Pendidikan Karakter yang Kontekstual

free-pictures-photos.com

Oleh Agustinus Ryadi

Dosen di Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala Surabaya

Pendidikan karakter bangsa kita  sudah berjalan hampir satu abad yang lalu, namun hasilnya menggenaskan. Para pemimpin menunjukkan karakter tidak peduli dan tidak sensitif terhadap kehidupan masyarakat. Setiap orang yang memiliki kekuasaan berusaha membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri. Menghamburkan uang negara untuk diri sendiri tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat. Kehidupan bangsa saat ini berada pada titik nadir terendah. Di mana-mana terjadi kebobrokan moral, krisis dalam dunia politik, pengadilan, pendidikan, bahkan krisis di bidang pemerintahan dan kepemimpinan.

Penulis mempersoalkan apa yang kurang dari pendidikan karakter? Baru disadari akhir-akhir ini bahwa pendidikan karakter bangsa Indonesia kurang kontekstual, tidak menggali nilai-nilai budaya lokal yang baik dan unggul serta mengintegrasikannya dalam hidup sehari-hari.

Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah bukan hal yang baru dalam pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, menyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya menumbuhkan budi pekerti (character), pikiran (intellect), dan tubuh. Ketiganya tidak bisa dipisahkan, supaya anak dapat tumbuh dengan sempurna. Jadi pendidikan karakter merupakan bagian penting yang tidak boleh dipisahkan dalam isi pendidikan di Indonesia. Mudji Sutrisno SJ menyetujui pendidikan karakter ini melalui jalur pendidikan, meski pendidikan merupakan reduksi dari “mencerdaskan kehidupan bangsa” (Seputar Indonesia, 9/XI/2011). Perlu diingat bahwa isi dari “mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah pendidikan kesadaran dan pendidikan kemartabatan. Dengan demikian, awal kebudayaan selalu menyatu dengan pendidikan sebab proses pendidikan adalah proses kebudayaan.

Pada tahun 1970-an, ada pelajaran budi pekerti, kemudian disusul dengan mata pelajaran agama dan PPKn yang semuanya memiliki tujuan  yang  sama ialah menumbuhkembangkan karakter. Betapa pentingnya mata pelajaran agama dan PPKn sampai-sampai nilai agama dan PPKn kurang dari 6, siswa tidak naik kelas. Hal ini menunjukkan bahwa mata pelajaran agama dan PPKn sebagai unsur penting untuk membentuk karakter siswa. Namun pendidikan karakter kurang mendapat perhatian dan penekanan dalam perjalanan sejarah pendidikan di negara kita. Lalu Kemdiknas (2009) mempunyai keinginan lagi untuk memberi penekanan karakter dalam pendidikan di Indonesia dewasa ini.

Negara-negara lain juga memberi perhatian pada pendidikan karakter. Negara Amerika Serikat membentuk task force yang bertugas untuk mencari pola pendidikan yang tepat di abad ke-21 pada awal 1990-an (Thomas Lickona, Educating for Character). Mereka menemukan seperangkat kompetensi yang sebagian besar skills-nya (21st Century Skills) merupakan aspek-aspek karakter. Cina membaharui pendidikan karakter yang merupakan reformasi pendidikan yang paling signifikan (Li Lanqing, Education for 1.3 Billion). Mereka menyadari bahwa pembaharuan pendidikan karakter harus dilakukan secara menyeluruh karena konsekuensi keterbukaan politik dan ekonomi yang dijalankan dan antisipasi perkembangan teknologi.

Apa itu pendidikan karakter? Menurut Helen G. Douglas, “karakter” tidak diwariskan melainkan sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan (Muchlas Samani dan Hariyanto, 2011, Konsep dan Model Pendidikan Karakter). Karakter sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa merupakan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia. Pelbagai karakter dapat dirumuskan secara universal sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian, menghargai, kerja sama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran, kerendahan hati, kasih sayang, tanggung jawab, kesederhanaan, toleransi, dan persatuan. Dengan demikian pendidikan karakter merupakan “upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya” (Sue Winton, 2010). Dewasa ini pendidikan karakter merupakan suatu upaya proaktif untuk membantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-nilai kinerja yang dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah.

Menurut Doni Koesoema, ada tiga fokus pendidikan karakter dewasa ini (Kompas 19/VII/2010). Pertama, pendidikan karakter yang memusatkan diri pada pengajaran (teaching values). Siswa perlu mengetahui dan memahami isi nilai-nilai tertentu yang harus dipelajari serta sekumpulan kualitas keutamaan moral (kejujuran, keberanian, dan kemurahan hati). Dengan demikian fokus pendidikan karakter tipe pertama pada pengetahuan dan pengertian (intellectual).

Kedua, pendidikan karakter yang memusatkan diri pada klarifikasi nilai (value clarification). Siswa mesti memiliki proses penalaran moral dan pemilihan nilai. Dengan kata lain, fokus pendidikan karakter tipe kedua ini pada perilaku. Namun pendidikan karakter masih memprioritaskan pada pemahaman dan proses pembentukan serta pemilihan nilai.

Ketiga, pendidikan karakter yang memakai pendekatan pertumbuhan moral Kohlberg (character development). Siswa harus mengutamakan perilaku yang merefleksikan penerimaan nilai dan menekankan unsur motivasi, serta aspek-aspek kepribadian yang relatif stabil. Semua itu akan mengarahkan tindakan individu. Jadi, fokus pendidikan karakter tipe ketiga ini pada pertumbuhan motivasi internal dalam membentuk nilai yang selaras dengan tahap-tahap perkembangan moral individu.

