Kekuasaan. Ia memang sangat menggoda. Orang memimpikannya, dan kerap melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Yang telah memilikinya sulit untuk melepasnya, ketika waktunya tiba.
Di tangan orang bermoral busuk, kekuasaan menjadi bencana. Daya rusaknya menjadi sedemikian besar, bahkan dirasakan lintas generasi. Namun, di tangan seorang ksatria, kekuasaan menjadi berkah. Ia membawa kebaikan bersama, tidak hanya untuk manusia, tetapi untuk seluruh kehidupan. Lanjutkan membaca Tritunggal Anti-Politik
Para pelaku kejahatan tidaklah harus orang-orang jahat berhati kejam penuh dendam. Orang-orang biasa pun bisa melakukan kejahatan besar, ketika ia tidak memiliki imajinasi untuk membayangkan posisi orang lain, dan tidak berpikir kritis di dalam melihat keadaan secara lebih luas. Di dalam tulisan ini, dengan berpijak pada pemikiran Hannah Arendt, saya akan mencoba menjelaskan argumen tersebut, dan menggunakannya untuk memahami situasi Indonesia. Awalnya saya akan memperkenalkan secara singkat sosok Hannah Arendt (1), menjabarkan pemikirannya tentang banalitas kejahatan yang tertulis di dalam bukunya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (2), dan menunjukkan relevansi pemikiran Arendt untuk memahami situasi di Indonesia (3). Saya banyak terbantu dari tulisan Seyla Benhabib tentang Arendt. Lanjutkan membaca Hannah Arendt, Banalitas Kejahatan, dan Situasi Indonesia
Dosen di Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Hannah Arendt adalah seorang filsuf politik ternama di abad keduapuluh. Ia lahir pada 1906 di Hanover, Jerman, dan meninggal di New York pada 1975.[1] Pada 1924 ia belajar di Universitas Marburg, Jerman, dan berjumpa dengan Martin Heidegger. Pada masa itu Heidegger sudah dikenal sebagai salah satu filsuf besar di dalam Sejarah Filsafat. Pemikirannya tentang fenomenologi ada (phenomenology of being) memicu diskusi filosofis di berbagai universitas di Eropa dan Amerika. Walaupun sebentar perjumpaan Arendt dengan Heidegger amat mempengaruhi pemikiran filsafat Arendt. Kisah cinta mereka pun menjadi legendaris di kalangan para filsuf, sampai sekarang ini. Ia belajar di Marburg selama setahun, lalu pindah ke Freiburg. Di Freiburg Arendt belajar di bawah Edmund Husserl. Pada 1926 ia pindah ke Universitas Heidelberg untuk belajar di bawah Karl Jaspers, seorang filsuf Jerman ternama. Arendt dan Jaspers menjalin persahabatan yang amat dekat dan panjang. Pada 1933 karena Hitler memperoleh kekuasaan politik tertinggi di Jerman, Arendt terpaksa meninggalkan Jerman, lalu pergi ke Polandia, Swiss, dan kemudian Paris, Prancis. Di sana ia tinggal selama 6 tahun, dan bekerja sebagai pendamping para pengungsi. Lanjutkan membaca Hannah Arendt dan Banalitas Kejahatan