Semua (Tak?) Sama

Magritte, 1928
Magritte, 1928

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya

Sekitar 12 tahun yang lalu, Padi, grup band asal Surabaya, mengeluarkan lagu berjudul “Semua tak sama”. Isinya tipikal lagu-lagu romantis. Seorang pria tidak dapat menemukan sosok pengganti kekasihnya. Kekasih barunya berbeda dari kekasihnya yang lama, yang masih dicintainya. “Semua tak sama, tak pernah sama, apa yang kusentuh, apa yang kukecup”, begitu bunyi refren lagu itu.

Dulu, saya suka sekali dengan lagu ini. Namun, sekarang saya sadar, lagu ini memiliki kesesatan berpikir yang amat mendasar, yakni melihat kenyataan hidup sebagai sesuatu yang terpisah dan berbeda satu sama lain. Ia menyebarkan pesan, bahwa semua hal di dunia ini tak sama, maka harus dipisah-pisahkan satu sama lain. Banyak orang menerima begitu saja pesan lagu ini, tanpa berpikir kritis lebih jauh.

Apa yang Diajarkan Kepada Kita

Sejak kecil, kita juga diajarkan untuk melihat dunia ini sebagai sesuatu yang memiliki bagian-bagian yang terpisah. Dengan kata lain, kita diajarkan untuk berpikir secara kategorial. Kita membagi-bagi dan memecah-mecah, baru disitu muncul pemahaman. Inilah cara berpikir khas ilmu pengetahuan modern yang lahir dari tradisi Eropa dan Yunani Kuno, terutama pemikiran Aristoteles.

Kita juga diajarkan untuk melihat diri sendiri sebagai “aku”. Orang lain lalu dilihat sebagai “kamu”, atau “mereka”. Orang-orang yang memiliki kesamaan lalu dilihat sebagai “kita”. Dari cara berpikir semacam ini, lahirlah pandangan atas dunia yang terpecah-pecah antara aku, kami, kita, kalian, mereka dan kamu.

Cara berpikir ini pulalah yang menghasilkan identitas. Kelompokku berbeda dengan kelompokmu. Ini bangsaku, itu bangsamu. Ini agamaku, itu agamamu. Semua perbedaan-perbedaan ini lalu dijadikan pembenaran untuk bersikap tidak adil terhadap orang atau kelompok lain. Ketika ketidakadilan terjadi, maka konflik sudah berada di depan mata.

Kita juga diajarkan untuk melihat dunia dalam kerangka benar salah dan baik buruk. Jika saya benar, maka kamu salah. Jika ini tindakan baik, maka tindakan lawannya buruk. Di samping itu, kita juga diajarkan untuk membela yang benar, dan melawan yang jahat. Yang jahat harus dihancurkan, dan yang benar serta baik harus dipertahankan, begitu katanya.

Pembedaan berikutnya adalah soal senang dan sedih. Ketika sedih, kita diajarkan untuk menangis. Ketika senang, kita diajarkan untuk tertawa. Penderitaan juga dilihat lalu sebagai sesuatu yang harus dihindari. Sementara, kenikmatan hidup, apapun bentuknya, harus dikejar tanpa ragu. Senang dan derita dilihat sebagai dua keadaan yang terpisah dan berbeda.

Bagi mereka yang dibesarkan di dalam tradisi agama-agama Timur Tengah, kematian juga dibagi menjadi dua, yakni surga dan neraka. Orang baik masuk surga. Orang jahat masuk neraka. Keduanya terpisah dan berbeda.

Kita lalu juga suka memisahkan antara yang suci dan yang tidak suci. Yang suci adalah segala hal yang terkait dengan agama. Yang tidak suci adalah segala hal yang terkait dengan seks. Yang pertama harus dipelihara, dan yang kedua harus dijauhi.

Apakah pembedaan-pembedaan semacam ini tepat? Apakah cara berpikir yang memisah-misahkan ini layak dipertahankan? Apakah ia sesuai dengan kenyataan yang ada? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus dipikirkan lebih dalam.

Tanpa Diskriminasi

Mari kita lihat susunan dari segala yang ada, termasuk manusia, hewan, tumbuhan, gunung, sungai, udara dan segalanya. Satu hal yang jelas, bahwa kita semua tersusun dari komponen yang sama. Manusia dan hewan, walaupun bentuknya berbeda, tetapi memiliki susunan biologis yang sama, juga dengan gunung, tumbuhan dan sebagainya.

Mari kita lihat susunan kesadaran antar manusia. Jika kita melihat melampaui perbedaan budaya, warna kulit, agama, dan ras, maka akan terlihat sesuatu yang sama, yakni keinginan untuk hidup secara damai dan bermakna. Pada dasarnya, semua orang, tanpa kecuali, memiliki harapan dan ketakutan yang sama. Tentu saja, dua hal ini dibahasakan secara berbeda, tergantung dengan lingkungan budaya masing-masing.

