Memahami Hermeneutika

hermeneutics.jpg (220×170)

Enam Definisi Hermeneutika

Reza A.A Wattimena

Definisi hermeneutika masihlah terus berkembang. Menurut Richard E. Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation).[1] Akan tetapi, secara luas, hermeneutika juga sering didefinisikan sebagai, pertama, teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis). Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology). Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding). Empat, hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften). Lima, hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding). Dan enam, hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.

Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting didalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks.[2] Tulisan ini mau memberikan kerangka menyeluruh tentang keenam definisi tersebut, yang lebih banyak berfungsi sebagai pengantar pada arti sesungguhnya dari hermeneutika.

Teori Penafsiran Kitab Suci

Pengertian tertua, dan mungkin yang paling banyak dipahami oleh banyak orang, adalah hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation). Ada pembenaran yang bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata hermeneutika pada era modern memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan dalam penafsiran Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran, melainkan metodenya. Perbedaan antara penafsiran aktual (exegesis) dan aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutika) sudah sejak lama disadari, baik didalam refleksi teologis, dan kemudian didalam refleksi-refleksi non teologis.

Di Inggris, dan nantinya di Amerika, penggunaan kata hermeneutika mengikuti kecenderungan umum yang mengacu pada penafsiran kitab suci. Penggunaan pertama, setidaknya yang terdokumentasikan, dapat dilihat di Oxford English Dictionary pada 1737, yakni “mengambil kebebasan dengan tugas khusus yang suci, yang juga berarti melakukan tugas-tugas yang adil dan hermeneutika yang bijaksana.”[3]

Ketika penggunaan kata hermeneutika meluas pada teks-teks non kitab suci, biasanya teks tersebut sangatlah sulit untuk dimengerti, sehingga membutuhkan metode khusus untuk mengerti makna yang tersembunyi. Salah satu bentuk hermeneutika non kitab suci dirumuskan oleh Edward Burnett Taylor pada Primitive Culture (1871). Ia menulis, “Tidak ada legenda, tidak ada alegori, tidak rima, yang tidak membutuhkan hermeneutika untuk mengerti mitologi-mitologi.”[4] Dengan demikian, seperti sudah disinggung sebelumnya, penggunaan kata hermeneutika pada bidang-bidang non kitab suci seringkali ditujukan pada teks-teks yang memiliki makna tersembunyi yang sulit dimengerti, sehingga membutuhkan penafsiran khusus untuk menangkap makna tersebut.

Kata hermeneutika biasanya sering ditarik genesisnya sampai abad ke-17. Akan tetapi, proses menafsirkan, baik itu dalam bentuk penafsiran religius, sastra, maupun bahasa-bahasa hukum, dapat dirunut langsung kejaman Yunani maupun Romawi Kuno. Sejarahnya bisa dirunut sampai panjang sekali. Kedetilan historis semacam itu tidak dapat dipresentasikan disini. Akan tetapi, ada dua butir refleksi yang kiranya bisa berguna untuk kita, yakni akar hermeneutik yang sebenarnya bisa ditemukan dalam proses penafsiran Kitab Suci, dan pertanyaan lainnya yang mencangkup keluasan bidang refleksi hermeneutika.

Tanpa bermaksud untuk terjebak dalam detil, adalah penting bagi kita untuk mencatat, bahwa ada kecenderungan umum di dalam metode penafsiran Kitab Suci untuk menggunakan “sistem” penafsiran, di mana penafsiran difokuskan dengan satu metode tertentu yang telah diakui bersama. “Sistem” semacam itu seringkali dirumuskan dalam bentuk prinsip-prinsip yang berfungsi sebagai kerangka panduan. Suatu teks tidak dapat ditafsirkan dengan bersandar pada teks itu sendiri, karena hal tersebut tidaklah mungkin. Suatu teks hanya bisa ditafsirkan di bawah pengaruh semangat jaman tertentu. Misalnya, penafsiran teks-teks Kitab Suci pada jaman Pencerahan cenderung optimistik terhadap kebebasan manusia dan memuat nilai-nilai moral yang juga bersifat optimistis. Dalam arti ini, hermeneutika adalah cara ataupun metode sang penafsir untuk menemukan makna tersembunyi di dalam teks.

Pertanyaan lain banyak berkaitan dengan keluasan dan ruang lingkup hermeneutika. Dalam hal ini, setidaknya ada pendapat yang saling berdebat satu sama lain, yakni disatu sisi ada pendapat yang melihat bahwa hermeneutika haruslah merumuskan sebuah teori yang eksplisit sebagai panduan dalam menafsirkan teks, dan disisi lain ada pendapat yang melihat bahwa metode hermeneutika haruslah tidak dirumuskan secara eksplisit, melainkan implisit dan terwujud di dalam praksis penafsiran yang dikaitkan dengan pengaruh-pengaruh lainnya. Misalnya, seorang teolog yang bernama Gerard Ebeling tengah melakukan studi tentang “hermeneutika Luther”. Dalam hal ini, apakah ia harus memfokuskan diri untuk tetap pada analisa persepsi Luther tentang penafsiran, atau ia harus juga menempatkan tesis Luther tentang hermeneutika dengan tulisan-tulisan Luther yang lainnya? Ebeling melakukan keduanya. Masalahnya, apakah metode yang ia gunakan tersebut harus dalam bentuk-bentuk prinsip yang jelas berkaitan dengan tesis hermeneutika yang dirumuskan Luther, ataukah biarkan metode tersebut mewujud di dalam praktek penafsiran yang melibatkan berbagai aspek lain, yang mungkin mempengaruhi cara Luther merumuskan tesis hermeneutikanya. Yang paling baik memang menggabungkan keduanya, seperti yang dilakukan oleh Ebeling.

Dengan demikian, di dalam tegangan antara metode hermeneutika yang eksplisit fokus pada satu fenomen, atau pada metode hermeneutika yang mau menangkap yang tersembunyi di balik fenomen-fenomen lainnya, yang mungkin mempengaruhi fenomen yang ingin dianalisa, hermeneutika dan pemahaman yang mendalam tentangnya, baik secara epistemologis maupun ontologis, adalah sangat penting untuk mencari pengertian yang lebih dalam tentang cara manusia menafsirkan dirinya, maupun menafsirkan “dunianya”.

Metodologi Filologi

Perkembangan rasionalisme pada abad ke-18 juga berpengaruh pada pemahaman tentang hermeneutika. Hermeneutika pun, yang tadinya hanya digunakan di dalam proses penafsiran Kitab Suci, ternyata juga dapat diterapkan pada bidang-bidang lainnya, yang non Kitab Suci. “Norma-norma penafsiran Kita Suci”, demikian tulis Spinoza, “hanya dapat menjadi cahaya bagi rasionalitas yang cocok untuk semua.”[5]

Tantangan untuk menerapkan metode hermeneutika pada bidang-bidang non Kitab Suci. Yang menjadi penting disini adalah, bahwa sang penafsir tidak lagi hanya menarik nilai-nilai moral dari suatu teks, tetapi juga mampu memahami “roh” yang berada di balik teks, dan kemudian menterjemahkannya secara rasional sesuai konteks yang berlaku. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa pemahaman semacam merupakan proses demitologisasi gerakan pencerahan atas teologi dan agama-agama. Walaupun, terutama di abad ke-20, proses tersebut tidak lagi dipahami sebagai pemurnian tafsiran dari mitos, dan kemudian menjadikannya serasional mungkin, tetapi lebih sebagai proses penafsiran lebih jauh dari penafsiran yang sudah ada sebelumnya.[6]

Sebagai fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut sang penafsir untuk mengerti latar belakang sejarah dari teks yang ditafsirkannya. “Setiap penafsir”,tulis J.S Semler,”haruslah mampu berbicara tentang teks yang ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang berbeda, serta situasi yang berbeda…”[7] Dengan demikian, seorang penafsir juga adalah seorang “sejarahwan”, yang mampu mengerti dan memahami “roh” historis dari teks yang dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.

Ilmu Pemahaman Bahasa

Dalam bidang ini, filsuf yang banyak memberikan kontribusi adalah Schleiermacher. Ia memandang hermeneutika sebagai semacam sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami. Pemahaman semacam ini mau melampaui konsep, yang melulu memandang hermeneutika sebagai kelompok aturan koheren dan sistematis, yang merupakan panduan utama untuk menafsirkan teks. Schleiermacher tidak puas hanya dengan memandang hermeneutika sebagai metodo filologi, seperti yang sedikit sudah dijelaskan di atas, melainka juga melihat hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”.[8] Prinsip-prinsip hermeneutika umum dapat juga berfungsi sebagai landasan atas berbagai macam penafsiran teks.

Dengan merumuskan hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”, ia, untuk pertama kalinya, memahami hermeneutika sebagai studi atas pemahaman itu sendiri. Hermeneutika semacam ini merupakan semacam sintesa antara tafsir Kitab Suci dan Filologi.

Landasan Metodologis bagi Ilmu-ilmu Kemanusiaan

Wilhelm Dilthey, satu filsuf yang banyak berbicara tentang hermeneutika pada abad ke-19, berpendapat, bahwa hermeneutika adalah displin berpikir, yang dapat digunakan sebagai landasan metodologi untuk ilmu-ilmu kemanusiaan, yakni ilmu-ilmu yang memfokuskan analisanya pada pemahaman akan seni, tindakan sosial manusia, maupun karya-karyanya.

Menurutnya, untuk menafsirkan dan memahami ekspresi dari karya-karya manusia, terutama dalam bentuk karya-karya sastra, penafsiran Kitab Suci, dan penafsiran hukum, diperlukan tindakan pemahaman sejarah, yang secara operasional berbeda dengan metode sains yang kuantitatif untuk memahami gejala-gejala alam. Ia berpendapat bahwa di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan diperlukan “rasionalitas” yang lain untuk memperoleh pemahaman sejarah, yang berbeda dari “rasionalitas murni” Kantian, yang dapat digunakan untuk menafsirkan alam. Jenis “rasionalitas” untuk memperoleh pemahaman di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan adalah “rasionalitas historis”.

Hermeneutika, bagi Dilthey, adalah displin ilmu yang berfokus pada problem penafsiran, dan terutama sekali adalah penafsiran atas obyek-obyek historis, yakni sebuah teks. Oleh karena itu, metode yang paling tepat adalah memahami, dan bukan mengkalkulasi secara kuantitatif, seperti yang diterapkan pada ilmu-ilmu alam. Dalam hal ini, ia telah merumuskan landasan yang lebih manusiawi dan historis tentang metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan.

Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial

Berbicara tentang Dasein berarti kita harus berbicara tentang Martin Heidegger. Untuk merefleksikan berbagai problem metafisika, ia menggunakan fenomenologi, seperti yang telah dirumuskan oleh Edmund Husserl. Heidegger melakukan studi fenomenologi atas keseharian manusia di dunia. Studinya tersebut ada pada buku Being and Time (1927), yang merupakan karya Magnus Opusnya. Dalam bukunya tersebut, ia melakukan refleksi atas (manusia) Dasein, yang disebutknya sebagai hermeneutika atas Dasein.

Dalam konteks ini, hermeneutika tidaklah diartikan sebagai ilmu ataupun aturan tentang penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi sebagai eksplisitasi eksistensi manusia itu sendiri. Heidegger berpendapat bahwa “penafsiran” dan “pemahaman” merupakan modus mengada manusia. Dengan demikian, hermeneutika Dasein dari Heidegger, terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari pengertian, jugalah merupakan hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus hermeneutika untuk menafsirkan Dasein secara fenomenologis.

Hans-Georg Gadamer mengembangkan implikasi lebih jauh dari hermeneutika Haidegger di dalam sebuah karya sistematik, yang berjudul “Philosophical Hermeneutics”(Truth and Method). Di dalam buku itu, ia merunut perkembangan hermeneutika secara detil mulai dari Schleiermacher, Dilthey, sampai pada Heidegger. Akan tetapi, Truth and Method lebih dari sekedar sejarah hermeneutika, melainkan juga sebuah upaya untuk mengkaitkan hermeneutika dengan estetika, dan juga sebuah refleksi filsafat “pemahaman sejarah” (historical understanding). Ia juga menjabarkan kritik Heidegger terhadap hermeneutika, dan kemudian merumuskan konsep “kesadaran yang bergerak dalam sejarah”, seperti yang pernah juga dirumuskan oleh Hegel, bahwa penafsiran bergerak secara dialektis bersama sejarah, dan kemudian ditampilkan di dalam teks.

Gadamer dan Heidegger mengangkat hermeneutika sampai pada level “linguistik”, di mana Ada sesungguhnya hanya dapat dimengerti melalui bahasa. Hermeneutika adalah pertemuan sang penafsir dengan Ada melalui bahasa. Dengan demikian, mereka memberikan arti lain bagi kata hermeneutika, yakni sebagai problem filosofis tentang relasi antara bahasa dengan Ada, pemahaman manusia, sejarah, eksistensi, dan realitas. Hermeneutika pun ditempatkan sebagai salah satu refleksi filsafat yang cukup sentral dewasa ini, yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ontologis maupun epistemologis, karena proses manusia memahami itu sendiri adalah persoalan ontologis dan epistemologis.

Sistem Interpretasi

Paul Ricoeur mau mendefinisikan hermeneutika dengan kembali pada analisis tekstual, yang memiliki konsep-konsep distingtif serta sistematis. “Yang saya maksudkan dengan hemeneutika,” demikian tulis Ricoeur, “adalah peraturan-peraturan yang menuntun sebuah proses penafsiran, yakni penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan tanda-tanda yang juga dapat disebut sebagai teks…”[9] Psikoanalisis, terutama dalam tafsir mimpi, jelas merupakan proses hermeneutika. Semua aspek tentang hermeneutika ada di sana. Mimpi menjadi teks. Teks tersebut mempunyai berbagai bentuk simbol, dan sang analis akan menggunakan simbol-simbol tersebut untuk menafsirkan dan mengungkapkan makna yang tersembunyi. Dalam konteks ini, hermeneutika adalah suatu cara untuk menangkap makna yang masih bersifat implisit di dalam mimpi, dan yang sesungguhnya mempunyai arti penting. Obyek dari penafsiran, yakni teks dalam arti seluas-luasnya, juga bisa merupakan simbol yang terdapat di dalam mimpi, simbol yang terdapat pada sebuah tulisan, ataupun di dalam masyarakat itu sendiri.

Ricoeur membedakan dua macam simbol, yakni simbol univokal dan simbol ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna, seperti pada simbol-simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal, yang merupakan perhatian utama dari hermeneutika, yang simbol yang memiliki bermacam-macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks simbolik, yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa depan. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan sebuah sistem penafsiran, di mana relevansi dan makna lebih dalam dapat ditampilkan melampaui sekaligus sesuai dengan teks yang kelihatan.

Upaya untuk menemukan makna tersembunyi di dalam mimpi, ataupun di dalam “simbol” yang tampak tidak berkaitan satu sama lain menunjukkan satu hal, yakni bahwa realitas yang tampak di depan mata kita ini sesungguhnya tidaklah dapat dipercaya. Freud memberikan sumbangan yang penting sekali tentang hal ini. Ia mengajarkan kepada kita untuk tidak begitu saja percaya terhadap apa yang kita sebut sebagai pengetahuan sebagai hasil dari kesadaran. Dengan bertitik tolak dari situ, ia pun mengajak kita untuk menghantam semua bentuk mitos dan ilusi, yang mungkin selama ini telah kita pahami sebagai pengetahuan hasil dari kesadaran. Salah satu yang ingin ditunjukkan Freud adalah agama sebagai mitos dan ilusi manusia. Agama adalah ilusi orang-orang yang tidak dewasa. Dalam hal ini, fungsi hermeneutika kritis Freud bersifat kritis.

Berbagai bentuk cara penafsiran yang dapat dilakukan manusia itulah yang mendorong Ricoeur untuk merumuskan dua macam bentuk hermeneutika, yakni yang pertama hermeneutika sebagai upaya penafsiran untuk menangkap makna tersembunyi di dalam suatu teks ataupun simbol, dan kedua, hermeneutika sebagai cara untuk bersikap kritis dan kemudian menghancurkan semua bentuk ilusi ataupun kesadaran palsu, yang mungkin muncul akibat simbol-simbol atau teks tertentu. Bentuk kedua ini disebut juga sebagai hermeneutika “demistifikasi”. Ia kemudian menunjuk beberapa pemikir, yang dianggapnya sebagai filsuf demistifikasi, yakni Nietzsche, Freud, dan Marx. Ketiga orang ini berpendapat, bahwa realitas yang tampak di depan mata kita itu palsu dan menindas. Mereka kemudian merumuskan sebuah alternatif berpikir untuk membuka dan melawan kepalsuan tersebut, karena kepalsuan tersebut memiliki ekses-ekses yang menghambat kehidupan manusia. Mereka juga mengganggap agama sebagai salah satu bentuk mitos dan ilusi, yang harus dikupas dan dilawan. Cara berpikir yang benar adalah cara berpikir yang selalu memandang sesuatu secara kritis, yakni dengan penuh kecurigaan dan keraguan. Dengan cara berpikir seperti itu, perubahan sosial ke arah pembebasan manusia dapatlah diwujudkan. Penafsiran yang mengarahkan dirinya pada arah pembebasan. Ini adalah suatu bentuk hermeneutika yang baru.

Dengan begitu banyak metode yang dapat digunakan di dalam hermeneutika, Ricoeur berpendapat bahwa tidak ada satu bentuk norma universal di dalam penafsiran manusia, melainkan teori-teori yang terpisah, dan saling berdebat satu sama lain.[10] Akan tetapi, setidaknya ada dua bentuk besar dari metode hermeneutika ini. Di satu sisi, ada para penafsir yang melihat teks dan simbol sebagai sesuatu yang sakral, dan berupaya untuk menafsirkan yang sakral tersebut untuk menemukan makna yang tersembunyi di baliknya. Di sisi lain, ada para penafsir yang bahwa simbol dan teks adalah sebuah realitas yang palsu, yang harus dikupas struktur-struktur menindasnya.

Penafiran Ricoeur atas teks-teks Freud sendiri adalah suatu bentuk penafsiran kreatif yang mengagumkan. Ia membaca Freud, menafsirkannya, dan menemukan relevansinya bagi kehidupan masa kini maupun untuk masa depan. Ia mau merumuskan suatu bentuk hermeneutika, di mana rasionalitas dalam bentuk keraguan dan kecurigaan dapat dipadukan dengan interpretasi reflektif untuk menemukan makna tersembunyi di balik teks ataupun simbol tertentu. Sekarang ini, filsafat banyak berupaya menafsirkan bahasa. Hermeneutika, seperti yang telah disintesakan oleh Ricoeur, ditantang untuk menafsirkan bahasa secara kreatif tanpa terjatuh mengganggapnya sebagai sesuatu yang sakral, ataupun melulu dicurigai sebagai ilusi atau mitos yang menindas.

Menafsirlah secara kreatif!

Daftar Pustaka

Richard E. Palmer, Hermeneutics, Northwestern University Press, 1969.


[1] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutics, Northwestern University Press, 1969, hal. 33.

[2] Ibid, hal. 34.

[3] Ibid, hal.35.

[4] Primitive Culture, hal. 319, dalam Palmer, ibid.

[5] Spinoza, Tractatus theologico-politicus, bab 7, seperti dikutip Palmer, 1969.

[6] Palmer, 1969, hal. 39.

[7] Lihat, Kraus, hal. 93-102, dalam Palmer, 1969.

[8] Lihat Palmer,1969, hal. 40.

[9] Ibid, hal. 43.

[10] Ibid, hal. 44.

Technorati Tags: ,

Economics Versus Extremism

no-extremism-1.jpg (206×218)

Economics Versus Extremism

Vali Nasr

http://www.newsweek.com/id/219341/page/2

Eight years after 9/11, many in the West still think of Islam as a threat. Islamic extremists are seen as brainwashed robots, and the rest of Muslims as only a step behind in their blind acceptance of what their leaders preach. But this view misses a larger point: Islamic extremism is the direct result not of a problem with doctrine but of sclerotic, overregulated economies that stifle entrepreneurship; isolate people from the global economy; and deprive them of jobs, service

s, and hope for a brighter future. And there is a glimmer of good news: all this can change. Indeed, it already is. Recent years have seen the tentative emergence of a middle class throughout the Muslim world. And this capitalist trend, if encouraged by the West, offers the single best hope for combating Islamic extremism worldwide.

Consider the problem first. For too long, standards of living have been falling in many parts of the Muslim world. Populations are getting younger, putting more pressure on weak growth rates. By one estimate, the Arab world alone will have to create 100 million new jobs by 2020 to meet the surging demand, and the prospects don’t look good. Unemployment is growing, and those lucky enough to have jobs must endure menial, demeaning work. Social mobility is too rare, and extremism thrives on anger and hopelessness. Radical Islam promises despondent youngsters the kind of meaning they can’t find in their daily lives. As one Pakistani father of a would-be jihadi told me recently, "Let [my son] be martyred. There is nothing for him here. He has no future. At least if he dies in jihad he will bring honor to his family."

Underneath this gloom, however, one can glimpse sparks of change. Economic reform in Turkey, Dubai, and Malaysia, and even the modest loosening of government control in places such as Egypt, the West Bank, and Pakistan have begun allowing space—though rarely enough space—for commerce and global trade. Local entrepreneurs and businessmen have begun to take advantage of these changes.

clip_image001clip_image002The result is the birth of a small but growing middle class. In the 1960s, on average no more than a third of the populations of large Muslim countries such as Turkey, Iran, or Pakistan lived in cities, and by most estimates no more than 6 percent of the populations counted as middle class. Today, around two thirds of the populations of those countries live in urban areas, and on average, twice as many count as middle class. If you define the group as those who have a regular income and formal employment with a steady salary and benefits, and who can afford to devote a third of their income to discretionary spending, the middle class now amounts to around 15 percent of the population of Pakistan and twice that in Turkey. The numbers are even higher if you broaden the definition to include those who have adopted modern family values, especially the desire to have fewer children and to invest in their advancement. One estimate puts as many as 60 percent of Iranians in, or ready to enter, that group.

The signs of this emerging middle class and the capitalist surge it’s helping to drive can be found everywhere in the Muslim world, even war-torn Beirut and fundamentalist Tehran. While the overall picture in these countries looks grim, an economic renaissance has tentatively begun. Between 2002 and 2008, real GDP in the Middle East and North Africa grew by 3.7 percent, up from 3 percent in the previous decade.

This matters for one key reason: middle-class capitalists represent the best hope for the advancement of their societies—and the most potent weapon for combating extremism. While it’s true that the 9/11 attackers were middle class (as have been many other terrorists), what matters is whether or not the middle class as a whole supports extremism. The problem in the Muslim world until now has been that the tiny middle class has had few ties to free markets and has depended on state salaries and entitlements. The growth of local capitalism—and integration with the world economy—could help change that.

Already these forces are having an impact. The recent election controversy in Iran can be seen as a struggle by its rising middle class to protect its economic interests against President Mahmoud Ahmadinejad, a populist who has sought to increase state domination of the economy. Turkey, meanwhile, has already arrived at the future; it is a successful Muslim democracy fully integrated into the global economy.

The same pattern will replicate itself elsewhere. One and a half billion consumers have clout, and as they move up the economic ladder, they demand a blending of traditional and moderate Islam with the opportunities and material benefits of liberal capitalism. They want distinctly Islamic goods: not just halal food and headscarves, but Islamic housing, haute couture, banking, education, entertainment, media, and consumer goods.

This demand has already created waves in global markets, best demonstrated by the boom in Islamic finance (financial services that abide by Islamic rules forbidding the collection and payment of interest). The growth of such services is tying the Muslim world more closely to the global economy. Although it remains a niche market—there are currently some 300 Islamic banks and investment firms operating in more than 75 countries, overseeing banking services totaling close to $500 billion and an Islamic bond market worth $82 billion, a mere one 10th of 1 percent of the global bond market—some estimate that the assets of this sector will grow to as much as $4 trillion by 2015. This trend might look, at first glance, like an attempt to defy the global economy. But what it really represents is an attempt to join it on terms that make sense to Muslims, that combine capitalism with piety.

Some members of this new middle class are the children of the old bureaucracy, but a far larger percentage comes from the provinces and from lower social classes. These sons and daughters of the rural poor have made the jump to the middle class by accepting the requirements of modern economics. Many are devout, but their wealth and aspirations put them squarely at odds with extremism. After all, with wealth comes conspicuous consumption, liberal social and political values, and a vested interest in engaging the world. This does not mean there will be no more middle-class Muslim terrorists. But terrorism as a whole will stop resonating with a truly integrated Muslim middle class—a process similar to what occurred in Latin America in the 1990s. Those with a stake in commerce and trade will not subscribe to destructive ideas that endanger their futures. The alienation and rage many Muslims feel toward the West is a product of historical grievances but has been great-ly aggravated by their exclusion from the global economy. Were that to change, many Muslims would begin looking forward rather than backward. The rise of this "critical middle" is a trend every bit as powerful and important as extremism. And it holds the key to changing the hearts and minds of the Muslim world once and for all.

It’s too soon to say whether Muslim businessmen in Lahore, Tehran, or Cairo will lead a full-fledged capitalist revolution akin to that spearheaded by Protestant burghers in Holland four centuries ago. But European history does suggest that only such actors and the robust breed of capitalism they embrace have a chance of truly modernizing the Muslim world. The modern capitalist West was invented by children of the Reformation, but it was not their puritanical faith that transformed things. It was, rather, their newfound belief in trade and commerce, which took hold in Europe’s backwaters like Scotland and gave birth to Adam Smith and David Hume. Similarly today, the agents who will vanquish Muslim extremism will not be secular dictators, enlightened clerics, or liberal reformers but entrepreneurs and businessmen.

This truth has obvious implications for Western governments. Values gain currency when they serve the economic and social interests of the people, and they shape states’ behavior when those who hold them gain power. If moderate, capitalist values have not yet been fully embraced in Muslim lands, that’s not because of the fundamental nature of Islam, but because the commercial class leading the process is still too small. Helping that bourgeoisie to grow and dominate its societies is the best way of making sure the right values take root.

So what should Washington and its allies do? The first answer is trade. The West has committed much in blood and treasure to protecting its interests in the greater Middle East, yet it does very little real business with the region (apart from Turkey). If you don’t count oil and weapons sales, U.S. trade with the whole Arab world amounts to barely a fraction of its trade with Latin America, Eastern Europe, or India. The United States now has free-trade deals with Jordan and Morocco, and Europe is considering an economic partnership with the Arab countries of the Mediterranean rim. These are positive steps, but there are still far too few Arab-made goods on Western shelves.

