Perilaku Konsumtif, Akar dan Kutukannya

Tony Futura

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Ribuan orang mengepung mall-mall besar Jakarta setiap minggunya. Ada yang sekedar menikmati udara dingin AC mall. Sebagian besar sibuk berbelanja dan makan. Mereka membeli, dan dari proses membeli tersebut, mereka memperoleh kenikmatan sesaat.

Perilaku konsumtif adalah gejala umum di kalangan masyarakat sekarang ini. Orang membeli barang yang tak sungguh ia butuhkan, melainkan karena sekedar ikut trend, atau untuk memperoleh pengakuan sosial yang sifatnya sementara dan rapuh. Kepercayaan dirinya pun diukur dari sejauh mana ia mampu membeli barang-barang yang ada. Aku membeli, maka aku ada, begitulah semboyan mereka.

Ada juga yang membeli untuk mengisi kekosongan hatinya. Ia berpikir, kesepian bisa terusir dengan membeli barang-barang baru. Tentu saja, ini adalah kesalahan berpikir. Membeli barang-barang untuk mengisi kekosongan hati justru akan menciptakan kekosongan yang lebih dalam, ditambah dengan habisnya uang.

Akar dan Kutuk

Ada empat hal yang kiranya perlu diperhatikan soal perilaku konsumtif ini. Pertama, perilaku ini tidaklah alami, melainkan dibentuk oleh struktur sosial tertentu. Sejatinya, manusia hanya membeli dan menggunakan barang-barang yang ia butuhkan untuk hidup. Namun, definisi “kebutuhan” kini telah diperluas sedemikian rupa, sehingga ia menjadi kebutuhan-kebutuhan palsu (falsche Bedürfnisse), seperti prestise dan pengakuan sosial.

Kebutuhan palsu, yang menjadi obyek perilaku konsumtif, adalah hasil dari propaganda. Dalam arti ini, propaganda adalah pesan sesat yang diulang terus menerus, sehingga ia seolah menjadi kebenaran yang tak terbantahkan. Masyarakat yang miskin pemikiran kritis amat mudah termakan propaganda semacam ini. Di abad 21, kata propaganda tidak lagi digunakan. Ia diganti oleh kata Public Relations.

Propaganda semacam ini digunakan sejak masa perang dunia pertama. Tujuannya adalah supaya Amerika Serikat mau terlibat langsung di dalam perang tersebut. Di masa perang dunia kedua, Hitler menggunakan cara yang sama untuk mengontrol bangsa Jerman. Di Pilkada 2017 lalu, propaganda juga banyak digunakan di Jakarta.

Dua, propaganda ini tidak pernah bebas kepentingan. Di abad 21, propaganda digunakan untuk mendorong perilaku konsumtif berlebihan. Banyak orang harus berhutang jutaan bahkan milyaran rupiah, akibat rayuan propaganda yang membuat hidup mereka menjadi konsumtif. Semua ini bertujuan untuk menopang sistem ekonomi kapitalisme neoliberal, dimana uang dan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran hidup bersama, sehingga keduanya harus dibebaskan dari campur tangan negara.

Sistem ekonomi kapitalisme neoliberal adalah sistem yang paling munafik. Ia menolak peran negara. Padahal, ia justru ditopang oleh negara dengan institusi-institusinya. Ketika krisis ekonomi terjadi, dan itu seringkali terjadi, negara justru diharapkan menjadi penyelamat.

Tiga, perilaku konsumtif juga merupakan hasil dari propaganda yang bertujuan licik. Ia merupakan alat kontrol perilaku masyarakat, sehingga mereka sibuk bekerja dan membeli, serta menjadi tidak peduli pada permasalahan hidup bersama. Politik terbengkalai, dan dikuasai oleh orang-orang korup yang justru semakin mendorong lahirnya perilaku konsumtif. Ini seperti lingkaran setan yang berakhirnya pada kehancuran hidup bersama.

