurkan. Refleksi ini banyak dikenal sebagai problem tatanan (problem of order). Sampai sekarang, problematika tatanan tetap berada di dalam selubung misteri yang hanya dapat dipikirkan secara spekulatif dalam perdebatan yang panjang, dan tampak tak pernah berakhir.

Dalam kerangka perdebatan yang serupa, teori sistem banyak dipengaruhi oleh terjadinya dua perubahan paradigma yang membuat problematika tatanan tidak lagi sekedar spekulasi metafisika, melainkan menjadi bagian dari penelitian saintifik. Perubahan paradigma pertama dimotori oleh Ludwig von Bertalanffy, seorang biofisiolog dari Jerman pada pertengahan dekade 1950-an. Ia mengganti pembedaan antara bagian dan keseluruhan dengan pembedaan antara sistem dan lingkungan. Pembedaan ini memungkinkan refleksi tentang problematika tatanan berelasi dengan analisis dari displin ilmu lainnya, seperti sibernetik, teori informasi, dan ilmu komputer. Sementara, perubahan paradigma kedua ditandai dengan perubahan distingsi antara sistem dan lingkungan menjadi suatu teori tentang sistem yang dapat membentuk dan mereproduksi dirinya sendiri.[26] Prinsip pengaturan diri ini disebut oleh Heinz von Foerster sebagai “tatanan yang muncul dari kegaduhan”.[27] Penelitian tentang hal ini pun berkembang menjadi sebuah kajian multidispliner yang melibatkan fisika, sibernetika, dan biologi. Jika para ahli dapat menemukan kesamaan pola di dalam gerakan atom-atom yang berkumpul, sel-sel biologis, pola pergantian cuaca, terciptanya koloni-koloni serangga, serta pergerakan pasar, maka mereka dapat merumuskan sebuah teori yang mampu mengkonseptualisasi semua kesamaan itu tanpa menghilangkan perbedaan antara fenomena yang beragam tersebut.

Luhmann ikut ambil bagian di dalam proyek multidispliner ini. Akan tetapi, setelah melalui penelitian yang terus menerus, proyek ini pun mengalami halangan yang besar, terutama dari argumen yang menyatakan bahwa ada perbedaan yang bersifat ontologis antara realitas kehidupan sosial manusia dengan realitas non sosialitas manusia. Oleh karena itu, pendekatan untuk memahaminya pun juga berbeda. Setiap upaya mereduksi realitas sosial ke dalam sistem dan fungsi selalu dicurigai sebagai timpang secara etis maupun secara politis. Pendekatan yang bersifat autopoiesis terhadap masyarakat pun mendapatkan tantangan baru. Di satu sisi, pertanyaan tentang pelestarian dan reproduksi sistem beralih menjadi pertanyaan tentang bagaimana struktur sistemik dapat digambarkan sebagai tatanan yang timbul mencuat dari kekacauan. Dengan perkembangan ini, Luhmann pun menolak teori Parsons yang bersifat fungsionalis. Di sisi lain, konsep autipoiesis tidak dapat diterapkan untuk menganalisis realitas sosial. Alasannya, jika kita sepakat bahwa masyarakat sebagai suatu sistem sosial dibentuk oleh elemen-elemen organisme yang hidup, yakni manusia, maka tidaklah mungkin menjelaskan proses reproduksi sistem sosial tersebut tanpa menjelaskan elemen-elemen pembentuknya.

Dengan manuver teoritis yang brilian, Luhmann mengajukan solusi atas dilema ini dengan mengkonseptualisasi ulang realitas sosial sedemikian rupa, sehingga memungkinkan penerapan konsep autopoiesis. Ia berpendapat bahwa premis Aristoteles yang menyatakan bahwa sistem sosial analog dengan organisme hidup (living organism) haruslah dilepaskan. Sistem sosial jangan dipikirkan sebagai sebuah organisme hidup, melainkan sebagai sistem yang terdiri dari komunikasi-komunikasi sebagai elemen terdasarnya, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam waktu, dan membentuk tatanan yang muncul dari kompleksitas (Complexity) masyarakat yang bersifat temporal (temporality). Tentu saja, karakter temporalitas tidak hanya dapat diterapkan di dalam analisis tentang sistem sosial, tetapi juga dapat diobservasi pada proses reproduksi sel-sel tubuh, sel-sel otak, serta perkembangan sistem psikis manusia. Akan tetapi, pola autopoiesis, temporalitas, dan kompleksitas sistem sosial berbeda dengan sistem-sistem biologis. Begini, proses reproduksi sel terjadi berdasarkan pada proses-proses kimia. Otak berfungsi juga dengan berdasarkan impuls-implus neurofisiologis. Sementara itu, sistem sosial berfungsi dan berkembang dengan menjadikan kesadaran (consciousness) sebagai elemen dasarnya. Kesadaran tersebut terlihat di dalam proses komunikasi (Social Systems Communications), dan proses komunikasi membutuhkan makna (Sinn) untuk proses reproduksinya. Konsep makna memiliki peranan sentral di dalam teori sistem Luhmann. Konsep ini digunakan tidak dalam oposisi dengan “ketidakbermaknaan” (meaninglessness), seperti dalam tradisi-tradisi hermeneutika, melainkan dalam arti fenomenologis (phenomenological sense). Artinya, konsep makna merupakan sebuah kerangka kemungkinan yang hadir di dalam semua bentuk sistem sosial. Dengan kata lain, makna adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan sistem sosial terbentuk dan beroperasi. Tentu saja, Luhmann tidak memaksudkan hal ini sebagai kesadaran diri transendental yang, menurut Kant, menjadi kondisi yang paling mendasar bagi terciptanya pengetahuan, melainkan sebagai kondisi kemungkinan yang terlebih dahulu harus dipenuhi bagi gerak empiris dari sistem sosial yang memiliki karakter autopoiesis.[28]

