
Oleh Reza Wattimena
Saya membayangkan ada yang disebut sebagai “tanah” kepemimpinan. Di dalam “tanah” imajiner ini, ada semua zat yang diperlukan, supaya muncul para pemimpin yang berkualitas, yang siap membawa bangsa Indonesia keluar dari berbagai persoalan. Zat-zat tersebut adalah nilai-nilai dasar kepemimpinan yang menjadi bagian integral dari kultur masyarakat, sikap fleksibel birokrasi, dan sikap terbuka dari komunitas sekitar.
Nilai dasar
Nilai dasar kepemimpinan harus ada di dalam “tanah” kepemimpinan tersebut. Nilai pertama yang perlu dikembangkan adalah logos, atau kemampuan berpikir rasional. Orang harus dilatih untuk menggunakan akal budi mereka, guna menganalisis berbagai hal yang ada di dalam kehidupan. Orang-orang yang mampu menggunakan akal budi mereka secara tepat dan tajam untuk memahami berbagai masalah kehidupan akan menjadi calon-calon pemimpin masa depan.
Nilai kedua yang juga harus berkembang adalah ethos, yang saya tafsirkan sebagai sikap yang otentik. Orang harus dilatih untuk berani mengekspresikan pikirannya secara jernih, komunikatif, sekaligus sopan. Ekspresi tersebut bukanlah buatan, melainkan lahir dari hati yang dipenuhi kepedulian. Orang-orang yang mampu mengutarakan pikiran dan keinginannya secara sopan, komunikatif, dan jernih juga akan menjadi calon-calon pemimpin masa depan.
Nilai ketiga yang harus hidup di dalam “tanah” kepemimpinan adalah nilai pathos, yang saya tafsirkan sebagai empati. Orang harus dilatih untuk peduli pada situasi sesamanya, terutama mereka yang paling menderita, baik menderita secara fisik-ekonomi, ataupun secara mental-spiritual. Sikap peduli itu lalu diwujudkan di dalam usaha untuk menolong. Orang-orang yang mampu bersikap peduli dan tergerak untuk menolong mereka yang menderita akan menjadi calon-calon pemimpin masa depan.
Situasi kita
Sudahkah masyarakat kita memiliki tiga nilai itu, sehingga layak disebut sebagai “tanah” subur untuk melahirkan calon-calon pemimpin masa depan? Mari kita lihat bersama. Dalam soal pendidikan cara berpikir rasional, bangsa kita masih jauh dari sempurna. Orang tidak dibiasakan untuk berpikir analitis, kritis, dan rasional. Yang justru dibiasakan adalah sebaliknya, yakni berpikir penuh prasangka (ras, etnis, agama), gampang percaya (pada tradisi ataupun otoritas yang seringkali tak bisa dipercaya), serta mitologis (masih percaya setan, tuyul, pesugihan, dan sebagainya).
Di dalam masyarakat kita, nilai ethos, yakni sikap otentik, juga tidak berkembang. Sejak kecil orang dilatih untuk menekan keinginan dan pikirannya, lalu menyesuaikan dengan apa kata otoritas, baik itu otoritas orang tua, guru, ataupun pemerintah. Sementara keinginan dan pikiran itu tidak mati, melainkan hanya bersembunyi. Lalu lahirlah kebiasaan berbicara di belakang, bergosip, mencemarkan nama baik orang lain, dan berbagai kebiasaan buruk lainnya yang bisa disebut sebagai pembunuhan karakter.
Jika sikap otentik dalam bentuk kemampuan menuturkan keinginan serta pikiran secara jernih, sopan, dan komunikatif dihalangi, maka orang lalu belajar untuk tidak lagi punya keinginan dan pikiran. Orang berhenti untuk berpikir. Orang tak lagi punya cita-cita. Yang kemudian tercipta adalah ketidakpedulian masyarakat pada urusan-urusan bersama. Jika itu yang terjadi, maka tinggal tunggu waktu, sebelum Indonesia berubah tinggal nama.
Di dalam masyarakat kita, nilai pathos, atau empati, belum menjadi budaya. Yang kaya bekerja rajin untuk semakin kaya, tanpa peduli pada mereka yang kalah dan menderita. Sementara yang menderita mengasihani diri sendiri, lalu terjebak dalam lingkaran kemiskinan, tanpa punya daya. Masyarakat kita terancam pecah, karena jurang antara yang kaya dan yang miskin semakin besar dari hari ke hari.
Bangsa Indonesia belum menjadi “tanah” kepemimpinan yang siap melahirkan calon-calon pemimpin berkualitas untuk masa depan. Bangsa kita masih cenderung irasional dalam menanggapi berbagai masalah yang ada, tidak menghargai ide-ide maupun pikiran yang berbeda, dan tidak peduli pada mereka yang paling menderita. Tak heran bangsa Indonesia hanya memiliki sedikit (hampir tak ada?) pemimpin berkualitas, sampai sekarang ini.