Masyarakat yang tak peduli politik merupakan tanah subur bagi bangkitnya penguasa totaliter. Dalam arti ini, perilaku konsumtif berbahaya bagi demokrasi. Ia membuat rakyat menjadi bodoh dan tak peduli. Di dalam keadaan semacam itu, penguasa totaliter yang radikal bisa menyusup masuk, dan mencuri kekuasaan.

Empat, peringatan dari Herbert Marcuse, pemikir Jerman, kiranya perlu diperhatikan. Perilaku konsumtif akan membawa manusia kepada sisi gelapnya yang penuh kerakusan. Ketika ini terjadi, konflik tak terhindarkan. Perilaku konsumtif menurunkan derajat manusia, dan menjadikannya mahluk egois yang rakus dan agresif pada sesamanya.

Pemahaman

Kita perlu memahami mekanisme di balik perilaku konsumtif. Mungkin saja, tanpa sadar, kita melakukannya. Kita juga dengan mudah menyaksikan perilaku ini di sekitar kita. Dari pemahaman atas mekanisme di balik perilaku konsumtif, bahwa ia merupakan hasil dari propaganda yang memiliki tujuan politik tertentu, kita akan dengan mudah bersikap kritis padanya, dan tak terjebak pada kutukannya.

Pada akhirnya, semua orang ingin bahagia. Perilaku konsumtif tidak akan memberikan kebahagiaan tersebut, bahkan cenderung menggiring orang pada lingkaran despresi dan kebangkrutan. Kebahagiaan sejati hanya ada di dalam hidup yang bersahaja. Ia tidak tergantung pada pengakuan sosial, melainkan pada kesadaran akan kesatuan dari segala yang ada.

 

 

 

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

14 tanggapan untuk “Perilaku Konsumtif, Akar dan Kutukannya”

  1. sepakat dengan semua tulisan diatas. mungkin ada beberapa faktor penyebab sifat konsumtif yg tak tertulis.
    ingin saya utara kan , dengan zazen kita lebih mudah mengkontrol kesadaran (termasuk nafsu konsumtif).
    kita tahu, bikhu2/bikhuni2 dari grup thic nhat thanh hanya membawa 1kantong kresek untuk berpindah tugas/ tempat tinggal. sifat konsumtif hanya beban belaka.
    kasarnya pemerintah mendorong masyarakat untuk membeli produkt apa saja, supaya ekonomi berjalan.
    kita lihat bandara udara contohnya, bandara sederhana kuno spt schönefeld, ende (flores)jarak dari taxi ke check in cukup 30m , begitu sederhana dan berfungsi lancar.
    mengapa bandara2 modern, besar , megah dsb dsb dgn pertokoan serba ada , serba mewah ( duty free ??) justru di bangun di mana2 ???
    masyarakat yang buta malah bangga , walau sebenar nya mereka di kelabui habis2 an.
    suatu fenomena untuk di renungkan dalam2. kita butuh ” nalar sehat dan hati nurani “, untuk mampu melihat , mengerti kehidupan sehari2 tanpa berlagak untuk memperbaiki dunia.
    absurd, paradox tapi di balik nya kita benar2 menikmati apa adanya , dengan hidup dari saat ke saat !!
    salam hangat !!

    Suka

  2. Karena perilaku konsumtif adalah buah propaganda untuk menopang sistem ekonomi kapitalis neoliberal sekarang ini. Absurd memang. Kejernihan Zen justru semakin diperlukan saat ini

    Suka

  3. Setuju sekali dengan bahasan tersebut,banyak manusia secara tidak sadar terseret kedalam gaya hidup konsumtif

    Suka

  4. Kalau boleh bertanya siapakah yang paling diuntungkan di balik sistem ekonomi kapitalis liberal ini?

    Suka

  5. Mungkin belum memahami apa itu needs,wants dan desire yang ada dalam dirinya disangkanya tiga hal itu sama saja. Tiga hal itu mungkin buat saya kunci kelahiran kehidupan dan kematian