Trying to reform someone else’s religion is a fool’s game, and when it comes to nation building, the West’s record is spotty. But if there is one thing America and its allies are good at, it is unleashing the transformative power of business. To encourage the middle-class Muslim revolution, therefore, the West should help free Muslim economies from the clutches of state control. Local governments must be pressured to submit to the rule of law, to accept constitutional checks and balances, to open their economies to direct foreign investment, trade, and the free flow of goods and resources, and to reduce regulation. Developed countries should push for fewer and smaller state-run enterprises, reduced public sectors, and fewer people on government payrolls. The West, in return, should open its markets to products from the Muslim world and ensure that the money it pours into the region goes to support the right kind of change.

This won’t turn the tide in just a few years. The Muslim world suffers from too many problems. But change is possible, so long as the rich world builds strong ties with the "critical middle" and helps it prosper. The great historical process that changed the West has just begun in the greater Middle East. The United States and Europe must help it along, to ensure that they’re standing on the right side of history as it evolves.

Nasr is a professor of international politics at Tufts University and the author of the forthcoming Forces of Fortune: The Rise of a New Muslim Middle Class and What it Means for Our World, From Which This Article Was Adapted.

Perubahan Iklim, Pemanasan Global, dan Panik Moral

climate-change.jpg (505×331)

Perubahan Iklim dan Panik Moral

Reza A.A Wattimena

Wacana terkait dengan perubahan iklim (climate change) menimbulkan panik moral (moral panics) di seluruh dunia. Wacana tersebut berkembang menjadi pusat perhatian yang menyedot hampir seluruh pikiran dan tenaga para ahli dari berbagai bidang ilmu. Diskusi publik mengenai perubahan iklim diselenggarakan di berbagai belahan dunia. Para pemimpin dunia berkumpul di Kopenhagen, Denmark untuk secara serius membicarakan berbagai upaya guna mencegah kerusakan lebih jauh yang diakibatkan oleh pemanasan global.

Namun panik moral tersebut tampak kurang terasa di Indonesia. Alih-alih menjadi bagian dari wacana publik, perdebatan seputar perubahan iklim dan pemanasan global hanya menjadi trend intelektual semata. Gaya hidup masyarakat serta kebijakan pemerintahan di level nasional sama sekali belum mencerminkan panik moral ataupun keprihatinan terhadap masalah tersebut.

Panik Moral

Menurut Kenneth Thompson konsep panik moral sebenarnya menandakan sesuatu yang positif, yakni masyarakat mulai terfokus pada problematika sosial yang sungguh penting untuk dihadapi. Pada takaran yang tepat, panik moral akan menghasilkan kesadaran yang tinggi untuk mencegah terjadinya krisis sosial lebih jauh. (Thompson, 1998)

Perubahan iklim dan pemanasan adalah suatu fakta yang harus dihadapi dengan kejernihan berpikir serta ketepatan bertindak. Cukup tepat jika problem ini layak menjadi bagian dari panik moral. Dengan itu problem terkait dengan perubahan iklim dan pemanasan global sungguh akan menjadi bagian dari keprihatinan umat manusia keseluruhan. Setidaknya ada empat ciri dari panik moral yang sehat, seperti yang telah dirumuskan Thompson.

Yang pertama adalah keberadaan suatu fenomena yang mengancam nilai-nilai kehidupan masyarakat. Perubahan iklim dan pemanasan global mengancam kehidupan manusia secara langsung. Potensi bencana dalam bentuk kelaparan, kekeringan, dan anomali alam lainnya, seperti badai dan tsunami, langsung menghantam eksistensi manusia secara utuh. Sudah selayaknya perubahan iklim dan pemanasan global menjadi bagian dari panik moral dan keprihatinan masyarakat di seluruh dunia, dan terutama di Indonesia.

Yang kedua, ancaman dari suatu fenomena yang sungguh dapat dikenali dan didefinisikan secara tepat oleh masyarakat, terutama media. Perubahan iklim dan pemanasan global dapat langsung dikenali gejalanya oleh masyarakat. Suhu bumi yang memanas, ditambah dengan semakin meluasnya padang gurun di beberapa bagian dunia, adalah akibat langsung dari masalah tersebut. Media massa dan LSM, baik nasional dan internasional, telah berulang kali menyuarakan keprihatinan mereka soal hal ini. Berbagai kajian ilmiah di berbagai bidang ilmu telah dilakukan untuk mempertegas pentingnya berbagai negara di seluruh dunia berhadapan langsung dengan problematik ini.

Yang ketiga, fenomena tersebut berhasil menggerakan sebagian besar masyarakat untuk segera bertindak. Di Indonesia wacana tentang korupsi dan keadilan publik sedang menjadi panik moral, namun belum wacana mengenai perubahan iklim dan pemanasan global. Ketiganya memang wacana yang sangat penting. Oleh karena itu ketiganya harus menjadi bagian dari keprihatinan moral masyarakat luas.

Yang keempat, panik moral akan bermuara pada terjadinya perubahan sosial. Para pembuat kebijakan dan tokoh publik akan menggerakan opini publik ke arah yang sama sekali baru. Dalam hal ini perubahan iklim dan pemanasan global harus sungguh menjadi fenomena yang mengubah gaya hidup masyarakat Indonesia, dan bukan sebatas diskusi semata. Penghematan energi berbasis fosil di bidang industri dan transportasi, penanaman hutan kembali, dan pelestarian daerah hijau di kota-kota besar adalah wujud konkret dari perubahan gaya hidup tersebut.

Situasi Indonesia

Semua ini sebenarnya sudah menjadi bagian dari kehidupan banyak negara maju, kecuali Amerika Serikat dan Cina. Di Eropa Barat dan negara-negara Skandinavia, masyarakat sudah menjadikan perubahan iklim dan pemanasan global sebagai panik moral (moral panics) masyarakat mereka. Namun masyarakat Indonesia masih tertinggal jauh dalam hal ini. Memang berbagai diskusi publik telah dilakukan. Namun perubahan gaya hidup masih belum kelihatan.

Pemborosan energi fosil terus dilakukan di berbagai industri. Konsep industri hijau (green industry) seringkali hanya menjadi bagian dari promosi semata, tanpa ada substansi di dalamnya. Mobil-mobil besar yang boros bahan bakar masih menjadi kebanggaan para orang kaya di Indonesia. Kantor dan sekolah belum memiliki kepekaan dalam soal penghematan penggunaan kertas.

Singkat kata, Indonesia belum menjadikan fenomena perubahan iklim dan pemanasan global sebagai bagian dari panik moral nasional. Sebagai negara tropis Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk membuat perbedaan, terutama dengan penanaman kembali hutan tropis dan penghijauan di kota-kota besar. Di tengah silau badai sidang korupsi dan pertarungan politik para elit yang berskala nasional, masyarakat luas perlu untuk secara perlahan namun pasti mengubah gaya hidup mereka dalam soal penggunaan energi. Bukankah sia-sia ketika korupsi berhasil kita musnahkan dari negeri ini, namun kita sudah tidak lagi memiliki tanah untuk diinjak dan air untuk diminum?***

The Life Beyond the Mask

Technorati Tags: ,,,

mask_2.jpeg (366×477)

The Life Beyond the Mask

Reza A.A Wattimena

It is said that Abraham Lincoln, once president of the United States of America who pioneered the legendary abolition of slavery, was a shy person. He was lack of association with his families.

He often shut himself in his room, reading books, struggling with his science project which is not yet clear what will it become. He did not have many friends.


However, when he saw there was something wrong, especially about others, he can immediately turn into fierce, assertive, and not compromise. He is also known for his ambitions.

He can change in a flash, 180 degrees, to become a figure that is completely different than before. Maybe that’s why he wanted to become politicians, and then became one of the greatest presidents in the history of the United States. We never know which of the original Lincoln, could be the president, could also be the shy child who almost did not have any friends at all.

Mrs. Dewi, a mask dancer from Cirebon, suddenly changed, when she wore a mask to perform mask dance which has been her profession for a lifetime. She instantly became the role which given to her, namely the role that matched the mask.

In the blink of an eye, she immediately united with the mask. Although she is old, she was instantly transformed into a young, energetic, and even pounding, like a crazy horse (Ajidarma, 1997).

Of course, it is only temporary, because as soon as she took off her mask, she returned to the original Mrs. Dewi, which is an old, wise, and gentle person. Once the mask is opened, the dancer returned to the old personas.


But, that is not the main problem.

Your Mask

Apparently, everyone always wear a mask which has been selected for themselves. There are various masks that can be selected, ie, masks a good husband, good wife, a girlfriend, or just whatever they think is best and right for themselves.

However, is there any true self which is exist behind the mask? Apparently, we’ll never know.
Imagine, every person has a collection of masks that are hung on their hangers just behind the exit door. Well, they can choose what masks they use, if they want to get out of the room.

There are people who choose to wear a mask factory workers, other times he became the society leader, other times he became the badminton player. Not only that, if he is bored, he can go back to the room and change the mask. Good lover and intimate person can turn into a fierce boss in the blink of an eye.
However, among so many masks that hung idle on clothes hangers, which one is the original face?

Indeed, in everyday life, we do not see the mask, but we see the faces of those we meet. In other words, the people always seemed to wear their own faces, and never the masks.

Deep in our hearts, we always knew, the faces that we met were basically just a mask.
This fact is reflected in depth by Ellias Canetti, Bulgarian philosopher, in his book Crowds and Power (1984). For him, human beings are, as well as a caterpillar and a butterfly, is a creature that can changed.

Humans are creatures who constantly changing, which is not consistent to a single identity, but fragmented in the multiple layers. With this ability, humans are not much different from animals in their ability to ‘cheat’ the enemy.

Soldiers who wear clothes, that resemble the surrounding environment to deceive the enemy, just like a chameleon who always adapt to the color of ground they occupy. The tribes of primitive hunters often equate their self-identity with one of the animals they admired. The hope is clear, so that they can be as strong as the animals.

Pseudo-Face

Then, is it possible that one of the mask, which hung on a hanger, is our true face?
Are we really have a true face?

Every moment of our lives, we are always given a certain role. That role could have been voluntarily, or by compulsion. The role always change.

A director of an international company, famous fierce in his office, could turn into a kind and gentle person in front of his daughter at home. A professor of chemistry at the university can seem helpless in front of his beloving wife.

Whatever mask we wear, we have to perform the role, whether like it or not. There are people who wear a certain mask not because of his own free will, but because coercion from others. That is indeed a pity.

Then, when people really being themselves? Or, can a person be his or her self?
Can someone be him or her self, if it turns out, the crowds do not like it? It is sad, if we can not be ourselves.

Often, we are not allowed to be ourselves, because we will be disturbing the interests of the COMMUNITY (Ajidarma, 1997).

I, and of course you are, would often see people who wear a particular mask in order to please others. If there are top 10 chart for the most miserable people on this beloved earth, these people fit into the top.
Suppose


Maybe, if we let go of the mask we wear, we will not find anything in our faces. We are the masked men, but don’t have face…

Perhaps, too, we have been mistaken for one by making a mask that we use as our own face … Whatever it is, as written Seno Gumira Ajidarma nearly 10 years ago, "if you looked in the mirror pal, make sure, that you are not wearing a mask "(ibid) ….

Indeed, as argued by Canetti, the changing process in the human nature have no boundaries. The limits of the changes are the limits of human imagination itself.

Ah, is this indicate that we almost do not know anything about ourselves?

Between Law and Justice

Technorati Tags: ,,

Between Law and Justice

By: REZA A.A Wattimena


The process of interpretation and application of legal formulas always invite a dilemma. If applied strictly in accordance with the existing formula, it is likely to violate a sense of justice in society. However, if interpreted too far from the legal section for adjustments to the sense of justice, the law becomes useless, because it no longer has the authority to be obeyed. The ideal law is the law that was at the point of balance between legal positivism (a strict interpretation by reference to the provisions of law), and sense of justice (morality and norms of a society which is considered as fair).

Problematic interpretation of the Law

Just as the texts of Scripture and philosophy, legal provisions were not a dead text, but a formula that needs to be interpreted in accordance with the changing world.Therefore, on the one hand, the law must be detailed enough to accommodate all aspects of human life that need to be regulated to prevent social harm (social lost). On the other side, the law need to be flexible enough to be interpreted by reference to the principles of justice which is higher than the provisions of the law itself. The failure of law enforcement cases related to corruption indicates a lack of legal authority (less detail in the application of legal formulas).While the case of the arrest of a 55-year-old grandmother after, she stole 3 cacao beans, really bother the sense of justice that exist in society (the law does not refer to the principles of justice).

Andang L. Binawan argued that law and justice are two different things, though not be separated. (Binawan, 2004) Justice is an ideal value that becomes the direction of human life. While the law is a human creation that since its formation process carried injustice. There are three things important enough to note in the process of legal interpretation. The first is about the impossibility to sit down as a free and equal subject to formulate legal provisions. The second is about the weakness of language in the articles of the law. And the third is about the space and time that separates the legislators from the people. (Binawan, 2004)

The legislators of the law were not free and equal. There are power relations that affect them. There is stronger legislators which have the ability to argue. He or she affects the law-making process significantly. There is also a weak legislators, he or she was not able fight for his constituent. On the other hand, the interests of political party, social class, the paradigm of the dominant discourse in society, and economic interests have significantly influenced the course of the legislation.

The second, according Binawan, legal language is human language, and human language since the beginning has always been reduction of reality. Language is a symbol to capture and convey meaning. In the process, direct language reduces the meaning of the symbols to the alphabet, which also means automatically reduces the actual meaning of justice to be accommodated in the language of law. Language and meaning are two different things, but can not be separated. The meaning is something much richer than the language. In the matter of legal interpretation, the justice is the value that wants to be accommodated in the language of law, but will never be identical.

The third, according Binawan, the legislators formulate the law in the context of a particular time and space. Often the context is different from the present context. There is distance of space and time far enough, which separates the legislators (assuming he wants to realize the ideals of justice) and the community as its affected by the law. Therefore, a definition of law is often no longer relevant to the situation. Law is not relevant is an unfair law. And unfair law is not law at all.

Where is the Justice?

In all this problematic interpretation of the law, where is justice? The good legislator is they who sensitive with all threes point that has been formulated by Binawan above. They are aware of the language barrier, the distance of space and time, and the impossibility to formulate ideal law. On these limitations, they think and act wisely. The same is true for people who work at law enforcement. They also need to realize, that the law is not something absolute, but rather something that already from the beginning need a human touch to achieve its purpose, namely justice.

In his book entitled The Force of Law, Jacques Derrida insists that justice is ‘something that will come’. (Derrida, 2004) Justice is a moment that need to be hoped and strived for. Justice is always a moment away from the grip of the law, though to realize justice, human needs the law.The legislators and law enforcement in Indonesia need to be aware of this, so that in doing their job, they have the courage to give a personal touch to ensure the realization of justice.

But we also have to realize, that human life is not a mathematical formula. So the balance between law and justice is more of an aspiration than a fact. Similarly, justice will never be perfectly realized in the real world, precisely because the human world is not an ideal world, but the real world. This fact can not break our spirit to fight for justice. Instead all efforts must be made to bring the law closer to the principle of justice. Justice is a moment that will come, as long as we, humans, willing to fight for it.***

Tubuh yang Mendunia: Sebuah Refleksi Filsafat Tubuh

Technorati Tags: ,,

Tubuh yang Mendunia:

Filsafat Tubuh Maurice Merleau-Ponty

Reza A.A Wattimena

Manusia adalah tubuh sekaligus jiwa.[1] Tanpa jiwa ia bukanlah manusia, melainkan hanya mesin biologis. Tanpa tubuh manusia juga tidak menjadi manusia, karena ia hanya entitas imaterial yang mengambang tanpa basis empiris. Dengan demikian tubuh merupakan aspek penting bagi manusia, baik secara biologis, karena tubuh menunjang kehidupan manusia, maupun secara filosofis, yakni sebagai medium untuk menyentuh dunia dan merealisasikan dirinya sendiri. Tentu saja untuk menjadi otentik, orang harus menghargai dan memahami tubuhnya. Tanpa pemahaman tidak akan ada penghargaan. Dan tanpa penghargaan tidak akan ada penghayatan. Padahal penghayatan akan tubuhnya sendiri sangatlah berperan di dalam pengenalan diri manusia, yang merupakan jalan untuk menuju otentisitas.

Buku Samuel Todes ini merupakan suatu cara untuk merefleksikan tubuh manusia secara filosofis dengan menggunakan kerangka filsafat kontemporer.[2] Menurut Hoffman, di dalam pengantarnya untuk buku itu, Todes menolak dua asumsi yang banyak berkembang di dalam filsafat. Yang pertama adalah asumsi, bahwa penafsiran manusialah yang membentuk realitas. Realitas tidaklah memiliki entitas pada dirinya sendiri yang berdiri mandiri dari pikiran manusia. Oleh karena itu tidak ada data ataupun fakta yang telah terberi, karena semuanya merupakan hasil dari penafsiran manusia. Yang kedua adalah bahwa manusia melulu merupakan produk dari makna yang dibentuk secara sosial.

Tentu saja argumen Todes tidaklah dibangun dari kekosongan, melainkan dari titik pijak yang dibuat oleh para filsuf fenomenolog lainnya yang juga tertarik dengan problem tubuh, seperti Maurice Merleau-Ponty dan Heidegger. Fenomenologi adalah suatu pendekatan di dalam filsafat yang berdiri sebagai alternatif dari idealisme yang telah mendominasi filsafat selama berabad-abad. Secara sederhana idealisme adalah paham di dalam filsafat yang berpendapat, bahwa dunia adalah hasil kontruksi dari pikiran dan ide manusia, serta tidak memiliki realitas otonom pada dirinya sendiri. Sementara fenomenologi adalah pendekatan di dalam filsafat yang ingin memahami realitas pada dirinya sendiri. Fenomenologi mengandaikan bahwa realitas itu mandiri dari pikiran manusia, dan ingin memahaminya tanpa prasangka ataupun bias apapun.

Dengan caranya masing-masing, Heidegger dan Merleau-Ponty ingin merefleksikan keberadaan manusia di dunia dengan sedapat mungkin tidak masuk ke dalam idealisme. Di dalam karya magnum opusnya yang berjudul Being and Time, Heidegger mengajukan tesis mendasar yang nantinya akan dipertahankan di dalam seluruh bukunya, yakni bahwa temporalitas merupakan makna dari ada-nya Manusia. Manusia disebut Heidegger sebagai Dasein, yakni ada-di-sana. Sementara “ada” adalah konsep yang mendasari keberadaan manusia. Akan tetapi temporalitas Dasein (manusia) juga menjadi dasar bagi Ada yang universal. Bahkan dikatakan juga bahwa Dasein adalah satu-satunya pengada yang menanyakan Ada. Oleh karena itu tidak ada yang dapat bermakna, kecuali itu berada di dalam pemaknaan Dasein, karena Ada yang universal itu merupakan simbol dari keseluruhan realitas itu sendiri.

Konsekuensi pandangan Heidegger itu adalah penolakan terhadap realisme, yang berpendapat bahwa realitas memiliki status yang otonom lepas dari pikiran manusia. Menurut Hoffman, Heidegger berpendapat bahwa realisme merupakan suatu bentuk metafisika kehadiran yang masih percaya, bahwa benda memiliki status mandiri dari manusia. Padahal benda di dalam realitas lebih merupakan hasil konstruksi dan pemahaman Dasein. Maka keberadaannya tidaklah mandiri. Inilah inti idealisme Heidegger, menurut tafsiran Hoffman.[3] Sekali lagi Heidegger sangat menekankan, bahwa Ada yang universal, yang merupakan abstraksi dari seluruh realitas, tidaklah independen dari pikiran Dasein, melainkan selalu terkait dengannya. Maka Ada (Being) ini tidaklah mandiri, melainkan terkait dengan manusia. Ia bahkan mengatakan dengan tegas, bahwa hanya manusialah yang bisa mengenali dan memahami Ada. Manusia adalah pengada yang menanyakan Ada.

Di sisi lain cara berfilsafat Merleau-Ponty sangatlah berbeda dengan Heidegger. Sekilas membaca orang bisa langsung menemukan aura mistik-religius di dalam filsafat Heidegger. Namun hal itu tidak akan ditemukan di dalam pemikiran Merleau-Ponty. Inti filsafatnya terletak pada konsep tubuh (body), dan upayanya untuk lolos dari cengkraman filsafat idealisme. Menurutnya tubuh manusia bukanlah sesuatu yang imaterial, melainkan justru sebaliknya, tubuh manusia adalah suatu realitas otonom yang memang keberadaannya selalu berada dalam kaitan dengan pikiran, subyek, dan dunia. Pendekatan Merleau-Ponty, menurut Hoffman, mempunyai sisi yang unik. Ia berusaha mendekati realitas dengan pertama-tama mempelajari persepsi manusia. Mengapa pendekatan semacam ini yang dipilih olehnya?

Segala sesuatu yang konkret pertama-tama haruslah dapat disentuh oleh pengalaman manusia, walaupun tidak harus pengalaman empiris. Benda tersebut haruslah dapat dikenali, baik bentuknya, warnanya, ukuran, dan sebagainya. Disitulah pentingnya peran persepsi di dalam proses pengenalan realitas. Pendekatan ini dirumuskannya untuk melampaui perdebatan empirisme dan rasionalisme tentang proses pembentukan pengetahuan manusia. Empirisme adalah paham yang menekankan, bahwa pengalaman empiris merupakan syarat utama dari pembentukan pengetahuan manusia. Sementara rasionalisme adalah paham yang berpendapat, bahwa pengetahuan manusia dibentuk oleh prinsip-prinsip yang telah inheren di dalam akal budi manusia, bahkan sebelum adanya pengalaman inderawi.

Sebagaimana ditafsirkan oleh Hoffman, Merleau-Ponty ingin melampaui dua pandangan itu. Ia berpendapat bahwa obyek secara mandiri memiliki ukuran dan bentuknya sendiri. Obyek tersebut tampil di hadapan kita bagaikan lukisan di dalam sebuah galeri, yang tentunya mengandaikan beberapa hal, seperti jarak, cahaya, arah, dan sebagainya. Semua unsur itu akan membuat kita mampu melihat dan memahami benda secara maksimal (maximum visibility). Benda tersebut dapat dipersepsi secara sempurna. Di dalam persepsi warna, ukuran, dan bentuk tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang mengambang tanpa konteks, melainkan sebagai ekspresi dari obyek. Inilah artikulasi penuh dari obyek, yakni ketika obyek menampilkan dirinya kepada kita dengan semua unsur yang membentuknya. Pencerapan atas unsur dan obyek itulah yang membentuk pengetahuan manusia tentang dunia.[4]

Benda-benda di dunia tidaklah dapat dipisahkan begitu saja dari orang yang mempersepsinya. Benda-benda itu juga tidak dapat bersifat mandiri pada dirinya sendiri, karena benda itu hanya dapat dikenali melalui pencerapan dan eksistensi manusia, dan eksistensi itu terwujud secara konkret di dalam konsep tubuh manusia. Di dalam karya magnus opusnya yang berjudul Phenomenology of Perception, Merleau-Ponty mengajukan pendapat secara konsisten, bahwa kesatuan tubuh manusia yang mempersepsi mendapatkan kepenuhannya dengan menyentuh dan mempersepsi dunia.[5] Jadi tubuh dan dunia adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Kepenuhan yang satu diperoleh dengan menyentuh yang lain. Tubuh menjadi utuh dengan menyentuh dunia. Sebaliknya dunia menjadi dapat dipersepsi dengan menyentuh tubuh.

Jika saya melihat gelas di depan saya, maka tubuh saya akan mempersepsinya sebagai gelas. Jika tubuh saya bisa mempersepsinya, maka gelas itu pastilah ada. Jadi gelas bukanlah suatu ilusi. Namun gelas juga bukanlah suatu entitas mandiri yang lepas begitu saja dari pikiran manusia. Keberadaan gelas sangatlah tergantung pada keberadaan manusia yang mempersepsinya. Proses persepsi bisa terjadi, karena manusia memilik tubuh. Dengan demikian pikiran manusia, tubuhnya, dan gelas di dalam realitas adalah satu kesatuan perseptual yang memungkinkan terciptanya pengetahuan. Apakah dengan argumen ini, Merleau-Ponty lalu terjatuh ke dalam idealisme? Bagaimana orang bisa mengetahui status mandiri dari benda-benda?

Menjawab pertanyaan itu Hoffman menafsirkan, bahwa Merleau-Ponty memiliki satu konsep yang memiliki ciri paradoks, yakni bahwa ada suatu konsep yang sekaligus bersifat tergantung pada manusia, sekaligus merupakan entitas pada dirinya sendiri. Merleau-Ponty menyebutnya sebagai sesuatu yang “untuk kita pada dirinya sendiri” (for us in itself). Dengan konsep ini ia ingin melepaskan diri dari idealisme, yang tidak percaya akan adanya benda pada dirinya sendiri, yakni benda yang punya status otonom lepas dari pikiran manusia.

Kesadaran perseptual, yang merupakan konsep unik dari Merleau-Ponty, dapatlah didamaikan dengan konsep benda yang independen dari pikiran manusia. Memang ini bukanlah suatu konsep yang cukup baru di dalam filsafat. Namun yang cukup baru adalah, bahwa Merleau-Ponty menempatkan konsep kesadaran perseptual tersebut untuk melakukan kritik terhadap idealisme. Kesadaran perseptual mengandaikan adanya tubuh, dan tubuh merupakan medium utama manusia untuk bersentuhan dengan realitas. Jadi walaupun konsep kesadaran perseptual sangat dekat dengan idealisme, namun konsep ini masih memberi ruang untuk status otonom tubuh dan realitas yang terkait, namun tidak sepenuhnya bergantung pada pikiran manusia. Tubuh adalah entitas pasif yang sekaligus aktif. Tubuh merupakan medium manusia untuk “mempunyai dunia”. Dengan kata lain manusia mendunia melalui tubuhnya.

