Oleh Reza A.A Wattimena
Saya lahir di Jakarta di awal 1980-an. Pada waktu itu, Jakarta masih relatif sepi. Tak ada kemacetan. Indonesia masih di bawah kekuasaan Orde Baru.
Pada masa itu juga, Indonesia masih seperti Indonesia. Orang Jawa masih menjadi orang Jawa. Orang Sunda masih menjadi orang Sunda. Nasionalisme Pancasila memang menjadi program kuat dari pemerintah Orde Baru.
Tentu saja, ada beberapa masalah. Namun, tindakan tegas selalu dilakukan. Kelompok radikal ditekan, sampai hampir lenyap. Pada 1998, kekuasaan Orde Baru berakhir, dan Indonesia memasuki masa reformasi.
Bersama dengan itu, dua kelompok tampil ke depan. Yang pertama adalah kelompok demokratis nasionalis progresif. Yang kedua adalah kelompok radikal agamis yang selama ini ditekan oleh Orde Baru.
Krisis Identitas
Pada akhir tahun 2000-an, saya keluar dari Jakarta. Saya bekerja di kota lain. Lalu, saya juga belajar beberapa tahun di negara lain. Tahun 2016, saya kembali ke Jakarta.
Keadaan tampak berubah. Indonesia tak lagi mirip Indonesia. Keadaan memuncak pada 2017. Jakarta dikuasai oleh pemerintah yang mendiamkan intoleransi dan radikalisme agama.
Salah satu hobi saya adalah berkendara motor jarak jauh. Saya berkeliling pulau Jawa, dari Jawa Barat sampai Madura. Beberapa kali, hal ini saya lakukan. Jawa memang sudah berubah.
Saya tak lagi merasa di Indonesia. Saya merasa berada di salah satu negara Arab. Orang berdandan bagaikan orang Arab, dari anak kecil sampai orang tua. Tubuh perempuan ditutup dari ujung kaki sampai ujung kepala, seperti mayat. Saya merasa berada di “Jawanistan”.
Tak lagi terlihat kecantikan wanita Sunda dan Jawa yang begitu anggun. Tak lagi terlihat budaya luhur nusantara yang dikembangkan para leluhur. Yang terlihat hanya bangsa yang sedang mengalami krisis identitas. Saya sangat menyayangkan hal ini.
Mengapa?
Mengapa ini bisa terjadi? Empat hal kiranya bisa diperhatikan. Yang pertama adalah bergesernya nasionalisme, dari nasionalisme Pancasila menjadi nasionalisme Arab. Beberapa kelompok di Indonesia ingin menjadi bagian dari negara Arab. Budaya leluhur nusantara yang luhur pun ditinggalkan.
Yang kedua adalah gagalnya pemerintah menjaga identitas budaya nusantara. Ini kiranya paling terlihat di masa pemerintahan SBY. Tentu saja, pada masa itu, saya tak banyak berada di Indonesia. Yang terlihat kemudian, setelah saya kembali, adalah Indonesia yang semakin menjadi Arab. Indonesia menjadi “Indonistan”.
Yang ketiga adalah begitu rendahnya mutu pendidikan. Di Indonesia, terutama di Jawa, pendidikan sudah dikuasai oleh kelompok radikal agamis. Tampilan luar tubuh menjadi ukuran iman. Perilaku korupsi dan kemunafikan justru didiamkan, bahkan dilestarikan.
Yang keempat, dunia kiranya memang menjadi semakin konservatif. Identitas-identitas agamis purba diangkat untuk kepentingan politik dan ekonomi. Ketegangan dan konflik antar agama berkembang pesat. Kesenjangan ekonomi yang amat besar di tingkat globalah yang melahirkan masalah ini.
Beberapa Langkah
Berpijak pada hal-hal di atas, ada empat hal yang penting untuk segera dikerjakan. Pertama, tak semua orang Indonesia ingin menjadi orang Arab. Banyak orang yang gelisah dengan keadaan ini, dan ingin mengembalikan kekayaan ajaran luhur nusantara. Kita harus mendukung kelompok-kelompok tersebut.
Dua, pemerintah harus mulai peka pada keadaan ini. Krisis identitas bangsa tidak boleh didiamkan terus menerus. Ketegangan dan konflik bisa berkembang. Indonesia pun terancam pecah.