Birokrasi yang Fleksibel
Supaya suatu masyarakat dapat menjadi tempat yang subur bagi lahirnya calon-calon pemimpin masa depan, maka sistem birokrasi yang ada di dalam masyarakat itu harus memiliki sikap fleksibel dan terbuka. Sikap fleksibel harus menjadi karakter dari semua sistem birokrasi yang ada di dalam masyarakat, mulai dari birokrasi RT/RW, pendidikan, hukum, pekerjaan, sampai birokrasi pemerintahan. Birokrasi harus melayani manusia, dan bukan manusia melayani birokrasi.
Dalam konteks birokrasi RT/RW, tak perlu orang perlu melapor untuk setiap kegiatan kecil yang ia lakukan. Hal ini hanya membuat susah banyak orang, termasuk pihak yang melapor, sekaligus pihak RT/RW-nya. Informasi yang diterima pun sia-sia belaka, karena tidak akan berguna di masa depan. Belum lagi sumber daya yang diperlukan untuk merawat birokrasi sia-sia ini, mulai dari kertas, tinta, listrik, waktu, dan sebagainya.
Dalam konteks pendidikan birokrasi pun harus fleksibel. Pendidikan adalah hak semua orang, maka tak boleh ada orang yang dilarang sekolah, apalagi oleh sekolah itu sendiri, hanya karena tidak ada uang, tidak lulus tes, atau tidak cukup usia. Ini tidak boleh terjadi. Sistem penilaian siswa pun harus menyeluruh, yakni menilai proses, bukan hanya hasil ujian yang seringkali menipu.
Dalam konteks hukum birokrasi pun harus manusiawi. Lebih baik para hakim dan jaksa sibuk menangkap para koruptor, daripada sibuk menghukum seorang nenek yang mencuri buah tetangga. Pencurian kecil cukup diberikan sanksi sosial oleh masyarakat sekitar. Birokrasi hukum tidak perlu mengurusi masalah ini, dan lebih baik fokus untuk memberantas korupsi, maupun kejahatan-kejahatan lain yang mempunyai kualitas lebih besar.
Setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menopang hidup mereka. Birokrasi untuk mencari pekerjaan pun harus dibuat lebih fleksibel. Tidak perlu tes-tes yang terlalu lama, yang sebenarnya tidak banyak gunanya. Cukup lihat latar belakang sosial, lalu jika sudah tepat, berikan pekerjaan pada mereka yang membutuhkan.
Birokrasi pemerintahan pun perlu fleksibel, jika ingin menjadi tanah yang subur bagi calon-calon pemimpin masa depan. Proses pemilihan umum dibuat lebih lentur, supaya orang-orang yang beragama ataupun etnis minoritas bisa ikut sebagai salah satu kandidat, baik itu pilkada, maupun presiden. Yang dilihat bukanlah latar belakang agama ataupun etnis, melainkan kemampuan memimpin yang ia miliki. Sebuah bangsa yang birokrasinya rumit dan diskriminatif tidak akan pernah memiliki pemimpin sejati.
Sikap yang kedua adalah sikap terbuka. Menyambung argumen sebelumnya masyarakat perlu terbuka untuk beragam perbedaan, mulai dari perbedaan suku, ras, etnis, bahkan sampai perbedaan gaya hidup. Hanya di dalam keterbukaanlah para calon pemimpin masa depan bisa bertumbuh. Yang perlu diperhatikan juga adalah supaya sikap terbuka ini tidak hanya berhenti menjadi kata-kata atau slogan belaka, tetapi menjadi budaya yang nyata dari bangsa kita.
Bangsa kita
Sudahkah bangsa kita memiliki sistem birokasi yang fleksibel di segala bidang, serta sikap terbuka yang sesungguhnya, sehingga calon pemimpin masa depan tidak terhalang oleh birokasi yang sia-sia, dan mengalami diskriminasi yang menutup dirinya dari berbagai kemungkinan untuk berkembang?
Sampai detik tulisan ini dibuat, birokrasi di Indonesia masih mencekik banyak orang. Birokrasi bukan untuk melayani manusia, melainkan manusia dipersulit untuk bisa melayani kepentingan birokrasi yang tak jelas arahnya. Untuk menikah saja orang harus berkeliling kota mengumpulkan dokumen-dokumen yang tak jelas gunanya. Untuk membuat SIM orang perlu melewati prosedur yang tak pasti. Akhirnya orang berpaling pada calo untuk mengangkangi birokrasi.