Tubuh dan Dunia: Refleksi Lebih Jauh[6]

Tesis dasar dari Merleau-Ponty tentang tubuh, menurut Carman, adalah bahwa persepsi manusia akan dunia bukanlah persepsi terlepas tanpa konteks, melainkan suatu fenomena menubuh (bodily phenomenon). Persepsi bukanlah sesuatu yang bersifat privat. Tubuh juga bukan hanya sesuatu yang murni material. Persepsi adalah semacam titik tengah antara pengalaman subyektif internal di satu sisi, dan fakta-fakta obyektif eksternal di sisi lain. Persepsi bukan keduanya, tetapi juga sekaligus keduanya. Dalam bentuknya yang paling konkret, persepsi adalah unsur dari tubuh manusia yang menyentuh dunia. Konsep-konsep oposisi di dalam filsafat, seperti internal dan eksternal, mental dan fisik, subyektif dan obyektif, menurut Carman, tidaklah mampu menampung keseluruhan konsep tubuh di dalam filsafat Merleau-Ponty,[7] terutama karena persepsi dan tubuh sekaligus bersifat intensional dan mekanis, sekaligus subyektif dan obyektif, dan sekaligus internal maupun eksternal.

Kategori oposisi tersebut tentunya memiliki pengandaian, dan pengandaian itulah yang rupanya ingin direkonstruksi oleh Merleau-Ponty. Memang jika dilihat sekilas, kita akan menemukan adanya pengalaman-pengalaman subyektif, seperti perasaan, emosi, dan pengalaman-pengalaman eksternal, seperti adanya mobil, gelas, dan sebagainya. Akan tetapi kedua konsep itu, yakni pengalaman subyektif dan pengalaman eksternal, dibangun atas abstraksi dari keterbukaan manusia pada dunia. Dan menurut Merleau-Ponty keterbukaan kepada dunia itulah yang seharusnya direfleksikan lebih jauh.

Dengan demikian persepsi manusia memiliki dua aspek, yakni aktif dan pasif. Pasif berarti persepsi merupakan bagian dari organ yang menerima informasi dari pengalaman inderawi. Aktif berarti persepsi merupakan bagian dari aktivitas tubuh manusia yang mendunia. Sisi aktif dan pasif dari persepsi manusia di dalam filsafat Merleau-Ponty, sebagaimana ditafsirkan Carman, bagaikan dua sisi yang berbeda dari satu koin yang sama. “Persepsi”, demikian tulis Carman, “adalah selalu sekaligus pasif dan aktif, situasional dan praktis, terkondisikan dan bebas.”[8]

Tubuh dan dunia, menurut Merleau-Ponty, haruslah dilihat sebagai dua entitas yang menyatu, yang saling tumpang tindih. Relasi di antaranya bukalah relasi rangsangan dan reaksi, tetapi sebagai sesuatu yang saling menjalin dalam satu kesatuan. Konsep “saling menjalin” (interweave) inilah yang nantinya menggantikan konsep kesadaran di dalam pemikiran Merleau-Ponty sebelumnya. Memang di dalam konsep kesadaran, ia telah menyadari karakter kesatuan tubuh dan dunia. Akan tetapi konsep kesadaran bisa dengan mudah ditafsirkan sebagai idealisme baru. Maka ia menggantinya dengan konsep “saling menjalin”. Analogi yang Merleau-Ponty gunakan, sebagaimana ditafsirkan oleh Carman, adalah daging. Kesatuan tubuh dan dunia adalah daging (flesh).[9]

Persepsi, menurut Merleau-Ponty, adalah dasar atau fondasi bagi pengalaman manusia, baik yang subyektif maupun yang obyektif, baik perasaan-perasaan internal manusia maupun perasaan yang muncul secara konkret yang muncul dari persentuhan dengan dunia material. Lebih jauh persepsi bukanlah melulu fenomena mental, yang kemudian dipertentangkan dengan segala sesuatu yang material dan fisik. Persepsi adalah fenomena tubuh manusia. Artinya pengalaman kita akan dunia, baik subyektif ataupun obyektif, bukanlah melulu terkait dengan pikiran dan kesadaran saja, tetapi juga dengan tubuh. Kita merasa sakit pertama-tama dengan tubuh kita, baru pikiran kita kemudian mendefinisikannya. Disini pikiran, tubuh, dan realitas, yakni rasa sakit, saling tumpang tindih dan tak terpisahkan. Begitu pula ketika kita melihat sesuatu. Kita melihat dengan mata, tetapi pikiranlah yang menangkap sensasi warna dan bentuk. Di titik ini pikiran, tubuh, yakni organ mata, dan realitas saling jalin menjalin.

Sebagaimana ditafsirkan oleh Carman, Merleau-Ponty berpendapat, bahwa relasi antara tubuh dan persepsi bukanlah relasi sebab akibat. Tubuh tidak mengakibatkan persepsi, ataupun sebaliknya. Setiap orang memiliki pengetahuan prareflektif di dalam diri mereka. Pengetahuan pra reflektif adalah pengetahuan yang muncul dari pengalaman langsung, dan tidak diolah dulu menjadi sebuah konsep. Pengetahuan reflektif ini muncul melalui persentuhan tubuh dengan dunia. Jadi pengetahuan ini tidak muncul sebagai akibat dari persentuhan, tetapi bersamaan dengan persentuhan itu. Persepsi adalah suatu fenomena menubuh manusia. Oleh karena itu persepsi tidaklah dapat dimengerti terlepas dari tubuh manusia yang material dan bersentuhan langsung dengan dunia. Dan sekali lagi persepsi tidaklah ditentukan oleh tubuh, melainkan bersamaan dengan tubuh menyentuh dunia. Maka persepsi tidaklah bisa dilepaskan dari tubuh. Struktur persepsi adalah struktur dari tubuh. “Tubuhku”, demikian tulis Merleau-Ponty, “adalah sudut pandangku kepada dunia.”[10]

Dari sudut pandang orang ketiga, tubuh itu bersifat kontingen. Artinya tubuh itu penuh ketidakpastian dan perubahan yang berlangsung terus menerus. Tubuh adalah sesuatu yang ambigu. Akan tetapi dari sudut pandang orang yang empunya tubuh, tubuh bukanlah sesuatu yang kontingen, apalagi ambigu. Bahkan tubuh adalah adalah medium kita menyentuh dan berhubungan dengan dunia. Tubuh adalah sudut pandang kita dalam melihat dunia. Dari sudut pandang empunya tubuh, tubuh bukanlah suatu obyek, melainkan subyek yang bertujuan. “Tubuhku”, demikian tulis Carman dalam tafsirannya terhadap pemikiran Merleau-Ponty, “tidaklah dapat dimengerti secara sederhana sebagai gumpalan dari dunia material yang duduk dalam relasi dekat dengan pikiranku.”[11] Tubuh dan dunia memang tampak tidak terpisahkan, karena setiap orang mengalami dunia melalui tubuhnya.

Dunia adalah dunia bagi tubuhku. “Saya”, demikian tulis Merleau-Ponty, “melihat benda eksternal dengan tubuh yang saya miliki, saya memegangnya, saya memeriksanya, berjalan mengitarinya, akan tetapi bagi tubuh yang saya miliki, saya tidak mengamatinya pada dirinya sendiri; untuk bisa melakukan itu, saya perlu menggunakan tubuh kedua yang juga pada dirinya sendiri tidak bisa saya amati.”[12] Dengan demikian tubuh adalah jalan bagi manusia untuk bisa mendunia. Tubuh bukanlah obyek yang kontingen, atau sekedar fakta kasar dari dunia. Tubuh adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan persepsi manusia. Tubuh adalah modus mengada manusia di dunia. Dengan kata lain orang tidak dapat memahami persepsi dalam abstraksinya yang terlepas dari tubuh, karena persepsi selalu terkait tubuh. Persepsi sebagai fenomen menubuh manusia.

Pemadatan Teori Lebih Jauh

Persepsi, sekali lagi, adalah fenomena tubuh, dan bukan melulu fenomena mental manusia. Dengan teori ini Merleau-Ponty tidak mau jatuh ke dalam teori yang memandang subyektifitas sebagai esensi manusia, ataupun teori yang melihat bahwa realitas memilki fondasi empiris yang esensial. Ia berusaha mengartikulasikan dan mendeskripsikan melalui sudut pandang filosofis tentang apa artinya menjadi manusia di dunia. Dengan proses itu ia menolak mengakui manusia sebagai entitas psikis melulu ataupun entitas mekanis belaka, melainkan manusia sebagai tubuh subyek yang hidup dan berada di dunia. Inilah yang disebut sebagai pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini pun sampai pada argumen, bahwa manusia melihat dunia melalui tubuhnya. Maka setiap sudut pandang tubuh sebenarnya juga merupakan sudut pandang manusia.

Di dalam menafsirkan pemikiran Merleau-Ponty, Carman mengajukan pertanyaan, bagaimana tepatnya fungsi tubuh sebagai subyek bagi manusia?[13] Di dalam proses pembentukan persepsi, tubuh berfungi sebagai skema tubuh, yakni kumpulan disposisi yang bersifat langsung, yang mengarahkan dan memberikan informasi kepada aktivitas motorik manusia. Maka persepsi berakar pada tubuh, dan persepsi manusia terbentuk melalui skema tubuh. Tubuh dan persepsilah yang membentuk gambaran manusia tentang dunia sebagaimana dipersepsikan olehnya.

Di dalam karya akhirnya yang berjudul The Visible and The Invisible, Merleau-Ponty merumuskan dua metafor baru, yakni metafor daging (flesh) dan chiasm. Beberapa penafsir pemikiran Merleau-Ponty, Carman salah satunya yang menjadi acuan saya, berpendapat bahwa buku ini merupakan terobosan baru yang dibuatnya. Di dalam buku ini, ia berargumen bahwa persepsi selalu berakar pada tubuh di dalam sebuah lingkungan (environment). Inilah yang disebut sebagai chiasm, yakni kesalingtumpangtindihan antara persepsi, tubuh, dan dunia. Ini sebenarnya merupakan penekanan lebih jauh dari apa yang telah ditulis Merleau-Ponty di dalam Phenomenology of Perception. Akan tetapi metafor daging merupakan tanda peralihan pemikirannya dari buku itu.

Di dalam Phenomenology of Perception, Merleau-Ponty mendekripsikan pengalaman perseptual manusia melalui tubuh dalam persentuhannya dengan dunia. Namun di dalam karya berikutnya, ia menggunakan metafor daging untuk mengacu pada ketidaksadaran dan spontanitas tubuh dalam persentuhannya dengan dunia. Daging adalah adalah organ dari tubuh yang bersifat tidak sadar, namun menjadi dasar bagi persepsi dan persentuhan tubuh manusia dengan realitas. Dari sudut pandang ini, setiap orang tidak hanya berada di dalam dunia, melainkan adalah dunia itu sendiri.***


[1] Pada bab ini saya mengacu pada Samuel Todes, Body and The World, London, MIT Press, 2001.

[2] Piotr Hoffman, “How Todes Rescue Phenomenology from the Threat of Idealism”, dalam ibid, hal. Xxviii.

[3] Lihat, ibid, hal. Xxx.

[4] Lihat, ibid, hal. Xxxvi.

[5] Sebagaimana ditafsirkan oleh Hoffman, ibid, hal. Xxxvii.

[6] Pada bagian ini saya mengacu pada Taylor Carman, Merleau-Ponty, Oxon, Routledge, 2008.

[7] Lihat, ibid, hal. 78.

[8] Ibid, hal. 79.

[9] Lihat, ibid, hal. 80.

[10] Dikutip oleh Carman, 2008, hal. 81.

[11] Ibid, hal. 82.

[12] Dikutip oleh Carman, 2008, ibid.

[13] Lihat, ibid, hal. 133.

Toward Humanistic Education in Indonesia

Formulating a Wiser Graduation

and Evaluation Standards

in Indonesia National Education System

Reza A.A Wattimena

Assessment standards for graduation in the field of education is still needed. But, we have to look closely to the the standard criteria for the assessment and graduation in education.

An ideal graduation standards based on quantitative and qualitative assessment. It involves a quantitative assessment of numerical data about learners’ achievements, such as test scores, attendance, number of activities within the organization. While the qualitative assessment involves a narrative description that describes their deepest wishes, such as their motivation to follow education, and what their deepest hopes for the schools, or for educational institutions in general

Bureaucratic Problems

The debates on the National Exam (Ujian Nasional) can also be seen in terms of quantitative-qualitative thinking as I mention above. A learner must not be declared failed, simply because academic achievement (quantitatively) bad. There are so many other variables that must be noted, and these variables are usually narrative-qualitative which requires hard work to understand it.


The biggest educational problems in Indonesia rests on the laziness of educational bureaucrats to understand the qualitative variables. For them, what matters is the number of learners who were spread throughout Indonesia. The student are pale numbers with no personality, even though in reality, the students are human beings who have a historical background, personality, and expectations in life.
The inability of the education bureaucrats to understand this will lead to the destruction of the personality and the expectations of learners, because they feel reified. As long as the educational bureaucrats still operates with this paradigm, we can never solve the problems of education in Indonesia.

One Dimensional Intellectual

Graduation and assessment standards which only see students from academic grades alone will generate one dimensional intellectual. This kind of intellectual can not appreciate the other values in human life. They can only understand the value that can be measured mathematically. So often the money becomes the main objective. The pattern of education who solely served the business interest is a result of this way of thinking.

The Frankfurt School thinkers, Herbert Marcuse, has written a book entitled One Dimensional Man. In it, he wanted to reveal the crisis of modern society that are caused by one dimensional man that based their life only to consume goods endlessly. They can not appreciate the values of life, such as solidarity, love, and sacrifice.


All Indonesian citizens will be one dimensional man in the future, if the educational process still based its assessment and standards only on quantitative standards, as it happens right now. One dimensional man solely orient their life to consume endlessly. They no longer have a critical consciousness.

Human education

Discourse about the humanizing of education, which not only oriented to technical jobs in order to produce economic value maximization, can only become reality, if the standard assessment of learners’ also reflect his or her humanity. This means that the assessment standards do not reduce the learners into the numbers and numerical data, but also capable of capturing the complexity of the human soul that has a history, personality, and expectations.


This is true not only at the level of the National Exam, but also for the assessment of standards in education as a whole. Learners are not material product output from the school or other educational institutions. This kind of vocabulary reflects the entrenched educational paradigms behind it.The students are human beings who have dignity and persona. The assessment criteria must also reflect the dignity and complexity of these personas.
Reconstruction in Indonesia’s education can not start with a reactive policy (Koesoma, 2009), such as by extending schools just to meet the practical jobs with cheap salary, but with a change of mind in looking at what and who is human in the truest sense. Educational policy based on the concept of humanistic assessment and evaluation will lead Indonesian citizens to become more competitive, and, most importantly, dignified. ***

Metamorphosis of Democracy in Indonesia

metamorphosis.jpg (600×377)

Metamorphosis of Democracy

in Indonesia

By: REZA A.A Wattimena

There are two events that became a sign of growing democracy movement in Indonesia. The first was a peaceful anti-corruption demonstrations in several regions in Indonesia, with the exception of the conflict in Makassar. The second is the participation of hundreds of thousands of people to collect coins to assist Prita in relation to the demands of OMNI Hospital. This act of collecting coins is done by the public, and its almost touching the 200 million rupiah.

These two events are real forms of democratic metamorphosis. Metamorphosis of democracy, theoretically speaking, presupposes not only structural changes concerning democratic governance, such as periodic elections, but also changes in conception of human and citizen. The Indonesian people change and becoming more active citizens in political event. There also changes in sociological concept of Indonesia from passive community into more active political community.

The concept of citizenship, as part of political community, contained the human ability to become a free and rational political subject. By becoming citizens of a political community, people will actively engaged in social and political issue.

Politics of Apathy

Its been a long time since the public shows care about political issues. For many people in Indonesia, politics is a dirty thing. Many people, who previously fought bravely to change the corrupt social system, changed when he was involved in practical politics. Political positions that produce wealth and power erode their conscience. The people, which previously loved them, now hates them.

This situation makes people apathetic towards politics. They also distanced themselves from politics, and busy with personal matters. Public spaces become empty, since only a few people who care about political and social problems. While many others attempt to satisfy their barbaric personal interests.

But apathy could break. There are limit for indifference. Soon or later, the community will not stand anymore with the unjust behavior of political and business elites. Controversy concerning Prita have disturbed public conscience. They no longer silent, but began to shout to fulfill their desire, namely for good governance. Indonesian citizens began experiencing a metamorphosis from passive and apathetic citizens to become critical, active, and participative citizens in political matters.

Metamorphosis of democracy presupposes a change of human mentality. In the process, apathy, which had been so deeply embedded in society, began to erode.This happens because the growing tendencies of democratic awareness in education and public discourse. Various articles in media and public discussions have open the eyes of many people about what they should do to improve this nation. There should be no action, either by government or by business firms, who escaped the public eye.

Metamorphosis of Power

In the biological term, metamorphosis is a change in the physical form, because the growth of cells that are radically different. The same thing is happening now in Indonesian politics. Cell growth can be thought of as the growth of democratic groups in society who actively discuss and highlight the actions of government or business firms. In the process of growth, the different argumentation come together, and synthesize to become public opinion.

There are debates in public sphere. The most reasonable argument will prevail and gain public support. This is the dynamics of a healthy public space. Of course, there are power relations. But in today’s society, there is no single dominant power. The most powerful groups will keep checks and balances at each other movement, and therefore creating balances in society.

In a democratic society, the power remains. But all the big powers control each other, thereby creating a political synthesis, which is based on the interests of the people who can be rationally articulated, and the gain public approval based on the basic constitution of Indonesia. This is a democratic metamorphosis that taking place in Indonesia today.

Metamorphosis of Democracy

Today, many Indonesians becoming more active and critical in the political arena. But we also needed sociological metamorphosis, namely the change from apathetic community to the active and critical political community. Political community is not just a collection of human beings, but also a collection of memories that shape identity, and expectations about the common good.

Indonesia should not become merely a society, but also a political community. Hence, the metamorphosis of democracy should not be stopped. The process of metamorphosis will be more smoothly, if there are moment that can move people as citizens. So, the political moment must be created to encourage citizens to actively participate in political and social problems. Mass media and independent groups have a big role to create this kind of political moment .***

Metamorfosis Demokrasi

Metamorphosis_I.jpg (403×504)

Metamorfosis Demokrasi

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Ada dua peristiwa yang menjadi tanda meningkatnya gerakan demokrasi di Indonesia. Yang pertama adalah demonstrasi damai anti korupsi di beberapa daerah di Indonesia, dengan perkecualian konflik di Makassar. Yang kedua adalah partisipasi ratusan ribu warga untuk mengumpulkan uang koin, guna membantu Prita dalam kaitannya dengan tuntutan Rumah Sakit OMNI. Pengumpulan koin yang dilakukan oleh masyarakat hampir menyentuh angka 200 juta rupiah.

Dua hal ini merupakan bentuk nyata dari metamorfosis demokrasi. Metamorfosis demokrasi tidak hanya mengandaikan perubahan struktur pemerintahan menjadi lebih demokratis, misalnya dengan pemilu berkala, tetapi juga perubahan konsepsi manusia di dalamnya, yakni dari manusia Indonesia menjadi warga negara Indonesia yang aktif dan partisipatif di dalam setiap peristiwa politis, serta perubahan konsep sosiologis dari masyarakat yang pasif menjadi komunitas politis yang aktif.

Di dalam konsep warga negara sebagai pembentuk komunitas politis terkandung kemampuan manusia untuk menjadi subyek politik yang bebas dan rasional. Dengan menjadi warga negara dari suatu komunitas politis, orang akan terlibat secara aktif untuk menunjukkan kepeduliannya pada persoalan bersama.

Apatisme yang Terkikis

Sudah lama masyarakat merasa tidak peduli dengan persoalan politis. Bagi banyak orang politik adalah hal yang kotor. Banyak pula orang yang sebelumnya dengan tegar memperjuangkan kepentingan rakyat menjadi berubah sama sekali, ketika ia terlibat di dalam politik praktis. Jabatan politis yang membuahkan harta dan takhta mengikis hati nurani yang dimilikinya. Ia pun berubah menjadi sosok pribadi yang dibenci oleh rakyat.

Semua itu membuat masyarakat apatis terhadap politik. Mereka pun menjauhkan diri dari politik, dan sibuk dengan urusan pribadi. Ruang publik menjadi sepi, karena hanya beberapa orang yang peduli. Sementara banyak orang lainnya terhisap oleh upaya untuk memuaskan kepentingan pribadi.

Namun apatisme pun bisa pecah. Ketidakpedulian pun ada batasnya. Dua hal itu akan hancur, jika masyarakat sudah tidak tahan lagi dengan perilaku para elit politik dan bisnis yang jauh dari rasa keadilan masyarakat. Kontroversi KPK dan kasus Prita sungguh mengusik hati nurani masyarakat. Mereka pun tidak lagi diam, melainkan mulai berteriak untuk mewujudkan keinginannya, yakni pemerintahan yang adil dan berpihak pada kesejahteraan rakyat. Manusia Indonesia mulai mengalami metamorfosis dari manusia yang pasif dan apatis menjadi warga negara yang kritis, aktif, dan partisipatif di dalam persoalan-persoalan politis.

Metamorfosis demokrasi mengandaikan perubahan mentalitas manusia. Di dalam proses perubahan mentalitas itu, apatisme yang selama ini begitu kuat tertanam di masyarakat mulai terkikis. Hal ini terjadi akibat pendidikan demokrasi yang semakin kuat di masyarakat, walaupun tidak menempuh jalur formal. Tulisan-tulisan di media massa dan diskusi-diskusi publik semakin membuka mata banyak orang tentang apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki bangsa ini. Tidak boleh ada tindakan, baik oleh pemerintah ataupun oleh perusahaan bisnis, yang lolos dari mata publik.

Metamorfosis Kekuasaan

Di dalam biologi metamorfosis merupakan proses perubahan bentuk fisik yang terjadi, karena pertumbuhan ataupun diferensiasi sel yang secara radikal berbeda. Hal yang sama yang sekarang ini terjadi di dalam politik Indonesia. Pertumbuhan sel dapat dibayangkan sebagai pertumbuhan berbagai kelompok demokrasi di masyarakat yang aktif berdiskusi dan menyoroti berbagai tindakan pemerintahan ataupun perusahaan bisnis. Di dalam proses pertumbuhan itu, perbedaan argumen muncul dan mengalir di dalam ruang publik dalam bentuk opini.

Opini tersebut bertarung. Argumen yang paling masuk akal akan menang dan memperoleh dukungan publik. Inilah dinamika ruang publik yang sehat. Memang faktor kekuasaan masih sangat dominan. Namun di masyarakat sekarang ini, tidak ada kekuasaan tunggal yang dominan. Yang ada adalah beberapa kelompok yang memiliki kekuasaan besar, dan saling mengerem satu sama lain.

Di dalam masyarakat demokratis, kekuasaan tetap ada. Namun semua kekuasaan yang ada saling mengontrol satu sama lain, sehingga menciptakan sintesis politis, yakni politik yang didasarkan pada kepentingan rakyat yang mampu diartikulasikan secara rasional, dan memperoleh persetujuan publik berdasarkan konstitusi dasar Indonesia. Semua ini adalah bagian dari metamorfosis demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia sekarang ini.

Metamorfosis Demokrasi

Sekarang ini manusia Indonesia mulai menunjukkan sosoknya sebagai warga negara yang aktif dan kritis di dalam arena politik. Namun juga diperlukan adanya metamorfosis sosiologis, yakni perubahan konsep dari masyarakat menjadi komunitas politis. Komunitas politis bukan hanya sekumpulan manusia, tetapi juga kumpulan ingatan yang membentuk identitas, dan kumpulan harapan tentang hidup bersama yang baik.

Indonesia tidak boleh  menjadi hanya sekedar masyarakat, melainkan juga harus menjadi komunitas politis. Oleh karena itu metamorfosis demokrasi tidak boleh berhenti. Proses metamorfosis akan semakin lancar, jika tercipta momen-momen yang mampu menggerakan warga. Maka momen politis harus diciptakan untuk mengajak warga masyarakat berpartisipasi secara aktif di dalam persoalan bersama. Peran media massa dan kelompok-kelompok independen di masyarakat sangat besar untuk menciptakan momen politis tersebut.***

Filsafat Yahudi: Gersonides

Technorati Tags: ,,

maimonides.jpg (216×283)

Filsafat Gersonides

(1288-1344)

Reza A.A Wattimena

Saya ingin memperkenalkan anda dengan sosok hidup dan pemikiran Gersonides, atau yang juga banyak dikenal sebagai Levi ben Gershon. Sebagai acuan utama saya menggunakan tulisan Don Chon-Sherbok yang berjudul Fifty Key Jewish Thinker.[1] Gersonides adalah seorang filsuf Prancis. Ia juga adalah seorang matematikus, astronomer, dan penafsiran Talmud di dalam tradisi Yahudi. Ia lahir pada 1288 dan kemudian tinggal di Bagnols-sur-Cèze di Languedoc. Kemudian ia pindah ke Avignon dan Orange. Menurut pendapat Chon-Sherbok, Gersonides, sama seperti Maimonides, adalah seorang filsuf dan pencinta ilmu pengetahuan.

Salah satu karyanya yang terkenal adalah tentang astronomi. Ia mengomentari paradigma astronomi kuno. Ia bahkan bisa mengkalkulasi dengan ketepatan luar biasa berbagai peristiwa di langit, seperti layaknya seorang astronom modern yang telah menggunakan peralatan yang canggih. Di dalam prosesnya ia menggunakan metode Baculus Job untuk menghitung jarak antara bumi dengan planet-planet lainnya.[2] Menurut Chon-Sherbok pada 1325-1338, Gersonides menulis suatu tafsiran atas Kitab Suci Yahudi. Berbarengan dengan itu ia juga menulis tentang pemikiran Averroes dan tulisan tentang Talmud.

