Memperkenalkan Aristoteles

http://www.thehiphopchronicle.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya

Sebagaimana dicatat oleh Shields, pendapat orang tentang pribadi Aristoteles seolah terbelah dua. Di satu sisi, ia dianggap sebagai orang yang, walaupun amat cerdas, menyebalkan, arogan, dan suka mendominasi pembicaraan, tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain.[1] Di sisi lain, beberapa temannya berpendapat, bahwa Aristoteles adalah sosok pribadi yang amat brilian, perhatian pada perasaan teman-temannya, dan amat mencintai semua proses pengembangan pengetahuan di berbagai bidang. Dengan kata lain, ia adalah pribadi yang hangat, sekaligus sosok filsuf dan ilmuwan sejati. Dua potret ini membuat kita memiliki dua pendapat yang berbeda tentang Aristoteles. Namun, jika kita memahami, bahwa kepribadian manusia pada dasarnya adalah suatu fragmentasi, yakni suatu keterpecahan, maka dua pendapat yang kontras berbeda tentang kepribadian Aristoteles bisa kita tempatkan sebagai sesuatu yang benar. Pada hemat saya, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang hanya memiliki satu sisi pribadi. Semuanya memiliki sisi-sisi yang terpecah, dan seringkali kontras bertentangan.

Aristoteles mulai berkarya sebagai seorang ilmuwan dan filsuf di Athena, setelah ia cukup lama belajar di Akademi yang didirikan oleh gurunya, yakni Plato. Namun, tidak seperti murid pada umumnya, ia mengambil jarak dari Plato, dan melakukan kritik keras pada pemikirannya. Shields menulis Aristoteles sebagai seorang “murid yang menendang ibunya sendiri.”[2] Dalam arti ini, ibu adalah gurunya, yakni Plato sendiri. Di dalam sejarah filsafat, kita sudah mengetahui, bahwa Aristoteles secara telak melakukan kritik pada inti seluruh filsafat Plato, yakni teorinya tentang forma-forma (forms). “Selamat tinggal kepada forma-forma”, demikian tulis Aristoteles, “mereka hanya mainan, dan jika pun ada, mereka tidak relevan.”[3]

Tidak hanya filsafat Plato, bagi Aristoteles, seluruh filsafat sebelumnya bersifat kasar, dan kekanak-kanakan. Para filsuf sebelumnya banyak berkutat dengan permasalahan filosofis yang disebut sebagai “satu dan banyak” (one and many). Intinya begini, apakah unsur dasar realitas itu tunggal, atau jamak? Dan bagaimana penjelasannya? Aristoteles mencemooh gaya berpikir semacam ini. Baginya, sebagaimana dicatat oleh Shields, mengapa unsur terdasar dari alam semesta dan realitas itu sekaligus satu, dan banyak?  Seperti dinyatakan oleh Shields, Aristoteles memang seringkali tidak adil terhadap para pemikir sebelumnya. Ia memilih argumen-argumen terlemah para pemikir sebelumnya, dan kemudian menjadikannya alasan untuk melakukan kritik terhadap mereka, serta, dengan begitu, mengajukan pemikirannya sendiri yang, dianggapnya, lebih baik.

Aristoteles lahir pada 384 sebelum Masehi di Stagirus, koloni Yunani pada masa itu yang sekarang sudah tidak lagi ada.[4] Ayahnya bernama Nicomachus, seorang dokter kerajaan di Makedonia. Namun sayang, ayahnya meninggal, sewaktu Aristoteles masih kecil. Pada usia 17, ia pergi ke Athena untuk melanjutkan pendidikannya. Pada masa itu, Athena adalah pusat dari ilmu pengetahuan, filsafat, dan kebudayaan Yunani.  Di sana, Aristoteles langsung belajar pada Plato, yang memang pada masa itu dikenal sebagai seorang filsuf besar selama kurang lebih 20 tahun. Pada 347, Plato meninggal. Sebagai salah seorang muridnya yang paling cerdas, Aristoteles sebenarnya bisa menjadi pemimpin akademik berikutnya, menggantikan Plato. Namun, karena banyak posisi-posisi teoritisnya yang beseberangan secara diametral dengan Plato, Aristoteles tidak mungkin menjadi penerusnya sebagai pemimpin Akademi.

