Agama sebagai Keterarahan kepada Yang Absolut

Agama Sebagai Keterarahan pada “Yang Absolut”
Refleksi G.W.F Hegel tentang Agama “..Tanpa Dunia, Tuhan bukanlah Tuhan…”
HegelAgama mungkin adalah salah satu fenomen sosial yang sudah setua dengan peradaban manusia itu sendiri. Sejak nenek moyang kita masih mencari makan dengan jalan berburu dan meramu, agama sudah menjadi bagian integral dalam hidup manusia, apapun bentuk agama tersebut.
Kesadaran manusia meningkat sejalan dengan perkembangan jaman dan teknologi. Agama pun kini telah berevolusi menjadi suatu bentuk institusi lengkap dengan pelbagai ajaran, maupun ritual.
Yang lebih jelas lagi, kini agama telah menjadi suatu institusi, yang mungkin bisa disamakan dengan sebuah “perusahaan” besar yang memiliki ideologi ataupun ritual tertentu. Seringkali, agama justru membuat manusia menjadi terasing dari dirinya sendiri, karena terlalu menerapkan aturan-aturan yang terkadang tidak manusiawi dan memperbodoh.
Walaupun tahu bahwa agama kerap bisa menjadi pendorong proses dehumanisasi, yang mungkin juga tidak sesuai dengan cita-cita awal agama tersebut didirikan, tetapi tetap saja orang masih percaya akan agama, dan melihat agama sebagai bagian integral dari hidup mereka. Kepercayaan tersebut tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang “tidak berpendidikan”, tetapi juga oleh orang-orang yang intelektualitasnya cukup terpandang di komunitasnya.
Lepas dari diktum Marx, bahwa agama sebagai opium, sebagai ideologi, sebagai ilusi yang perlu, kita perlu bertanya-tanya, mengapa orang tetap beragama sampai sekarang ini? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya mengacu pada filsuf yang konon menjadi inspirator didalam pemikiran Marx sendiri, yakni Hegel.
Hegel menawarkan pandangan yang sama sekali baru tentang agama. Ia tidak jatuh didalam dikotomi dan kontradiksi, melainkan mengajukan pemahaman dan refleksi yang sepenuhnya total, koheren, dan rasional tentang agama.
Mungkin dengan mendengarkan sejenak beberapa tesis utama Hegel tentang agama, kita dapat semakin mengerti, mengapa agama, seberapapun ekses negatif yang diakibatkannya, tidak akan pernah dapat dilepaskan dari dalam kehidupan manusia.

Hegel Tentang Agama
Konsep Hegel tentang agama masihlah menjadi tema perdebatan sampai sekarang ini. Bahkan, banyak ahli mengatakan, salah satunya adalah Anselm K. Min, bahwa perdebatan tersebut banyak terjadi pada pernyataan Hegel, bahwa agama mengandung isi absolut yang sama dengan filsafat.
Akan tetapi, isi absolut yang terdapat didalam agama, yang masih dalam bentuk penampakan-penampakan tersebut, haruslah dilampaui kedalam bentuk filsafat, yakni dalam bentuk konsep-konsep. Relasi antara filsafat dan agama didalam pemikiran Hegel cukup gamblang dan mudah dimengerti.
Hegel sangat yakin, bahwa makna dan nilai agama berakar didalam kehidupan spiritual manusia yang bersifat ontologis, sehingga tidak dapat dilepaskan. Agama merupakan tempat penyaluran bagi kerinduan manusia terhadap Tuhannya.
Ia berpendapat bahwa Tuhan, yang merupakan obyek dan tujuan dari agama, adalah “Obyek tertinggi, dan yang paling absolut….Isi yang Absolut pada dirinya sendiri….. Kebenaran Absolut itu sendiri….” , dan juga “….Pusat tetap yang menginspirasikan semua hal … hal yang tidak terkondisikan oleh apapun , yang berada untuk dirinya sendiri, awal yang absolut dan tujuan pada dirinya sendiri…”
Ketika pengalaman manusia yang terbatas diwarnai dengan kontingensi dan partikularitas, Tuhan adalah Esensi yang absolut, sesuatu yang benar-benar universal. Dengan kata lain, Tuhan adalah Roh Absolut, dimana kesatuan ultim antara subyektifitas dan obyektifitas terwujud.
Sedangkan agama, bagi Hegel, adalah titik pijak absolut dari kesadaran, yang juga merupakan “pusat ultim” yang mampu menampung semua perjalanan dan kehausan spiritual manusia, baik itu dilevel sosial, kognitif, ataupun pemenuhan kehendak personalnya. Tidak ada isi yang bersifat absolut di luar agama.