Wars of the Lord

Karya filosofis terbesar dari Gersonides berjudul Wars of the Lord. Ia menulis buku itu selamat 12 tahun, dan selesai pada 1329. Menurut penelitian Chon-Sherbok, Gersonides setidaknya memiliki enam tujuan utama dari penulisan buku itu, yakni ingin mengetahui apakah orang yang belum mencapai kesempurnaan mampu untuk memasuki kehidupan selanjutnya (1), apakah orang mampu mengetahui masa depan melalui mimpi, penampakan dari Tuhan, atau dari pewahyuan (2), apakah Tuhan mengetahui benda-benda yang ada di dunia (3), apakah ada campur tangan Tuhan di dalam benda-benda dunia (4), bagaimana sang penggerak utama dari berbagai ruang yang ada (Tuhan) bekerja (5), dan apakah dunia ini abadi atau diciptakan (6).[3]

Gersonides menolak pandangan Aristoteles, dan para pengikutnya, tentang Tuhan sebagai penggerak pertama di dalam realitas. Ia berpendapat bahwa keberadaan Tuhan hanya dapat dibuktikan, jika manusia mau secara jeli melihat dan memahami keteraturan realitas yang begitu indah. Chon-Sherbok menyebut argumen ini sebagai argumen berdasarkan desain (argument by design). Tata alam semesta yang begitu pas mengandaikan adanya intelegensi yang aktif berperan di dalamnya. Intelegensi itu mewujud di dalam proses penciptaan kehidupan di bumi. “Dengan demikian”, tulis Chon-Sherbok, “… dunia membentuk keseluruhan yang teratur membutuhkan keberadaan ada yang lebih tinggi (supreme being) yang mengetahui tatanannya.”[4]

Gersonides juga yakin bahwa orang mampu memahami Tuhan secara penuh. Hal ini tidak membuat Tuhan menjadi ‘kurang agung’. Tuhan dapat dipahami jika manusia mau melihat dirinya sendiri, dan kualitas-kualitas pribadinya, karena itu semua berasal dari kualitas-kualitas Tuhan itu sendiri. Dengan lugas dapatlah dikatakan, bahwa manusia dapat menemukan Tuhan dengan melihat dirinya sendiri.

Tuhan telah menciptakan hukum-hukum alam untuk membantu manusia menjalankan dan menyempurnakan hidupnya. Namun seperti yang ditulis oleh Chon-Sherbok, fakta ini sama sekali tidak membuat manusia kehilangan tanggung jawab moralnya. Tuhan juga memberikan kehendak bebas pada manusia. Dengan kehendak bebasnya manusia mampu menafsirkan wahyu dari Tuhan yang ada di kitab suci dan alam semesta. Di dalam proses itu, manusia pun mendapatkan mimpi dan pewahyuan yang membuatnya mampu mencapai kebenaran itu sendiri. Bentuk paling luhur dari kebebasan manusia adalah jiwanya yang tidak pernah mati. Dengan mengembangkan jiwanya manusia mampu mencapai kesempurnaan moral dan intelektual.

Gersonides lebih jauh berpendapat, bahwa dunia adalah sesuatu yang diciptakan. Dunia tidak abadi melainkan diciptakan untuk mewujudkan tujuan tertentu. Jika tujuan itu sudah tercapai, maka dunia akan hancur. Pola lahir dan mati adalah pola yang secara umum dapat ditemukan di dunia. Maka secara logis dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa dunia pun memiliki pola yang serupa, yakni memiliki awal dan akhir. Di dalam dunia yang sementara itu, manusia memiliki status yang istimewa.

Baginya manusia adalah mahluk yang paling sempurna. Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling unggul dibandingkan dengan yang lainnya. Dengan kemampuan akal budinya, manusia mampu merumuskan dan mencegah bahaya yang kemungkinan akan menimpanya. Juga dengan akal budinya, manusia mampu mencapai kebenaran. Akal budi manusia mampu merumuskan konsep-konsep abstrak tentang Tuhan dan dunia. Inilah yang membuat manusia istimewa. Kemampuan akal budi yang luar biasa mengandaikan keberadaan jiwa. Dan jiwa manusia menurut Gersonides adalah entitas yang abadi.

Gersonides juga berpendapat bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa terpilih. Tuhan mewahyukan dirinya kepada bangsa Yahudi. Dan ini tentu saja membuat bangsa Yahudi merasa spesial. Banyak juga orang yang terpilih menjadi nabi di dalam tradisi Yahudi. Bagi Gersonides para nabi adalah filsuf yang mendapat wahyu dari Tuhan, sehingga ia memiliki pengetahuan lebih tentang alam semesta. Mereka mampu menterjemahkan wahyu dari Tuhan untuk bisa diterapkan di dalam kehidupan individu ataupun masyarakat. Mereka adalah suara dan wakil Tuhan untuk berbicara pada umat manusia.[5]

Gersonides juga berpendapat bahwa para nabi mampu menebak tempat dan kapan terjadinya mukjizat. Dalam arti ini mukjizat adalah suatu kejadian yang melanggar semua hukum-hukum alam. Mukjizat memiliki hukum-hukumnya sendiri yang bertentangan dengan hukum-hukum alam. Salah satu bentuk mukjizat adalah keabadian jiwa manusia di tengah dunia yang tidak abadi. Keabadian tersebut dapat dicapai, jika manusia mau membaktikan hidupnya untuk mengikuti Torah Yahudi, sehingga mereka pada akhirnya mampu mencapai kesempurnaan moral dan intelektual. Hanya manusia yang telah berusaha mewujudkan kesempurnaan moral dan intelektual dalam hidupnyalah yang nantinya akan semakin cepat mencapai keabadian.

Kesimpulan

Searah dengan para filsuf Yahudi lainnya, Gersonides sangat mementingkan peran akal budi di dalam kehidupan beriman dan beragama. Ia mengajak setiap orang Yahudi untuk hidup seturut dengan aturan dasar Torah, dan kemudian mewujudkannya secara rasional. Dalam hal yang lebih teoritis, akal budi juga dapat digunakan untuk mencapai kebenaran tentang dunia, manusia, dan Tuhan. Semua ini menegaskan kembali argumen dasar buku ini, bahwa filsafat Yahudi adalah suatu upaya untuk merumuskan sintesis antara akal budi dan iman di dalam tradisi Yahudi. Iman tanpa akal budi hanya akan menjadi buta dan destruktir, itulah kiranya yang ingin ditegaskan oleh Gersonides.


[1] Lihat, Don Chon-Sherbok, 1997, 76-77.

[2] Lihat, ibid, 76.

[3] Lihat, ibid, 77.

[4] Ibid.

[5] Lihat, ibid, 78.

Pendidikan dan Standar Kelulusan yang Manusiawi

Technorati Tags: ,

Merumuskan Standar Kelulusan

yang Manusiawi

Reza A.A Wattimena

Standar penilaian untuk kelulusan di dalam bidang pendidikan tetaplah diperlukan. Yang perlu diperhatikan adalah kriteria standar penilaian dan kelulusan tersebut.

Standar kelulusan yang ideal berpijak pada penilaian kuantitatif dan kualitatif. Penilaian kuantitatif melibatkan data numerik tentang prestasi peserta didik, seperti nilai ujian, absensi, jumlah aktivitas di dalam organisasi. Sementara penilaian kualitatif melibatkan deskripsi naratif yang menggambarkan penghayatan terdalam peserta didik, seperti arti pendidikan baginya, motivasinya mengikuti pendidikan, dan apa harapan-harapan terdalamnya bagi sekolah secara khusus, ataupun bagi institusi pendidikan secara umum.

Kemalasan Para Birokrat

Perdebatan tentang masih diperlukannya Ujian Nasional (UN) juga dapat dilihat dengan kerangka berpikir kuantitatif-kualitatif di atas. Seorang peserta didik tidak boleh dinyatakan tidak lulus, hanya karena prestasi akademiknya (kuantitatif) buruk. Ada begitu banyak variabel lainnya yang mesti diperhatikan, dan variabel tersebut biasanya bersifat naratif-kualitatif, sehingga membutuhkan kerja keras untuk memahaminya.

Masalah pendidikan di Indonesia mayoritas berpijak pada kemalasan para birokrat pendidikan untuk memahami variabel kualitatif tersebut. Bagi mereka para peserta didik hanyalah angka yang tersebar ke seluruh Indonesia. Para peserta didik hanyalah angka pucat tanpa kepribadian. Padahal para peserta didik adalah manusia yang memiliki latar belakang sejarah, kepribadian, dan harapan-harapan dalam hidupnya.

Ketidakmampuan para birokrat pendidikan memahami ini akan berujung pada hancurnya kepribadian dan harapan para peserta didik, karena mereka merasa ‘dibendakan’. Selama para birokrat pendidikan masih memandang para peserta didik dengan gaya ‘pembendaan’ semacam ini, selama itu pula dunia pendidikan di Indonesia akan berjalan di tempat.

Intelektual Satu Dimensi

Standar kelulusan yang hanya melihat peserta didik dari nilai-nilai akademiknya semata akan menghasilkan intelektual-intelektual satu dimensi. Ciri dari intelektual seperti ini ketidakmampuannya untuk menghargai nilai-nilai lain di dalam kehidupan manusia, selain nilai yang dapat diukur secara matematis. Maka seringkali uang menjadi tujuan utama. Pola pendidikan yang mengabdi pada bisnis adalah hasil cara berpikir para intelektual satu dimensi ini.

Seorang pemikir Sekolah Frankfurt, Herbert Marcuse, pernah menulis buku yang berjudul One Dimensional Man. Di dalam buku itu, ia ingin mengungkap krisis masyarakat modern yang diakibatkan oleh keberadaan manusia satu dimensi, yakni manusia yang segala orientasi pikiran ataupun pilihan hidupnya hanya berpijak pada untuk mengkonsumsi barang-barang secara berlebih. Mereka tidak mampu menghargai nilai-nilai kehidupan lainnya, seperti solidaritas, cinta, dan pengorbanan.

Manusia semacam inilah yang akan menjadi warga negara Indonesia di masa depan, jika proses pendidikan masih berpijak pada standar kuantitatif dan memiliki kecenderungan untuk membendakan para peserta didik, seperti yang terjadi sekarang ini. Manusia satu dimensi adalah manusia yang terorientasi untuk mengkonsumsi. Mereka tidak lagi memiliki kesadaran kritis di dalam melihat dunia, walaupun bergelar intelektual publik.

Pendidikan yang Manusiawi

Wacana tentang pendidikan yang memanusiakan, yang tidak hanya berorientasi pada lapangan kerja teknis guna menghasilkan nilai ekonomis sebesar-besarnya, baru dapat terwujud, jika standar penilaian terhadap peserta didik juga mencerminkan kemanusiaannya. Artinya standar penilaian tersebut tidak mereduksi para peserta didik menjadi angka dan data numerik semata, tetapi juga mampu menangkap kerumitan jiwanya sebagai manusia yang memiliki sejarah, kepribadian, dan harapan.

Hal ini berlaku bukan hanya di level Ujian Nasional, tetapi juga bagi standar penilaian di dalam pendidikan sebagai keseluruhan. Peserta didik bukanlah produk material yang menjadi output dari sekolah ataupun institusi pendidikan lainnya. Kosa kata tersebut mencerminkan paradigma pendidikan yang bercokol di belakangnya. Para peserta didik adalah manusia yang memiliki martabat dan persona, maka semua kriteria penilaian terhadapnya harus juga mencerminkan martabat dan kerumitan persona tersebut.

Rekonstruksi dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dimulai dengan membuat kebijakan yang reaktif (Koesoma, 2009), seperti dengan memperbanyak SMK untuk memenuhi tenaga kerja praktis yang murah, tetapi dengan mengubah cara berpikir di dalam memandang apa dan siapa itu manusia. Kebijakan politik yang berpijak dengan konsep manusia yang tepat akan mengantarkan manusia-manusia Indonesia menjadi unggul, kompetitif, dan, yang paling penting, bermartabat. ***

Filsafat Yahudi: Saadiah ben Joseph Gaon

Technorati Tags: ,,,

Filsafat Saadiah ben Joseph Gaon

Reza A.A Wattimena

Dengan mengacu pada tulisan Dan Chon-Sherbok (selanjutnya saya singkat menjadi Chon-Sherbok), saya ingin memperkenalkan pemikiran Saadiah Ben Joseph Gaon (selanjutnya saya singkat menjadi Saadiah).[1]

Latar Belakang

Seperti sudah beberapa kali disebut sebelumnya, para filsuf Yahudi hendak melakukan sintesis antara filsafat Yunani Kuno di satu sisi, dan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Kitab Suci Yahudi di sisi lainnya. Filsuf yang secara jelas melakukan hal ini adalah Philo. Ia menerapkan metode filsafat Yunani Kuno yang rasional dan sistematis untuk menjelaskan konsep Tuhan, manusia, dan dunia di dalam tradisi Yahudi. Dalam arti ini Philo adalah filsuf Yahudi yang pertama.

Pada abad ke-9 pandangan Yahudi ditantang oleh pandangan Karaite, terutama pandangan tentang sifat-sifat Tuhan yang menyerupai manusia. Ini disebut juga sebagai pandangan Tuhan yang sifatnya antropomorfis. Selain itu pandangan Yahudi ditantang oleh para pemikir Zoroaster dan Manikean. Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mungkin satu. Mereka menolak monoteisme yang ditawarkan oleh tradisi Yahudi. Di sisi lain para filsuf Yunani Kuno pasca Aristoteles mengajukan argumen, bahwa awal mula alam semesta dapat dijelaskan tanpa perlu mengacu pada konsep Tuhan. Tradisi Yahudi mendapatkan tantangan dari berbagai pihak.

Untuk menanggapi berbagai kritik ini, para pemikir Yahudi belajar dari para pemikir Islam pada abad ke 8 dan 9, terutama para pemikir Mutazilite Kalam. Bagi para pemikir Islam, argumentasi yang masuk akal sangatlah penting bagi kehidupan beragama, dan filsafat Yunani Kuno sangat penting untuk dipelajari, guna memberikan dasar yang kokoh pada iman. Dengan demikian para pemikir Yahudi berhutang sangat besar kepada para pemikir Islam untuk mempertahankan iman dan tradisi mereka.

Filsuf Yahudi pertama di abad pertengahan adalah Saadiah ben Joseph al-Fayyumi. Ia lahir di Pithom, Mesir, pada 882 AD. Pada usia 20 ia menerbitkan sebuah Kamus Yahudi. Tiga tahun kemudian ia melakukan debat polemik dengan Karaisme yang merupakan sekte Yahudi yang menolak tradisi Yahudi. Setelah itu ia kemudian tinggal di Babilonia. Di sana ia terlibat di dalam penentuan tanggal hari-hari suci Yahudi. Kemudian ia ditunjuk sebagai gaon (seorang ahli di dalam tradisi Yahudi) di akademi Babilonia di Sura. Pada waktu itu akademi Babilonia memang sedang mengalami penurunan kualitas.

Di bawah kepemimpinan Saadiah, Sura berkembang pesat. Ratusan pemikir Yahudi dari seluruh penjuru dunia datang dan belajar di sana. Saadiah sempat mengalami polemik dengan para tetua Yahudi di Bagdad. Polemik itu memecah orang-orang Yahudi di Baghdad menjadi dua. Namun setelah beberapa waktu, dua kelompok tersebut melakukan rekonsiliasi. Saadiah kembali menduduki posisi sebagai kepala akademi secara mantap.

Ketika menjadi kepala akademi, Saadiah menulis tentang berbagai hal. Misalnya ia menulis tentang gramatikal bahasa Yahudi, menterjemahkan seluruh kitab suci Yahudi ke dalam bahasa Arab, membuat buku tentang doa, menafsirkan Talmud secara baru, merumuskan metode bagi penelitian ilmiah, menggabungkan dan menjelaskan hukum-hukum Yahudi, membuat kalendar yang sesuai dengan tradisi Yahudi, dan merumuskan suatu teologi rasional yang berpijak pada tradisi dan agama Yahudi. Ia melakukan itu semua, sampai meninggal pada 942 AD.

Hukum dan Tradisi Yahudi

Buku utama Saadiah adalah The Book of Beliefs and Opinions. Di dalam buku itu ia hendak menantang klaim religius para pemikir Kristen, Islam, Zoroaster. Bagi Saadiah ada empat sumber pengetahuan manusia, yakni panca indera, intuisi atas kebenaran, dan tradisi masyarakat yang masuk akal. Sumber keempat yakni tradisi masyarakat yang masuk akal, menurut Saadiah, adalah pemberian Tuhan kepada manusia untuk menjadi panduan hidupnya. Tanpa panduan itu manusia akan tersesat di dalam ketidakpastian hidup.[2]

Panduan yang dimaksud Saadiah adalah Torah. Torah diyakini sebagai sesuatu yang diberikan oleh Tuhan melalui nabi-nabi Yahudi, dan kemudian diturunkan ke generasi selanjutnya melalui tulisan. Torah menjadi dasar bagi agama dan tradisi Yahudi. Saadiah lebih jauh berpendapat, bahwa akal budi dan iman di dalam tradisi Yahudi saling melengkapi dan tak terpisahkan. Misalnya ia berpendapat bahwa alam semesta, secara logis, haruslah memiliki titik awal. Konsep waktu menurutnya baru dapat diterima dengan akal sehat, jika memiliki awal. Sang Pencipta Agung (yang adalah Tuhan) adalah Entitas Abadi yang utuh dan menciptakan alam semesta dari kekosongan.

Saadiah lebih jauh melanjutkan, Tuhan adalah satu, namun selalu memiliki atribut yang banyak. Misalnya Tuhan adalah agung, maha kuasa, pencipta maha agung, namun ia tetap Tuhan yang sama, yang satu. Berbagai atribut tentang Tuhan muncul, karena bahasa manusia tidak mampu secara utuh memahami konsep Tuhan. Maka dari itu semua konsep tentang Tuhan di dalam kitab suci, yang memang sangat mirip manusia, tidak boleh diartikan secara harafiah. Misalnya jika dikatakan di kitab suci, bahwa Tuhan marah, bahwa Tuhan memiliki mata, tangan, telinga, ataupun wajah, maka semua itu harus diartikan sebagai simbol yang harus ditafsirkan lebih jauh. Tidak hanya itu semua yang tertulis di dalam kitab suci Yahudi haruslah dibaca secara cerdas sebagai simbol untuk menyampaikan maksud tertentu. Tugas pembaca adalah menafsirkan maksud tersebut secara masuk akal sesuai dengan konteks jamannya.[3]

Tentang Manusia

Saadiah juga banyak menulis tentang inti terdalam dari manusia. Baginya setiap manusia memiliki jiwa. Jiwa tersebut diciptakan oleh Tuhan bersamaan dengan tubuh manusia. Jiwa tidak ada sebelum adanya tubuh. Jiwa adalah entitas yang diciptakan bersamaan dengan tubuh. Dalam arti ini tubuh adalah alat dari jiwa. Untuk bisa berfungsi jiwa manusia memerlukan tubuh. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Saadiah melanjutkan bahwa jiwa memiliki tiga fungsi, yakni fungsi akal budi, roh, dan hasrat. Ketiganya hanya berfungsi jika jiwa selalu berada dalam kaitan dengan tubuh. Jika tubuh rusak maka jiwa juga rusak.

Tujuan hidup manusia menurut Saadiah adalah menjadi bahagia. Dalam arti ini bahagia berarti orang mampu menjalani hidup secara penuh. Untuk bisa mencapai itu, Tuhan telah menyediakan aturan dan larangan untuk dipatuhi oleh manusia. Menurut Chon-Sherbok aturan dan larangan yang dirumuskan Saadiah itu melingkupi dua aspek. Aspek pertama adalah tipe larangan dan aturan yang memiliki akar pada hati nurani manusia. Jika manusia melanggarnya maka ia akan merasa bersalah. Hati nurani dan perasaan bersalah itu sudah selalu ada di dalam jiwa manusia. Misalnya orang tidak boleh membunuh, karena membunuh adalah tindakan penghancuran terhadap manusia lain, dan menghancurkan karya Tuhan.

Aspek kedua adalah aturan dan larangan yang secara intrinsik tidak baik ataupun buruk, melainkan menjadi baik ataupun buruk, karena Tuhan telah mengatakan seperti itu. Saadiah menyebutnya sebagai hukum tradisional. Jika manusia mematuhinya maka ia akan mendapatkan kebaikan dari Tuhan. Dan sebaliknya jika manusia melanggarnya, maka ia akan mendapatkan hukuman dari Tuhan. Walaupun terdengar dogmatis namun aturan dan larangan semacam ini memiliki rasionalitas dibaliknya. Misalnya ajakan untuk bersikap rendah hati (humility) sebenarnya membantu untuk menciptakan kehidupan bersama yang harmonis.

Hukum-hukum Tuhan yang terdapat di dalam agama dan tradisi seringkali tidak sepenuhnya bisa dipahami manusia. Maka ia membutuhkan pewahyuan dari Tuhan. “…Legislasi dari Tuhan”, demikian tulis Chon-Sherbok, “dibutuhkan untuk menjernihkan prinsip-prinsip moral yang diketahui oleh akal budi.”[4] Saadiah lebih jauh berpendapat, bahwa hukum-hukum Yahudi berlaku untuk sepanjang masa. Namun memang hukum-hukum tersebut perlu untuk ditafsirkan secara rasional, supaya bisa mengikuti perkembangan kehidupan manusia. Tuhan memang memberikan perintah, bahwa semua orang yang melanggar hukum-hukumnya haruslah dihukum. Walapun begitu ruang kebebasan bagi manusia tetap ada. Manusia tetap bisa memutuskan, apakah ia akan mematuhi hukum Tuhan, atau tidak.

Manusia dan Kehidupan Setelah Mati

Saadiah juga menulis soal kehidupan setelah mati di dalam tradisi dan agama Yahudi. Ia mengajukan pertanyaan yang sebenarnya juga menjadi pertanyaan banyak orang sekarang ini, mengapa orang-orang baik hidup susah dan menderita, sementara orang-orang jahat hidup berkelimpahan? Bagi Saadiah orang-orang baik mendapatkan pencobaan dari Tuhan. Mereka mengalami proses pemurnian yang berlangsung di dunia. Orang baik mengalami lebih banyak penderitaan di muka bumi ini. Namun Tuhan itu adil, maka setelah mereka meninggal, mereka akan mendapatkan imbalan dari Tuhan dalam bentuk kehidupan abadi yang bahagia. Inilah surga menurut Saadiah. Di dalam surga tubuh dan jiwa akan bersatu kembali. “Bagi Saadiah”, demikian tulis Chon-Sherbok, “karena Tuhan menciptakan dunia dari kekosongan, maka tidak ada kesulitan logis untuk percaya bahwa Tuhan dapat menciptakan tubuh dari orang-orang yang telah meninggal.”[5]

Menurut Saadiah ada dua bentuk berakhirnya peradaban manusia. Yang pertama adalah apa yang disebutnya sebagai periode messianik. Di dalam periode ini, kerajaan Israel akan mencapai puncak kejayaannya. Pada masa ini semua bentuk penindasan, kemiskinan, dan konflik sosial akan menghilang. Surga akan tercipta di dunia. Orang-orang baik akan mendapatkan imbalan yang sesuai. Orang-orang jahat akan mengalami penderitaan di dalam api. Di dalam tulisan-tulisannya, Saadiah adalah pemikir pertama yang secara sistematis memberikan pendasaran rasional bagi ajaran-ajaran yang terdapat di dalam agama maupun tradisi Yahudi, baik tentang manusia, hukum, ataupun kehidupan setelah mati. Akal budi digunakan untuk memahami dan menegaskan ajaran-ajaran di dalam tradisi dan agama Yahudi.


[1] Pada bab ini saya diinspirasikan dari pembacaan terhadap Chon-Sherbok, Dan, Fifty Key Jewish Thinkers, London: Routledge, 1997.

[2] Lihat, ibid, 181.

[3] Lihat, ibid, 182.

[4] Ibid, 183.

[5] Ibid.

Filsafat Yahudi: Moses Maimonides

Technorati Tags: ,,,

Filsafat Moses Maimonides

Reza A.A Wattimena

Saya ingin memperkenalkan anda dengan sosok dan pemikiran salah satu filsuf Yahudi abad pertengahan yang terbesar, Moses Maimonides. Sebagai acuan utama saya menggunakan tulisan Howard Kreisel yang berjudul Moses Maimonides.[1] Di dalam kajian filsafat Yahudi seringkali muncul ungkapan berikut, “Dari Musa sang Nabi sampai Musa (Moses Maimonides), tidak ada orang seperti Musa (Moses Maimonides).”[2] Ungkapan itu menunjukkan arti penting Maimonides di dalam kajian filsafat Yahudi.

Sosok Hidup

Ia lahir pada 1135 dan meninggal pada 1204. Ia menulis The Mishneh Torah yang berisi tafsirannya tentang hukum Yahudi. Tulisan itu nantinya akan mengobarkan ‘revolusi’ di dalam pemahaman masyarakat Yahudi tentang hukum. Sampai sekarang karya tersebut dipandang sebagai kajian terbesar tentang pemikiran Yahudi. Di samping itu Maimonides juga menulis buku berjudul The Guide of the Perplexed. Sampai sekarang buku tersebut masih mempengaruhi gaya berpikir para filsuf Yahudi. Yang juga mengagumkan adalah kemampuan Maimonides untuk menulis secara sederhana argumen-argumen yang sebenarnya sangat rumit.

Tulisan-tulisan Maimonides juga banyak. Ia menulis sebuah komentar tentang hukum-hukum Yahudi yang terdapat di dalam Torah. Ia bahkan menulis tentang kedokteran. Ia pernah menjadi dokter di Mesir sekaligus menjadi tokoh di komunitas Yahudi di sana. Reputasinya tidak hanya terkenal di Mesir, tetapi juga membentang sampai ke daerah-daerah di luarnya. Banyak orang Yahudi dari seluruh penjuru dunia datang untuk menimba ilmu dari Maimonides.

Kehidupan Maimonides sangatlah kaya dan beragam. Ia adalah sekaligus seorang ahli yang membaktikan dirinya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun pada saat yang sama, ia adalah seorang pemimpin politik di masyarakat Yahudi yang aktif terlibat di dalam urusan politik komunitasnya. Juga di satu sisi, ia adalah orang yang sangat memahami hukum dan tradisi Yahudi. Ia dianggap ahli tulisan-tulisan Rabinis yang sangat penting bagi tradisi Yahudi. Di sisi lain ia adalah seorang filsuf yang sangat menggemari metafisika Aristotelian dan tradisi Filsafat Islam.

Rupanya kehebatan Maimonides juga ternyata menjadi titik lemahnya. Kemampuannya untuk menguasai dua bidang sekaligus, hukum-tradisi Yahudi dan filsafat, rupanya mengundang banyak kritik dari komunitasnya. Bagi kaum tradisional Yahudi, kecintaan Maimonides pada filsafat Aristoteles adalah bukti bahwa pikirannya telah tersesat. Pertanyaan mereka adalah bagaimana mungkin orang mampu memahami tradisi dan hukum Yahudi secara mendalam, sekaligus juga mencintai refleksi-refleksi “sesat”, seperti yang terdapat di dalam filsafat Aristoteles?

