Oleh Reza A.A Wattimena
Ada yang suci di waktu pagi. Saya sungguh menikmatinya. Suasana begitu hening. Di tengah keheningan, ide dan mimpi mengalir deras.
Hari itu, jam 2 pagi, seperti biasa, saya terbangun. Bangun dari tempat tidur, saya lalu menuju kamar mandi. Terdengar suara melengking di luar rumah, seperti kucing yang terlindas mobil. Suara itu begitu keras, bising dan sangat menganggu.
Saya pun melihat ke luar rumah, mengira ada kucing yang sedang kesakitan. Ternyata, tidak ada yang terjadi. Semua begitu rapi dan tertata. Suara melengking bak kucing terlindas itu tetap terdengar keras.
Ternyata, suara itu keluar dari rumah ibadah terdekat. Suara laki-laki melengking begitu keras, dan sangat menganggu. Apa yang sedang ia lakukan? Jam 2 pagi, ketika orang beristirahat, dan para pecinta hening menikmati sunyi, rumah ibadah itu mengeluarkan polusi suara yang amat sangat merusak.
Banyak orang sudah mengeluhkan rumah ibadah itu. Pengaduan sudah ratusan kali diajukan. Pemerintah, katanya, sudah menegur. Namun, pelanggaran terus terjadi. Pemerintah, seperti biasa, diam tak berdaya di hadapan preman berbaju religi.
Agama Kematian
Saya pernah menulis tentang hal ini sebelumnya. Fenomena ini saya sebut sebagai agama kematian. Inilah agama yang merusak tata hidup bersama, dan hanya berfokus pada hidup sesudah mati. Surga setelah mati, yang tak pernah ada, dikejar, sementara dunia dirusak.
Ada tiga ciri dasar dari agama kematian. Pertama, dan yang paling jelas, ibadahnya merusak tata hidup bersama. Ketenangan dirusak oleh suara yang tak punya keindahan setitik pun. Orang sakit kehilangan waktu istirahat, dan para pecinta hening dibuat menderita.
Dua, di dalam agama kematian, perempuan tak punya harga. Perempuan ditindas dari ujung kepala sampai ujung kaki. Perempuan tak punya bersuara sedikit pun. Mereka hanya obyek yang siap diinjak dan ditindas oleh para pria bodoh.
Tiga, ini semua terjadi, karena agama kematian tidak berpijak pada pengetahuan. Agama kematian berpijak pada delusi, yakni pemahaman yang salah tentang dunia. Tak ada akal budi dan ilmu pengetahuan di dalamnya. Akibatnya, para penganut agama kematian terjebak di dalam kebodohan yang merusak.
Tanpa pengetahuan, tak ada spiritualitas. Tak ada kedalaman. Tak ada pemahaman yang mengubah diri dari dalam, sampai menjadi seluas semesta. Yang ada hanyalah kumpulan larangan sesat yang menyunat akal budi, dan membunuh nurani.
Dimanapun agama kematian tersebar, konflik sosial politik selalu muncul. Sudah waktunya, agama itu ditinggalkan. Sebagai bangsa, kita perlu memasuki masa Pencerahan, dimana akal budi dan nurani menjadi penuntun kehidupan yang utama. Kehidupan beragama pun tidak bisa lagi berpijak pada delusi, tetapi pada pengetahuan yang utuh tentang dunia.
Agama Pengetahuan
Agama pengetahuan berpijak pada kebenaran. Dalam arti ini, kebenaran adalah pengetahuan tentang dunia sebagaimana adanya. Dengan pengetahuan ini, manusia bisa mencapai keseimbangan hidup. Ia pun bisa menemukan kesehatan dan kebahagiaan di dalam hidupnya.
Yang terpenting adalah pengetahuan tentang jati diri sejati manusia. Sebelum pikiran muncul, siapa kita? Di jeda antara dua pikiran, siapa kita? Dua pertanyaan ini menunjuk pada pengetahuan tertinggi, yakni pengetahuan tentang diri kita yang sesungguhnya.
Pengetahuan semacam ini tidak berpijak pada konsep. Ia tidak berpijak pada akal semata. Ia menyentuh dimensi yang lebih dalam dari diri manusia. Dimensi itu tak bernama, sepenuhnya sadar, hidup dan seluas semesta.
Agama pengetahuan akan membuahkan pemahaman. Ia akan menjauhkan orang dari kebodohan dan penderitaan. Kepekaan nurani akan secara alami terbentuk. Di tingkat ini, manusia tidak lagi memerlukan aturan moral yang menjajah di dalam hidupnya.
Ritual tetap diperlukan. Ia menghadirkan kebersamaan di dalam kehidupan. Ia juga menghadirkan keindahan yang memberikan inspirasi. Ini tentunya berbeda dengan ritual agama kematian yang merusak telinga, dan menghancurkan ketenangan hidup bersama.
Sudah waktunya, kita di Indonesia memeluk agama kehidupan. Kita menemukan keseimbangan batin yang lahir dari pemahaman tentang kehidupan yang sesungguhnya. Kita hidup dengan berpijak pada nurani yang jernih, dan bukan ajaran moral kaku yang sudah ketinggalan jaman. Kebahagiaan, batin maupun di dalam hidup bersama, pun bisa dicapai.
Tunggu apa lagi?