Metanegasi, Pretensi dan Kesalahan

stars-surrealismOleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Penulis dan Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat München, Jerman

Tanggapan atas buku “Filsafat Negasi” tulisan Muhammad Al-Fayyadl dalam Diskusi di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 9 Mei 2016

Saya teringat suatu sore di kota Berlin, Jerman. Saya sedang berdiskusi dengan seorang kawan tentang perbedaan antara filsafat Jerman dan filsafat Prancis kontemporer. Kawan saya berpendapat, bahwa para pemikir Prancis tidak dapat dianggap sebagai seorang filsuf, melainkan sastrawan. Mereka menggunakan bahasa yang indah dan berbunga-bunga, guna menyampaikan maksud mereka yang sebenarnya cukup sederhana. Ini tentunya berbeda dengan gaya menulis para filsuf Jerman kontemporer, seperti Julian Nida Rümelin dan Jürgen Habermas, yang menekankan ketepatan kata, supaya tulisannya bisa dimengerti oleh masyarakat luas.

Ketika membaca buku Filsafat Negasi ini, ingatan tentang percakapan tersebut mengalir deras di dalam kepala saya. Saya mencoba membaca buku ini, dan melahirkan semacam metanegasi, yakni negasi atas negasi. Yang saya tangkap adalah, bahwa Fayyadl mencoba memaparkan apa yang sesungguhnya tidak bisa dipaparkan oleh kata dan konsep. Sebuah kepura-puraan (pretensi), bahwa kehidupan bisa dilukiskan dengan guratan tulisan yang mati, setelah pengarang meninggalkannya. Lanjutkan membaca Metanegasi, Pretensi dan Kesalahan

Pretensi

blogspot.com
blogspot.com

atau…. Simulo ergo sum; Aku Berpura-pura, Maka Aku Ada

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman

Di dalam bukunya yang berjudul Masse und Macht, Elias Canetti, penulis dan pemikir asal Bulgaria, mencoba mengamati berbagai bentuk perilaku manusia, dan mengaitkannya dengan perilaku hewan. Salah satu perilaku yang menonjol adalah pretensi, atau berpura-pura. Perilaku semacam ini tampak di dalam perilaku bunglon. Ketika latar belakang berubah, maka si bunglon akan mengubah warna tubuhnya, guna menyesuaikan dengan latar belakangnya.

Manusia pun memiliki perilaku yang sama. Kita berpura-pura di hadapan orang lain, guna mencapai tujuan kita. Orang menyebutnya sebagai kemampuan beradaptasi, atau kemampuan untuk menyesuaikan diri. Namun, di balik itu, kita tahu, bahwa kita berusaha memoles tampilan luar kita, agar sesuai dengan keadaan di luar diri kita. Bahkan, kita menipu diri kita sendiri, demi supaya bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar kita.

Pretensi di Sekitar Kita

Politikus tampil terlihat kuat dan dapat dipercaya, supaya ia bisa memperoleh dukungan politik dari rakyat. Ia berpura-pura kuat dan kredibel, walaupun niat hatinya tetap tak dapat ditebak. Nyatanya, begitu banyak politikus, tidak hanya di Indonesia, menjadi koruptor di kemudian hari. Pretensi adalah suatu bentuk kebohongan, yang mengaburkan kenyataan dan bayangan. Lanjutkan membaca Pretensi