Mencari Rumah di Negeri Asing

waterballoon.com
waterballoon.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Entah karena rumah yang hancur akibat perang, kemiskinan yang mencekik tubuh dan jiwa, ancaman ketidakadilan politik, atau berbagai motif pribadi lainnya, orang memutuskan untuk berpindah negara. Mereka menata hidup mereka di negeri seberang, jauh dari keluarga dan teman masa kecil. Di negara asing, mereka bekerja, mencari nafkah, menabung, dan membentuk keluarga. Masa depan mereka lahir di tempat yang bukan tanah air mereka.

Proses Migrasi

Seperti dicatat Der Spiegel dalam laporannya awal 2013 ini, Jerman menjadi tempat tujuan ratusan ribu, bahkan jutaan, imigran dari seluruh dunia, terutama dari Eropa Timur dan Eropa Selatan. Debat publik pun lahir, bagaimana negara Jerman harus bersikap pada “surplus” imigran ini? Para imigran yang datang memang mencari pekerjaan-pekerjaan sederhana untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarga mereka, seperti sebagai supir taksi, supir bus, pelayan restoran, atau tukang bersih-bersih di stasiun. Namun, seperti juga dicatat oleh Der Spiegel, banyak pula di antara imigran yang datang adalah tenaga ahli dengan kemampuan tinggi, mampu berbicara lebih dari dua bahasa, dan memiliki motivasi tinggi untuk bekerja.

Di satu sisi, banyak orang yang menolak kedatangan para imigran ini, karena memperkecil kesempatan orang lokal setempat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka adalah kaum reaksioner yang amat alergi dengan segala perubahan yang ada. Di sisi lain, banyak pula yang berpendapat, bahwa kehadiran para imigran baru ini merupakan berkah bagi ekonomi Jerman yang kerap membutuhkan tenaga kerja muda, baru, dan, jika bisa, memiliki kemampuan tinggi. Perdebatan ini tidak hanya terjadi di Jerman saja, tetapi di berbagai negara industri di belahan dunia lainnya, seperti AS dan Australia misalnya.

Geoffrey Cameron dan Ian Goldin, di dalam artikel mereka yang berjudul Why More Migration Makes Sense? (2011), mengajukan empat alasan, mengapa proses migrasi ini tetap penting, lepas dari beragam masalah yang muncul. Pertama, proses migrasi, yakni perpindahan orang dari satu negara ke negara lainnya dengan berbagai alasan, menjamin tingginya inovasi dan kelenturan ekonomi dunia. Dua, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, migrasi menjamin tempat-tempat yang baik untuk bekerja, misalnya dengan perlindungan hukum dan sistem asuransi yang kuat, akan tetap mendapatkan tenaga kerja bermutu tinggi.

Tiga, di negara-negara industri, terutama di Eropa Barat, banyak pekerja yang telah lanjut usia. Mereka hidup dari uang pensiun yang dijamin oleh negara, yang juga merupakan tabungan mereka selama bertahun-tahun. Adanya proses migrasi menjamin, bahwa proses regenerasi pekerja tetap berlangsung, dan menjamin juga situasi ekonomi yang tetap kompetitif di tempat tersebut. Empat, proses migrasi memungkinkan orang-orang untuk melepaskan diri dari cekikan kemiskinan, perang, maupun ketidakadilan yang menimpa mereka di tanah kelahirannya.

Dengan empat argumen ini, Cameron dan Goldin menegaskan, bahwa segala bentuk rintangan yang menghambat imigrasi justru akan memperlemah situasi ekonomi, dan melenyapkan kemampuan berkompetisi di masa depan. “Situasi ini (rintangan terhadap segala bentuk migrasi)”, demikian tulis mereka, “menciptakan dunia yang semakin tidak makmur, memiliki kesenjangan sosial yang tinggi, dan dunia yang semakin terpisah-pisah.” (Cameron dan Goldin, 2013) Dalam jangka pendek, tentu ada beragam masalah sosial yang perlu untuk dihadapi dengan tepat. Yang pasti adalah, gelombang migrasi akan terus meningkat di masa depan, dan kita tentu saja perlu untuk bersikap secara tepat untuk menanggapi fenomena ini.

Perdebatan Kemudian

Di dalam tulisannya tentang migrasi dan imigrasi, Manali Oak mencoba untuk memberikan argumen yang berimbang. (2011) Secara padat dan sederhana, fenomena migrasi terbelah antara dua kubu, yakni para pendukung (dengan argumennya) dan para penolaknya (juga dengan argumen masing-masing). Pertama, proses migrasi mendorong terjadi proses belajar antar kultur yang amat penting untuk proses perdamaian dunia. Dua, proses migrasi juga mendorong terjadinya pertukaran ilmu pengetahuan, filsafat, seni, serta teknologi yang berguna untuk perkembangan peradaban manusia, dan sejarah juga sudah membuktikan, kolaborasi (atau kerja sama) antara orang dari berbagai negara telah menghasilkan terobosan-terobosan luar biasa yang berguna bagi pengembangan kualitas hidup manusia. (Oak, 2011)

Tiga, seperti sudah disinggung sebelumnya, proses migrasi mendorong pertumbuhan ekonomi dan tingkat kompetisi secara global. Yang juga perlu diingat adalah, proses migrasi besar-besaran terjadi, karena proses globalisasi yang mendorong keterbukaan politik maupun ekonomi di berbagai belahan dunia. Empat, proses migrasi menjamin proses pembagian populasi yang lebih seimbang di berbagai belahan dunia. Ada negara yang memiliki jumlah penduduk berlimpah, sehingga tak mampu untuk menopang perkembangan tersebut. Sementara, ada negara lain yang kekurangan jumlah penduduk untuk mempertahankan keberadaan mereka sebagai negara, dan, tentu saja, proses migrasi bisa membantu dalam persoalan ini.