Dengan demikian, memandang masyarakat sebagai sistem berarti memandang masyarakat sebagai proses-proses komunikasi makna yang membentuk sebuah realitas sosial yang bersifat kompleks, temporal, dan autopoiesis. Tesis ini tentunya mengubah seluruh konsepsi kita tentang hakekat dari tindakan sosial individu, peran bahasa, dan status subyek di dalam analisis sosiologi. Dalam hal ini, Luhmann menggabungkan analisis fungsionalis di dalam sosiologi dengan pendekatan fenomenologis di dalam filsafat yang dirumuskan oleh Husserl. “Upayanya” demikian tulis Knodt, “untuk mendekatkan dua tradisi ini membuka ruang di mana berbagai displin tradisional dapat dipikirkan kembali dengan cara yang mungkin dapat membawa tradisi berpikir humaniora melampaui hermeneutika, dan menuju era informasi.”[29]

4. Autopoiesis dan Komunikasi

Teori sistem dapat dipandang sebagai oposisi dari analisis-analisis hermeneutika yang banyak dikembangkan oleh Gadamer dan Habermas. Hermeneutika mementingkan peranan subyek di dalam menangkap realitas sosial, dan kemudian mengintegrasikannya di dalam pengetahuannya. Pikiran subyek bersifat konsruktif terhadap obyek, sehingga pikiran bukan hanya sekedar tabula rasa yang bersifat pasif, melainkan elemen individu yang bersifat aktif dan produktif di dalam membentuk pengetahuan. Akan tetapi, apakah ada cara yang paling ideal untuk mengetahui apa yang ada di dalam pikiran individu? Goethe, seorang sastrawan dan filsuf romantisisme dari Jerman, pernah menulis bahwa individu dan segala sesuatu yang menempel di dalam karakternya adalah sesuatu yang tak terkatakan dan tak dapat digambarkan (the individual is ineffable). “Kita”, demikian tulis Herder, seorang filsuf romatis Jerman, lebih dari satu abad yang lalu, “berpikir dalam kebingungan tentang diri kita sendiri seperti kita dalam sebuah mimpi di mana kita berupaya mengumpulkan satu bagian demi bagian, memotongnya, tetapi tetap tidak selesai,..”[30]

Sejarah hermeneutika adalah sejarah kegagalan manusia untuk melawan keraguan semacam itu. Pertama-tama, hermeneutika adalah sebuah upaya untuk menemukan makna yang berada di balik kata-kata (Dilthey dan Schleirmacher). Kemudian, hermeneutika menyatakan universalitasnya dengan menunjuk bahasa sebagai elemen terdasar dari pengalaman maupun pengetahuan manusia (Heidegger dan Gadamer). Perkembangan terakhir hermeneutika adalah perumusan tindak komunikatif yang berdasar pada transedentalisme apriori, seperti pada Habermas dan Apel. Yang terakhir ini merupakan perumusan yang ditujukan untuk menghadapi berbagai kritik dari dekonstruksi (Derrida), psikoanalisis (Freud), dan genealogi (Nietzsche dan Foucault). Namun, apa itu individu tetap menjadi pertanyaan dasar yang tetap tak terjawab.[31]

Teori sistem hendak melampaui keraguan tentang pengetahuan akan individu tersebut. Teori sistem mau melepaskan analisis-analisis tentang realitas sosial dari keraguan tentang hakekat individu yang dianggap sebagai pembentuk masyarakat. Pengadaian tradisi hermeneutik tentang individu yang memiliki kesadaran pun diganti dengan refleksi tentang bagaimana suatu sistem sosial yang bersifat autopoiesis dapat memungkinkan terjadinya perubahan. Di dalam kerangka teori sistem, kesadaran tidaklah dianggap sebagai partisipasi sadar dari individu pembentuk masyarakat, melainkan sebagai sesuatu yang tumbuh mencuat di dalam proses gerak sistem sosial. Bagi Luhmann, ketidakmampuan para filsuf merefleksikan hakekat dari kesadaran manusia bukanlah lagi sebuah halangan yang harus disingkirkan dalam merumuskan suatu teori tentang realitas sosial yang memadai, melainkan justru sebagai kondisi kemungkinan bagi proses komunikasi yang menghasilkan makna sebagai pembentuk masyarakat. Ia mengubah titik tolak analisis teori-teori hermeneutika dari berfokus pada kesadaran individu menjadi berfokus dari perspektif sosialitas masyarakat yang menjadi ciri khas teori sistem.

Dengan tesis ini, ia menantang pengandaian-pengandaian dasar filsafat kesadaran yang menjadi pegangan semenjak abad ke-18. Pengandaian-pengandaian itu adalah tentang subyek yang utuh dan otonom, pengandaian tentang realitas sosial sebagai konsekuensi turunan dari intersubyektivitas antar individu, pengandaian bahwa proses komunikasi merupakan konsekuensi logis dari interaksi antar subyek, pengandaian bahwa komunikasi merupakan hubungan mental antara dua kesadaran yang berbeda, dan pengandaian bahwa bahasa merupakan representasi dari realitas.[32]

Untuk mengkritik semua pengandaian ini, Luhmann banyak dipengaruhi oleh fenomenologi. Ia mengintegrasikan fenomenologi untuk menganalisis fenomena kesadaran di dalam kerangka sistem sosial yang bersifat autopoiesis. Di dalam kerangka ini, makna adalah dampak dari produksi informasi. Dengan demikian, makna dimengerti sebagai produk dari sistem struktural yang bersifat autopoiesis yang terbentuk dari dan melalui pergerakan sistem tersebut tanpa pernah melewati batas-batasnya. Maka, tidak ada satu pun yang dapat disebut sebagai subyek transendental. Seluruh analisis dan refleksi teori sistem menolak adanya subyek otonom yang memiliki kesadaran penuh dan bersifat transendental. Yang mutlak adalah bahwa sistem itu ada, dan sistem tersebut menentukan makna maupun kesadaran semua elemen yang membentuk sistem tersebut. Manusia hanyalah salah satu elemen yang membentuk suatu sistem sosial.