Aristoteles menerima undangan dari Hermeas, penguasa di Mysia, untuk pindah ke istananya, dan menjadi tutor pribadi. Aristoteles menerima undangan itu, dan pergi ke sana. Ia mengajar selama 3 tahun, dan menikah dengan seorang wanita bernama Pythias. Beberapa waktu kemudian, Aristoteles mendapatkan undangan dari Phillip Makedonia untuk menjadi tutor pribadi bagi anaknya, Alexander. Pada waktu itu, Alexander baru berusia 13 tahun. Selama 5 tahun, ia belajar bersama Aristoteles. Dan seperti kita semua tahu, Alexander nantinya akan menaklukan begitu banyak daerah di Eropa, Timur Tengah, Mesir, sampai dengan bagian Utara India. Bersama dengan penaklukannya itu, ia menyebarkan pemikiran Yunani Kuno. Seluruh proses ini dikenal nantinya sebagai Helenisasi. Rupanya, seperti dicatat oleh banyak ahli, Philip dan Alexander amat menghargai Aristoteles. Ia mendapatkan banyak uang untuk melakukan penelitian-penelitiannya, hidup layak, dan mengajarkan ilmunya. Tidak hanya itu, menurut legenda, ia mendapatkan amat banyak budak untuk membantunya mengumpulkan data demi pengembangan penelitian empirisnya, terutama yang terkait dengan alam.[5]

Setelah selesai dari Makedonia, Aristoteles kembali ke Athena. Pada masa itu, Platonisme, yang merupakan pengembangan dari filsafat Plato, berkembang pesat di berbagai penjuru Yunani, terutama Athena. Namun, seperti sudah disinggung sebelumnya, Aristoteles tidak menyetujui banyak isi dari filsafat Plato. Maka, ia pun mendirikan sekolah tandingan yang disebutnya sebagai Lyceum. Ada kebiasaan menarik di tempat ini. Aristoteles sering berdiskusi dengan murid-muridnya sambil berjalan. Tradisi berdiskusi sambil berjalan ini nantinya disebut sebagai peripatetics, yang juga berarti “untuk berjalan”.[6] Di Lyceum, Aristoteles mengajar kurang lebih selama 13 tahun. Di sana pula, ia merumuskan sistem filsafatnya, dan menulis begitu banyak buku tentang beragam hal, mulai dari tentang fenomena alam, politik, sampai dengan tentang metafisika. Ia memberikan dua macam kuliah. Yang pertama adalah kuliah yang mendetil tentang sistem filsafatnya yang biasanya diberikan pada pagi hari untuk murid-murid yang ia anggap berbakat. Yang kedua adalah kuliah yang lebih populer yang diberikan untuk murid-murid pada umumnya.

Setelah Alexander meninggal pada 323 sebelum Masehi, seluruh dunia seolah memusuhi segala sesuatu yang berbau Makedonia, termasuk Aristoteles, karena ia pernah menjadi tutor pribadi di tempat itu. Ia pun dituntut atas dasar pengkhianatan pada negara. Namun, ia berhasil melarikan diri. Ucapannya ketika melarikan diri kini sudah menjadi terkenal di kalangan para peminat filsafat. “Orang-orang Athena tidak akan lagi mendapatkan kesempatan untuk berdoas terhadap filsafat seperti yang telah mereka lakukan kepada Sokrates.”[7] Ia pergi ke Chalcis di Euboea. Namun, tahun pertama di sana, ia menderita sakit perut, dan kemudian meninggal pada 322 sebelum Masehi. Sebagai seorang filsuf, nama Aristoteles sudah melegenda. Ia menulis beragam tema, mulai dari logika, matematika, fisika, biologi, etika, politik, dan bahkan pertanian. Dari gaya menulis dan tema tulisannya, kita bisa melihat, bahwa ia amat menekankan pentingnya pengalaman inderawi sebagai dasar dari pengetahuan manusia. Pada titik inilah ia berbeda dengan gurunya, Plato, yang lebih menekankan forma-forma yang berada di level metafisis, melampaui pengalaman inderawi.