Dalam bidang pendidikan banyak orang tak mendapatkan pendidikan yang layak, karena mereka terhalang oleh aturan birokrasi yang tak masuk akal. Hanya karena tak punya uang, tak lulus tes (yang sebenarnya juga tak perlu), atau tak cukup usia, seorang anak bisa tidak sekolah dan mengenyam pendidikan yang menjadi haknya. Semboyan bodoh dari masa lalu kembali terdengar, “Jika bisa sulit, kenapa harus dipermudah?”
Dalam bidang hukum birokrasi juga masih saja mencekik jiwa. Proses pengaduan kehilangan kendaraan bisa berubah menjadi proses penghisapan uang “administrasi” oleh birokrasi. Hal yang sama terjadi, jika anda kecopetan, dan kehilangan Kartu Tanda Penduduk anda. Birokrasi hukum bukan membantu orang yang kesulitan, tetapi justru menambah kesulitan saja. Ini bukan rahasia lagi di masyarakat kita.
Dalam proses mencari kerja, orang juga terhalang oleh birokrasi. Latar belakang yang sesuai tidak otomatis membuat orang bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Ia terhalang oleh tes-tes yang seringkali tidak dapat diandalkan, dan tidak memiliki tujuan yang jelas. Banyak bakat tersembunyi hilang dan tak punya kesempatan, karena birokrasi yang ada menghalangi mereka untuk maju.
Dalam soal kepemimpinan politik, diskriminasi masih merajalela. Orang yang berasal dari etnis dan agama minoritas tak punya kesempatan untuk maju sebagai pemimpin politik, walaupun mereka memiliki kemampuan memimpin yang hebat. Birokrasi dan diskriminasi menghalangi calon-calon pemimpin masa depan untuk duduk di kursi yang selayaknya, dan memimpin dengan baik.
Itulah situasi bangsa kita sekarang ini. Birokrasi yang tidak fleksibel memangkas orang-orang berbakat, sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk berkembang, dan menjadi pemimpin masa depan. Sikap tertutup dan diskriminatif memangkas para calon pemimpin, sehingga mereka sudah ditebas, bahkan ketika masih tunas. Tak heran bangsa kita mengalami krisis kepemimpinan di berbagai bidang, seperti yang terjadi sekarang ini.
“Merawat” Kepemimpinan
Indonesia jelas membutuhkan pemimpin yang berkualitas. Kita tidak bisa berharap, bahwa Tuhan akan memberikan begitu saja seorang satria piningit atau ratu adil yang akan menyelesaikan masalah bangsa. Kita juga tidak bisa berharap, bahwa partai politik akan menjadi tempat yang subur bagi lahirnya para pemimpin bangsa yang sejati. Sebaliknya kita harus berusaha menciptakan tanah yang subur bagi lahirnya kualitas-kualitas kepemimpinan di bangsa ini.
Tanah yang subur itu adalah analogi dari sebuah masyarakat yang memiliki penghargaan tinggi pada akal budi dan sikap kritis, mendorong lahirnya sikap otentik dan ekspresi diri, mendorong sikap peduli pada mereka yang menderita, adanya sistem birokrasi di berbagai bidang yang bersifat fleksibel, serta sikap terbuka pada beragam perbedaan yang ada. Itulah cara yang perlu ditempuh, supaya kita bisa merawat bibit-bibit kepemimpinan yang ada. Semua sifat masyarakat tersebut harus dibentuk dengan program serta kebijakan yang jelas, mulai dari pendidikan, hukum, pekerjaan, pemerintahan, sampai kesehatan.
Jangan sampai cita-cita menciptakan “tanah” yang subur bagi kepemimpinan dicekik oleh birokrasi yang tak masuk akal, atau oleh kebodohan kita sendiri sebagai bangsa. Jangan sampai. Taruhannya terlalu besar. ***
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Jadi, untuk menciptakan situasi masyarakat dan budaya yang bagus dalam mengembangakn kepemimpinan, kita perlu mulai dari reformasi hukum dan birokrasi? Kalau memang demikian, maka tantangan terbesar kita adalah bagaimana menjaga agar dua hal ini sungguh-sungguh terjadi dengan efektif, karena secara formal keduanya sedang berjalan di negerin ini, tapi hasilnya membuat banyak orang skeptik.
Dan, masalah ini tak hanya ada di level bangsa/negara, tapi di berbagai sektor yang lebih kecil sekalipun. I can share a lot of things with you abou this 🙂
SukaSuka
Ya James. Itu salah satu syaratnya. Reformasi birokrasi di Indonesia itu setengah hati, seperti banyak hal lainnya. Nanti kalau kita berjumpa, kamu bisa cerita banyak tentang birokrasi yang mencekik ini. 🙂
SukaSuka