Luhmann memandang bahasa bukan sebagai medium reflektif yang memungkinkan individu memahami dunianya, melainkan bahasa sebagai satu elemen fungsional di dalam sistem komunikasi sosial yang bersifat autopoiesis. Dan karena eksistensi sistem sosial tidak bisa diturunkan dari keberadaan subyek yang bebas dan otonom, maka sistem psikis manusia dan sistem sosial harus juga dipandang sebagai sistem autopoiesis yang berbeda. Setiap sistem tersebut, yakni sistem psikis dan sistem sosial, membatasi dirinya sesuai dengan logika internal masing-masing sistem dan kondisi “keterhubungan” (connectivity) masing-masing, yang pada akhirnya juga menentukan apa yang membentuk lingkungan (yang bukan sistem) bagi sistem tersebut. Tesis ini sebenarnya ingin menekankan status otonom dari masing-masing sistem yang ada di dalam realitas sosial, baik itu sistem psikis maupun sistem sosial.

Sistem terbentuk dari proses komunikasi yang melibatkan makna yang bersifat autopoiesis. Bagi Luhmann, komunikasi yang membentuk sistem sosial merupakan sintesis dari tiga elemen. Yang pertama adalah informasi (information), yang kedua adalah ungkapan (utterance), dan yang ketiga adalah pengertian (understanding). Ketiga proses ini memainkan peranan sentral di dalam proses komunikasi dan pembentukan makna. Dan karena makna merupakan kondisi kemungkinan bagi terciptanya sistem, dan karena makna juga merupakah elemen yang memungkinkan komunikasi, maka ketiga faktor diatas merupakan tiga pilar pembentuk sistem sosial.

Di dalam kerangka teori sistem, komunikasi berada di atas kesadaran, sehingga “komunikasi dianggap mampu mengamati kesadaran”.[33] Akan tetapi, pengamatan itu dilakukan dari luar, dan dalam batas-batas logika internal sistem yang tengah diamati. Komunikasi dan kesadaran beroperasi secara bersamaan tanpa melibatkan yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, ketika kesadaran dan sistem sosial telah benar-benar terpisah, relasi antara keduanya dapat disebut sebagai “interpenetrasi” (interpenetration), yakni suatu konsep yang menggambarkan status interdependensi antara sistem yang muncul bersama sebagai hasil dari proses evolusi sistem yang kompleks. Pada titik ini, sistem sosial selalu sudah mengandaikan sistem kesadaran, dan sebaliknya. Kesadaran dapat berpartisipasi di dalam komunikasi untuk membentuk sistem sejauh berfungsi sebagai salah satu unsur yang berperan di dalam karakter autopoiesisnya. Secara sederhana, kesadaran bersifat subordinat terhadap sistem, dan justru sistem yang mendeterminasi kesadaran individu, bukan sebaliknya. Sistem terbentuk dari jaringan-jaringan komunikasi yang bersifat autopoiesis yang melampaui kesadaran dan kebebasan individu.

Salah satu ciri khas pendekatan teori sistem adalah karakternya yang menjadikan struktur sebagai subordinat dari fungsi. Artinya, struktur berada di bawah fungsi. Hal inilah yang membedakan pendekatan teori sistem dengan teori-teori semiotika, hermeneutika, dan teori tindakan. Di samping itu, struktur di dalam kerangka analisis teori sistem dipandang sebagai tatanan yang muncul (emergent order) yang bersifat dinamis dan selalu berubah. Pendekatan teori sistem dimulai dari pengandaian bahwa komunikasi itu bersifat kontingen. Artinya, masyarakat itu sendiri adalah komunikasi. Komunikasi tidak dipandang sebagai perjumpaan dua individu atau lebih untuk menyampaikan maksud dan pendapat mereka tentang satu hal, melainkan komunikasi sebagai esensi dari masyarakat dan sistem itu sendiri. Luhmann, di dalam teori sistemnya, juga banyak menganalisis tentang kontingensi ganda (double contingency). Kontingensi ganda ini adalah “suatu keadaan yang memiliki potensial keruntuhan yang muncul dari situasi di mana dua kotak hitam membuat perilaku mereka menjadi kontingen terhadap perilaku yang lainnya.”[34] Baginya, suatu tindakan tidaklah mungkin dilakukan, jika problematika yang muncul akibat kontingensi ganda ini tidak diselesaikan. Parsons, yang banyak pendapatnya dikritik sekaligus menjadi inspirasi bagi analisis Luhmann, berpendapat bahwa persoalan kontingensi ganda ini dapat diselesaikan dengan mengacu pada konsensus sosial yang sudah ada sebelumnya, seperti norma-norma kultural, dan tradisi. Bagi Luhmann, pendapat semacam itu tidak memadai untuk menyelesaikan problematika kontingensi ganda, karena tidak mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang kemungkinan besar terjadi seiring dengan berjalannya waktu.

Marilah kita perjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan probematika kontingensi ganda (double contingency). Problematika kontingensi ganda muncul, karena adanya karakter pro aktif dan bebas dari mahluk hidup. Ketika mahluk hidup, manusia misalnya, bertindak dengan pola reaktif yang klasik, maka tindakannya akan mudah diramalkan oleh pengamat yang berada di luar dirinya. Walaupun begitu, setiap orang, meskipun ia bertindak dengan pola-pola yang jelas, tetap memiliki rasa ketidakpastian di dalam dirinya sendiri. Kepastian itu hanya dapat diperoleh, ketika ia mampu menegaskan dirinya, bertindak pro aktif, serta belajar untuk memprediksi situasi untuk menghindari situasi yang tidak diinginkan. Akan tetapi, pada waktu yang sama ketika seseorang menegaskan kepastian hidupnya, maka kemampuan pengamat luar untuk meramalkan pola-pola tindakan orang tersebut justru berkurang. Tindakan dan pola orang tersebut pun akan menjadi tidak dapat ditebak dan menjadi semakin kompleks.