    Suka

  6. perilaku konsumtif sudah menjadi tradisi masyarakat di era modern sekarang dan tentunya jauh dari nilai-nilai moralitas, ini sangat jauh dari tujuan agama yang mengatur kehidupan manusia untuk tidak berhamburan dalam hal duniawi, agama Islam mengajarkan untuk tidak boros, adapun jika memiliki lebih harta dimanfaatkan untuk sedekah dan balasannya adalah sebuah ganjaran oleh Sang Maha Esa, merasa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, memanfaatkan gemerlap modern untuk sarana beribadah seperti merasa hidup sederhana, melihat orang-orang yang berada dibawah kita sebagai perenungan diri, menjaga diri dari hal hal yang syubhat (wara’) misalnya, menjaga diri dari pelaku konsumtif juga merupakan bentuk iffah. maka kita harus berhati-hati semua harta benda duniawi itu sejatinya perangkap kehancuran yang berwujud keindahan. satu hal yang harus diingat adalah ketika keburukan konsumtif dan kerakusan berada di depan mata kita, seyogyanyalah kita sadar diri menata diri untuk tidak mencela bahkan memandang hina semua itu dengan menghiasi diri agar tidak terjebak dalam keburukan yang berwujud keindahan tersebut. karena semua ini adalah sunnatullah. mari dengan ini saya dan para pembaca semoga dapat mengambil kebaikan-kabaikan yang ada. 🙂

    Suka

  7. perilaku konsumtif sudah menjadi tradisi masyarakat di era modern sekarang dan tentunya jauh dari nilai-nilai moralitas, ini sangat jauh dari tujuan agama yang mengatur kehidupan manusia untuk tidak berhamburan dalam hal duniawi, agama Islam mengajarkan untuk tidak boros, adapun jika memiliki lebih harta dimanfaatkan untuk sedekah dan balasannya adalah sebuah ganjaran oleh Sang Maha Esa, merasa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, memanfaatkan gemerlap modern untuk sarana beribadah seperti merasa hidup sederhana, melihat orang-orang yang berada dibawah kita sebagai perenungan diri, menjaga diri dari hal hal yang syubhat (wara’) misalnya, menjaga diri dari pelaku konsumtif juga merupakan bentuk iffah. maka kita harus berhati-hati semua harta benda duniawi itu sejatinya perangkap kehancuran yang berwujud keindahan. satu hal yang harus diingat adalah ketika keburukan konsumtif dan kerakusan berada di depan mata kita, seyogyanyalah kita sadar diri menata diri untuk tidak mencela bahkan memandang hina semua itu dengan menghiasi diri agar tidak terjebak dalam keburukan yang berwujud keindahan tersebut. karena semua ini adalah sunnatullah. mari dengan ini saya dan para pembaca semoga dapat mengambil kebaikan-kabaikan yang ada. 🙂

    Suka

  8. perilaku konsumtif sudah menjadi tradisi masyarakat di era modern sekarang dan tentunya jauh dari nilai-nilai moralitas, ini sangat jauh dari tujuan agama yang mengatur kehidupan manusia untuk tidak berhamburan dalam hal duniawi, agama Islam mengajarkan untuk tidak boros, adapun jika memiliki lebih harta dimanfaatkan untuk sedekah dan balasannya adalah sebuah ganjaran oleh Sang Maha Esa, merasa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, memanfaatkan gemerlap modern untuk sarana beribadah seperti merasa hidup sederhana, melihat orang-orang yang berada dibawah kita sebagai perenungan diri, menjaga diri dari hal hal yang syubhat (wara’) misalnya, menjaga diri dari pelaku konsumtif juga merupakan bentuk iffah. maka kita harus berhati-hati semua harta benda duniawi itu sejatinya perangkap kehancuran yang berwujud keindahan. satu hal yang harus diingat adalah ketika keburukan konsumtif dan kerakusan berada di depan mata kita, seyogyanyalah kita sadar diri menata diri untuk tidak mencela bahkan memandang hina semua itu dengan menghiasi diri agar tidak terjebak dalam keburukan yang berwujud keindahan tersebut. karena semua ini adalah sunnatullah. mari dengan ini saya dan para pembaca semoga dapat mengambil kebaikan-kabaikan yang ada

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.