Agama adalah dasar dan “pemenuhan dari roh” yang mampu menampung semua perjalanan spiritual manusia, seperti kesadaran, kesadaran diri, dan pikiran manusia. Keutamaan moral dan politis manusia ditemukan didalam agama, dan muncul juga dari agama itu sendiri.
Sebagai ajaran tentang “kebenaran absolut” dari roh universal, agama bukanlah sesuatu yang asing bagi manusia, melainkan sudah inheren didalam fondasi ontologis manusia itu sendiri, yakni sebagai “orientasi primordial manusia”. Pendek kata, bagi Hegel, agama adalah “takdir, keniscayaan, dan kebenaran dari roh itu sendiri.”
Hegel juga menyadari adanya kesenjangan yang cukup besar antara penampakan-penampakan yang ada didalam agama dengan realitas. Dalam hal ini, ia tampak searah dengan para filsuf yang mengritik agama sebagai sumber dari “kebingungan” dalam memahami realitas, dan menyebabkan manusia menjadi terasing dari dirinya sendiri.
Alih-alih menjadikan manusia utuh dan penuh, seperti yang sering dijanjikannya, agama justru menekan otonomi dan otoritas manusia, sehingga justru menjadi alat dehumanisasi. Dalam hal ini, Hegel mencap agama Katolik sebagai “agama perbudakan” beroposisi dengan Lutheranisme sebagai “agama kebebasan”.
Ia punya alasan tersendiri atas pendapatnya tersebut. Praktek-praktek doa didalam agama Katolik, penggunaan gambar-gambar orang kudus, kerinduan atas kewajiban membuat manusia menunggu dan berharap datangnya kebenaran dari “luar dirinya”.
Seharusnya, kebenaran merupakan hasil dari kebebasan “dari dalam diri” manusia yang otentik. “Semua bentuk roh yang mengikat ini berada dalam bentuk berada-di-luar-dirinya-sendiri, sehingga konsep menjadi dikaburkan dan dirusak sampai ke akar-akarnya,” demikian Hegel, “hukum, keadilan, moralitas, dan kesadaran, tanggungjawab, dan kewajiban dihancurkan sampai ke akar-akarnya.”
Praktek agama semacam itu, bagi Hegel, merupakan”praktek eksternal, sehingga tidak membebaskan, tidak spiritual, dan mencerminkan sikap takhyul.”
Walaupun Hegel memiliki banyak kesearahan dengan para filsuf pengritik agama lainnya, tetapi rumusan yang diberikan Hegel sebenarnya cukup berbeda. Tidak seperti para filsuf lainnya yang sering mengritik agama dan kemudian mereduksikannya melulu kepada moralitas, politik, ataupun sains, dan kemudian mencapnya sebagai mitos dan tahyul, ia menempatkan agama sebagai salah satu fondasi metafisis dari keberadaan manusia, yakni dorongan imanennya untuk mencapai “yang absolut”.
Agama adalah bentuk keterarahan manusia terhadap yang absolut dan merupakan bentuk esensial dari kesatuan didalam kesadaran manusia itu sendiri.
Pertama-tama, Hegel menekankan bahwa agama adalah sesuatu yang bersifat instrinsik didalam diri manusia, sehingga agama membentuk dorongan dari roh manusia terhadap pemenuhan dorongan mendasar ontologisnya tersebut. Dorongan mendasar ontologis tersebut hanya dapat dipenuh oleh suatu entitas yang konkret, real, universal, tidak terkondisikan, yakni Tuhan.
“..adalah absurd untuk berpikir bahwa para pastur telah menciptakan agama untuk menipu orang-orang”, demikian Hegel, “karena manusia membiarkan dirinya untuk dimasukkan berbagai macam ajaran tentang yang paling ultim dan yang tertinggi…” Dari rumusan ini, kita bisa melihat bahwa ia tidak setuju dengan Hume, Comte, Freud, dan para ateis humanis yang mengklaim bahwa agama hasil dari nafsu-nafsu rendah dan ketidaksadaran manusia.