Problematika kontingensi ganda muncul, ketika interaksi di antara dua orang yang bersifat pro aktif dan bebas terjadi. Begini, ketika seseorang telah menjadi pribadi yang pro aktif, dan kemudian ia bertemu dengan pribadi yang pro aktif lainnya, maka ia mengalami kesulitan untuk menebak reaksi dari lawan bicaranya, karena kedua-duanya tidaklah dapat dipastikan. Kedua orang yang memiliki pribadi yang bersifat pro aktif akan bertemu dalam situasi ketidakpastian. Dengan kata lain, dalam situasi semacam itu, ketidakpastian adalah satu-satunya yang pasti. “Problematika kontingensi ganda”, demikian Knodt, “memenuhi tuntutan fungsional katalistik di dalam munculnya tatanan sosial yang terus berubah secara konstan di mana ketidakstabilan merupakan satu-satunya sumber bagi kestabilan..”[35] Tentang hal ini, Luhmann menulis, “Dua kotak hitam, apapun sebabnya, berinteraksi satu sama lain. Keduanya menentukan sikapnya sendiri dengan mengacu pada dirinya secara kompleks di dalam batas-batasnya… keduanya mengasumsikan yang sama tentang yang lainnya. Dengan demikian, apapun usaha yang mereka lakukan dan berapapun waktu yang mereka gunakan, kedua kotak hitam tersebut tidaklah dapat dikenali..”[36]

Jadi, supaya komunikasi antara dua pribadi yang bebas dapat terjadi, maka beberapa aspek yang ada di dalam keduanya haruslah diungkapkan. Dengan kata lain, ketidakpastian kedua belah pihak haruslah dikurangi. Akan tetapi, jika komunikasi (communication) merupakan cara untuk menyelesaikan problematika kontingensi ganda ini, maka tiga elemen komunikasi, yakni informasi (information), ungkapan (utterance), dan pengertian (understanding) harus disintesiskan sedemikian rupa, sehingga dapat berfungsi produktif bagi sistem yang ada. Jika ketiga elemen tersebut dapat berfungsi produktif, maka komunikasi yang membentuk sistem dapat dilaksanakan lebih jauh. Di dalam komunikasi, pengertian (understanding) bukanlah tujuan (telos), seperti pada teori-teori hermeneutika. Sistem bersifat autopoiesis, maka komunikasi juga bersifat autopoiesis. Artinya, tujuan utama komunikasi adalah reproduksi dirinya sendiri, dan bukan mencapai kesaling pengertian (mutual understanding). Masalahnya berakar pada kesalahpahaman atas arti komunikasi itu sendiri. Di dalam teori-teori hermeneutika, terutama Habermas dan Apel, komunikasi dipahami sebagai suatu tindakan komunikatif yang berorientasi pada konsensus. Luhmann tidak sepakat akan hal ini. Pertama, konsensus tidaklah dapat dicapai melampaui lokalitas dan temporalitas, karena komunikasi tetap membutuhkan ketidaksetujuan untuk melanjutkan prosesnya. Jika konsensus universal dapat dicapai, maka sistem pun akan berakhir. Di sisi lain, konsep tentang tindakan, seperti tindakan komunikatif, tidak dapat menjadi dasar bagi suatu teori sosial, karena di dalam perspektif teori sistem, tindakan adalah suatu akibat (effect) dan bukan sebab (cause). Oleh karena itu, teori tindakan komunikatif tidak pernah dapat menjadi dasar bagi refleksi sosial, karena masih ada penyebab yang lebih mendasar dari itu, yakni sistem itu sendiri. Teori sistem memandang komunikasi bukan sebagai tindakan aktif, melainkan sebagai keniscayaan, sebagai kondisi kemungkinan bagi keberadaan sistem itu sendiri yang bersifat autopoiesis. Maka, komunikasi tidak pernah dapat dipahami sebagai sebuah tindakan.