Tidak hanya seorang filsuf dan ilmuwan, Aristoteles juga adalah seorang penulis yang amat produktif. Buah-buah pikiran dan tulisannya mengubah pandangan banyak orang tentang dunia. Thomas Aquinas, salah satu filsuf Eropa Abad Pertengahan terbesar, bahkan selalu menyebut Aristoteles sebagai “Sang Filsuf”. Setidaknya, sebagaimana dicatat oleh Internet Encylopedia of Philosophy, Aristoteles semata hidupnya telah menulis 200 traktat filsafat. Sayangnya, kini hanya ada 31 traktat yang selamat, dan bisa dibaca. Bentuknya adalah naskah kuliah dan catatan-catatan pendek yang memang tak pernah dimaksudkan untuk dibaca oleh publik luas. Kesan kering dan membosankan pun tak dapat dihilangkan, ketika kita mencoba untuk membaca teks-teks tersebut. Sumbangan terbesar Aristoteles, sebagaimana diakui oleh banyak ilmuwan dan filsuf, adalah membuat klasifikasi pengetahuan manusia yang terdiri dari biologi, etika, dan matematika. Sampai sekarang, kita masih menggunakan klasifikasi pengetahuan ini.

Aristoteles juga dikenal sebagai bapak logika. Ia adalah pemikir yang pertama kali secara serius merumuskan sistematika berpikir manusia dengan menggunakan rumus-rumus formal yang bisa dipelajari semua orang. Ia berpendapat, bahwa kekuatan argumen seseorang bisa dilihat dari struktur argumen tersebut, dan bukan semata isinya. Dengan demikian, selama pengandaian-pengandaian yang menyusun suatu argumen benar, maka orang bisa menarik kesimpulan baru yang juga lurus (bukan benar) dari pengandaian tersebut, dan memperlakukannya sebagai kebenaran. Misalnya, Andi adalah orang Jawa (terbukti benar). Semua orang Jawa berkulit coklat (terbukti benar). Maka, Andi berkulit coklat (lurus, bisa juga benar). Ini disebut juga sebagai logika sillogisme yang sampai sekarang masih digunakan sebagai dasar berpikir dan penarikan kesimpulan. Seluruh karya Aristoteles memiliki ciri yang sama, yakni penekanan pada sistematika berpikir, penarikan kesimpulan yang baik, dan berpijak pengalaman inderawi. Terkait dengan filsafat Plato, bagi Aristoteles, forma-forma bukanlah sesuatu yang bersifat metafisis, dan terletak di dunia ide, sebagaimana dimaksudkan oleh Plato, melainkan sesuatu yang sudah ada di dalam benda itu sendiri, dan bersifat empiris (dapat dicerap oleh pengalaman inderawi).

Melihat begitu luas dan dalamnya karya-karya Aristoteles, kita akan sulit menentukan, aliran apakah yang dipeluk olehnya. Berbagai komentar dan tafsiran tentang pemikirannya telah lahir, dan seringkali berbeda, dan bahkan bertentangan, satu sama lain.[8] Filsafat Aristoteles bisa digunakan untuk melakukan kritik ataupun membenarkan suatu tindakan apapun. Lepas dari itu, ketika kita mencoba untuk membaca tulisan-tulisannya dengan mata “segar”, kita jelas akan menemukan sebuah ide yang menantang secara intelektual, dan penuh dengan ide-ide filosofis baru yang sebelumnya tak kita tahu, atau justru terlupakan. Kita perlu melepaskan segala label yang telah dibuat oleh para ahli ataupun komentator pemikiran Aristoteles, termasuk yang terus berusaha membandingkan pemikirannya dengan Plato, dan baru begitu, kita bisa sungguh memahami keluasan sekaligus kedalam pemikirannya. Bukankah itu yang kiranya Aristoteles sendiri inginkan?

