
Oleh Reza A.A Wattimena
Kita memang hidup di jaman yang aneh. Banyak pemimpin bangsa, yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyatnya, kini justru cengeng dan emosional dalam bersikap.
Dalam bahasa pergaulan sekarang, mereka itu adalah orang-orang baper, alias bawa perasaan. Mereka begitu emosional terhadap berbagai kritik dan masukan dari rakyat, sehingga akhirnya menjadi bahan tertawaan masyarakat luas.
Di AS, kita bisa melihat seorang presiden yang seringkali marah-marah di akun twitternya, sehingga menimbulkan kehebohan yang tidak perlu. Di Indonesia, hal yang serupa bisa disaksikan dari keluarga mantan presiden Indonesia, walaupun lebih dalam bentuk ratapan dan keluhan.
Tindakan emosional semacam itu tentu tidak diharapkan dari seorang pemimpin negara. Emosi membuat orang bertindak tidak masuk akal, kerap kali karena ketakutan yang tanpa alasan.
Jika ini dibiarkan, suasana hidup bermasyarakat akan menjadi tidak enak. Tak heran, untuk mengembalikan suasana, banyak orang menjadikan para pemimpin negara baper tersebut sebagai obyek humor dan celaan.
Mengapa Baper?
Sikap baper para politisi ini sendiri memiliki beberapa penyebab yang penting untuk dipahami. Pertama, akar dari sikap baper adalah narsisme, yakni merasa diri penting, lebih penting dari orang-orang lainnya.
Orang yang merasa dirinya penting akan kehilangan rasa humornya. Ketika orang sedikit mengejek, maka ia akan merasa harga dirinya ternoda, dan kemudian menanggapi dengan kasar.
Padahal, orang yang merasa dirinya penting sebenarnya justru bukan orang penting. Mereka hanya orang-orang lemah yang butuh pengakuan sosial, karena kerapuhan mentalnya.
Kedua, para politisi baper ini biasanya menyembunyikan rahasia kelam, semacam kejahatan di masa lalu, baik dalam bentuk korupsi, ataupun kejahatan-kejahatan lainnya. Mereka menjadi amat emosional, ketika ada pihak-pihak yang mulai membongkar rahasia gelap mereka.
Akibatnya, mereka memberikan tanggapan yang keras dan berlebihan, seperti menuntut dengan menggunakan pasal-pasal primitif, atau sekedar berkoar di media sosial. Ini semua membuat orang semakin yakin, bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di balik koaran mereka.
Serigala Berbulu Domba
Di tengah hujaman masukan dan kritik, para politisi baper berubah menjadi pengecut. Mereka merasa menjadi korban dari kezaliman alam semesta.
Mereka mengorbankan prinsip dan identitas mereka demi kepentingan sesaat, yakni meraih simpati masyarakat luas. Setelah simpati didapatkan, mereka baru menunjukkan taring mereka, yakni pengaruh politik yang didukung dengan uang dan penipuan.
Para politisi baper, sejatinya, adalah serigala berbulu domba. Mereka berpura-pura lemah, walaupun sebenarnya perkasa dan gemar bertindak semena-mena.
Kita semua perlu peka melihat isi sebenarnya dari para politisi baper. Intinya, jangan memilih mereka, atau orang-orang yang mereka dukung, ketika saatnya pemilihan umum tiba.
Reblogged this on CAREKA (Bacaan Renungan Katolik).
SukaSuka
salam kenal
SukaDisukai oleh 1 orang
tulisan yang menginspirasi yang baik dalam jiwa
SukaSuka
semoga terbantu
SukaSuka