Salah satu tema yang juga menjadi banyak perdebatan adalah tentang bahasa. Filsafat abad ke-20 seringkali ditandai dengan apa yang disebut “linguistic turn”. Artinya, bahasa menjadi pusat refleksi filosofis para filsuf. Mereka menunjukkan batas-batas dari bahasa dalam kaitannya dengan realitas. Derrida bahkan mengajak pembacanya untuk “melampaui” bahasa untuk mencapai suatu entitas “ketakmungkinan”, yakni suatu konsep posmetafisika yang tidak lagi ditentukan oleh makna, representasi, atau bahkan oleh kebenaran. Akan tetapi, refleksi semacam itu tidak menyentuh analisis tegangan tentang batas-batas antara sains dan ilmu-ilmu kemanusiaan. Di dalam The Postmodern Condition, Lyotard berpendapat bahwa sains modern tidak lagi membutuhkan suatu metadiscourse sebagai landasan legitimasinya. Jika tidak ada satu kerangka metadiscourse yang melandasi sains, apakah dialog dan interaksi antara berbagai displin sains masih mungkin? Di samping itu, analisis Lyotard justru mempertebal tembok pembatas yang sudah ada antara sains dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya. Teori sistem secara jelas dan tegas ingin menghancurkan tembok pembatas semacam itu. Teori sistem hendak meletakkan bahasa bukan sebagai pusat refleksi, tetapi sebagai “problematika umum dari tatanan yang muncul (emergent order)”.[37] Ketika distingsi antara bahasa (language) dan dunia (world) diganti dengan distingsi antara sistem (system) dan lingkungan (environment), maka bahasa dapat dipandang sebagai elemen yang membentuk dan mereproduksi proses komunikasi yang merupakan dasar dari sistem itu sendiri. Dengan demikian, teori sistem dan dekonstruksi tampaknya ingin “melampaui” peran bahasa itu sendiri, namun dengan cara yang berbeda, dan justru berlawanan. Derrida merefleksikan bahasa dengan tujuan untuk mengungkapkan aspek “ketidakmungkinan” (the impossibility) dari bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, ia hendak mencegah terjadinya formalisasi pemaknaan dan penggunaan bahasa. Sementara, bagi Luhmann, bahasa bukanlah sistem, melainkan satu elemen saja dari sistem tersebut. Sistem dan kesadaran tidaklah tergantung pada ada tidaknya bahasa, karena sistem maupun kesadaran dapat berjalan tanpa bahasa. Hal ini sama seperti bahwa interaksi sosial bahkan dapat berlangsung tanpa menggunakan bahasa itu sendiri (pre-verbal interaction). Alih-alih memaknai bahasa sebagai suatu sistem, ia merumuskan beberapa aspek khusus dari bahasa. Di satu sisi, bahasa sebagai makna (meaning) yang merupakan kesatuan antara aktualitas (actuality) dan potensialitas (potentiality), dan komunikasi (communication), di mana sintesis antara informasi (informasi), ungkapan (utterance), dan pengertian (understanding) terjadi.[38] Di sisi lain, bahasa sebagai medium, yakni bahasa sebagai simbol yang memungkinkan sistem sosial terbentuk melalui proses “generalisasi simbolik” (symbolic generalization). Bahasa sebagai simbol memungkinkan proses penyederhaan sistem sosial yang tadinya begitu kompleks, sehinggai stabilitas sistem dapat dicapai.

Proses komunikasi di dalam pembentukan sistem membutuhkan bahasa. Dalam arti ini, bahasa adalah titik tolak bagi refleksi tentang sistem. Teori sistem berpendapat bahwa pada level komunikasi, suatu sistem tidak dapat bergerak dan beroperasi di luar batas-batasnya sendiri. Untuk melakukan distingsi guna penyederhanaan kompleksitas masyarakat, maka sistem yang satu tentunya harus dibedakan dengan sistem yang lain. Pembedaan itu memerlukan proses pembatasan yang dilakukan dari dalam masyarakat itu sendiri, tetapi seolah-olah (as if) dilakukan dari luar masyarakat tersebut. Akan tetapi, pembatasan dari luar sistem ini hanyalah seolah-olah, karena pengamat pun pada akhirnya bagian dari sistem. Maka, ia tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari apa yang menjadi obyek analisisnya.

5. Landasan Epistemologis dan Modernitas

Luhmann merumuskan konsekuensi epistemologis dari teori sistemnya di dalam bab “Consequences of Epistemology”. Di dalam bab itu, ia berpendapat bahwa pembedaan antara sistem (system) dan lingkungan (environment) berjalan paralel dengan pembedaan antara pengetahuan (Erkenntnis) dan obyek pengetahuan (Gegenstand) tersebut. Pembedaan ini tidak terlalu menonjol di dalam bab-bab awal Social Systems. Analisis di dalam buku tersebut dimulai dengan deskripsi realitas. Kemudian, analisis pun berkembang dengan perumusan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi, jadi tidak alamiah. Ia menggunakan metode fenomenologi dalam hal ini. Luhmann menegaskan bahwa teori sistem tidak lagi mengacu pada teori pengetahuan (theory of knowledge) yang menggunakan rumusan-rumusan yang bersifat metanaratif (metanarrative), melainkan dengan “menjelaskan gerak kognitif dari teori di dalam kerangka yang bersifat evolutif.”[39] Artinya, teori sistem tidak mau menjelaskan masyarakat sebagai sistem dengan menggunakan analisis-analisis yang dibangun berdasarkan “keberjarakan” dengan masyarakat itu sendiri, melainkan dengan menjelaskan sistem yang ada melalui logika internal masyarakat secara fenomenologis.

Epistemologi semacam ini disebut juga sebagai epistemologi konstruktivis. Salah satu ciri khas dari epistemologi semacam ini adalah bahwa ia memandang seluruh bentuk pengetahuan sebagai kontingen, termasuk klaim pengetahuannya sendiri. Pengamatan akan obyek penelitian dilakukan sedemikian rupa, sehingga pengamat tetap ‘berjarak’ sekaligus berada di dalam obyek tersebut. Di dalam teori sistem, obyek penelitian tersebut adalah masyarakat, dan masyarakat adalah obyek analisis yang kompleks (complexity). Kompleksitas tersebut tidak akan pernah dapat dianalisis, jika kita tidak melakukan distingsi (distinction). “Tanpa distingsi”, demikian tulis Knodt, “realitas tidak akan pernah dapat diamati, walaupun realitas itu sendiri sama sekali tidak mengenal distingsi.”[40]

Epistemologi yang menjadi dasar dari teori sistem Luhmann juga disebut sebagai epistemologi post-transendental (post-transendental epistemology). Di dalam paradigma ini, pertanyaan tentang bagaimana pengetahuan itu mungkin di dalam kondisi masyarakat yang bersifat autopoiesis tidaklah dapat dipisahkan dengan kondisi sosial historis, di mana pengetahuan tersebut muncul. Maka, relasi antara pengetahuan dengan realitas sosial pun menjadi problem yang harus dianalisis lebih jauh. Dengan demikian, epistemologi post-transendental mengandaikan dan tidak dapat dipisahkan dari refleksi yang bersifat sistematik atas posisinya sendiri di dalam masyarakat modern. Bab terakhir buku Social Systems banyak mengupas tentang tema ini. Bahkan, bab ini dapat juga disebut sebagai awal dari sebuah buku baru, atau “buku di dalam buku”. Tampaknya, buku yang dimaksud ini adalah Die Wissenschaft der Gesellschaft (The Social Systems of Science, 1990).