Oak juga mengingatkan, proses migrasi memiliki harganya sendiri yang juga perlu untuk dipertimbangkan. Pertama, migrasi membuat suatu daerah memiliki jumlah penduduk berlimpah, terutama penduduk dengan kemampuan kerja tinggi, dan membuat daerah lainnya mengalami kekurangan sumber daya manusia bermutu tinggi. Ini tepat adalah kebalikan dari alasan keempat yang diberikan oleh Oak di atas. Dua, proses migrasi juga bisa mendorong proses penyebaran penyakit. Banyak orang mengabaikan hal ini, tetapi dampak politis dan sosialnya sebenarnya amat besar.

Tiga, proses migrasi seringkali menjadi beban finansial bagi negara setempat. Banyak orang, terutama para imigran gelap, yang menikmati banyak jaminan sosial di negara setempat, sementara mereka tidak memberikan sumbangan apapun. Dengan kata lain, mereka menerima apa yang sebenarnya bukan merupakan hak mereka, seperti misalnya asuransi dan pendidikan universal yang harus dibayar oleh penduduk lainnya, tetapi tidak oleh mereka. Ini jelas suatu bentuk ketidakadilan tersendiri.

Empat, sering juga terjadi, karena tidak memiliki motivasi dan kemampuan kerja, para imigran menjadi ancaman bagi keamanan masyarakat, seperti meningkatnya kasus kejahatan di masyarakat, dan berbagai tindakan sosial lainnya yang tidak bisa diterima oleh masyarakat setempat. Lima, proses migrasi juga mendorong terjadi proses Brain Drain, yakni berpindahnya orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dari satu negara, sehingga negara itu sulit untuk menjalankan rencana pembangunan yang telah dibuat sebelumnya. (Oak, 2011) Tegangan pro dan kontra yang dibedah oleh Oak ini tentu perlu kita singkapi bersama.

Cara Menyingkapi

Sebagaimana dikutip oleh Anna Scott (2013), Prabodh Devkota, direktur proyek CARE International di Asia Selatan, berpendapat, bahwa sebelum membuat program-program politik terkait dengan migrasi, kita perlu membuat komitmen politik yang kuat dan kehendak politik untuk sungguh berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan yang kokoh. Seluruh kebijakan politik yang dibuat untuk menyingkapi wajah negatif migrasi akan runtuh di tengah jalan, jika tidak dibarengi dengan kehendak politik dan komitmen kuat pada nilai-nilai kemanusiaan. Di sisi lain, seperti dicatat oleh Bart W. Edes, salah satu pemimpin Asian Development Bank, ada dua hal yang bisa dilakukan.

Pertama,  pemerintah di berbagai negara perlu bekerja sama untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang seadil dan setepat mungkin untuk mengatur gelombang migrasi. Ini jelas perlu dilakukan, tentu dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah disebutkan sebelumnya. Dua, konsep Brain Drain harus diberi kerangka ulang di dalam mengartikannya. Misalnya, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan situasi politik dan sosial yang stabil, sehingga orang tidak lagi perlu untuk mencari penghidupan yang layak di tempat lain. (Scott, 2013)

Cecile Riallant, salah satu pembuat kebijakan di Join Migration and Development Iniative (JMDI), Belgia, berpendapat, bahwa pemerintah lokal pun harus diberi persiapan untuk menghadapi gelombang migrasi yang akan datang, misalnya dengan diberikan ketrampilan hubungan antar budaya, sehingga sensitivitasnya terkait dengan perbedaan budaya bisa meningkat, dan lebih bijak di dalam menghadapi berbagai krisis lapangan yang muncul dari perbedaan kultur. Semua proses ini, menurut Blessing Mberu, seorang peneliti dari Kenya, harus dibarengi dengan kelengkapan data tentang seluruh proses migrasi di seluruh dunia. Maka, pembangunan bank data yang otoritatif tentang ini perlu untuk segera dilakukan. (Scott, 2013)

Saya berpikir, bahwa migrasi adalah bagian dari rentang proses globalisasi yang tak lagi bisa dihindari, apalagi ditolak. Yang kita perlu lakukan adalah menata seluruh proses migrasi tersebut dengan kebijakan yang seadil mungkin dengan berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan, dan bukan melulu nilai keuntungan kapital. Adalah hak asasi setiap orang untuk memilih dalam hidupnya, apakah ia akan tinggal di suatu tempat, atau berpindah ke tempat lain, demi memperoleh kehidupan yang lebih baik untuk diri serta keluarganya. Inilah insting dasar seorang manusia, apalagi jika ia adalah orang tua yang perlu untuk memikirkan masa depan anak-anaknya. Sistem politik, ekonomi, hukum, dan sosial yang ada harus menjamin terlaksananya hak tersebut. Tak ada pilihan lain.

 

 

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

Satu komentar pada “Mencari Rumah di Negeri Asing”

  1. Sangat menarik sekali tulisannya, ini yang dialami saat ini di negara eropa sesudah bersatu menjadi satu palement eropa, sehingga masa crisis yang berkepanjangan menjadi persoalan yang dihadapi sekarang.
    Terima kasih atas tulisannya dan semoga sukses dalam study dan karyanya serta tetap dalam penyertaan Tuhan.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.