Di sisi lain para filsuf Yahudi berpendapat, bahwa tradisi dan hukum adalah prioritas kedua, setelah pencarian kebenaran melalui filsafat. Kualitas kepribadian seseorang dapatlah diukur dari sejauh mana ia mampu dan mau mencari kebenaran di dalam filsafat. Di dalam tulisan-tulisannya, menurut Kreisel, Maimonides juga berpendapat serupa dengan para filsuf Yahudi tersebut. Di dalam sejarah dualisme Maimonides ini juga memberi pengaruh besar pada para pemikir Yahudi selanjutnya. Banyak kelompok pemikir yang menafsirkan ajaran Maimonides seturut dengan keinginannya sendiri yang juga berbeda secara kontras dengan tafsiran kelompok lainnya. Maka ada beragam karya filsafat yang berpijak pada filsafat Maimonides yang memiliki isi berbeda satu sama lain.[3]

Filsafat Politik dan Hukum

Ia juga banyak menulis tentang filsafat politik. Menurut Maimonides politik adalah tata masyarakat oleh satu individu yang memiliki keunggulan intelektual. Tujuan politik adalah untuk menata masyarakat guna menciptakan kesempurnaan. Politik adalah panggilan tertinggi manusia. Filsafat menyediakan pengetahuan tentang kebahagiaan sejati bagi setiap orang yang hidup dalam suatu negara. Filsafat juga menyediakan dasar moral yang memadai untuk mencapai kebahagiaan itu. Dalam bentuk konkret filsafat menyediakan perspektif tentang keadilan yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin masyarakat.

Maimonides lebih jauh berpendapat, bahwa setiap hukum yang ada di masyarakat berasal dari hukum ilahi. Tujuan adanya hukum tersebut adalah untuk membantu manusia mencapai kebahagiaan, baik secara personal maupun secara sosial di dalam masyarakat dalam bentuk terciptanya masyarakat yang harmonis. Di dalam masyarakat yang harmonis, setiap orang bisa mewujudkan harapan dan bakat-bakatnya semaksimal mungkin. Hanya di dalam masyarakatlah manusia mampu mencapai kesempurnaan dirinya. Kesempurnaan itu hanya dapat dicapai, jika manusia hidup bermasyarakat, dan mematuhi hukum-hukum yang diberikan Tuhan kepada Musa.

Hukum-hukum Musa berisi larangan dan perintah. Jika masyarakat mematuhinya maka setiap warganya akan mampu mencapai kesempurnaan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Hukum-hukum Musa memang tidak detil, dan hanya berisi ringkasan yang harus ditafsirkan secara bijaksana oleh pembacanya.[4] Di dalam hukum-hukum itu terkandung perintah bagi setiap orang Yahudi untuk menekuni filsafat dan ilmu pengetahuan, karena di dalam keduanyalah pengetahuan yang sesungguhnya tentang Tuhan dapat diperoleh.

Maimonides juga banyak menulis dalam bentuk perumpamaan, terutama argumen yang menurutnya akan mengundang kontroversi dari banyak orang. Dalam konteks filsafat politik, ia pernah menulis, bahwa Tuhan akan marah pada mereka yang tidak patuh pada hukum. Tentu saja Tuhan tidak akan secara harafiah marah. Maimonides hanya ingin menekankan arti penting hukum dan tradisi Yahudi yang diturunkan oleh Musa bagi masyarakat Yahudi secara khusus, dan bagi dunia pada umumnya.

Hukum Musa bagi Maimonides adalah hukum yang abadi. Hukum tersebut tidak dapat digantikan. Namun perubahan di dalam sejarah manusia membutuhkan tafsiran segar atas hukum-hukum Musa tersebut, supaya tetap relevan. Oleh karena itu dibutuhkan otoritas hukum Yahudi yang memang bertugas untuk menafsirkan hukum-hukum Musa secara kontekstual. Musa adalah tokoh yang sangat penting bagi Maimonides. Ia adalah sosok raja filsuf yang pernah diharapkan oleh Plato untuk memimpin suatu masyarakat. Maka walaupun jaman berubah, hukum-hukum Musa tetap dapat relevan, walaupun harus selalu ditafsirkan secara kontekstual.[5]

Menurut Kreisel seluruh karya Maimonides ditujukan untuk memahami dan mengajarkan Talmud secara kontekstual. Di dalam proses memahami Talmud, ia sangat dipengaruhi oleh filsafat Plato, al-Fārābī, dan Aristoteles. Ketiga filsuf itu memberikan perangkat filosofis yang memadai bagi Maimonides untuk menafsirkan hukum-hukum Musa secara rasional, sehingga bisa diterima oleh akal budi para pendengarnya. Di dalam proses itu, pemahaman tentang Tuhan adalah sesuatu yang sangat esensial. Ia mengambil teori tentang penyebab pertama yang dirumuskan oleh Aristoteles. Penyebab pertama adalah pikiran murni yang memikirkan dirinya sendiri dan tidak memiliki entitas material.

Maimonides lalu menarik kesimpulan, bahwa penyebab pertama itu identik dengan Tuhan di dalam tradisi Yahudi. Dalam arti ini fungsi pengetahuan adalah untuk semakin memahami dan mencintai Tuhan. Pengetahuan tersebut bisa diperoleh, jika manusia mau menyentuh bidang metafisika dan fisika. Metafisika adalah ilmu tentang benda-benda yang melampaui dunia pengalaman manusia. Sementara fisika adalah ilmu tentang alam natural yang dapat diketahui oleh panca indera. Kedua ilmu tersebut penting, supaya manusia semakin memahami dan mencintai Tuhan.

Dalam konteks politik Maimonides banyak terinspirasi dari etika Aristoteles. Dengan kata lain ia ingin menerapkan etika Aristotelian bagi masyarakat Yahudi secara keseluruhan. Tugas setiap orang selain untuk memahami dan mencintai Tuhan adalah hidup seturut dengan ajaranNya. Tuhan adalah kebaikan. Kebaikan menarik manusia ke arahnya. Dengan mengarah pada Tuhan, hidup manusia akan mencapai kesempurnaan. “Dari perspektif ini”, demikian tulis Kreisel, “aturan Maimonides adalah puncak prestasinya, adaptasi praktis dari filsafat politik teoritis kepada hukum Yahudi.”[6]

Guide of The Perplexed

Menurut Kreisel karya Maimonides yang paling menggambarkan filsafatnya adalah Guide of the Perplexed. Di dalam buku ini, ia menggunakan argumen rasional untuk mengajak orang hidup sesuai dengan jalan yang ia tunjukkan, yakni jalan Abraham. Abraham menemukan Tuhan melalui akal budinya. Ia pun mengajak orang lain untuk melakukan hal serupa. Buku Guide of the Perplexed ditujukan untuk mereka yang hendak mencari Tuhan dengan berpijak pada akal budinya. Bertentangan dengan pandangan banyak orang pada jamannya, akal budi dan iman tidak harus selalu dipisahkan. Kreisel bahkan berpendapat bahwa buku Guide menggambarkan kepribadian Maimonides yang sekaligus sangat mencintai pencarian rasional di dalam filsafat, dan memiliki iman yang kuat terhadap tradisi Yahudi.

Menurut Kreisel buku Guide of the Perplexed dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisi tentang konsep material dari Tuhan, yakni “tubuh” Tuhan. Bagi Maimonides konsep tersebut janganlah diartikan secara harafiah. Dalam arti ini ‘tubuh’ merupakan sesuatu yang sifatnya simbolik. Untuk menjelaskan hal itu, ia menempuh beberapa langkah filosofis, yakni menjelaskan atribut-atribut Tuhan, beragam nama Tuhan, esensi dari Tuhan, dan hubungan antara Tuhan dengan seluruh eksistensi realitas. Maimonides menegaskan bahwa Tuhan adalah entitas yang tidak memiliki materi, utuh, dan abadi. Hal ini didapatkannya dari para pemikir Islam. Di seluruh buku itu, ia mengkombinasikan ajaran Yahudi dengan pembuktian-pembuktian filosofis Aristotelian.[7]

Para filsuf Yahudi sekarang ini masih menjadikan tulisan Guide sebagai bahan kajian, terutama tentang konsep Tuhan, kehendak, kejahatan, kebebasan, determinisme, dan etika.[8] Tafsiran lama ditantang. Tafsiran baru dikembangkan. Metode baru untuk membaca dan memahami filsafat Maimonides dirumuskan terus menerus. Salah seorang ahli Maimonides adalah Abraham Nuriel. Ia berpendapat bahwa filsafat Maimonides mengandung ajaran mistik. Hal itu bisa diketahui secara utuh, jika orang mau melihat akar kata dari konsep-konsep yang digunakannya, terutama akar kata bahasa Arab.

Tujuan utama dari Guide adalah untuk melenyapkan keraguan kaum beriman untuk mempelajari filsafat secara mendalam. Namun seperti yang ditulis oleh Kreisel, tujuan tersebut sulit sekali terwujud, karena sulit sekali untuk memahami Guide yang memang memiliki tingkat abstraksi sangat tinggi. Salah satu gaya Maimonides adalah dengan mengajukan argumen-argumen yang berseberangan, lalu ia memberikan sintesis untuk melampaui pertentangan itu. Sintesis yang diajukannya terkait erat dengan ajaran Yahudi yang dipahami dan dijelaskannya dengan menggunakan akal budi.

Dengan tulisan-tulisannya Maimonides menegaskan berulang kali, bahwa Tuhan adalah entitas yang utuh dan tidak memiliki materi (tubuh). Argumen tersebut dibuktikannya dengan menggunakan jalan filsafat (rasionalitas) sekaligus teologi (dengan menggunakan tradisi Yahudi). Yang cukup pasti adalah ia sangat dipengaruhi oleh Aristoteles, terutama pemikirannya tentang penyebab pertama, atau penyebab yang tidak disebabkan. Argumen Aristoteles tersebut akan dikombinasikan dengan teologi Yahudi dan Islam, guna menjelaskan keberadaan Tuhan melalui filsafat.[9]

Hukum Yahudi dan Akal Budi

Menurut Maimonides setiap hukum di dalam tradisi Yahudi memiliki tujuan yang masuk akal. Tidak ada hukum yang tidak berguna. “Setiap tindakan yang dilakukan Tuhan”, demikian Kreisel tentang Maimonides, “bertujuan untuk sesuatu yang mulia…”[10] Tujuan dari hukum-hukum Tuhan di dalam tradisi Yahudi bukanlah untuk memuliakan diriNya, melainkan justru untuk kebaikan manusia. Ada dua tujuan dari hukum-hukum di dalam tradisi Yahudi. Yang pertama adalah mengajarkan manusia untuk mencapai kesempurnaan fisikal (physical perfection), terutama kesempurnaan di dalam hidup bersama. Dalam hal ini Maimonides mendapatkan inspirasi dari pandangan yang Aristoteles yang mengatakan, bahwa manusia adalah mahluk sosial. Manusia hanya dapat hidup, jika ia bekerja sama dan membentuk komunitas. Tujuan kedua adalah membantu manusia mencapai kesempurnaan intelektual. Ini adalah tujuan tertinggi dari keberadaan hukum-hukum Tuhan di dalam tradisi Yahudi. Jika untuk mencapai kesempurnaan fisik ditawarkan pelajaran mengenai hukum, maka untuk mencapai kesempurnaan intelektual, setiap orang diminta untuk memahami metafisika dan fisika.

Ada dua prinsip yang mendasari filsafat hukum Maimonides, yakni prinsip keheningan dan prinsip keberanian untuk mengutarakan kebenaran. Untuk beberapa hal keheningan adalah jalan yang paling bijak untuk menyingkapi masalah. Sementara pada hal-hal lainnya, orang perlu untuk mengutarakan kebenaran, walaupun kebenaran itu menyakitkan. Seluruh pandangan Maimonides tentang hukum dan akal budi, menurut Kreisel, berpijak pada keseimbangan di antara dua prinsip tersebut. Dengan hidup didasarkan pada keutamaan keheningan dan keberanian menyatakan kebenaran, orang bisa mencapai kesempurnaan intelektual, dan kesempurnaan itulah yang menjadi dekatnya seseorang dengan Tuhan.

Bangsa Yahudi pernah terlibat di dalam penyembahan berhala. Mereka mengingkari Tuhan yang satu, dan menyembah beragam dewa yang hidup di benda-benda. Sikap penyembahan berhala semacam itu, menurut Maimonides, merupakan halangan terbesar manusia untuk mendekati dan memahami Tuhan. Torah Yahudi memiliki bagian yang cukup panjang untuk melawan berbagai bentuk penyembahan berhala semacam itu. Penyembahan berhala akan menghalangi manusia untuk mencapai kesempurnaan intelektual. Hukum-hukum di dalam tradisi Yahudi membantu manusia untuk melepaskan diri dari penyembahan berhala, dan mencapai kesempurnaan diri, yakni kesempurnaan dalam kesatuannya dengan Tuhan.

Kesempurnaan Manusia

Maimonides menawarkan beberapa resep untuk mencapai kesempurnaan diri. Ia sangat menekankan pentingnya bagi orang untuk menjauhkan dirinya dari masyarakat, atau apa yang disebutnya sebagai isolasi sosial (social isolation). Ia juga menekankan pentingnya orang untuk melepaskan diri dari benda-benda inderawi ataupun material. Dengan mencapai kesempurnaan orang akan dapat semakin dekat dengan Tuhan. Persentuhan dengan materi membuat manusia jauh dari Tuhan. Oleh karena itu persentuhan dengan materi, dalam arti bekerja, hanya dilakukan seperlunya saja untuk membantu manusia memenuhi kebutuhannya.

Dalam hal ini Maimonides memiliki pandangan yang unik tentang konsep manusia dan konsep kerja. Baginya kedua hal itu tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai kesempurnaan setiap orang haruslah “memandang Tuhan sambil ia beraktivitas dengan tubuhnya.”[11] Artinya sambil ia bekerja dengan tubuh untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya, ia tetap terhubung dengan Tuhan secara intelektual. Ini adalah cara berpikir seorang pemimpin. Para pemimpin menjaga terus keseimbangan dua bentuk identitas di dalam kehidupannya. Di satu sisi ia tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Dan di sisi lain, ia tetap terhubung dengan Tuhan melalui akal budinya, bahkan ketika tubuhnya bekerja.

Orang perlu mati secara fisik, sehingga jiwanya bisa bertemu dan menyentuh Tuhan. Hal ini hanya dapat dicapai, jika orang bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk melakukan kontemplasi intelektual. Kontemplasi semacam ini sebenarnya bukan hanya kegiatan akal budi semata, tetapi terlebih merupakan tindakan cinta yang penuh hasrat (passionate love). Maimonides menyebutnya sebagai “ciuman Tuhan” (God’s kiss). Orang yang mengalami kematian tubuh sebenarnya tidak mati dalam arti sebenarnya. Sebaliknya ia justru diselamatkan dari kematian, dan mengalami hidup yang sebenarnya. Ia akan mengalami kenikmatan dan kebahagiaan sejati, yang sangat berbeda dari kebahagiaan badaniah yang sifatnya sementara.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa bagi Maimonides, kesempurnaan tertinggi manusia adalah kesempurnaan intelektual. Kesempurnaan ini tidak dapat diperoleh secara kolektif, melainkan hanya secara individual. Dengan kata lain hanya individulah yang bisa memperolehnya, berkat usahanya sendiri. Hukum-hukum di dalam tradisi Yahudi mengajarkan orang untuk mencapai kesempurnaan etis. Kesempurnaan etis ini bisa diperoleh, jika manusia hidup aktif dalam masyarakat. Namun kesempurnaan etis itu bukanlah tujuan, melainkan hanya alat untuk mencapai kesempurnaan intelektual. Tujuan hidup manusia menurut Maimonides, sebagaimana ditafsirkan oleh Kreisel, adalah untuk mengenali dan semakin serupa dengan Tuhan. Itu semua dapat terjadi, jika manusia menjalankan hukum-hukum Tuhan. Secara singkat Kreisel menjabarkan dua inti hukum Yahudi, yakni keadilan dan kebaikan hati.

Tujuan hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan itu hanya dapat dicapai, jika manusia semakin menyerupai sifat-sifat Tuhan yang baik hati sekaligus adil. Kesempurnaan intelektual juga merupakan perwujudan dari Tuhan. Maka usaha manusia untuk mendekati Tuhan dan untuk mencapai kesempurnaan intelektual adalah dua hal yang saling terkait. Dapat pula disimpulkan bahwa manusia yang sempurna mampu memancarkan keadilan dan kebaikan hati Tuhan di dalam aktivitas kesehariannya menghadapi masalah-masalah dunia. Manusia yang sempurna mampu menjalankan kehidupan dunia yang imanen dengan keutamaan ilahi yang transenden.***


[1] Lihat, Daniel Frank, 1997, 195.

[2] Ibid.

[3] Lihat, ibid, 196.

[4] Lihat, ibid, 197.

[5] Lihat, ibid.

[6] Ibid.

[7] Lihat, ibid, 198.

[8] LIhat, ibid, 219.

[9] Lihat, ibid, 207.

[10] Ibid, 216.

[11] Ibid, 218.

Hukum dan Keadilan

Technorati Tags: ,,,

Penafsiran Hukum dan Rasa Keadilan

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Proses penafsiran dan penerapan rumusan hukum selalu mengundang dilema. Jika diterapkan secara ketat sesuai dengan rumusan yang ada, maka kemungkinan besar akan melanggar rasa keadilan yang ada di masyarakat. Namun jika ditafsirkan terlalu jauh dari pasal hukum demi penyesuaian terhadap rasa keadilan masyarakat, hukum pun menjadi tidak berguna, karena ia tidak lagi memiliki otoritas untuk dipatuhi. Hukum yang ideal adalah hukum yang berada di titik seimbang antara positivisme hukum (penafsiran secara ketat dengan mengacu pada pasal-pasal hukum), dan rasa keadilan (moralitas dan norma-norma yang menurut suatu masyarakat dianggap sebagai adil). Namun bukankah titik seimbang itu hanya merupakan abstraksi matematis dari realitas yang tidak pernah seimbang?

Problematik Penafsiran Hukum

Sama seperti teks-teks Kitab Suci dan filsafat, pasal-pasal hukum pun bukanlah benda mati, melainkan suatu rumusan yang perlu terus ditafsirkan sesuai dengan perubahan dunia. Oleh karena itu di satu sisi, hukum harus cukup detil menampung semua aspek dari kehidupan manusia yang perlu untuk diatur guna mencegah terjadinya kerugian sosial (social lost). Di sisi lain hukum perlu untuk cukup terbuka untuk bisa ditafsirkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi daripada pasal-pasal hukum itu sendiri. Kasus lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi menunjukkan kurangnya otoritas hukum yang berlaku (kurang detil di dalam penerapan pasal per pasal). Sementara kasus penangkapan seorang nenek berusia 55 tahun setelah ia mencuri 3 biji kakao untuk ditanam sungguh mengganggu rasa keadilan masyarakat (hukum tidak mengacu pada prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi).

Andang L. Binawan pernah menegaskan, bahwa hukum dan keadilan adalah dua hal yang berbeda, walaupun tidak bisa dipisahkan. (Binawan, 2004) Keadilan adalah sebuah cita-cita yang menjadi arah dari kehidupan manusia. Sementara hukum adalah ciptaan manusia yang sudah sejak proses pembentukannya menggendong ketidakadilan. Ada tiga hal yang cukup penting untuk diperhatikan di dalam proses penafsiran hukum, yakni soal ketidakmungkinan untuk duduk dan merumuskan pasal-pasal hukum secara bebas dan setara, soal bahasa di dalam pasal-pasal hukum, serta soal jarak dan waktu yang memisahkan sang legislator hukum dengan orang yang nantinya akan mematuhinya. (Binawan, 2004)

Yang pertama para legislator hukum bukanlah orang-orang yang bebas dan setara. Ada relasi-relasi kekuasaan yang mempengaruhi mereka. Ada legislator yang lebih kuat secara argumentatif, sehingga ia mempengaruhi proses pembuatan hukum secara signifikan. Ada pula legislator yang lemah secara argumentatif, sehingga ia tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Di sisi lain kepentingan politik partai, golongan, wacana dominan dan paradigma di masyarakat, serta kepentingan ekonomi sudah secara nyata mempengaruhi jalannya proses legislasi hukum.

Yang kedua menurut Binawan, bahasa hukum adalah bahasa manusia, dan bahasa manusia sudah sejak awal selalu merupakan reduksi dari realitas. Bahasa adalah simbol untuk menangkap dan menyampaikan makna. Di dalam proses tersebut, bahasa secara langsung mereduksi makna ke dalam simbol-simbol alfabet, yang juga berarti secara otomatis mereduksi makna keadilan yang sesungguhnya ingin ditampung di dalam bahasa hukum. Bahasa dan makna adalah dua hal yang berbeda, namun tidak bisa dipisahkan. Makna adalah sesuatu yang lebih kaya daripada bahasa. Dalam soal penafsiran hukum, makna adalah prinsip keadilan yang ingin ditampung di dalam bahasa hukum, namun tidak akan pernah identik.

Yang ketiga menurut Binawan, para legislator merumuskan hukum dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Seringkali konteks tersebut sudah jauh berbeda dengan saat penerapan hukum tersebut. Ada jarak ruang dan waktu yang cukup jauh, yang memisahkan sang legislator (dengan asumsi ia ingin mewujudkan cita-cita keadilan) dan masyarakat sebagai yang terkena dampak dari hukum. Oleh karena itu seringkali suatu rumusan hukum tidak lagi relevan dengan situasi masyarakat. Hukum yang tidak relevan adalah hukum yang tidak adil.

Dimana Keadilan?

Di dalam segala problematika penafsiran hukum tersebut, di mana keadilan? Dapat dikatakan seorang legislator yang baik adalah mereka yang sungguh peka adalah ketiga hal yang telah dirumuskan Binawan di atas. Mereka sadar akan halangan bahasa, jarak ruang dan waktu, serta ketidakmungkinan untuk merumuskan hukum secara ideal. Di dalam keterbatasan itu, mereka berpikir dan bertindak secara terbuka. Hal yang sama juga berlaku untuk para penegak hukum. Mereka juga perlu sadar, bahwa hukum bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan sesuatu yang sudah sejak awal perlu untuk mendapatkan sentuhan manusiawi.

Di dalam bukunya yang berjudul The Force of Law, Jacques Derrida menegaskan, bahwa keadilan adalah ‘sesuatu yang akan datang’. (Derrida, 2004) Keadilan adalah suatu momen yang perlu untuk diharapkan dan diperjuangkan. Keadilan adalah sebuah momen yang selalu lolos dari genggaman hukum, walaupun untuk mewujudkan keadilan, manusia memerlukan hukum. Para legislator dan para penegak hukum di Indonesia perlu sadar akan hal ini, sehingga di dalam menjelaskan tugasnya, mereka berani untuk memberikan sentuhan personal guna menjamin terwujudnya keadilan.

Namun tetaplah harus disadari, bahwa kehidupan manusia bukanlah rumusan matematis. Maka keseimbangan lebih merupakan sebuah cita-cita daripada fakta. Begitu pula keadilan tidak akan pernah terwujud secara sempurna di dunia nyata, persis karena dunia manusia bukanlah dunia ideal, melainkan dunia real. Ketidakmungkinan itu tidak boleh mematahkan semangat kita untuk memperjuangkan keadilan. Sebaliknya semua upaya justru harus dilakukan untuk mendekatkan hukum ke prinsip keadilan. Keadilan adalah suatu momen yang akan datang, selama kita, manusia yang fana ini, bersedia berjerih payah memperjuangkannya.***

Politik Multikulturalisme


Technorati Tags: filsafat,politik,multikulturalisme

Oleh: Reza A.A Wattimena

Kabinet Indonesia bersatu II sudah terbentuk. Sumpah dan komitmen politis sudah diucapkan. Harapan dan kesangsian bermunculan di masyarakat. Sama seperti pemerintahan sebelumnya, Kabinet Indonesia Bersatu II ini adalah hasil kompromi dari berbagai kepentingan, terutama kepentingan yang ada di partai politik. Namun apakah kompromi tersebut sungguh mampu mencerminkan kepentingan dan kebutuhan setiap kelompok yang ada di masyarakat? Ataukah kompromi politik yang terjadi sifatnya hanya pembagian kekuasaan, tanpa ada keterkaitan dengan kepentingan masyarakat luas?

Pemerintahan Multikultural

Indonesia adalah negara dengan banyak bangsa. Tidak hanya itu beragam ‘bangsa’ yang ada di Indonesia juga memiliki kelompok-kelompok identitas partikular di dalamnya. Dalam arti ini Indonesia adalah bangsa multikultur. Kultur sendiri adalah pandangan hidup, pandangan dunia, horison makna, dan nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang atuapun suatu kelompok sebagai dasar pemikiran ataupun tindakannya. Adanya beragam kultur bisa menjadi potensi kekayaan budaya bangsa yang besar, sekaligus potensi pemecah dan pemicu konflik.

Pemerintahan berdasar politik multikulturalisme haruslah memberikan ruang bagi semua identitas partikular yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat. Setiap kelompok identitas partikular haruslah memiliki wakil di parlemen maupun di kabinet. Inilah ide dasar dari parlemen dan kabinet multikulturalisme. Kepentingan setiap kelompok identitas kultural partikular haruslah diberikan tempat untuk kemudian berdialog dengan kepentingan identitas kultural partikular lainnya.

Selama ini parlemen hanya terdiri dari perwakilan propinsi yang telah memenangkan pemilu legislatif. Kabinet eksekutif pemerintahan pun hanya merupakan hasil kompromi politik dari partai-partai politik besar. Dalam kondisi ini kepentingan dan pemikiran yang berkembang dari kelompok identitas partikular yang tersebar di seluruh Indonesia seringkali tidak mendapatkan ruang untuk didengar. Padahal kehadiran jutaan kelompok identitas partikular di seluruh Indonesia sangat menentukan jati diri bangsa secara keseluruhan.