Sementara itu, Luhmann mengkonsepsikan modernitas sebagai sistem diferensiasi (systems of differentiation). Seperti semua sistem yang bersifat autopoiesis, sistem sosial berkembang bersama waktu, karena kemampuannya untuk mengubah kompleksitas masyarakat dari tak tertata (unorganized complexity) menuju kompleksitas yang tertata (organized complexity). Penataan masyarakat tersebut dicapai melalui distingsi. Dengan ini, ia berpendapat bahwa modernisasi merupakan proses perubahan dari masyarakat yang terstratifikasi (stratified society) menuju masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional (functionally differentiated). Artinya, masing-masing sistem memiliki logika internalnya masing-masing, dan tidak ada sistem yang mampu mengatur, mendominasi, ataupun menggantikan sistem yang lain. Hal ini terjadi pada akhir abad ke-18, di mana tatanan masyarakat, terutama masyarakat Eropa, yang diatur secara hirarkial digantikan oleh pola distribusi yang mencangkup berbagai sistem yang berbeda-beda, seperti ekonomi, seni, hukum, dan politik, dan kesemuanya beroperasi dengan logika internalnya masing-masing. Tampaknya akan sangat menarik, jika seluruh analisis Luhmann tentang teori sistem ini ditempatkan dalam konteks perdebatan postmodernisme.

“Jika ada perbedaan yang signifikan antara analisis Luhmann dengan analisis modernitas maupun postmodernitas”, demikian tulis Knodt, “perbedaan tersebut haruslah, pada hemat saya, dilihat pada keketatan analisis teoritis yang dilakukan Luhmann melalui pemikiran yang mendalam dan mencangkup semua konsekuensi dari modernitas- bukan karena masyarakat tempat kita hidup sekarang ini adalah masyarakat yang paling baik, tetapi karena penerimaan tanpa nostalgia kepada pembatasan struktural dari modernitas adalah suatu prakondisi, dan mungkin satu-satunya cara, untuk menemukan solusi kreatif terhadap masalah-masalah yang timbul.”[41]

6. Kesimpulan

Setelah menempuh ‘rimba’ analisis terhadap beberapa tesis pokok Luhmann di dalam Social Systems, ada baiknya kita rapatkan seluruh tulisan ini ke dalam beberapa butir kesimpulan. Pertama, teori sistem Niklas Luhmann merupakan suatu alternatif cara berpikir ataupun kritik terhadap teori-teori hermeneutika, baik postmodern maupun teori kritis, terutama dengan analisisnya yang banyak terinspirasi dari teori-teori fisika modern, biologi, dan teori-teori sibernetik. Kedua, ia memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang bersifat autopoiesis. Artinya, masyarakat adalah sistem yang bersifat cukup diri, dan mampu membentuk serta mereproduksi dirinya sendiri lepas dari pengaruh individu-individu yang ada di dalamnya. Ketiga, Luhmann memandang komunikasi sebagai elemen utama pembentuk sistem. Komunikasi merupakan kondisi-kondisi yang memungkinkan adanya sistem. Akan tetapi, komunikasi disini bukanlah dalam artian teori-teori hermeneutika, yakni sebagai diskursus antara dua pihak yang saling berbeda kepentingan untuk mencapai konsensus. Melainkan, komunikasi sebagai gerak niscaya yang membentuk sistem.

Keempat, ia melihat kesadaran bukan sebagai elemen konstruktif yang menciptakan masyarakat dan berperan aktif terhadap masyarakat tersebut, melainkan sebagai bagian dari sistem, yakni sistem psikis, di mana kesadaran tersebut justru sangat tergantung pada operasionalisasi sistem sosial yang ada. Dengan kata lain, kesadaran, dan juga kebebasan, yang dalam kosa kata Luhmann disebut juga sebagai kontingensi ganda, bersifat subordinat terhadap sistem sosial. Kelima, bagi Luhmann, perubahan bukanlah hasil dari sikap aktif dari individu yang sadar diri dan bebas, melainkan dari munculnya tatanan yang baru (emergent order) setelah tatanan lama menjadi stagnan. Dalam konteks ini, kemunculan (emerge) tersebut tampak sebagai sesuatu yang niscaya. Kritik saya terhadap Luhmann juga berkaitan dengan tesis ini. Apakah keniscayaan tersebut merupakan suatu optimisme tanpa dasar? Dapatkah kita mengharapkan bahwa perubahan akan muncul, jika kita berdiam diri menunggu munculnya tatanan yang baru setelah tatanan yang lama mengalami stagnasi?