Menggali Nilai-Nilai Unggul Budaya Lokal

Zainuddin Maliki memulai  paparannya dengan menanyakan karakter apa yang dibutuhkan Indonesia ke depan dalam Seminar Nasional “Pendidikan Karakter: Menggali Nilai-Nilai Keunggulan Lokal untuk Membangun Karakter Bangsa melalui Pendidikan” yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Surabaya pada tanggal 17 November 2011. Menurutnya, karakter yang dibutuhkan Indonesia adalah pemenuhan kebutuhan SDM yang berkepribadian holistik. Mengapa holistik? Karena Indonesia sedang mengalami kegagalan dalam pendidikan dan hasil manusia Indonesia yang memiliki 5D (Dorongan berprestasi lemah, Distrust, Disiplin rendah, Dorongan Instant dan Dekat dengan kekerasan). Solusi yang diajukan adalah memadukan budaya tradisi dan modern dalam proses terus menerus dan selalu berorientasi ke depan.

Sedangkan,  Ayu Sutarto (2011) mengusulkan untuk memanfaatkan kearifan lokal yang dimiliki oleh pelbagai etnik di negara Indonesia. Yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah “keunggulan lokal, yaitu berupa produk-produk kebudayaan lokal, baik yang bendawi (tangible) maupun yang nonbendawi (intangible) yang dapat dijadikan instrumen untuk menjawab berbagai  atau dapat menjadi solusi dalam menghadapi prahara perubahan yang berdampak buruk kepada warga bangsa”.

Sutarto menguak pentingnya kearifan lokal bagi penguatan karakter dan pekerti bangsa. Ia juga memberi kiat bagaimana menanamkan kearifan lokal yang arif tersebut. Ia menandaskan bahwa kurikulum pendidikan kita harus kontekstual dan menggunakan metode cerita, bahkan cerita yang kreatif dalam penyampaiannya. Ia menjawab pertanyaan salah seorang peserta seminar nasional di Unesa dengan dongeng “kancil mencuri mentimun”. Pertanyaannya adalah mengapa penguasa-penguasa Indonesia yang nota bene telah mendapatkan pendidikan karakter, banyak yang mencuri? Karena mereka hanya mengingat “mencuri”-nya (tidak mengingat kancilnya) dan kurikulum pendidikan kita berbasis pada isi (tidak kontekstual).

Bangsa Indonesia memiliki banyak kearifan lokal. Kearifan lokal yang terkait dengan kebhinekaan dan kemajemukan misalnya ungkapan-ungkapan yang tertulis: “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”; “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Ada yang terkait dengan persatuan dan kesatuan misalnya ungkapan-ungkapan: “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Contoh lain dari kearifan lokal yang terkait dengan etos belajar dan tidak boros terungkap dalam: “rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”. Ada yang terkait dengan rasa senasib sepenanggungan: “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”.

Akhirnya, Mudji Sutrisno SJ mengusulkan pendidikan karakter dimulai dari kearifan lokal yang terkait dengan keadilan. Siswa-siswa sekolah mempunyai program live-in ke daerah-daerah supaya mereka tidak terlibas dengan arus pragmatisme di masyarakat kota. Dasar dari pendidikan kesadaran melalui program live-in ini adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang ramah terhadap pendidikan. Pendidikan kesadaran yang ditawarkan kepada siswa-siswa ini, penulis teringat akan konsientisasi-nya Paulo Freire (1921-1997). Penyadaran tersebut dibangun dalam realitas sosial dan budaya guru dan murid.  Realitas ini akan memunculkan unsur-unsur tematik, isi, keputusan pedagogis (kurikulum dan pengajaran). Dengan demikian, penyadaran merupakan perpaduan teori dan praktek yang memberikan kekuatan bagi semua.

Kesimpulan

1. Pendidikan karakter dapat dipahami asal kita mampu memetakan persoalan serta berani bertindak untuk menjawab tantangan bagi pengembangan pendidikan karakter.

2. Menjadi tantangan bagi setiap pendidik dan pengambil keputusan untuk selalu terbuka pada perbaikan, termasuk memberi ruang bagi dialog, debat, diskusi, kritik yang terbuka, jika kita ingin mengembangkan pendidikan karakter yang berkesinambungan.

3. Filsafat pendidikan Indonesia rupanya harus diarahkan menuju pembangunan konsientisasi (penyadaran) besar-besaran mengenai manusia Indonesia yang berada dalam kemajemukan agama, ras, suku, daerah dan juga kepentingan. Pertanyaan yang bisa timbul adalah ke-Jawa-an menyumbang apa bagi ke Indonesiaan, ke-Bugis-an menyumbang apa bagi keIndonesiaan, dan seterusnya. ***

Tulisan ini terinspirasi dari tiga nara sumber dalam Seminar Nasional dengan tema “Menggali Nilai-Nilai Keunggulan Lokal untuk Membangun Karakter Bangsa melalui Pendidikan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Surabaya (Unesa) di Auditorium Kantor Pusat Unesa, 17 Nopember 2011. Tulisan Mudji Sutrisno SJ (Universitas Atmajaya Jakarta) berjudul Mengembangkan Nilai-Nilai Karakter yang Berbasis Keindonesiaan. Tulisan Zainuddin Maliki (Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur) berjudul Karakter yang Diperlukan untuk Kehidupan di Masa Depan. Tulisan Ayu Sutarto (Universitas Negeri Jember) berjudul Menggali Nilai-Nilai Unggul Karakter Lokal untuk Pendidikan Karakter di Sekolah. Tulisan ini dipublikasikan di www.dapunta.com kolom filsafat.

 

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.