Disamping itu, Hegel juga tidak setuju dengan para teolog yang menyadarkan refleksi mereka pada keajaiban-keajaiban dan bukti-bukti sejarah. Religiositas, yakni keterarahan pada yang absolut, merupakan karakter primordial dari roh manusia yang bersifat ontologis didalam diri manusia, dan hanya perlu untuk disadarkan kembali dengan cara-cara yang cocok, yakni “…kesaksian dari roh kepada roh…”
“Fondasi absolut dari kepercayaan” demikian Hegel, “ dan saksi absolut dari isi agama adalah kesaksian dari roh, bukanlah keajaiban, tidak eksternal, dan tidak membutuhkan pembenaran sejarah. Pembenaran dari isi sejati agama terletak pada kesaksian dari roh seseorang yang isinya sesuai dengan roh saya serta memenuhi kebutuhan dari roh saya. Roh saya mengenal dirinya sendiri, mengenal esensinya sendiri.”
Disisi lain, ia juga berpendapat bahwa kebutuhan ontologis manusia akan yang absolut ini tidaklah dapat digantikan dengan aktivitas terbatas manusia, seperti aktivitas intelektual, moral, politik, maupun kepuasaan yang bersifat biologis. Hegel tidak ragu-ragu utnuk menghina para pemikir yang mau menggantikan tendensi spiritual dari roh manusia ini dengan sesuatu yang bersifat terbatas, seperti kemanusiaan misalnya.
Dengan kata lain, humanisme sekular memiliki pengertian palsu tentang status ontologis manusia, serta terlalu meremehkan potensialitas dari roh manusia itu sendiri.
Disamping itu, agama-agama besar telah berulang kali melakukan kesalahan dengan memecah realitas menjadi dua, seperti membedakan antara agama yang berdasarkan kepercayaan dengan sains yang berdasarkan pada intelektualitas, sehingga juga memecah kesatuan dari kesadaran manusia itu sendiri. Sains mempertentangkan dirinya dengan agama sama seperti rasionalitas mempertentangkan dirinya dengan perasaan.
Menurut Hegel, roh manusia, kesadarannya, rasionalitasnya, adalah satu. Secara prinsip tidaklah mungkin memisahkan manusia atas pikiran dan perasaannya.
Jika kita melakukan pemisahan tersebut, maka keterasingan manusia didalam bentuk sekularisme modern sama besarnya dan sama buruknya dengan alienasi yang diakibatkan oleh agama-agama besar. Dan sang pengritik akan jatuh kembali pada apa yang sebenarnya dikritiknya.
Situasi keterasingan manusia, menurut Hegel, hanya dapat dihadapi dengan analisis yang bersifat metafisis atas struktur terdalam dari keberadaan manusia. Ia berpendapat bahwa keberadaan manusia secara esensial selalu merupakan kesatuan dari subyektifitas, yakni kesadaran, dan obyektivitas, yakni realitas.
Kesadaran selalu berarti kesadaran akan suatu obyek, dan obyek hanyalah menjadi obyek dalam relasinya dengan kesadaran. Kesatuan antara kesadaran akan obyek ini tidak didapatkan didalam pengalaman sehari-hari yang bersifat terbatas, melainkan didalam roh absolut, yakni totalitas yang tidak terkondisikan, atau didalam bahasa agama disebut sebagai Tuhan.
Kesadaran akan suatu obyek dan kesadaran akan diri juga adalah satu dan merupakan fakta yang sama. Ada kesatuan tak terpisahkan antara subyek yang hadir-bagi-yang-lain dan hadir-bagi-dirinya-sendiri.
Keterasingan manusia bukanlah sesuatu yang bersifat kontingen, melainkan diakibatkan oleh kesalah pahaman akan kesadaran manusia. Berpikir dikotomis dan terpecah tentang kesadaran manusia akan membuat keterasingan muncul.
Untuk mengatasi keterasingan kesadaran, maka kesatuan antara yang obyektif dan yang subyektif haruslah dicapai.
Memang, realitas adalah suatu entitas yang bersifat diferentiatif, namun diferensiasi tersebut tidak menegasi totalitas, karena totalitas dalam arti sebenarnya adalah totalitas yang terdiferensiasi, namun tetap dalam satu keutuhan. Begitu pula dengan aspek subyektif manusia, yakni kesadaran, yang juga merupakan satu kesatuan, tetapi kesatuan yang memiliki diferensiasi.
Karakter totalitas dan kesatuan antara yang subyektif dan yang obyektif tetap lebih kuat dari diferensiasi ataupun isolasi. Akan tetapi, diferensiasi juga adalah sesuatu yang real, namun bersifat subordinatif dari totalitas dan kesatuan.