Supaya tidak terlalu masuk ke dalam kesimpulan yang mendetil, dan lupa pada gambaran besar teori sistem Luhmann, maka saya akan mencoba merumuskan tesis Luhmann di dalam Social Systems ke dalam satu kalimat. Teori sistem mengajak kita untuk berpikir kembali tentang makna kesadaran, makna kebebasan, serta makna komunikasi, serta menempatkan seluruh analisis kita tentang hal-hal mendasar tersebut di dalam relasinya dengan ilmu-ilmu sains, seperti fisika modern dan teori-teori biologi, sehingga optimisme naif dari cita-cita pencerahan dapat kita tanggapi secara kritis dengan berbekal analisis yang bersifat multidispliner tanpa menghilangkan bobot emansipasinya. Teori sistem, pada hemat saya, dapat melengkapi amunisi teoritis kita dalam menjelaskan berbagai problematika sosial yang ada sekarang ini, dan mungkin bisa menjadi benih bagi solusi yang kreatif atas masalah-masalah tersebut. Semoga…

Daftar Acuan

Luhmann, Niklas, Social Systems, California: Stanford University Press, 1995

Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, Cambridge, Cambridge Univ Press, 1992.

http://en.wikipedia.org/wiki/Autopoiesis


[1] Seluruh tulisan ini diinspirasikan dari pembacaan terhadap pengantar Eva M. Knodt terhadap buku Social Systems tulisan Niklas Luhmann. Kutipan berbahasa Jerman dan dari sumber sekunder juga diasalkan dari tulisan Knodt tersebut. Tulisan ini memang berawal dari presentasi saya atas tulisan Knodt pada kuliah Masyarat: Teks dan Sistem. Kutipan dari tulisan Knodt akan diberikan secukupnya, terutama tulisan-tulisan yang secara langsung harafiah mengutip dari Knodt.

[2] Lihat, Eva M. Knodt, “Foreword”, dalam Niklas Luhmann, Social Systems, California: Stanford University Press, 1995, hal. x. “But the questions remain. The need for more pertinent analyses of today’s complex social reality and the correponding demand for methodologies that can “illmuniate convergences between disclipines”.”

[3] Knodt, 1995, hal. xi. “..such as hermeneutics, structuralism, and analytical philosophy have been unable to halt the erosioon of modernity’s trust in its own self-descriptions…”

[4] Ibid. “…For Luhmann, the end of metanarratives does not mean the end of theory, but a challenge to theory, an invitation to open itself to theoretical developments in a number of disclipines which, for quite some time, have been successfully working with cybernetic models that no longer require fiction of external observer..”

[5] Bdk, Stephen Hawking, A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes, New York, 1988, hal. 12, seperti dikutip Knodt, 1995, hal. Xii. Knodt menulis, “..Modern physics continues dream of a grand unified theory that would explain the entire physical universe, including theory’s own possibility..”

[6] Knodt, 1995, hal. xii. “…There is no longer Archimedian point from which this network could be contained in all embracing vision…”

[7] Niklas Luhmann, Archimedes und wir: Interviews, Dirk Baecker dan Georg Stanitzek (ed), Berlin, 1987, hal. 260, seperti dikutip oleh Knodt, 1995, hal. xiii. “..Luhmann himself prefer to speak of a capacity to control heterogeneties through concepts…”

[8] Ibid, hal. 141, dalam Knodt, ibid, “…as a sociologist, one can do anything without being confined to particular topic…”

[9] Luhmann, 1987, hal. 125., dalam Social Systems, hal. xiv. “…solidly built theories…”

[10] Lihat, Knodt, xv. “…as Luhmann continued to elaborate his theory of social systems in the direction of a theory of modern society… his work began to receive serious attention in academic circles in and outside sociology…”

[11] Bdk, ibid “…The label ‘radical constructivism’ – a coinage by the cognitive physchologist… does not stand for a single doctrine or a unified theory, but refers to a growing body of literature that explores, from different angles and in a variety of contexts, a set of problems related to the idea of autopoietic closure…”

[12] Maturana dan Varela, 1980, hal. 78. Coba lihat buku ini Maturana, Humberto & Varela, Francisco ([1st edition 1973] 1980). Autopoiesis and Cognition: the Realization of the Living. Robert S. Cohen and Marx W. Wartofsky (Eds.), Boston Studies in the Philosophy of Science, New York, Oxford University Press, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Autopoiesis “…Autopoiesis literally means "auto (self)-creation" (from the Greek: auto – αυτό for self- and poiesis – ποίησις for creation or production) and expresses a fundamental dialect between structure and function. The term was originally introduced by Chilean biologists Humberto Maturana and Francisco Varela in 1973..”

[13] Ibid, hal. 89. “…"An autopoietic machine is a machine organized (defined as a unity) as a network of processes of production (transformation and destruction) of components which: (i) through their interactions and transformations continuously regenerate and realize the network of processes (relations) that produced them; and (ii) constitute it (the machine) as a concrete unity in space in which they (the components) exist by specifying the topological domain of its realization as such a network." (Maturana, Varela, 1980, p. 78)…"[…] the space defined by an autopoietic system is self-contained and cannot be described by using dimensions that define another space. When we refer to our interactions with a concrete autopoietic system, however, we project this system on the space of our manipulations and make a description of this projection." Sebagaimana dikutip di dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Autopoiesis

[14] Luhmann, 1987, hal. 93, seperti dikutip dalam Social Systems, hal. xv-xvi. “..there is nothing more ‘annoying’ to him than the instananeous commodification of new ideas in terms of what has been thought before…”

[15] Lihat, Knodt, 1995, hal. xvi. “..Social Systems, as Luhmann admits, is a difficult book, ambitious in its scope and relentless in its abstraction…”

[16] Luhmann, 1987, hal. 128, seperti dalam Social Systems, hal. xvi. “…Reading Social Systems for the first time can be quite an irritating experience unless the reader has enough patience, imagination, intelligence, and curiosity. Knodt mengutip dari wawancara dengan Luhmann, Archimedes un Wir, op.cit.

[17] Knodt, 1995, hal. xvii. “In positing a difference between ‘what’ questions and ‘how’ questions, the theory of social systems situated itself with….a level a abstraction where,..to speak in Kantian sense, questions concerning conditions of possibility arise…”

[18] Di dalam bahasa Jerman, Wissenschaft mengacu baik pada ilmu-ilmu alam, maupun ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Lihat, Ibid, hal. 493, dalam Social Systems, hal. xvii. “They focus on a specific problem –the problem of social complexity- from within one of society’s particular subsytems, science…”

[19] Knodt, 1995, hal. xvii-xviii. “What we call ‘madness’ is nothing more than the hyper-complexity of psychic systems that can no longer distinguish themselves from their environment..”

