Guru di Negeri Bohong

blogspot.com

Oleh SIDHARTA SUSILA

Keteladanan adalah metode efektif dalam pendidikan karakter. Keteladanan menjadikan dinamika pendidikan membumi, konkret, dan kontekstual.

Bagaimanakah jadinya pendidikan jika harus dijalankan di negeri yang penuh kebohongan?

Pendidikan seharusnya membangun rasa bangga dan cinta peserta didik kepada negerinya. Ini hanya bisa berlangsung bila kualitas para pengelola negeri unggul dan berkarakter. Mereka layak diteladani karena menjadi pribadi yang merdeka dari kepentingan pribadi dan kelompok. Keadilan dan kesejahteraan hidup segenap rakyat adalah satu-satunya yang diperjuangkan.

Sayang, di negeri ini keteladanan semacam itu hampir raib. Krisis keteladanan menyergap seluruh sisi kehidupan. Keutamaan moral dilibas alasan ”sudah sesuai aturan”. Anak-anak kita hidup dalam ruang nihil kepekaan moral. Realitas akal-akalan dengan permainan aturan yang culas demi membenarkan diri adalah atmosfer yang mereka hirup. Rasa malu membebal. Kata Indra Tranggono, ”Tahu hukumannya ringan, kenapa kita tak jadi koruptor, ya (Kompas, 12/9)?”

Di negeri ini terhampar ragam realitas tumpul moral yang sulit diterangkan kepada para murid. Alasan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia saat memberikan remisi kepada para koruptor memusingkan guru yang harus menerangkan kepada para murid. Memang semua telah mengikuti aturan yang berlaku. Namun, terkait rasa keadilan dan kewajaran, para guru sulit menjelaskan dan meyakinkan para murid bahwa hukum adalah keniscayaan terjaminnya keadilan serta kemakmuran bagi segenap rakyat.

Pada realitas semacam itu, para murid justru belajar tentang perpaduan hukum dengan kuasa uang, yang justru menjadi cara efektif untuk menyelamatkan diri. Bagaimanakah guru harus menjelaskan secara nalar bahwa faktanya ada uang negara yang hilang pada kasus Century, tetapi tidak ada yang berkewajiban untuk bertanggung jawab serta mengembalikan uang itu secara utuh kepada rakyat?

Bagaimanakah guru harus menjelaskan dengan nalar sederhana murid bahwa faktanya ada pemalsuan surat yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi, tetapi pelakunya tidak ditemukan? Bagaimanakah guru harus menjelaskan kepada para murid ketika politisi mengatakan bahwa Nazaruddin kehilangan berat badan belasan kilogram tetapi penampilan fisiknya tak berbeda sebelum dan sesudah pelariannya?

Raibnya keteladanan tokoh publik, maraknya kebohongan, dan peristiwa ketidakadilan tak bertuan telah menenggelamkan anak-anak kita pada kubangan pembodohan dan pembebalan moral. Realitas keseharian yang mestinya menjadi objek pembelajaran akhirnya hanya menjadi realitas penuh dusta. Pembelajaran pun hanya dalam buaian mimpi, penuh kepura-puraan dan kepalsuan.

Gaung pengajaran tentang prinsip keadilan, nilai-nilai kehidupan, ajaran moral, hingga ragam aturan keagamaan segera senyap ketika tak terpetakan dalam hidup keseharian. Guru sering harus puas dengan jerih payahnya yang hanya menyentuh dimensi rasional. Realitas negeri yang penuh kebohongan telah menghancurkan prinsip pendidikan tentang rasionalitas yang seharusnya dapat dipertanggungjawabkan. Dampak tragisnya adalah lahirnya generasi pandai tetapi bebal moral.

Secercah harapan

Negeri kita sedang dalam keadaan tidak baik untuk membangun habitus berkarakter. Maraknya tingkah akal-akalan dengan aturan (hukum) dan kepura-puraan dalam jiwa tebar pesona—mulai rakyat biasa hingga pejabat—hanya melahirkan pribadi yang culas, semu, dan misterius. Karena itu, pendidik sebaiknya tak gegabah menjadikan pejabat publik yang hari-hari ini jejaknya dikenal baik sebagai model anak bangsa yang unggul kepada para murid. Hanya setelah ajal menjemput, mereka bisa dipertimbangkan untuk menjadi suatu model.

Namun, bangsa ini harus terus melahirkan pribadi yang unggul. Api yang membakar daya hidup untuk menjadi manusia berkarakter unggul dan nasionalis tak boleh padam oleh rusaknya kehidupan pada zaman edan ini.

Masih ada celah sempit yang bisa ditekuni. Pendidik perlu mengajak para murid menjadi tuan atas diri dan hidupnya sendiri. Para murid dimotivasi untuk pertama-tama meraih kemenangan pribadi (Stephen Covey, 1993).

Konkretnya, semua cara bekerja, pikiran, dan perasaan mesti diorientasikan demi martabat dan pemuliaan diri serta kehidupan yang mengakar pada nilai-nilai universal, bukan belajar dalam keterpesonaan pada tampilan para tokoh.

Apa boleh buat, tokoh-tokoh di negeri tuna-adab moral ini tak peduli kalau tingkah mereka menghancurkan karakter bangsa. Rasanya akan tetap bijak bila pendidik tak membohongi para murid dengan mengajarkan kepalsuan. Gairah mencintai negeri pun tak diredupkan karena tak hanyut dalam kekecewaan kepada tokoh publik yang sering berubah secara tak terduga.

SIDHARTA SUSILA Pendidik di Yayasan Pangudi Luhur, Muntilan, Magelang

 

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

4 tanggapan untuk “Guru di Negeri Bohong”

  1. Saya kutip tulisan anda di sini, Negeri kita sedang dalam keadaan tidak baik untuk membangun habitus berkarakter.
    Keadaan Negeri kita itu baik dan subur, orang yang mengelolanya dalam keadaan tidak benar, bahkan tingkah lakunya lebih parah dari pada binatang. Contoh; kalau kita lihat burung , selesai cari pangan , mereka simpan di tempolok , baru pulang ke sarang dan di berikan ke anak anak nya, baru sisanya untuk sendiri. Tapi kalau kita lihat yang mengelolah negara malah kebalikannya, mereka makan dulu baru sisanya dikasihkan ke rakyat. Itulah moral mereka lebih rendah dari pada binatang.
    Tolong pak , Nanti nulis lagi, salah kan para pengelola negara tapi jangan negeri yang disalahkan. Thanks

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.