Segala bentuk pemisahan antara Allah dan manusia, dunia sekarang dan dunia nanti, Gereja dan Negara, yang suci dan yang profan masih mendapat tempat, tetapi dalam kerangka pemahaman menyeluruh tentang totalitas dan realitas. Nah, semua kontradiksi ini terdapat didalam agama-agama besar, dan Hegel menyebutnya sebagai “kesadaran yang tidak bahagia”.
Agama-agama besar masih terjebak pada fragmentasi realitas dan kesadaran, karena masih berada di level penampakan-penampakan. Hal yang sama juga terjadi dengan pemikiran sekular yang cenderung terjebak pada penampakan-penampakan dikotomis antara yang sekular dan yang suci.
Agama terjebak pada pemahaman akan realitas yang bersifat eksternal, sementara pemikiran sekular, sambil masih mempertahankan dikotomi antara yang profan dan yang suci, terjebak pada pemahaman akan realitas yang melulu empiris. Dalam kedua kasus tersebut, ikatan primordial akan yang absolut dalam bentuk kesatuan dan totalitas absolut tidak dipertimbangkan, dan distingsi antara yang profan dan yang suci pun berlanjut.
Hegel menolak kedua pandangan tersebut, karena tidak memadai untuk menjelaskan kesatuan dan totalitas dari yang absolut. Kesalahpahaman akan realitas dan kesadaran sebagai fragmentasi merupakan sumber dari ketidakmemadaian para teolog maupun para pemikir sekular.
Solusi yang ditawarkan Hegel adalah dengan mengubah perspektif yang bersifat dikotomis tersebut, dan mencapai rekonsiliasi antara penampakan dalam agama dan pengertian didalam pemikiran sekular dalam bentuk yang lebih tinggi, yakni rasio manusia, pemikiran spekulatif, atau filsafat.
Rekonsiliasi juga harus dicapai dengan memandang agama tidak terpisah dari moralitas, politik, dan sains, karena agama merupakan keniscayaan dari kesadaran yang ditemukan didalam struktur ontologis terdalam dari manusia dan realitas, dan merupakan kesatuan dari roh manusia itu sendiri. Dengan kata lain, Hegel mau menegaskan bahwa agama merupakan keniscayaan absolut dari struktur ontologis kesadaran manusia.
Ia tidak setuju dengan para pemikir yang menyamakan agama melulu dengan perasaan belaka. Perasaan adalah “subyektivitas dalam artinya yang paling buruk”, dan tak mungkin dengan sendirinya menciptakan agama.
Jika para pemikir tersebut tetap bersikukuh dengan berpendapat bahwa agama adalah masalah perasaan semata, maka dapat dikatakan bahwa binatang mungkin adalah mahluk yang paling religius diantara mahluk-mahluk lainnya.
Agama tidak bisa direduksikan pada kebergunaannya semata, karena dengan begitu kita sudah menyamakan agama dengan cara, yakni sesuatu yang lebih bersifat teknis daripada ontologis. Hegel berpendapat bahwa agama tidaklah pernah menjadi teknis dalam bentuk keniscayaan yang bersifat eksternal, melainkan merupakan keniscayaan absolut dari roh manusia dan tujuan pada dirinya sendiri.
Seluruh filsafat agama Hegel adalah upaya untuk merekonsiliasi berbagai dikotomi dan distingsi antara realitas dan kesadaran, dan didalam realitas dan kesadaran, serta kemudian memberikan tempat bagi keniscayaan ontologis, yang merupakan fondasi metafisis dari agama, didalam struktur dasar realitas dan kesadaran. Ia mau merumuskan fondasi metafisis dari agama.

Simpul Akhir
Secara keseluruhan, Hegel mau mengevaluasi makna dari agama bagi kehidupan manusia, sekaligus mengritik konsepsi tradisional agama-agama yang sudah ada. Bagi Hegel, agama adalah keniscayaan ekspresi roh manusia yang bersifat universal. Dengan memahami agama seperti itu, maka segala bentuk pembedaan dan dikotomi dapat dilampaui, terutama karena pembedaan tersebut terjadi, karena orang berhenti di level pengertian dan penampakan, dan belum memasuki yang absolut.
Dari sudut pandang ontologis, keniscayaan universal dari agama ditemukan pada struktur terdalam roh manusia, yakni di dalam kemampuan mentransendensi diri ke arah yang absolut. Yang absolut tersebut sudah imanen di dalam yang terbatas, karena segala sesuatu yang terbatas hanya mungkin menjadi terbatas, jika ada yang absolut, yakni yang tak terbatas.