[20] Ibid, hal. xviii. “In order to cope with this problem, theory must perform its reductions in a strategic manner, that is, with an eye toward potential increase in theoretical complexity..”

[21] Ibid, hal. xix. “Luhmann explicitly invites the reader to experiment with his theory and presents it in such a way as to fascilitate recombination by constructing his text in small, relatively discrete units, which progressively open up and explore, with further and further amplification, a given question.”

[22] Ibid, “No matter what approach one takes, however, there is no shortcut through a book that ‘resembles a labyrinth more than a free way off into the sunset’.”

[23] Humberto Maturana, “Autopoiesis”, dalam Milan Zeleny (ed), Autopoiesis: A Theory of Living Organization, New York, 1981, hal. 21, seperti dikutip Knodt, 1995, hal. xx. “According to Maturana, such systems constitute ‘networks of productions of components that recursively, through their interactions, generate, and realize the network that produces them and constitute, in the space in which they exist, the boudaries of the network as components that participate in the realization of the network..”

[24] Luhmann, 1987, hal. 3, seperti dikutip Knodt, hal. xx. “..they not only produce and change their own structures but everything that is used as a unit by the system is produced as a unit by the system itself.”

[25] Knodt, 1995, hal. xxi. “..the basic idea of self-organization is as old as philosophy, with roots reaching back well into antiquity..”

[26] Ibid. “…the system/environtment distinction was redefined within a general theory of self-referential systems…”

[27] Heinz von Foerster, “On Self-Organizing Systems and Their Environment”, dalam M.C Yovits dan S. Cameron (ed), Self Organizing Systems, London, 1960, hal. 31-50, seperti dikutip Knodt, 1995, hal. Xxii. “…In 1960, Heinz von Foerster introduced the ‘order from noise’ principle as the defining charateristics of self-organizing systems…”

[28] Lihat, Knodt, 1995, hal. xxiv. “Of course, the point of reference for Luhmann is no longer the transcendental subject but the empirical operations of self-referential systems.”

[29] Ibid. “Yet precisely his attempt to bring together these two traditions opens up a space where traditional disciplinary configurations opens up a space where traditional disciplinary can be renegotiated in ways that may indeed lead the humanities beyond hermeneutics into the information age.”

[30] Johann Gottfried Herder, “Über Thomas Abbts Schriften”, dalam Sämtliche Werke, Bernhard Suphan, 33 volume, Berlin, 1877-1913, vol. 2, hal. 258, seperti dikutip Knodt, 1995, hal. xxiv. “We go round with a vivid but confused idea of ourselves as if in a dream of which we occasionally recall one piece or another, cut off, incomplete, without connection.”

[31] Lihat, Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, Cambridge, Cambridge Univ Press, 1992, dalam Knodt, 1995, hal. xxv. “Post structuralist intervention into the hermeneutic space have been frustrated by thus difficulity: the critique of the idealizing assumptions of the hermeneutic tradition can always be shown to affirm, at least in a minimal sense, the practical validity of precisely that which it calls into question.”

[32] Lihat, Knodt, 1995, hal. xxv. “…the corresponding idea of language as a representation of such contents.”

[33] Ibid, hal. xxvii. “Communication can observe consciousness,…”

[34] Ibid, hal. xxviii. “..a state of potential paralysis that results from a situation in which two black boxes make their own behaviour contingent upon the behaviour of the other.”

[35] Ibid, hal. xxix. “the problem of double contingency fulfills a catalytic function in the emergence of a constantly changing social order whose instability is the only source of its stability.”

[36] Luhmann, 1995, hal. 109. “Two black boxes, by whatever accident, come to have dealings with one another. Each determines its own behaviour by complex self referential operations within its own boundaries. Each assume the same about the other. Therefore, however many efforts they exert and however much time they spend..the black boxes remain opaque to one another.”

[37] Knodt, 1995, hal.xxxii. “..general problematic of emergent order…”

[38] Lihat, ibid, “.. aspects of language: meaning… and communication (the synthesis of information, utterance, and understanding)… on the one hand, and, on the other, a notion of language as medium.”

[39] Ibid, hal. xxxxiv. “…it seeks to explain the cognitive operations of theory within an evolutionary framework..”

[40] Ibid. “..without distinctions there would be no observable reality, yet reality itself knows no distinction..”

[41] Ibid, hal. xxxvi. “If there is a significant difference between Luhmann’s diagnosis of modernity and the contemporary discourse on postmodernism, it would have to be sought, it seems to me, in the theoretical rigor with which Luhmann thinks through and embraces the consequences of modernization- not because the society which we live is the best of all possible worlds, but because an acceptance without nostalgia of the structural limitations of modernity is a precondition, and possibly the only way, of finding creative solutions to its problems…”

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

11 tanggapan untuk “Teori Sistem Masyarakat Niklas Luhmann”

  1. Bagaimanakah terjemahan bahasa indonesia untuk perkataan ini ya? terima kasih pak.

    horizon of sense (Sinnhorizont) = ?

    Suka

  2. Sad, udah baca berkali-kali tetep ga ngerti, jadi teori sistem nikhlas luhmann itu seperti apa contohnya?. Tolong dijelasin secara ringkas pak 😦

    Suka

  3. Kehidupan adalah kumpulan sistem. Ia bersifat cukup diri. Walaupun cukup diri, sistem-sistem tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Misalnya sistem biologis tubuh manusia dengan sistem sosial.

    Suka

  4. Pak..saya berusaha memahami pemikiran Luhmann ini. Tp sampai sekarang belum terlalu paham. Mungkin kalau uraiannya dibuat pointers lbh mudah dipahami ya.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.