Nasionalisme Pancasila harus menjadi pandangan dunia tunggal di Indonesia. Agama tidak boleh menghancurkan keluhuran budaya nusantara. Sebaliknya, agama-agama yang ada harus mengangkat dan mengembangkan ajaran luhur nusantara. Indonesia harus menjadi Indonesia, dan bukan “Indonistan”.
Tiga, revolusi pendidikan jelas harus segera dilakukan. Saya sudah menekankan hal ini di berbagai tulisan sebelumnya. Pendidikan harus mengembangkan sikap kritis, rasional dan sistematis. Pendidikan harus membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, bukan membelenggu manusia dengan ajaran asing yang membunuh batin maupun pikiran.
Empat, keadilan sosial harus segera terwujud di seluruh Indonesia. Saya amat yakin, bahwa kesenjangan ekonomi adalah bahan bakar untuk radikalisme dan terorisme agamis. Dengan adanya keadilan sosial, dan kepastian hukum dari pemerintah untuk rakyatnya, kelompok radikal tidak akan punya ruang untuk berkembang. Mereka bisa terlupakan di dalam derap arus sejarah bangsa.
Belajar dari Bali
Mungkin inilah mengapa saya sangat mencintai Bali. Ajaran leluhur yang agung dipelihara dengan begitu rajin. Budaya menjadi begitu cantik dan elegan di semua unsurnya. Ajaran-ajaran asing harus tunduk pada budaya nusantara, dan bukan sebaliknya.
Di Bali, saya merasa kembali ke rumah. Saya seperti tinggal di Indonesia, sebelum krisis identitas bangsa terjadi. Saya merasa tinggal di Indonesia dengan kekayaan alam dan kelestarian budaya leluhur yang begitu agung. Tak heran, orang dari berbagai bangsa merasa begitu damai berkunjung dan tinggal di Bali.
Tentu saja, Bali tak sempurna. Ada banyak masalah sosial yang harus diselesaikan. Kemiskinan dan begitu kuatnya budaya patriarki menjadi tantangan besar bagi masyarakat Bali. Namun, setidaknya, Bali bisa mengobati sedikit rasa rindu saya pada Indonesia.
Saya merindukan Indonesia yang “Indonesia”. Saya yakin, banyak orang merasakan hal serupa. Semoga kerinduan ini tak hanya menjadi mimpi belaka. Semoga kerinduan atas Indonesia ini menjadi gerakan untuk kembali ke budaya luhur nusantara, dan melepaskan pengaruh budaya asing yang merusak.
***
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/
saya mengerti dan dapat mengikuti makna karya diatas.
saya pun rindu indonesia dimasa lampau, yg mana saya tinggalkan, sebab kemungkinan berkembang spt yg saya cita2 kan, tidaklah mungkin di indonesia.
saya sepandang dengan jalan keluar dr kesulitan , seperti tertulis diatas.
“aksi di jawab dengan reaksi”, benih2 kebudayaan asli indonesia mulai tertanam, kita tunggu perkembangannya.
salam hangat !!
SukaSuka
Rindu Indonesia yg dulu…. Sekarang menikah juga tidak menggunakan pakaian adat masing2 daerah, hari kartini juga tidak lagi pakai baju daerah… lama2 budaya Indonesia akan lenyap …sedih… Tapi terimakasih untuk rumah filsafat sangat membantu Indonesia untuk melek pendidikan, selalu setia menunggu tulisan2 berikutnya…
SukaSuka
Salam kenal bang…
Tulisan nya mantap.
Ones Madai / Deiyai -Papua
SukaSuka
Bung Reza, terima kasih untuk renungan filsafat ini. Saya memiliki kegelisahan yang sama.
Saya gelisah, dan saya mencoba menuangkan kegelisahan saya dalam sebuah tulisan buku. Jika berkesempatan, apakah Bung Reza berkenan menuliskan endorse untuk calon buku saya?
Jika berkenan, saya akan hubungi Bung via email untuk mengirimkan monograftnya.
Terima kasih.
SukaSuka
Terima kasih. Benih-benih perjuangan sudah ditanam. Mari berusaha yang terbaik. Sambil dengan hati gembira dan bebas.
SukaSuka
Terima kasih. Begitulah. Indonesian menjadi negara padang gurun yang gersang dan kejam.
SukaSuka
Terima kasih. Salam kenal
SukaSuka
Siap bung. Maaf sekali lambat membalas. email saya reza.antonius@gmail.com Saya tunggu
SukaSuka