Jika parlemen dan kabinet tidak memberi ruang bagi perwakilan setiap kelompok identitas partikular, maka demokrasi akan tersumbat. Kepentingan dan pemikiran mereka yang unik seturut dengan kulturnya tidak akan terdengar. Identitas kelompok mereka akhirnya terancam musnah. Jika kelompok-kelompok identitas partikular di Indonesia musnah, maka potensi kekayaan budaya bangsa akan musnah. Indonesia dapat terjatuh kembali menjadi negara totaliter.

Keberadaan parlemen dan kabinet multikulturalisme memungkinkan setiap kelompok identitas partikular yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia mendapatkan pengakuan yang selayaknya. Adanya pengakuan terhadap keberadaan kelompok identitas partikular merupakan awal perkembangan identitas nasional bangsa Indonesia yang multikultur. Pengakuan merupakan syarat eksistensi suatu kelompok ataupun individu. Identitas kelompok partikular bisa berkembang secara dialogal dengan identitas kelompok lainnya, jika pengakuan sudah diberikan.

Prinsip dasar yang harus dijadikan acuan adalah, bahwa setiap kultur memiliki nilai pada dirinya sendiri. Setiap orang ataupun kelompok berhak hidup seturut dengan kultur yang mereka yakini secara otentik. Pemerintahan multikultural adalah cerminan dari masyarakat Indonesia yang juga multikultur. Pemerintahan multikultural bisa menjamin otentisitas kehidupan dari individu ataupun kelompok yang dipimpinnya. Di dalam masyarakat yang otentik, potensi konflik sosial antar kelompok sangatlah kecil. Kekerasan di dalam masyarakat pun bisa dikurangi.

Kompromi Politik

Pada level praktis keberadaan parlemen dan kabinet multikulturalisme bisa memberi warna positif bagi kompromi politik yang terjadi di pemerintahan, terutama eksekutif dan legislatif. Dewasa ini kompromi politik yang terjadi adalah kompromi antar kepentingan golongan yang berkuasa di pemerintahan. Masyarakat secara umum termasuk kelompok-kelompok identitas partikular tidak mendapatkan ruang untuk sungguh memperjuangkan kepentingan mereka. Akibatnya banyak kelompok identitas partikular tersebut merasa asing dengan pemerintahan yang ada. Apatisme politik pun tercipta. Orang tidak lagi peduli dengan politik bangsanya.

Jika parlemen (legislatif) dan kabinet (eksekutif) memberikan tempat yang memadai untuk setiap kelompok identitas partikular, maka kompromi politik yang terjadi adalah kompromi untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama, karena setiap kelompok identitas partikular hanya bisa berkembang dalam relasi dengan kelompok identitas partikular lainnya. Inilah inti dari politik multikulturalisme. Kesejahteraan bersama hanya dapat tercipta, jika setiap kelompok identitas partikular memperjuangkan kepentingannya dalam relasi dialogal dengan kelompok identitas partikular lainnya. Para politikus dan akademisi bisa mulai melihat kemungkinan terwujudnya politik multikulturalisme di Indonesia.***

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Derrida dan Dekonstruksi

Technorati Tags: ,,

Metode Dekonstruksi

Jacques Derrida



Reza A.A Wattimena

            Pada bab sebelumnya kita sudah berusaha memahami konsep hermeneutika di dalam filsafat Hans-Georg Gadamer. Baginya hermeneutika adalah suatu upaya untuk menafsirkan teks untuk mendapatkan pemahaman tertentu. Dua konsep yang kiranya menjadi inti di dalam hermeneutika Gadamer adalah konsep peleburan horison-horison (fusion of horizons) dan konsep lingkaran hermeneutik. Konsep peleburan horison-horison berisi penjelasan Gadamer mengenai proses penafsiran yang melibatkan isi asli teks sekaligus pikiran maupun perasaan orang yang membacanya. Peleburan kedua hal ini menghasilkan suatu tafsiran yang menciptakan pemahaman yang baru. Pembaca dengan latar belakang historis maupun konseptualnya menyatu dengan teks yang juga memiliki makna dan latar belakangnya sendiri.

            Sementara konsep lingkaran hermeneutik berisi penjelasan Gadamer tentang proses memahami suatu teks. Baginya makna keseluruhan suatu teks hanya dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami bagian-bagian teks tersebut. Dan sebaliknya bagian-bagian di dalam teks tersebut hanya bisa dipahami dengan memahami keseluruhan maknanya. Pengandaian dari konsep ini adalah, bahwa keseluruhan dan bagian memiliki koherensi. Hal ini berlaku bahkan untuk teks-teks yang sekilas dibaca tampak tidak memiliki koherensi, seperti fragmen-fragmen para filsuf Yunani Kuno, ataupun tulisan-tulisan aphoristik di dalam filsafat Nietzsche. Gadamer menyediakan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan bagi orang untuk membaca teks, memahaminya, dan kemudian mengembangkannya.

            Pada bab ini saya akan memperkenalkan anda dengan metode dekonstruksi yang dirumuskan oleh Jacques Derrida. Sebagai acuan utama saya menyandarkan diri pada tulisan Nicholas Royle yang berjudulDerrida.[1] Yang menarik dari pemikiran Derrida adalah kemampuannya untuk menggambarkan sekaligus mengubah pikiran kita tentang dunia, termasuk di dalamnya tentang kematian, kehidupan, budaya, filsafat, sastra, dan tentang politik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Royle, filsafat Derrida setidaknya berdasarkan pada dua tujuan, yakni menggambarkan dan mengubah cara berpikir pembacanya ataupun pendengarnya.

            Tentu saja di dalam pandangan umum, tindak mengubah dan menggambarkan realitas adalah dua jenis tindakan yang berbeda. Untuk menggambarkan berarti untuk menyatakan apa adanya realitas yang ditemui, baik itu realitas alam maupun realitas sosial. Untuk menggambarkan berarti orang sudah terlebih dahulu mengandaikan adanya kondisi-kondisi obyektif nyata yang sudah ada sebelumnya (pre-existing condition) di dalam realitas. Sebaliknya untuk mengubah orang perlu berpikir dengan cara yang berbeda. Namun bisakah pikiran yang berbeda juga mengubah realitas ke arah yang berbeda? Inilah pertanyaan yang kiranya menjadi titik awal yang pas untuk membahas pemikiran Derrida.[2]

Mengubah Teks

            Mengubah realitas menurut Derrida juga berarti mengubah teks, dan teks itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk mengubah realitas orang perlu terlebih dahulu mampu memahami dan menggambarkan realitas. Ada keterkaitan yang mendalam antara menggambarkan (to describe) dan mengubah (to transform). Titik berangkat Derrida adalah teori tindakan tutur (speech act theory) yang banyak dikembangkan di dalam teori komunikasi maupun linguistik. Sebelum merumuskan pemikirannya sendiri secara orisinil, ia banyak mendalami teori tindakan tutur, terutama seperti yang dirumuskan oleh J.L Austin. Buku yang menjadi acuan utama Derrida adalah How to do Things with Words, karangan Austin. Menurut Austin setiap tindakan berbicara manusia dapat diartikan dengan dua cara, yakni secara konstatif, atau secara performatif.

            Pernyataan konstatif adalah pernyataan tentang fakta sebagaimana adanya. Biasanya pernyataan ini sifatnya deskriptif, yakni menggambarkan sesuatu secara langsung tanpa penilaian apapun. Misalnya saya sedang menulis di notebook. Atau anda sedang membaca tulisan ini. Kedua pernyataan itu adalah pernyataan konstatif. Di sisi lain pernyataan performatif adalah pernyataan yang tidak hanya melibatkan kata-kata, tetapi juga perbuatan yang menyertai kata-kata itu. Biasanya pernyataan performatif itu berbentuk janji, ancaman, doa, pengakuan, tantangan, taruhan, deklarasi perang, dan deklarasi. Dengan kata lain pernyataan performatif tidak hanya mau menggambarkan fakta, melainkan juga mau mengubahnya. Menyatakan secara performatif berarti menyatakan sekaligus melakukan sesuatu.

            Di dalam upacara pernikahan, mempelai pria dan wanita menyatakan bahwa mereka siap untuk selalu setia sampai mati, baik dalam kondisi susah maupun senang. Pernyataan “saya bersedia” tidak hanya berupa pemaparan atas keputusan masing-masing mempelai, tetapi juga pernyataan yang membuahkan tindakan. Dengan kata lain sejak hari itu, kedua mempelai siap untuk saling mencintai secara penuh satu sama lain. Hal yang sama kiranya berlaku untuk pernyataan perang. Sebuah negara yang menyatakan perang terhadap negara lain juga mengandaikan adanya tindakan nyata, seperti memobilisasi pasukan, mengungsikan warga-warga di daerah berbahaya, dan sebagainya.

            Tulisan-tulisan Derrida seringkali berupa pembacaan ulang terhadap salah satu teks yang cukup berpengaruh di dalam sejarah filsafat. Di dalam proses pembacaannya, ia tidak hanya menggambarkan apa yang menjadi maksud asli pengarang teks, tetapi juga mengubah pemahaman kita tentang teks tersebut. Akan tetapi janganlah buruk sangka terlebih dahulu. Derrida adalah seorang pembaca yang sangat cermat. Ia sangat sabar meneliti teks-teks yang ia baca. Beberapa teks yang pernah dimaknainya kembali adalah tulisan Plato yang berjudul Phaedrus, tulisah Shakespeare yang berjudul Romeo and Juliet, tulisan Kafka yang berjudul Before the Law, dan bahkan American Declaration of Independence.

Sekilas orang akan mengira, bahwa Derrida hanya menggambarkan kembali apa yang sudah tertulis di dalam teks. Namun pendapat ini hanya separuh benar. Ia memang seorang pembaca dan pengajar yang sangat tajam dan detil. Namun ia juga mengubah pemahaman kita tentang teks-teks yang ia baca. Ia menjauh dari tafsiran dominan, dan membuat tafsirannya sendiri atas teks-teks yang ia baca. Di tangan Derrida teks-teks kuno itu berubah menjadi suatu teks yang menyegarkan dan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dapatlah dikatakan bahwa Derrida tidak hanya melakukan tindakan konstatif, yakni menggambarkan teks, tetapi juga tindakan performatif, yakni mengubah teks tersebut menjadi sesuatu yang baru.[3]

Dekonstruksi

            Dengan demikian Derrida tidak hanya menggambarkan maksud teks-teks yang dibacanya secara persis, tetapi juga mengubahnya menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua konsep itu yakni deskripsi/penggambaran (description) dan transformasi (transformation) dapat digabungkan menjadi dekonstruksi (deconstruction). Sekilas konsep dekonstruksi ini tampak aneh dan kontradiktif. Bagaimana mungkin membaca secara tepat sekaligus mengembangkan makna teks dengan mengubahnya? Namun itulah yang kiranya dilakukan Derrida. Menurut penelitian Nicholas Royle, Derrida sendiri tidak begitu suka dengan kata tersebut. Konsep itu pun melepaskan diri dari Derrida, dan mulai menjadi sebuah paham, yakni sebuah isme. Sejak saat itu konsep dekonstruksi terus menjadi subyek perdebatan banyak pemikir lintas displin ilmu.

            Royle bahkan berpendapat bahwa kita dapat memahami filsafat Derrida tanpa menggunakan konsep dekonstruksi sama sekali. Memang hal itu akan sangat sulit, namun bukan berarti tidak mungkin. Di dalam kamus filsafat dan kamus Bahasa Inggris, seperti dikutip oleh Royle, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk mengubah konstruksi dari suatu benda. Di dalam kamus filsafat, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu strategi analisis yang dikaitkan dengan filsuf Perancis, Jacques Derrida, yang bertujuan untuk membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak dipertanyakan, serta membuka kontradiksi internal di dalam filsafat maupun teori-teori bahasa.

Royle sendiri mendefinisikan dekonstruksi sebagai sesuatu yang bukan seperti yang dipikirkan orang banyak, pengalaman akan yang tak mungkin, cara berpikir untuk menggoyang apa yang sudah dianggap mapan, apa yang membuat identitas dari sesuatu itu juga sekaligus bukan merupakan identitas, dan masa depan yang masih belum ada itu sendiri.[4] Tentu saja beragam definisi tersebut pasti membuat orang bingung. Namun Derrida sendiri tidak pernah secara jelas mendefinisikan arti dari konsep dekonstruksi. Ia hanya menerapkannya dan membiarkan pembacanya merumuskan sendiri. Maka dapatlah dikatakan bahwa hakekat dari dekonstruksi itu sifatnya plural. Tidak ada satu definisi utuh yang bisa menjelaskan makna terdalam dari dekonstruksi.

Dekonstruksi juga tidak hanya bergerak di tataran filsafat, melainkan juga menyentuh literatur, politik, seni, arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Di dalam kajian lintas ilmu, dekonstruksi dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Di dalam tulisan-tulisannya, Derrida berulang kali menuliskan bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah itu sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks.  Derrida mau melakukan de-sedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa di dalam teks.

Dekonstruksi sebagai Gempa Tekstual

            Di dalam teks dekonstruksi hendak menciptakan gempa dengan terlebih dahulu mengungkapkan kontradiksi di dalam teks tersebut. Hal tersebut hanya bisa dilakukan, bila teks sudah dibaca dan dimengerti secara teliti. Sekecil apapun kontradiksi yang ada, tetap saja ia mampu membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tak terpikirkan bagi keseluruhan teks terkait. Di dalam proses penelusurannya terhadap teks-teks filsafat yang ada, Derrida tidak memperlakukan para filsuf sebelum dia sebagai individu, melainkan sebagai suatu teka teki yang harus dipahami dan kemudian dipecahkan. Inilah yang menyebabkan tulisan-tulisan Derrida terasa bagai labirin yang tak berujung. Ini juga yang menyebabkan sulitnya kita menentukan posisi khas Derrida.

Setiap karyanya harus selalu ditempatkan pada situasi dan konteks yang tepat, yang melatarbelakangi teks tersebut. Dekonstruksi yang diterapkan Derrida tidak mau memberikan pandangan umum mengenai filsafat, melainkan lebih tertarik bermain dengan detil-detil yang sebelumnya tidak diperhatikan. Bahkan satu kalimat kecil yang tampaknya tidak bermakna bisa menjadi titik tolak untuk mengubah makna keseluruhan teks. Derrida lebih jauh menambahkan, bahwa dekonstruksi sudah selalu berada di dalam teks itu sendiri. Dengan kata lain setiap teks sudah selalu memiliki potensi untuk medekonstruksi, atau men-destabilisasi, dirinya sendiri. Dengan dasar ini ia pernah menyatakan, bahwa segala sesuatu di dalam teks selalu bisa dipisah dan dibagi terus menerus. Tidak ada bagian dari teks yang sifatnya stagnan atau permanen. Tidak ada atom di dalam teks.

Jika tidak ada kesatuan utuh yang sifatnya permanen di dalam teks, maka teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Tidak ada tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan ini kita bisa memahami beberapa konsep lainnya yang kiranya identik dengan pemikiran Derrida, yaknidifferance, jejak-jejak, dan iterabilitas. Kata differance adalah kata yang aneh. Kata ini tidak terdapat di dalam kamus bahasa manapun. Kata itu sendiri terdiri dari dua kata yakni untuk membedakan (to differ), dan untuk menunda kepastian (to defer).  Kebenaran dan makna di dalam teks harus terus dibedakan dan ditangguhkan kepastiannya.[5]

Karena kebenaran selalu harus, dan mampu, ditangguhkan dan dibedakan terus menerus, maka kebenaran itu sendiri pada dasarnya tidak ada. Menurut Derrida yang bisa kita temukan dan ketahui adalah jejak-jejak dari kebenaran itu sendiri, dan bukan kebenarna pada dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan konsep jejak (trace) di dalam pemikiran Derrida. Sementara iterabilitas adalah kemampuan suatu teks untuk selalu dimaknai terus menerus di dalam konteks yang berbeda-beda. Teks adalah sesuatu yang lentur dan lincah. Teks adalah tanda yang bisa terus diulang dan dibedakan sesuai dengan horison pembaca dan penafsirnya.

Di dalam bukunya tentang Derrida, Royle mengajukan tesis bahwa dekonstruksi Derrida adalah sebuah gempa tekstual. Tujuan utama dekonstruksi adalah untuk menggoyang, memindahkan, dan mengubah semua konsep bahasa, psikologis, tekstual, estetis, historis, etis, sosial, politik, dan bahkan religiusitas. Di dalam tulisannya tentang Plato, Derrida tidak hanya menggambarkan kembali apa yang ingin disampaikan oleh Plato, tetapi ia juga secara kreatif mengubah dan menafsirkan apa yang dimaksud Plato secara baru dan tak terduga. Hal yang sama juga diterapkannya pada tulisan-tulisan cerita pendek yang ditulis oleh Kafka, dan bahkan skenario drama yang ditulis oleh Shakespeare. Dalam arti ini dekonstruksi lebih dari sekedar metode, terutama jika metode dipahami secara sempit sebagai suatu cara untuk mendekati dan memahami realitas. Dekonstruksi adalah suatu upaya untuk memahami teks, baik teks literatur ataupun realitas itu sendiri, lalu mengubahnya untuk memperoleh makna yang baru. Royle bahkan menegaskan bahwa dekonstruksi itu memiliki sifat mistik untuk mengubah dan menggoyang kepastian makna teks.[6]

Derrida juga menambahkan bahwa inti dekontruksi adalah mengaburkan perbedaan-perbedaan yang telah dibuat oleh manusia, terutama perbedaan yang sifatnya oposisi, seperti baik-buruk, ada-tidak ada, dan sebagainya. Tidak hanya itu dekonstruksi juga mau memahami arti kata ‘dan’ dengan cara berbeda. ‘Dan” fungsinya adalah membedakan sekaligus menambahkan; baik ‘dan’ buruk, Ani dan Dewi, makan nasi dan minum air. Lebih jauh Derrida juga menambahkan, bahwa karena kata ‘dan’ selalu memiliki dua arti, maka tidak ada kepastian di dalamnya. Dengan kata lain arti kata ‘dan’ tidaklah pernah stabil. ‘Dan’ bisa berarti oposisi sekaligus menambahkan. Karena itu oposisi dan menambahkan itu sifatnya saling terkait. Maka oposisi tidak pernah stabil, karena itu memiliki potensi untuk mengubah, dan menambahkan apa yang sebelumnya tidak ada.

Menurut Derrida setiap teks selalu sudah mengandung tegangan dan paradoks di dalamnya. Bahkan dapat juga dikatakan, yang terpenting di dalam teks adalah menemukan apa yang tak terkatakan, dan kemudian mengolahnya menjadi suatu pemaknaan yang baru. Di dalam pembacaannya terhadap tulisan-tulisan Austin, terutama yang terkait dengan linguistik (filsafat bahasa), Derrida menemukan kontradiksi di dalam konsep Austin mengenai pernyataan performatif. Bagi Derrida setiap bentuk pernyataan performatif, yakni pernyataan yang disertai dengan tindakan ataupun penegasan, selalu terkandung kemungkinan untuk tidak menjadi tindakan ataupun penegasan. Misalnya di dalam pernyataan “saya berjanji”, ada kemungkinan janji tersebut tidak akan terwujud, sehingga pernyataan itu tidak akan menjadi pernyataan performatif. Kemungkinan bahwa suatu pernyataan performatif tidak akan pernah menjadi tindakan bukanlah kemungkinan sampingan, melainkan sudah selalu merupakan kontradiksi di dalam pernyataan itu sendiri.[7]

Kesimpulan

            Dekonstruksi adalah sebuah metode sekaligus melampaui metode itu sendiri. Dekonstruksi tidak hanya menggambarkan teks, baik teks literatur ataupun teks sebagai realitas, apa adanya, melainkan juga mau mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detil teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terungkapkan bisa tampil dan justru menjadi dominan. Dalam bahasa Derrida dekonstruksi hendak menemukan kontradiksi dan menggetarkan seluruh teks. Menurut Royle di dalam tulisannya tentang Derrida, dekonstruksi adalah sebuah gempa yang menggetarkan seluruh teks, dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga. Kemungkinan untuk melakukan dekonstruksi sudah selalu terkandung di dalam teks itu sendiri. Kemungkinan yang tampak seperti hantu, namun sama nyatanya seperti teks itu sendiri. Dekonstruksi itu sendiri adalah teks.***


[1] Pada bab ini saya mengacu pada Nicholas Royle, Derrida, London: Routledge, 2003.

[2] Lihat, ibid, hal. 21.

[3] Lihat, ibid, hal. 22.

[4] Lihat, ibid, hal. 24.

[5] Lihat, ibid, hal. 26.

[6] Lihat, ibid.

[7] Lihat, ibid, hal. 29.

Kesadaran Kritis dan Pendidikan Demokrasi

Kesadaran Kritis

dan Pendidikan Demokrasi

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Pendidikan perlu untuk menumbuhkan kesadaran kritis peserta didiknya. Pendidikan harus mengajak peserta didik untuk jeli melihat ketidakadilan di dalam kehidupan sosial, bersikap reflektif, merumuskan pemikirannya tentang ketidakadilan itu, dan kemudian mengajukan solusi untuk melenyapkannya. (Amelia, 2009) Pendidikan yang masih berfokus pada pengajaran teknis yang sempit di dalam tembok-tembok displin ilmu tidak akan pernah mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kesadaran kritis. Di dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia, pendidikan yang berfokus pada penciptaan kesadaran kritis amatlah diperlukan. Sebuah negara yang masih berfokus pada penciptaan ‘tukang-tukang’ ilmiah tidak akan mampu menciptakan kultur demokratis yang diperlukan, guna menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera melalui jalan-jalan demokratis.

Pendidikan sebagai Penyadaran

Argumen tersebut dirumuskan oleh Paulo Freire untuk melawan semua bentuk penindasan yang terjadi pada masyarakat Sao Paulo, Brasil pada masa ia hidup. Ia berpendapat bahwa pendidikan tidak boleh steril dari politik. Sebaliknya pendidikan harus mampu ikut serta di dalam proses untuk mewujudkan politik yang berakar pada keadilan. Pendidikan harus melibatkan dirinya di dalam dinamika sosial masyarakat, termasuk di dalamnya dinamika ekonomi, politik, dan budaya.

Freire juga menegaskan bahwa pendidikan perlu untuk membuka mata peserta didik terhadap penindasan yang terjadi di depan matanya, yang mungkin selama ini belum disadari. Pengandaian dasar Freire adalah bahwa realitas selalu menyimpan ketidakadilan dan penindasan di baliknya. Realitas harus terus dicurigai sebagai sesuatu yang menyembunyikan ketidakadilan. Proses pendidikan adalah proses untuk menyadarkan peserta didik, sehingga mereka tergerak untuk membongkar ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di depan mata mereka.

Di Indonesia mayoritas guru dan dosen belum mengetahui atau meresapi pemikiran Freire tersebut. Mereka berfokus pada transfer pengetahuan teknis, tanpa ada dorongan lebih jauh untuk membuka mata peserta didik terhadap ketidakadilan sosial yang terjadi sehari-hari di Indonesia. Akibatnya peserta didik menjadi tidak peka terhadap situasi sekitar mereka. Dan lebih parah lagi, mereka justru menjadi orang-orang yang melestarikan dan bahkan mengembangkan penindasan sosial yang ada.

Pada hemat saya pola pendidikan semacam itu sama sekali tidak membebaskan dan menyadarkan. Sebaliknya pola pendidikan semacam itu pada akhirnya akan menghancurkan masyarakat secara umum. Para peserta didik menjadi orang yang angkuh dan berpikir konservatif. Mereka merasa diuntungkan dengan adanya penindasan, maka mereka lalu diam saja, atau justru memperparah keadaan. Dalam arti ini tujuan pendidikan telah gagal sejak awal.

Dipaksa untuk Bebas

Proses penyadaran dan pembebasan memang tidak datang dari surga. Sebaliknya proses tersebut harus diawali dengan penderitaan dalam bentuk paksaan. Secara normatif hal tersebut memang tidak bisa dibenarkan. Namun secara realistik setiap bentuk kebebasan selalu muncul dari adanya penindasan dan paksaan.

Setiap orang bebas untuk memilih makanan kesukaannya. Namun terlebih dahulu ia perlu belajar cara makan yang tepat. Untuk memperoleh pengetahuan tentang cara makan yang tepat, ia harus dipaksa belajar oleh orang tuanya. Setiap orang berhak untuk menuliskan pemikirannya secara bebas. Namun untuk bisa menulis, ia perlu dipaksa untuk belajar oleh guru dan orang tuanya.

Dengan demikian kesadaran dan kebebasan adalah sesuatu yang muncul dari bangkai peradaban yang memang berisi penindasan. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) juga muncul dari pengalaman traumatis atas perbudakan dan penjajahan. Maka sudah sewajarnya untuk bisa berpikir kritis, orang perlu untuk dilatih dalam tekanan dan paksaan terlebih dahulu. Harapannya ia kemudian menjadi sadar, dan tergerak dari dalam untuk mengembangkan kesadarannya itu.

Pendidikan Demokrasi

Di dalam masyarakat demokratis, setiap orang berhak untuk berpikir dan menyampaikan pemikirannya tersebut. Ia berhak untuk membentuk kelompok ataupun organisasi, dan menyampaikan pemikirannya di dalam organisasi itu. Dalam arti ini dapatlah disimpulkan, bahwa konsep kebebasan sangatlah penting di dalam masyarakat demokratis. Namun kebebasan macam apa yang perlu untuk dirawat dan dikembangkan?

Kebebasan yang diperlukan adalah kebebasan yang berakar pada kesadaran kritis orang yang tergerak oleh penindasan ataupun ketidakadilan sosial yang terjadi di depan matanya. Kebebasan di dalam masyarakat demokratis bukanlah kebebasan tanpa arah dan anarkis, melainkan kebebasan yang berorientasi pada upaya-upaya kritis, guna menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dalam arti ini kebebasan dan kesadaran kritis adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan! Pendidikan memainkan peranan yang sangat penting untuk menciptakan kesadaran kritis di pikiran para peserta didik. Ingat, ditangan merekalah masa depan Bangsa Indonesia ditentukan.***

Soft Skill, Komunikasi dan Kemajuan Demokrasi

Soft Skill, Komunikasi,

dan Kemajuan Demokrasi

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Komisi tiga DPR meminta keterangan dari Kapolri dan KPK mengenai kasus penangkapan Bibit-Chandra dan kerumitan kasus di balik penangkapan tersebut. Di dalam proses meminta keterangan dan mengajukan pendapat terlihat sekali kurangnya kemampuan para wakil rakyat kita di dalam berkomunikasi. Mereka cenderung berbicara berputar, dan sedapat mungkin menyembunyikan inti pembicaraan sampai akhir. Akibatnya pendengar yang ingin menyimak isi pembicaraan menjadi lelah dan bosan terlebih dahulu.