Ketidak terbatasan dan keterbatasan, sekular dan suci, manusia dan Tuhan tidak perlu diletakkan secara dikotomis, karena mereka saling mengandaikan satu sama lain. Setiap aktivitas yang bersifat terbatas, sejauh ia mengandaikan transendensi diri, sudah merupakan aktivitas religius, dan setiap keterhubungan dengan yang absolut harus selalu sudah tertanam pada dan melalui aktivitas yang bersifat terbatas.
Pengaruh pemikiran Hegel tentang agama ini dapat kita temukan pada pemikiran Karl Rahner dan Paul Tillich. Bagi mereka berdua, metafisika hanya mungkin sebagai refleksi yang bersifat transendental terhadap kondisi-kondisi apriori dari manusia.
Kemampuan manusia untuk mencapai yang absolut juga merupakan pengandaian bagi keterbatasan aktivitas manusia, dan juga sebaliknya. Yang tak terbatas tidaklah bersifat ekternal, melainkan imanen didalam struktur dasar manusia itu sendiri.
Dengan kata lain, metafisika atas yang absolut hanya mungkin, karena manusia memiliki dimensi keterbatasan didalam aktivitasnya.
Bagi Rahner, Tillich, dan juga Hegel, titik tolak dari pemikiran tentang agama adalah kemampuan manusia untuk mentransendensi dirinya ke arah totalitas ada, yakni yang absolut itu sendiri. Subyektifitas manusia yang mampu mentransendiri dirinya sendiri mencerminkan struktur obyektifitas dari realitas itu sendiri, dan dari yang absolut.
Dengan demikian, terutama didalam pemikiran Tillich, “ada” adalah kesatuan antara Logos subyektif dan Logos Obyektif.
Struktur ontologis manusia, yakni Logos subyektif, memungkinkan manusia mentransendir dirinya, sehingga ia mampu berpikir secara metafisis ke arah yang absolut. Metafisika, secara esensial, hanya menjadi mungkin, jika metafisika tersebut merefleksikan tentang agama, yakni tentang keinginan manusia untuk bersatu dengan yang absolut.
Refleksi metafisis manusia tentang yang absolut didalam dan melalui aktivitas yang bersifat terbatas bukanlah melulu sebuah kontemplasi intelektual, melainkan sebuah kontemplasi teleologis, yakni pencarian kesatuan antara yang absolut dengan keterbatasan dirinya, yang juga berarti merupakan pemenuhan dirinya.
Pendasaran metafisis atas keinginan manusia untuk beragama melampaui kondisi-kondisi eksternal yang bersifat kontingen, seperti faktor historis, psikologis, budaya, sosial, ekonomi, atau yang lainnya. Kemampuan manusia untuk mentransendir dirinya mencerminkan struktur terdalam, baik dari yang terbatas maupun dari yang absolut, sehingga bukanlah bersifat ekternal, melainkan internal.
Kesadaran manusia akan yang absolut, dan dorongan untuk mentransendir dirinya mencapai yang absolut tersebut merupakan kondisi apriori yang memungkinan terjadinya wahyu, yang merupakan dasar dari semua agama-agama besar. Lebih dari itu, pertanyaan tentang Tuhan hanya dapat muncul, jika manusia memiliki kondisi-kondisi apriori tertentu, yakni kemampuannya mentransendir diri dan keterarahannya pada yang absolut.
Dengan demikian, sesungguhnya, keterbatasan dan ketidakterbatasan adalah satu didalam kesadaran manusia untuk mentransendir dirinya. Semua bentuk dikotomi, seperti keterbatasan dan ketidakterbatasan, pada dirinya sebenarnya saling mengandaikan satu sama lain, jadi tetap merupakan kesatuan.
Relasi manusia dengan segala sesuatu yang bersifat terbatas didalam partikularitas dan relatifitasnya hanya mungkin, jika manusia memiliki relasi dengan yang tak terbatas didalam universalitas dan sifat ultimnya. Kemampuan manusia mentransendensi dirinya hanya mungkin dengan melalui relasinya dengan segala sesuatu yang sifatnya terbatas.
Yang tak terbatas, dengan begitu, adalah pemenuhan transenden dari yang terbatas, dan yang terbatas adalah pemenuhan historis dari yang tak terbatas. Dalam konteks ini, “tanpa dunia” demikian Hegel, “Tuhan bukanlah Tuhan.”

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

2 tanggapan untuk “Agama sebagai Keterarahan kepada Yang Absolut”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.