 

 

 


[1] Untuk selanjutnya, saya terinspirasi dari uraian Shields, Christopher, Aristotle, Routledge, London, 2007, hal. 8. “Depending upon the ancient sources we prefer, Aristotle emerges to the modern era as a man with one or the other of two remark- ably dissimilar profiles.1 According to one tradition, presumably inaugurated and flamed primarily by his enemies, Aristotle was, if intellectually capable, a ghastly sort of man: obnoxious and disagreeable, conceited and overbearing. According to an equally well-attested and completely opposing tradition, Aristotle was, on the contrary, not only a genius beyond all measure, but a consid- erate soul, fervently devoted to his friends and passionately interested in the enhancement of human knowledge in all its forms. Armed with either one or the other of these assessments, it is possible to find corroborating evidence when combing through Aristotle’s extant writings.2 Although neither approach is likely to yield an accurate portrait of Aristotle, there is a methodological moral in surveying the excesses of each.”

[2] Ibid, hal. 9. Also an ingrate, he was, as an ancient biographer tells us, the ‘foal who kicked his mother’. The mother in question was Aristotle’s teacher, Plato.”

[3] Ibid, “‘Farewell to the Forms: they are but ding-a-lings and even if they do exist they are wholly irrelevant’”

[4] Untuk berikutnya, saya terinspirasi dari http://www.iep.utm.edu/aristotl/ diunduh pada 4 Agustus 10.34

[5] Ibid, “Both Philip and Alexander appear to have paid Aristotle high honor, and there were stories that Aristotle was supplied by the Macedonian court, not only with funds for teaching, but also with thousands of slaves to collect specimens for his studies in natural science. These stories are probably false and certainly exaggerated.”

[6] Ibid, “He thus set up his own school at a place called the Lyceum. When teaching at the Lyceum, Aristotle had a habit of walking about as he discoursed. It was in connection with this that his followers became known in later years as the peripatetics, meaning “to walk about.”

[7] Ibid, ““The Athenians might not have another opportunity of sinning against philosophy as they had already done in the person of Socrates.”

[8] Lihat http://plato.stanford.edu/entries/aristotle/ 4 Agustus 2012 jam 10.35

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

4 tanggapan untuk “Memperkenalkan Aristoteles”

  1. cara pandang setiap orang berbeda, dan setiap orang punya hak untuk memberikan pendapat, sekeras apapun kritikan itu,jika kita dapat membuktikan kebenarannya, kenapa tidak? dari tulisan di atas saya mendapatkan satu hal kepribadian Aristoteles, dia tidak takut mengatakan pendapat yang berbeda secara frontal. di jaman sekarang ini, contoh yang paling mudah di kampus saya, sudah tahu hal itu yang tidak benar, kenapa mesti dilanjutkan dan setiap tahun melakukan kegiatan yang sama ???? dan tidak ada yang berani mengemukakan pendapat? terutama yang aktif di organisasi mahasiswa. kenapa hanya ikut alur yang ada saja tanpa ada pengkajian ulang seperti Aristoteles???

    Suka

  2. hehehe. Itu namanya mentalitas massa yang membuahkan kemalasan berpikir. Mentalitas massa membuat orang sama dengan massa, dan tidak mau berpikir sendiri. Ia tidak lagi berani bertanya, atau berbeda pendapat, melainkan hanya jadi orang yang “yes man”. Makanya, di kelas, saya selalu menekankan perbedaan pendapat, dan pertanyaan-pertanyaan, untuk memecah mentalitas massa ini.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.