Ketidakmampuan berkomunikasi secara baik itu rupanya bukan hanya menjadi ‘penyakit’ DPR, tetapi juga sebagian besar rakyat Indonesia. Hal ini terjadi karena pola pendidikan yang terlalu berfokus pada ketrampilan teknis displin ilmu, seperti teknik, hukum, dan ekonomi, dan mengabaikan pendidikan soft skill dalam bentuk kemampuan berkomunikasi dan menyusun argumen secara singkat dan tepat. Akibatnya banyak orang sangat ahli di bidang ilmunya masing-masing, tetapi tidak mampu berkomunikasi ataupun menyampaikan pendapatnya secara singkat, padat, dan tepat.

Padahal komunikasi sangatlah penting di dalam kehidupan manusia. Kegagalan berkomunikasi akan menciptakan kesalahpahaman. Kesalahpahaman adalah awal dari semua bentuk konflik. Konflik akan bermuara pada terciptanya korban, baik korban jiwa ataupun material. Kita sebagai bangsa harus mulai memberikan perhatian pada pendidikan soft skill yang akan memungkinkan peserta didik mampu berkomunikasi secara jelas, singkat, dan tepat. Para wakil rakyat dan politikus di masa depan diharapkan mampu mengajukan argumen dan pemikiran mereka secara jelas, singkat, dan tepat.

Soft Skill dan Roh di Baliknya

Sekarang ini banyak sekolah ataupun universitas menyelenggarakan pendidikan soft skill. Pendidikan itu biasanya melibatkan kurikulum yang mengajarkan peserta didik untuk mampu berkomunikasi, bersikap pro aktif, jujur, mampu berbicara di depan umum secara jelas, padat, dan tepat, mampu bekerja di dalam tim, dan mampu bertahan di dalam tekanan pekerjaan ataupun tugas. Kurikulum tersebut terlihat ideal. Namun seperti yang berulang kali dikatakan oleh B. Suprapto, pendidikan soft skill tidak boleh terjatuh di dalam teknikalitas, seperti transfer ilmu ataupun pengetahuan semata, tetapi juga harus mengedepankan semangat dan roh pencarian kebenaran di dalamnya. (B.Suprapto, 2009)

Rupanya B. Suprapto masih mengidealkan semangat pencarian kebenaran yang sungguh terasa di kalangan para filsuf Yunani Kuno 2500 tahun yang lalu. Mereka tidak memiliki kurikulum soft skill, tetapi mereka menerapkannya secara nyata di dalam proses pencarian kebenaran dan kebijaksanaan. Itulah fajar filsafat di dalam peradaban manusia, yakni ketika beberapa orang berkumpul untuk berdiskusi, guna mencari kebenaran dan kebijaksanaan di dalam hidup mereka. Dengan mengedepankan diskusi dan argumentasi rasional, para filsuf tersebut memulai sebuah pencarian yang nantinya akan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Banyak institusi pendidikan sekarang ini mulai memperhatikan pentingnya soft skill. Namun perhatian dan pendidikan yang mereka berikan masih bersifat teknis semata. Semangat mencari kebenaran dan kebijaksanaan tidak ditularkan oleh para guru ataupun dosen, karena mereka sendiri tidak memiliki semangat tersebut. Para guru, dosen, maupun peserta didik harus kembali mempelajari semangat pencarian kebenaran dan kebijaksanaan yang diajarkan oleh para filsuf Yunani Kuno.

Soft skill juga harus didasarkan pada semangat pencarian kebenaran. Tanpa itu soft skill hanya akan terjebak pada teknikalitas transfer pengetahuan, seperti pada ilmu-ilmu lainnya. Tujuan soft skill untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara tepat, jelas, dan singkat pun tidak akan tercapai. Kesalahpahaman dan konflik sosial kemungkinan besar akan terjadi, seperti yang sudah seringkali dialami oleh bangsa ini.

Soft Skill dan Demokrasi

Di dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia, proses komunikasi memainkan peranan yang sangat penting. Di dalam bukunya yang berjudul The Theory of Communicative Action, Habermas, seorang filsuf Jerman, berpendapat, bahwa tindakan komunikatif yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan bersama adalah kunci integrasi masyarakat majemuk, seperti Indonesia. (Habermas, 1984) Paradigma komunikatif juga dapat menjadi paradigma ideal di dalam penelitian ilmu-ilmu sosial yang sebelumnya masih sangat bersifat positivistik (hanya mengakui hal-hal yang dapat diketahui oleh panca indera sebagai dasar pengetahuannya). Di dalam filsafat politiknya, Habermas juga berpendapat, bahwa inti dari negara demokratis adalah proses diskursus yang melibatkan warga negara di dalam proses komunikasi, guna mencapai kesepakatan mengenai segala sesuatu yang terkait dengan persoalan bersama. (Habermas, 1994).

Dengan demikian kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas, singkat, dan tepat adalah sesuatu yang sangat penting di dalam masyarakat demokratis. Jika para wakil rakyat, pemerintah, dan jajaran birokrasi pemerintahan, bisnis, serta masyarakat sipil telah menguasai soft skill berkomunikasi secara tepat, jelas, dan singkat yang kemudian dibalut oleh semangat pencarian kebenaran dan kebijaksanaan, maka proses demokrasi di Indonesia akan berjalan dengan lancar. Kesalahpahaman akan dapat dihindari. Rakyat pun akan semakin bergairah terlibat di dalam diskusi-diskusi publik yang terkait dengan permasalahan bersama. Rakyat tidak lagi bingung, lelah, dan bosan, ketika mencoba mendengarkan sidang DPR, ataupun diskusi-diskusi demokrasi lainnya.***

Rokok dan Kebebasan

Technorati Tags: ,,

Cogito

Seminari Tinggi Providentia Dei, Surabaya

November 2009

Edisi Rokok dan Kebebasan

Rokok: Kebutuhan Tubuh

yang Memenjarakan Jiwa

Oleh: Kristoforus Sri Ratulayn Kino Nara

Bagi sebagian besar orang, rokok telah menjadi kebutuhan yang bahkan disamakan dengan kebutuhan untuk makan dan minum. Kebutuhan akan rokok sudah menjadi kebutuhan yang sangat sentral. Mereka disebut sebagai perokok berat. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa rokok telah menjadi “istri” kedua mereka. Tentu banyak faktor yang harus kita lihat dalam membicarakan masalah ini. Namun dalam pembahasan ini, kita akan melihat bagaimana kebutuhan akan merokok ditinjau dari sisi filsafat.

Tema “Cogito” kali ini, rokok dan kebebasan, membuat saya ingin mengambil posisi kontra terhadap tema besar itu. Argumen saya adalah bahwa dengan merokok, manusia menjadi tidak bebas. Pada pembahasan ini saya akan membaginya dalam tiga bagian. Pertama, kita akan melihat bagaimana ajaran Plato tentang tubuh dan jiwa. Kedua, analisis dengan mengacu pada teori Plato tentang tubuh dan jiwa dengan kaitannya dalam kebutuhan manusia akan (me)rokok. Bagian terakhir nantinya adalah sebuah kesimpulan, bahwa rokok merupakan kebutuhan tubuh yang memenjarakan jiwa manusia.

Teori Plato tentang Tubuh dan Jiwa Manusia[1]

Plato, seorang filsuf terbesar dalam sejarah filsafat Yunani Kuno, memandang aspek dualisme manusia, yakni bahwa manusia terdiri dari dua hakikat yang berlainan, tubuh dan jiwa. Tubuh mempunyai sifat yang rapuh, mudah berubah, dan tidak tetap. Sedangkan jiwa adalah sesuatu yang kasat mata, tetap dan abadi. Jiwa selalu mempunyai kerinduan untuk mencapai kearifan dan kebijaksanaan.

Bagi Plato tubuh adalah kuburan bagi jiwa. Dalam arti jiwa sudah ada di suatu tempat yang penuh dengan kearifan sebelum dilahirkan. Pada suatu ketika jiwa mengalami inkarnasi dan masuk ke dalam tubuh. Tubuh yang mempunyai sifat rapuh, tidak tetap, dan selalu berubah menjadi penghalang bagi jiwa untuk mencapai kearifan dan kebijaksanaan. Tubuh akan “membingungkan” manusia dalam usaha mencari kebenaran. Menurut Plato berfilsafat berkaitan hanya dengan pikiran atau jiwa manusia.

Plato menambahkan bahwa jiwa bernalar paling indah, ketika tidak satu pun dari hal-hal yang ragawi, seperti pendengaran, peglihatan, duka cita ataupun kesenangan, menghalanginya untuk mencapai kebenaran. Dengan meninggalkan tubuhnya manusia akan mampu menemukan hakikat segala sesuatu (Lih. Phaedo 65c). Tubuh mempunyai sifat mengarahkan seseorang untuk mencari kesenangan, misalnya makan dan minum. Manusia yang terlalu terpengaruh oleh tubuh akan menjadi pemuja tubuh. Inilah yang sungguh menjadi penghambat bagi jiwa untuk mampu bernalar guna mencapai kearifan dan kebijaksanaan.

“Selama kita tubuh manusia yang menemani argumen yang kita kembangkan dalam penyelidikan kita, jiwa kita akan tercampur dengan hal jahat semacam ini, kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan” (Phaedo 66b; bdk. 64d-65d)

Suatu ketika seorang mahasiswa mengalami sakit panas yang memaksanya harus beristirahat untuk beberapa minggu. Padahal ia harus belajar dan memahami materi ujian yang akan dia hadapi. Dengan demikian nampak secara langsung, bahwa tubuh menghalangi jiwa untuk bernalar dan mencapai kebijaksanaan.

Analisis

Pada bagian ini kita akan mengulas lebih dalam mengenai kebutuhan akan merokok dalam kaitannya dengan kebebasan. Dimana letak hubungan antara rokok dan tubuh, sehingga dikatakan merokok menjadikan manusia tidak bebas?

Jelaslah bahwa rokok adalah kebutuhan tubuh. Tubuhlah -yang karena efek nikotin- membuat manusia ketagihan untuk mengkonsumsinya. Jika tidak merokok dalam waktu lama, tubuh akan mengalami kesemutan di lengan dan kaki, berkeringat dan gemetar, gelisah, susah konsentrasi, sulit tidur, lelah atau pusing. Dengan bahasa lain kita bisa mengatakan, bahwa seorang pecandu rokok harus menghisap rokok secara rutin. Rokok adalah kebutuhan tubuh.

Berdasarkan teori yang telah kita lihat pada sub-pembahasan sebelumnya, kita bisa membayangkan apa yang dikatakan Plato, jika ia masih hidup saat ini. Dengan lantang Plato akan berkata, bahwa rokok adalah “kuburan” bagi jiwa manusia. Logikanya demikian: karena rokok adalah kebutuhan tubuh, sedangkan tubuh sendiri adalah penjara bagi jiwa, maka rokokpun adalah sebuah penjara atau kuburan bagi jiwa manusia. Kita bisa mengambil contoh. Suatu ketika seseorang pecandu rokok yang berprofesi sebagi dosen harus memberikan kuliah kepada mahasiswanya. Namun karena kebutuhan akan merokoknya belum terpenuhi, kita bisa mengkira-kira apa yang terjadi pada dosen tersebut, misalnya ia menjadi tidak tenang, sulit berkonsentrasi, dsb.

Kesimpulan

Bagian terakhir ini sekedar untuk lebih menegaskan kembali argumen awal, bahwa (me)rokok adalah kebutuhan yang memenjarakan manusia, terutama ditinjau dari teori Plato tentang tubuh dan jiwa. Rokok adalah kebutuhan tubuh, karena berkaitan dengan tubuh yang juga menjadi penjara jiwa untuk mencapai kebijaksanaan. Maka bisa kita simpulkan bahwa rokokpun menjadi penjara atau kuburan bagi manusia.

Relevansi yang bisa kita ambil dari semua pembahasan di atas adalah; mari kita bersikap kritis terhadap keputusan kita yang memilih untuk “dijajah” oleh rokok. Rokok yang sebenarnya justru memperbudak kita, sehingga tidak dapat mencapai kebaikan. Mari kita tanamkan hidup sehat dan bijaksana tanpa rokok!!!.

Penulis adalah mahasiswa Skolastikat Filsafat Providentia Dei, Surabaya

Rokok sebagai Simbol Kebebasan

Oleh: Yohanes Robertus Franky Tedjokusumo

Setiap hari kita melihat orang yang merokok di sekeliling kita. Sering kali kita mengatakan, bahwa orang yang merokok itu tidak bebas, karena mereka tergantung pada rokok. Namun sebenarnya justru mereka adalah orang yang bebas. Mereka (perokok) bebas untuk mengikatkan diri mereka pada “penjajahan” rokok. Bagi mereka rokok merupakan suatu simbol kebebasan. Dibawah ini saya akan memberikan penjelasan mengapa rokok menjadi simbol kebebasan dengan berangkat dari sisi kemanusiaan kita.

Kebebasan Manusia

Pada dasarnya setiap manusia itu berkehendak. Manusia mempunyai kemampuan menghendaki apa yang disukainya, memilih apa yang dikehendakinya[2]. Arah kecenderungan kehendak manusia biasanya disebut tujuan. Tujuan ini berwujud material atau nonmaterial, fisik atau moral, riil atau semu. Karena itu, manusia bebas untuk memilih.

Karena manusia memiliki kehendak, maka manusia bebas untuk melakukan atau menentukan tujuannya. Kebebasan berarti ketiadaan paksaan.[3] Ada berbagai macam bentuk kebebasan. Ada kebebasan moral, kebebasan fisik, dan kebebasan psikologis.

Kebebasan psikologis disebut juga kebebasan untuk memilih, karena kebebasan itulah yang memungkinkan si subyek untuk memilih diantara berbagai tindakan yang mungkin. Kebebasan manusia tidak hanya terdiri dari kemampuan untuk melakukan apa yang diinginkannya. Sebaliknya, manusia juga memutuskan apa yang ingin diperbuatnya: ini atau itu. Apa yang ingin diperbuatnya tergantung padanya, dan tidak ada paksaan atau kendali dari luar.

Dengan pilihan bebas manusia menghasilkan esensinya atau hakekat dirinya. Mengapa? Setiap pilihan dan keputusan yang manusia buat akan menentukan kepribadiannya. Melalui pilihan-pilihannya manusia mewujudkan karakternya.[4] Maka, dengan begitu secara tidak langsung eksistensi manusia nampak. Manusia memilih untuk merokok untuk mengungkapkan kebebasan mereka.

Sejarah Rokok

Pada awalnya manusia pertama yang merokok adalah suku Indian di Amerika. Suku ini menggunakan rokok untuk memuja dewa-dewa atau roh. Pada abad ke-16, bangsa Eropa menemukan benua Amerika dan menjajah mereka. Bangsa Eropa ikut menghisap rokok, dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Namun orang Eropa merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki, dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam.[5]

Manusia memilih untuk merokok, karena kehendaknya sendiri, meskipun ia tahu bahaya dari rokok, yakni ketergantungan dan menderita banyak penyakit seperti kanker, jantung, pernafasan, pencernaan, efek buruk bagi kehamilan, emfisema. Ada banyak alasan mengapa manusia merokok. Ada yang mengatakan bahwa kalau tidak merokok, mereka tidak dapat berpikir, tidak ada inspirasi, bahkan ada yang merasa lebih tenang bila merokok. Bagi para perokok berat, mereka lebih memilih tidak makan dari pada tidak merokok. Alasan-alasan ini yang membuat mereka tetap memilih merokok, meskipun mereka menyadari bahwa mereka dijajah oleh rokok.

Sejak bangsa Eropa mulai menghisap rokok, esensi rokok sudah berubah dari sarana ritual menyembah dewa-dewa menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan merokok menjadi simbol mereka (bangsawan Eropa). Kebiasaan ini mulai diikuti oleh banyak orang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia bebas untuk melakukan apa pun yang mereka kehendaki. Kehendak mereka untuk merokok merupakan pilihan mereka atas diri mereka. Tindakan yang mereka pilih ini mau menyatakan, bahwa mereka adalah manusia yang bebas. Mereka bebas memperlakukan tubuh mereka sesuai dengan apa yang mereka kehendaki.

Bebas untuk Dijajah

Para perokok ini telah memilih untuk membiarkan tubuh mereka “dijajah” oleh rokok. Mereka menghendaki tubuh mereka dikuasai oleh rokok. Mereka bebas untuk mengikatkan diri mereka pada sesuatu. Pilihan inilah yang menampakan sisi kebebasan mereka sebagai manusia. Pilihan mereka ini menunjukkan bahwa tidak ada keterpaksaan pada diri mereka dalam memilih apa yang ingin dilakukannya, yakni merokok.

Pada akhirnya, pilihan dan keputusan untuk merokok menunjukkan jadi diri mereka. Pilihan ini juga telah menunjukkan karakter para perokok. Eksistensi mereka menjadi jelas. Mengapa? Sebab pilihan ini membantu kita (para perokok) mengenali siapa teman kita saudara kita, dan orang-orang yang kita kenal.

Akhir-akhir ini pemerintah mengeluarkan perda antirokok. Perda ini memberikan batasan bagi para perokok. Pemerintah melarang orang untuk merokok di sebarang tempat, dan memusatkan pada suatu ruang yang di-design untuk para perokok. Ada larangan merokok di tempat-tempat umum, seperti di mall, kendaraan umum, dan lain sebagainya.

Perda ini telah membatasi kebebasan manusia untuk melakukan apa yang dikehendakinya secara bebas. Secara tidak langsung perda ini mematikan sedikit esensi dari manusia. Akhirnya eksistensi manusia menjadi kurang nampak, sebab kebebasan manusia terkurung.***

Sumber Acuan:

Louis Leahy, Siapakah Manusia?, Kanisius, Jogjakarta, 2001

Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20: Jean-Paul Sartre: Orang Lain, Neraka?, Kanisius, Jogjakarta, 2000

www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2009 pukul 11.15 WIB

Penulis adalah Mahasiswa Skolastikat Filsafat Providentia Dei, Surabaya

Filsuf Bulan Ini:

THOMAS AQUINAS (1224-1274)

Oleh: AGUSTINUS RYADI

Thomas Aquinas lahir di desa Aquino, sebuah desa di antara Roccasecca dan Napoli, Italia, pada 25 Nopember 1224. Ia berasal dari keluarga bangsawan. Aquinas dikirim oleh kedua orang tuanya untuk menjalani pendidikan di sebuah sekolah di pertapaan para rahib Benediktin dari Monte Cassino pada umur lima tahun. Pada tahun 1239 ia mulai kuliah di Universitas Napoli setelah ia tinggal selama sembilan tahun di biara tersebut.

Aquinas bergaul akrab dengan para biarawan Ordo Dominikan di Napoli. Hal ini membuat dia masuk biara ini pada tahun 1244. Namun langkah Aquinas ini tidak disetujui oleh segenap keluarganya, karena mereka menghendaki Aquinas menjadi seorang rahib Benediktin di Monte Cassino. Karena sikap keluarganya itu, pemimpin umum Ordo Dominikan mengirim Aquinas ke Paris, Perancis, untuk belajar teologi, kemudian ke pusat studi Christendom, dan ke Koln. Ia belajar di bawah bimbingan Albertus Agung, seorang Doctor Universalis, selama empat tahun (1248-1252). Upaya Santo Albertus untuk menggunakan filsafat Aristoteles dalam berteologi mempengaruhi arah dan gaya pemikiran Aquinas. Setelah itu, ia kembali ke Universitas Paris untuk melengkapi studi teologi selama empat tahun (1252-1256).

Aquinas disibukkan dengan tugas-tugasnya sebagai Magister Teologi di Universitas Paris selama tiga tahun (1256-1259). Kemudian dia mengajar di beberapa pusat studi teologi di Italia selama sepuluh tahun. Ia juga membantu di lembaga pengadilan kepausan sampai tahun 1268. Ia mendampingi Paus Alexander IV di Anagni (1259-1261), Paus Urbanus IV di Orvieto (1261-1264) dan di Roma (1265-1267), serta Paus Clemens IV di Viterbo (1267-1268). Pada tahun 1269 dia kembali menjadi profesor teologi untuk kedua kalinya di Universitas Paris. Hal ini dapat terjadi karena permintaan ordonya. Pada tahun 1274 ia diminta untuk mendirikan sekolah teologi di Napoli, Italia.

Pola pikir filosofis Thomas Aquinas tampak dalam dua hal, yaitu metode skolastik dan analisa falsafatinya. Skolastik menjadi ciri khas sistem pendidikan di universitas-universitas Abad Pertengahan, yaitu para biarawan-rohaniwan mengelola dan membina lembaga-lembaga pendidikan. Pada zaman Aquinas tidak ada sistem atau ajaran filsafat yang baku dan seragam. Pengajar di pelbagai sekolah bebas mengekspresikan sudut pandangnya sendiri. Namun masih ada unsur-unsur tertentu yang mempersatukan ciri khas sekolah-sekolah. Unsur-unsur tersebut adalah Lectio (kuliah) dan disputatio (debat dialektis).

Pada saat lectio (kuliah), mahasiswa membaca dan membeberkan isi sebuah teks yang telah ditentukan oleh pengajarnya. Membaca sebuah teks harus sesuai dengan keinginan pengarang, yakni keinginan untuk memahami kekayaan makna kata-kata dan kekayaan terminologis yang terdapat di dalam sebuah teks. Bentuk pendidikan semacam ini mengembangkan teknik penafsiran (hermeneutika). Suasana lectio ini menimbulkan pemahaman yang mendalam terhadap otentisitas gagasan para pemikir.

Metode pembelajarannya dinamai disputatio, yakni metode yang meliputi debat dialektis tentang masalah-masalah yang ditemukan dalam teks. Pengajar menemui para mahasiswa untuk menentukan dan mempertimbangkan argumentasi “pro” dan “kontra” dan merumuskan ke dalam jawaban yang sistematis atas pertanyaan yang diperdebatkan pada saat disputatio. Suasana disputatio ini melatih sikap kritis yang sehat, dan cara berpikir yang otonom.

Aquinas, filsuf sekaligus teolog, melengkapi pandangan Agustinus yang didasari oleh gagasan Plato dan terutama Neo-Platonisme, untuk memahami secara rasional pelbagai iman Kristiani. Sebagai misal, Agustinus berusaha membuat sintesa antara filsafat Yunani (Platonisme dan Neo-Platonisme) sebagai batu tumpuan pertama untuk menuju pengajaran kristianitas. Sedangkan Aquinas menggunakan filsafat Yunani (Aristoteles) sebagai dasar filsafat untuk meluruskan iman Kristiani. Dia melihat faktor ketiga, yakni keberadaan Tuhan, yang dapat menjembatani kebenaran yang dicapai oleh iman maupun akal budi. Maksudnya, di satu pihak keberadaan Tuhan dapat diterima dalam iman, di pihak lain dapat dimengerti atas dasar argumen masuk akal. Jadi semua kebenaran adalah masuk akal, karena berasal dari Tuhan sebagai Being yang rasional.

Salah satu karya Aquinas yang menunjukkan bahwa tidak adanya pemisahan antara teologi dan filsafat adalah Summa Theologiae (1265-1273). Buku ini disusun berdasarkan metode disputatio skolastik, yaitu sebuah metode berpikir yang keseluruhannya terdiri atas quaestiones (pertanyaan-pertanyaan) dan articuli. Topik pembahasan selalu dianalisa dan dirinci dalam beberapa bagian. Setiap bagian dari topik itu selalu dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan. Aquinas mengemukakan jawaban-jawaban atas setiap pertanyaan. Sumber-sumber jawaban berasal dari Kitab Suci dan filsuf-filsuf sebelumnya; filsuf-filsuf pra-Sokratik, kalangan Bapa-Bapa Gereja purba, para filsuf Islam, serta filsuf Yahudi. Jawaban-jawaban tersebut ditanggapi lewat kritik. Sesudah itu, Aquinas memberikan pendapatnya sendiri sebagai jawaban akhir atas pertanyaan yang bersangkutan.

Hubungan antara filsafat dan teologi tampak paling jelas dalam pandangan Aquinas terhadap filsafat Aristoteles. Menurut Aquinas, sistem filsafat Aristoteles mengandung kebenaran rasional yang sejati. Problemnya terletak pada “bagaimana memahami filsafat tanpa kehilangan hakekat teologi”. Bagi Aquinas, tidak semua kebenaran teologis dengan sendirinya jelas bagi akal budi manusia. Sebagai misal, kebenaran tentang eksistensi Tuhan. Kebenaran ini berasal dari wahyu, namun masih perlu dijelaskan secara filosofis supaya apa yang diimani dapat dipahami secara rasional.

Pandangan Aquinas tersebut di atas mengandung dua implikasi. Pertama, Aquinas menganggap penting filsafat Aristoteles karena filsafat Aristoteles digunakan sebagai alat untuk membuat sistematisasi, definisi, dan merumuskan argument-argumen mengenai ajaran-ajaran iman tertentu secara logis. Kedua, teologi adalah suatu bingkai dasar untuk memahami pemikiran filosofis dari Aquinas. Pemikiran-pemikiran Aquinas terkait erat dengan konteks teologinya. Dengan demikian Aquinas terkenal sebagai filsuf dan teolog yang mampu menyintesakan seluruh pemikiran kristiani dengan bantuan sistem dan konsep filsafat Aristoteles.

Daftar Pustaka:

Davies, Brian, The Thought of Thomas Aquinas, Clarendon Press, Oxford 1993, hal.1-10.

Gilson, Etienne, The Philosophy of St. Thomas Aquinas, Dorset Press, New York 1948, hal. 37-38.

Grabmann, Martin, S. Tommaso d’Aquino, una introduzione alla sua personalitá e al suo pensiero, Versione del Dottor Giacomo di Fabio, Societá Editrice “Vita e Pensiero”, Milano 1929.

McInerny, Ralph, St. Thomas Aquinas, University of Notre Dame Press, Notre Dame – London 1982, hal. 11-29.

Saranyana, Joseph, History of Medieval Philosophy, Sinag-Tala, Manila 1996, hal. 186-188.

Weisheipl, James A., Friar Thomas D’Aquino: His Life, Thought, and Works, The Catholic University of America Press, Washington DC 1983.