Jadi, dilihat sekilas, semua tak sama. Namun, dilihat dan dipikirkan lebih dalam, semuanya sama. Yang kita perlukan hanya melihat dan berpikir lebih dalam, lalu kita pun sampai pada kesimpulan yang sama. Cara berpikir semacam ini akan mendorong kita pada satu kesimpulan lain yang lebih dalam, yakni bahwa segala sesuatu tidak hanya sama, tetapi juga satu.

Segalanya adalah sama, karena segalanya adalah alam. Manusia bukanlah mahluk istimewa, karena ia hanya satu bagian saja dari alam. Ia adalah bagian dari rantai kehidupan yang menunjang segalanya. Inilah yang disebut sebagai ekosistem.

Mari kita ambil satu contoh yang amat sederhana. Udara membutuhkan air, supaya ia ada. Sebaliknya, air juga membutuhkan udara, supaya ia ada. Keduanya tampak berbeda, tetapi sebenarnya satu dan sama. Ketika kita melihat dan berpikir lebih dalam, maka segala perbedaan akan hilang.

Perbedaan dan keterpisahan hanyalah penampakan belaka. Ia tidak nyata. Ia hanya tampak pada indera-indera kita sebagai manusia yang sejatinya amat rapuh dan tak dapat diandalkan. Ironisnya, sejak kecil, kita diajar untuk percaya secara naif pada indera-indera kita, seperti yang diajarkan secara intensif dan sistematik di dalam ilmu pengetahuan modern.

Perdamaian

Jika kita melihat dunia ini secara terbelah-belah, maka akan muncul perpecahan. Ketika pikiran hanya melihat perbedaan, maka akan muncul sikap diskriminatif, atau sikap membeda-bedakan antara manusia yang satu dan manusia yang lain, antara kelompok yang satu dan kelompok yang lain. Cara berpikir semacam ini adalah akar dari segala konflik. Ketika orang lain kita anggap sebagai berbeda, maka kita bisa menemukan pembenaran apapun untuk menghancurkan mereka.

Cara berpikir semacam ini adalah kesesatan berpikir. Ia menghasilkan penderitaan dan ketegangan antar manusia. Ia menciptakan rasa takut terhadap yang berbeda, dan rasa takut adalah akar dari semua kekerasan. Selama kita masih melihat dunia sebagai tempat yang terpecah dan berbeda-beda, maka konflik dan penderitaan batin tidak akan pernah berakhir dalam hidup ini.

Maka dari itu, kita perlu belajar untuk melihat segala hal sebagai sama dan satu. Inilah yang disebut sebagai cara berpikir tanpa diskriminasi. Ini berlaku bukan hanya dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam dan segala hal yang ada. Ketika segala hal dilihat sebagai sama dan satu, maka kita tidak akan menemukan alasan apapun untuk bersikap jahat dan keras.

Banyak orang berbicara cinta. Namun, mayoritas tidak mengerti, apa arti cinta sesungguhnya. Selama kita masih melihat dunia sebagai kumpulan perbedaan dan keterpecahan, selama itu pula, kita tidak akan mengerti arti yang sejati dari cinta. Di dalam cara berpikir tanpa diskriminasi, kita melihat penderitaan dan kebahagiaan orang lain dan mahluk lain sebagai penderitaan dan kebahagiaan kita sendiri. Inilah cinta dalam artinya yang paling dalam.

Cara berpikir tanpa diskriminasi bisa menjadi dasar untuk perdamaian dunia. Ia memberikan kedamaian batin, karena kita tidak lagi memahami dunia dalam keterpecahannya, tetapi dalam kesatuannya. Kita tidak akan pernah merasa kesepian, karena kita selalu dikelilingi oleh kehidupan, dan kita adalah satu dengan kehidupan sendiri. Kita tidak akan pernah merusak alam, karena alam adalah bagian dari diri kita sendiri. Jadi, tunggu apa lagi?

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

10 tanggapan untuk “Semua (Tak?) Sama”

  1. Kira-kira Mas Piyu terpikir sampai sejauh ini ga ya, waktu membuat lirik ini.
    Hahaha,
    sama Mas, lagu ini dulu yg paling aku sukai dan lagu pertama buat ngeband,,tp ga ngerti artinya, maklum masih smp. 😀

    Rasanya kecenderungannya terjadi sampai sekarang,,kita diajari untuk sedih berkepanjangan dan terus mencari kesenangan,,padahal keduanya berjalan seiring,,ilusi, bisa datang-bisa pergi.

    ga kepikiran untuk mengirim artikel ini ke Padi,,Mas? hehehe..

    (trims atas pencerahannya. )

    Suka

  2. bukankah semua itu hanya soal sudut pandang. klo menurut saya sih, yang penting itu kita beropini tanpa menyertakan sebuah judgment. sebuah penciptaan karya setiap orang memiliki proses sendiri2, termasuk soal makna pun kita belum tau yang sebenarnya karena yang mengetahuinya, ya yg bikin karya itu…hehehe salam bahagia

    Suka

  3. Pendapat selalu salah. Maka dari itu, pendapat harus didasarkan pada pengetahuan, bukan prasangka apalagi penilaian moral dangkal. Membuat pendapat berdasarkan pengetahuan adalah sesuatu yang amat penting di dalam masyarakat demokratis, seperti Indonesia

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.