Penulis adalah Pengajar di Universitas Katolik Widya Mandala dan

Skolastikat Filsafat Seminari Tinggi Providentia Dei,

Surabaya


[1] Untuk bagian ini, saya mengacu pada teori Plato tentang tubuh dan jiwa dalam bukunya yang berjudul Phaedo.

[2], hal. 175

[3] Idem, hal. 182

[4] Lih., hal. 77

[5] www.wikipwdia.com. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2009 pukul 11.15 WIB

Metode Penelitian: Naratif

rpgpodcasts.com

Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya saya sudah mencoba menjelaskan secara garis besar teori dekonstruksi di dalam pemikiran Jacques Derrida. Inti dari dekonstruksi (kita andaikan demi keperluan pembelajaran, bahwa dekonstruksi memiliki inti, walaupun Derrida pasti akan menolak konsep ‘inti’) adalah dorongan untuk memahami dan mengubah teks, baik teks sebagai literatur ataupun sebagai realitas itu sendiri. Dan seperti yang telah saya tegaskan di dalam bab sebelumnya dengan mengacu pada tafsiran Royle, dekonstruksi adalah suatu gempa tekstual (textual earthquake). Dekonstruksi mau menemukan kontradiksi (ketidaksesuaian) di dalam bagian-bagian teks yang tidak terlihat terlalu penting, lalu menyebarkan kontradiksi itu ke seluruh teks.

Pada bab ini saya mau memperluas tema ke metode penelitian ilmu-ilmu sosial, terutama metode naratif, yang walaupun berada di level ilmu-ilmu sosial, namun, pada hemat saya, memiliki dimensi filosofis yang cukup dalam. Hal ini saya pandang penting, karena filsuf juga perlu mempelajari metode pendekatan realitas di dalam ilmu-ilmu sosial, sama seperti para ilmuwan sosial (dan ilmuwan alam) perlu mempelajari filsafat sebagai dasar bagi ilmu mereka. Diskusi timbal balik antara filsafat dan sains bisa memperkaya keduanya.[1] Pada bab ini saya mengacu pada pemaparan Leonard Webster dan Patricie Metrova di dalam buku mereka yang berjudul Using Narrative Inquiry as a Research Method.[2]

Menurut Webster dan Metrova (selanjutnya saya singkat menjadi WM), narasi (narrative) adalah suatu metode penelitian di dalam ilmu-ilmu sosial. Inti dari metode ini adalah kemampuannya untuk memahami identitas dan pandangan dunia seseorang dengan mengacu pada cerita-cerita (narasi) yang ia  dengarkan ataupun tuturkan di dalam aktivitasnya sehari-hari (baik dalam bentuk gosip, berita, fakta, analisis, dan sebagainya, karena semua itu dapat disebut sebagai ‘cerita’). Fokus penelitian dari metode ini adalah cerita-cerita yang didengarkan di dalam pengalaman kehidupan manusia sehari-hari. Di dalam cerita/narasi, kompleksitas kultural kehidupan masyarakat dapat ditangkap dan dituturkan di dalam bahasa. Dalam arti ini cerita bukan hanya menjadi cerita saja, melainkan menjadi bagian dari penelitian untuk memahami manusia dan dunianya.[3]

Setiap manusia memiliki cerita. Cerita itu bermacam-macam. Di dalam cerita terkandung nilai-nilai yang mencerminkan pandangan dunia manusia itu, sekaligus cerita-cerita yang membentuk identitasnya sebagai manusia. Metode naratif hendak memahami kehidupan manusia yang memang penuh dengan ‘cerita’. Pendekatan ini lebih bersifat holistik, detil, dan bersifat sangat kualitatif guna memahami kehidupan manusia yang terus berubah sejalan dengan perubahan waktu. Tentu saja bagi para ilmuwan yang menganut positivisme-saintifik (yang mempercayai keketatan metode penelitian tradisional dan), pendekatan ini tampak tidak ilmiah. Akan tetapi tuduhan itu tidaklah tepat. Identitas manusia dibentuk dan berkembang seturut dengan cerita yang diajarkan kepadanya, sekaligus cerita yang dituturkan di dalam hidupnya. Bahkan bisa dikatakan seluruh nilai-nilai yang diajarkan (terutama di indonesia) berbasis pada tradisi oral yang mengedepankan cerita. “Narasi, dan cerita yang ditangkapnya”, demikian tulis WM, “menawarkan penelitian yang memberi penegasan tentang pengertian-pengertian yang tidak dapat ditemukan oleh model penyelidikan tradisional.”[4]

Di dalam bukunya WM mengajukan tiga hal yang kiranya perlu untuk memahami inti dari metode naratif. Tiga hal itu dirumuskannya dalam tiga pertanyaan. Mengapa naratif? Mengapa cerita yang dijadikan sebagai titik tolak penelitian? Banyak ilmuwan berpendapat bahwa pengalaman manusia terkait dengan cerita, yakni cerita yang diajarkan kepadanya, maupun cerita tentang hidupnya. Inilah pertanyaan pertama yang perlu terlebih dahulu dijawab. Pertanyaan kedua adalah apa keunggulan metode naratif di dalam penelitian tentang manusia? Untuk mengetahui keunggulan metode ini, kita perlu memahami dasar filosofis dan metodis di baliknya. Saya akan coba melakukannya (dengan mengacu pada pemikiran WM) pada bab berikutnya.

Pertanyaan ketiga adalah aspek-aspek apa sajakah yang perlu dikuasai di dalam model penelitian naratif? Seperti metode penelitian lainnya, metode penelitian naratif memiliki prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip itu haruslah diperhatikan dan dikuasai terlebih dahulu sebelum memulai penelitian. Dengan menjawab tiga pertanyaan itu, maka metode penelitian naratif dapatlah dirumuskan sebagai metode penelitian yang sifatnya koheren dan integral. Di dalam cerita-cerita yang diajarkan secara turun temurun terkandung nilai-nilai yang membentuk pribadi seseorang. Dengan memahami cerita-cerita turun temurun, dan cerita-cerita lainnya yang kita dengar ataupun tuturkan di dalam kehidupan kita, dalam kaitan dengan cerita hidup manusia nyata yang beraktivitas di dalam dunia, kita bisa memperoleh pengetahuan yang sebelumnya terlupakan di dalam metode penelitian tradisional.[5]

Mengapa menggunakan Metode Naratif?

Menurut WM sebelum memulai penelitian, ada baiknya kita merumuskan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan yang nantinya dapat digunakan untuk meneliti. Di dalam metode naratif, pertanyaan-pertanyaan untuk penelitian yang biasa digunakan adalah;

  1. Cerita macam apa yang terakhir kali kau dengar?
  2. Kapan kamu mendengarnya?
  3. Apa yang kamu ingat tentang cerita tersebut?
  4. Cerita macam apa yang terakhir kali kamu ceritakan?
  5. Kepada siapa kamu menceritakannya?

Tentu saja pertanyaan-pertanyaan tersebut sangatlah mudah dijawab (selama anda tidak memiliki masalah dengan memori anda). Hidup manusia dipenuhi denga cerita, baik cerita yang diajarkan orang tua, cerita dari teman, cerita tentang teman, dan sebagainya. Seringkali cerita-cerita itu tidak ditujukan untuk kita, tetapi kita secara tidak langsung mendengarkan, ketika teman sedang bercerita, atau orang yang duduk di sebelah kita di kendaraan umum. Bahkan dapat juga dikatakan, bahwa cerita adalah bagian integral di dalam proses komunikasi antar manusia. Aktivitas harian manusia dilalui dengan berpindah dari satu cerita ke cerita lainnya (cerita tentang naiknya harga saham, sampai cerita tentang perang di negara lain). Cerita-cerita itu seringkali berlalu begitu saja. Namun kita juga lupa, bahwa cerita-cerita itu mempengaruhi cara pandang kita terhadap dunia. Cerita-cerita itu juga secara langsung mempengaruhi identitas kita sebagai manusia, dan sebagai bagian dari suatu kelompok.

Apa pentingnya memahami cerita-cerita yang dituturkan ataupun didengarkan oleh orang lain? Yang penting untuk penelitian adalah memahami, bagaimana cerita-cerita itu mempengaruhi pandangan dunia sekaligus identitas orang-orang yang menuturkan ataupun mendengarkannya. Di sisi lain cerita-cerita itu seringkali memiliki nilai terpendam yang memiliki aspek pendidikan (walaupun bukanlah pendidikan langsung ataupun pendidikan formal). Banyak cerita memililiki nilai pendidikan yang tinggi. Cerita-cerita itu dituturkan atau dibacakan kepada kita dengan tujuan membentuk suatu sikap hidup tertentu. Biasanya cerita-cerita itu merupakan bagian dari suatu mata pelajaran di sekolah. Namun cerita yang kita dengar dan tuturkan di dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya juga memiliki nilai didik yang tinggi. Relasi yang kuat antara narasi dan edukasi (pendidikan) di dalam aktivitas manusia inilah yang kiranya menjadi titik tolak penelitian metode naratif. Nilai edukasi yang ditawarkan di dalam narasi tidak hanya soal nilai-nilai kehidupan sehari-hari, tetapi juga tentang ilmu pengetahuan, kedokteran, hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya.[6]

Di dalam tulisannya WM menyatakan dua kontribusi metode naratif di dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Yang pertama metode naratif membantu menegaskan sejarah dari kesadaran manusia. Metode naratif mau menganalisis cerita yang dituturkan maupun yang didengarkan orang sedari ia kecil. Namun begitu cerita tidak hanya membentuk manusia individual, tetapi juga manusia sebagai keseluruhan, yakni manusia sebagai spesies. Cerita (narasi) terkait dengan perkembangan manusia sebagai mahluk yang mampu berpikir. Ada banyak sekali cerita terkait dengan penemuan-penemuan yang sangat menentukan peradaban manusia, seperti di dalam filsafat, seni, ilmu pengetahuan, dan praktek politik-ekonomi-budaya. Di dalam cerita-cerita itu terkandung pemikiran dan nilai-nilai yang diajarkan oleh para pemikir terbesar sepanjang sejarah, seperti Hegel, Kant, Plato, Aristoteles, Marx, dan sebagainya. Ini adalah cerita mengenai perkembangan kesadaran manusia sebagai mahluk berpikir. Perkembangan yang tidak hanya memiliki sisi positif, tetapi juga sisi negatif, seperti perang, genosida, wabah, bencana alam, dan sebagainya.

Yang kedua pada level individual, menurut WM, cerita adalah cerminan dari pribadi personal setiap orang. Di dalam cerita terkandung sejarah dan ingatan tentang masa kecil, remaja, dewasa, sampai masa tua seseorang. Kita bisa dengan mudah menemukan cerita-cerita semacam ini di dalam buku-buku biografi, autobiografi, studi kasus, dan sebagainya. Di dalam filsafat pendidikannya, John Dewey menggunakan narasi (cerita) sebagai titik tolaknya. Baginya cerita memiliki pengaruh besar di dalam perkembangan kesadaran diri manusia. Tidak hanya itu baginya, masyarakat manusia pada umumnya berkembang dengan berpijak pada tradisi oral (tutur cerita) yang sangat mengedepankan pendidikan melalui cerita. Maka dari itu cerita memiliki peran yang sangat penting di dalam pembentukan cara berpikir dan karakter manusia.

Di dalam masyarakat yang memiliki tradisi oral yang sangat kuat, narasi memiliki peran penting di dalam proses pendidikan nilai. Tidak hanya itu narasi juga membentuk dimensi intelektual dan praktis dari orang-orang yang hidup di masyarakat tersebut. Narasi membentuk iklim komunikasi dan tindakan, sekaligus juga mempengaruhi dunia batin manusia yang terdiri dari pemikiran, perasaan, dan tujuan-tujuan personal dari tindakannya. Jika narasi memang memiliki peran yang begitu penting di dalam kehidupan, maka penelitian atasnya juga membantu kita untuk memperoleh pengertian lebih tentang iklim pendidikan di suatu masyarakat, baik pendidikan dalam bentuk keterampilan teknis, ataupun pendidikan yang sifatnya lebih teoritis yang sifatnya lebih membentuk pemikiran dan pandangan dunia (world view).[7]

Narasi dan Metode Penelitian

Setiap cerita pasti memiliki struktur. Struktur itu yang memungkinkan cerita tersebut dimengerti, dan kemudian dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari manusia. Cerita membuat kita (manusia) bisa memahami dunia, sekaligus mengembangkannya. Cerita memungkinkan kita memahami kaitan antara gejala yang satu dengan gejala lainnya. Cerita juga merupakan bentuk rumusan kita untuk menjelaskan, mengapa sesuatu terjadi atau tidak terjadi. Cerita memungkinkan terjadinya analisis, yang nantinya berkembang menjadi sains dan teknologi.

Penelitian atas cerita yang didengar dan dituturkan seseorang memungkinkan kita memahami dasar dari tindakan ataupun perilakunya. Penelitian tersebut juga mengungkapkan aspek manusiawi yang di dalam penelitian tradisional-positivistik kerap kali diabaikan. Cerita yang dihidupi seseorang, seperti agama dan ajaran-ajaran budaya, bisa menjelaskan alasan dan makna hidup orang tersebut. Dengan memahami cerita yang dihidupi oleh orang-orang di dalam suatu masyarakat, kita sebagai peneliti dapat memahami makna hidup mereka tanpa harus terjun langsung di dalam masyarakat tersebut.

Tidak hanya itu cerita juga membentuk pengetahuan. Bisa juga dibilang setiap bentuk pengetahuan manusia adalah suatu bentuk cerita tentang alam semesta, ataupun tentang dirinya sendiri. Dengan menggunakan metode naratif, kita sebagai peneliti juga dapat memahami proses pembentukan pengetahuan manusia di dalam suatu masyarakat tertentu. Thomas Kuhn pernah berpendapat, bahwa untuk sungguh memahami suatu kelompok masyarakat, orang perlu untuk mengalami masyarakat tersebut. Di dalam metode penelitian naratif, tindak mengalami tidak perlu dilakukan secara langsung (walaupun tetap perlu dilakukan, jika ingin memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam). Pandangan dunia dan cara berpikir orang-orang yang hidup di dalam suatu kelompok biasa tampak di dalam cerita atau narasi yang mereka dengar dan tuturkan sehari-hari. Rasa untuk menjadi bagian dari suatu komunitas terbentuk, ketika kita sebagai peneliti telah menghidupi cerita yang dituturkan di dalam masyarakat yang ingin kita teliti.[8]

Penelitian dengan menggunakan cerita sebagai obyek penelitian tentu saja mengundang berbagai tanggapan, baik positif maupun negatif. Secara positif dapatlah dikatakan, bahwa penelitian berbasis cerita mampu menangkap dan menggambarkan kerumitan kehidupan manusia. Namun secara negatif juga sering dikatakan, bahwa penelitian berbasis cerita bersifat terlalu subyektif, sehingga tidak cukup kuat menjadi bagian dari metode penelitian ilmiah yang punya klaim obyektif dan universal. Dan karena sifatnya yang sangat subyektif, narasi atau cerita penuh dengan ketidakpastian. Subyektivitas dan ketidakpastian (uncertainty) semacam itu dianggap tidak memiliki karakter ilmiah yang kuat.

Namun pada hemat saya, hal tersebut tidak perlu menjadi kelemahan di dalam metode naratif, namun sebaliknya, yakni justru menjadi kekuatan. Seperti yang ditulis oleh WM, narasi bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan yang sifatnya positivistik. Metode naratif hendak mengangkat aspek manusia yang kompleks di dalam penelitian lengkap dengan keunikan maupun partikularitas lainnya. Dengan kata lain fokus dari penelitian naratif adalah manusia individual yang sifatnya unik dan tidak bisa digeneralisasi. Manusia dengan segala unsur subyektivitasnya yang unik haruslah dihormati dan diperlakukan secara tepat. Keabsahan dari penelitian naratif sangat bergantung pada hal terakhir ini.

Manusia dan Penelitian Naratif

Fokus dari penelitian naratif adalah soal manusia. Dengan kata lain manusia memiliki tempat utama di dalam penelitian naratif. Seperti sudah disinggung sebelumnya, setiap orang hidup dengan mendengarkan sekaligus menuturkan cerita. Di dalam cerita terkandung pandangan dan nilai-nilai hidup yang diyakini oleh individu terkait, maupun masyarakat di mana individu itu hidup. Dengan demikian naratif mengungkapkan sekaligus aspek partikular manusia, yakni keunikan dan identitas subyektifnya, sekaligus aspek universalnya, yakni tentang manusia pada umumnya, atau apa yang kita sebut sebagai kodrat manusia. Tujuan utama dari penelitian naratif adalah menghasilkan gambaran yang utuh dan bermakna tentang manusia.

Keabsahan dari penelitian naratif tidaklah terletak pada stabilitas dan obyektivitas pengukuran, melainkan pada kejujuran dan ketepatan deskripsi atas manusia yang menjadi subyek penelitian. Kriteria yang lazim digunakan di dalam penelitian-penelitian tradisional yang banyak bersifat kuantitatif tidak akan dapat diterapkan di dalam metode penelitian naratif, yang memang memiliki kriterianya sendiri. Kriteria itu antara lain adalah kemampuan untuk menemukan cerita atau data yang tepat untuk diteliti (access), kejujuran di dalam membaca dan menafsirkan cerita ataupun data yang ada, kebenaran, kemampuan untuk menjalin relasi yang dekat dengan subyek penelitian (familiarity), dan kemampuan untuk  menerima catatan dan data serta mengolahnya menjadi kajian penelitian yang bermakna.[9]

Di dalam cerita terkandung analisis mengenai tindakan manusia, dan latar belakang tindakan tersebut yang memang memiliki akar yang rumit. Seringkali motif atau alasan tindakan manusia tidak langsung dapat terlihat. Motif tersebut diselubungi simbol, dan simbol itu seringkali berupa cerita, atau narasi. Tujuan dari keberadaan simbol atau narasi adalah menyembunyikan motif atau maksud asli dari tindakan dari orang lain. Di sisi lain cerita atau narasi seringkali digunakan untuk membenarkan suatu tindakan tertentu yang sekilas terlihat tidak dapat dibenarkan. Setiap pengalaman individu adalah bagian dari narasi tertentu. Narasi juga digunakan untuk memaknai pengalaman, sekaligus untuk membuat keputusan-keputusan praktis di dalam kehidupan nyata. Narasi adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk memaknai dunianya, dan untuk merumuskan dunia tersebut di dalam satu kesatuan pandangan dunia yang sistematis. Narasi adalah bagian penyusun ilmu pengetahuan (science).

Narasi juga memberi makna pada tindakan manusia. Tindakan manusia tidak hanya merupakan fenomena fisik, tetapi juga merupakan fenomena mental. Oleh karena itu tindakan manusia bersifat multidimensional, dan dapat dipahami dengan berbagai cara. Tindakan manusia tidak dapat dipahami dengan metode positivisme yang kuat di dalam ilmu-ilmu alam. Positivisme hanya berfokus pada dimensi fisik. Padahal manusia itu lebih dari sekedar fenomena fisiknya semata. Metode penelitian naratif hendak membingkai manusia di dalam kerumitan dan keindahannya, serta berusaha melepaskan diri dari kecenderungan positivisme yang mempersempit manusia melulu pada dimensi fisiknya semata.

Narasi juga dapat dipahami di dalam tindakan berbicara manusia. Di dalam tindakan berbicara terjadi komunikasi. Maka dapat dikatakan narasi dan tindak berbicara adalah alat manusia untuk memindahkan ataupun menyebarkan pengetahuan. Narasi atau cerita adalah alat manusia untuk memahami dan merumuskan pemahamannya tersebut secara sistematis. Cerita adalah alat manusia untuk menyampaikan kebijaksanaan dari generasi satu ke generasi lainnya. Cerita juga merupakan alat manusia untuk mentransfer pengalaman dari satu orang ke orang lainnya. Cerita adalah alat untuk belajar.

Cerita atau narasi adalah alat untuk memahami kerumitan diri dan dunia batin manusia.[10] Pengalaman subyektif seseorang ketika berelasi dengan orang lain biasanya dibungkus dalam bentuk cerita. Cerita itu pulalah yang menjadi latar belakang dari tindakan maupun pikiran seseorang. Dalam arti ini cerita menjadi alat untuk membenarkan suatu tindakan ataupun pemikiran tertentu. Pengalaman sehari-sehari seseorang dituturkan dan disimpan di dalam bentuk cerita. Setiap orang pasti memilikinya. “Narasi”, demikian dikutip oleh WM, “alat para pelaku untuk memahami pengalaman inderawi dan mengaturnya menjadi sebentuk pengetahuan praktis.”[11]

Narasi berada di dalam praktek ataupun tindakan manusia sehari-hari. Hal ini tentunya berbeda dengan pandangan para ilmuwan sosial tradisonal yang menggunakan metode di dalam ilmu-ilmu alam untuk memahami tindakan manusia. Dalam arti ini mengikuti Aristoteles, tindakan manusia membutuhkan penjelasan dan penafsiran dari dalam dirinya sendiri, dan bukan penelitian berjarak dengan pretensi obyektif, seperti di dalam ilmu-ilmu alam. Artinya tindakan manusia tidak hanya bisa dipahami, jika kita hanya berfokus pada penjelasan-penjelasan fisikal semata yang sifatnya mekanistik.

Untuk memahami tindakan manusia, orang perlu memahami konteks sejarah dari tindakan tersebut. Dalam arti ini cerita memainkan sangat penting di dalam upaya untuk memahami tindakan manusia. Tindakan adalah suatu peristiwa yang perlu untuk ditafsirkan terus menerus, terutama dalam kaitan dengan tujuan sadar dari tindakan tersebut. Cerita sudah ada di dalam tindakan. Cerita menjadi alasan dari suatu tindakan ataupun pemikiran tertentu. Tidak hanya itu tujuan dari suatu tindakan seringkali dituturkan dan dibentuk di dalam cerita.

Dengan memahami cerita yang dituturkan di dalam tindakan ataupun perkataan seseorang, kita juga dapat menemukan makna baru yang sebelumnya tidak terlihat. Cerita berpusat pada kehidupan manusia, dan hanya dengan memahami cerita yang dituturkan seseoranglah kita dapat memahami kehidupannya secara menyeluruh. Di sisi lain teori narasi juga membantu kita memahami kompleksitas dari sebuah komunitas, baik organisasi ataupun masyarakat. Teori narasi tidak hanya mau memahami aspek manusiawi di dalam tindakan, tetapi juga proses belajar dan perubahan yang dialami oleh pelaku tindakan. Maka teori narasi juga harus memuat teori tentang perubahan dan proses belajar manusia.

Teori Narasi dalam Praktek[12]

Di dalam prakteknya teori narasi melibatkan deskripsi atas subyek penelitian, termasuk di dalamnya cerita yang dituturkan oleh subyek tersebut dalam bentuk tempat, karakter, ataupun peristiwa. Fokus dari penyelidikan naratif adalah kompleksitas motif dari tindakan manusia dan orang-orang di sekitarnya. Metode-metode praktis seperti observasi, data survey, wawancara, dokumentasi, dan catatan dari percakapan tentang cerita yang dituturkan subyek penelitian sangatlah dibutuhkan untuk memperkuat pemahaman. Kita juga perlu memperhatikan peristiwa-peristiwa penting yang dituturkan oleh subyek penelitian. Hal ini sangat mudah ditemukan melalui metode naratif.

Sekarang ini banyak peneliti bidang ilmu-ilmu sosial berpendapat, bahwa metode penelitian kuantitatif, yang mengedepankan statistik dan korelasi, tidak dapat berjalan berbarengan dengan penelitian kualitatif, yang memang mencari makna serta motif dari tindakan manusia. Namun pendapat ini menurut WM tidak sepenuhnya benar. Kedua bentuk penelitian tersebut dapat saling melengkapi satu sama lain. Metode kuantitatif dengan menggunakan statistik tidak cukup untuk memahami manusia. Si peneliti harus memperhatikan faktor-faktor lainnya yang tidak bisa dikuantifikasikan, seperti nilai-nilai maupun motivasi subyek penelitian, serta pengaruh kultur tempatnya lahir dan bertumbuh. Hal-hal itu hanya dapat diperoleh dengan menggunakan metode kualitatif.[13]

Di dalam perjalanan sejarah, metode kuantitatif memang terbukti mampu menjelaskan relasi antara berbagai macam faktor yang ada di dalam realitas, walaupun relasi tersebut sifatnya masih sangat kasar dan perlu untuk diteliti lebih jauh. Di sisi lain metode kualitatif juga telah terbukti mampu memahami mekanisme di balik kehidupan manusia, seperti motivasi dan pandangan dunianya yang nantinya menjadi dasar dari pilihan-pilihan hidup yang dibuatnya. Keduanya menurut WM dapat diperoleh di dalam metode penelitian naratif.[14] Metode penelitian naratif dapat menjembatani metode penelitian kualitatif dan kuantitatif yang selama ini saling ‘bermusuhan’.

Metode kuantitatif dapat memberikan kemampuannya untuk menggabungkan dan membaca data yang berskala luas. Sementara metode kualitatif dapat memberikan kemampuannya untuk memahami mekanisme tindakan manusia. Metode naratif menggabungkan keduanya dengan memahami kompleksitas manusia dalam konteks kaitannya dengan data yang memiliki skala luas. Metode naratif ingin memahami cerita yang didengar dan dituturkan orang di dalam kehidupannya. Cerita adalah pusat dari penelitian naratif. Di dalam cerita terkandung kerumitan kehidupan manusia yang menantang untuk diteliti.


[1] Lihat pemaparan saya soal filsafat dan sains; Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains, Jakarta: Grasindo, 2008.

[2] Bab ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap Leonard Webster dan Patricie Metrova, Using Narrative Inquiry as a Research Method, Oxon: Routledge, 2007.

[3] Lihat, ibid, hal. 13.

[4] Ibid, hal. 14.

[5] Lihat, ibid.

[6] Lihat, ibid, hal. 15.

[7] Lihat, ibid, hal. 16.

[8] Lihat, ibid, hal. 20.

[9] Lihat, ibid, hal. 21.

[10] Lihat, ibid, hal. 21.

[11] Ibid.

[12] Lihat, ibid, hal. 23-24.

[13] Bdk, Wattimena, Reza A.A., 2008.

[14] Lihat, WM, 2007, 24.