Kota Tanpa Cita-cita

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Sebuah kota adalah fakta sekaligus cita-cita. Ia melibatkan kondisi nyata. Tetapi ia juga melibatkan harapan para warganya. Surabaya pun juga sama.

Mau kemana arah pembangunan kota Surabaya? Tujuan kota adalah kepentingan warganya. Yang dimaksud warga disini bukanlah sekelompok orang yang memiliki modal kuat atau otoritas politik yang gagah, melainkan seluruh warga, lepas status sosial, ekonomi, politik, suku, ras, maupun agamanya. Pemda harus memiliki totalitas untuk membangun Surabaya.

Kota Tanpa Cita-cita

Apa jadinya kota tanpa cita-cita? Yang terjadi adalah kota sebagai sarang kompromi bisnis semata. Kota menjadi sesak. Masyarakat tidak punya ruang publik dalam arti spasial. Masyarakat juga tidak punya ruang publik dalam arti sosial-politik.

Apartemen mewah yang tak terjangkau rakyat dan mall-mall mewah bertebaran di penjuru kota. Orang miskin tersingkir ke pojok untuk hidup dalam daerah-daerah kumuh. Inilah yang terjadi pada kota yang tanpa cita-cita. Retorika pejabat politis bertentangan dengan apa yang dilakukannya. Akibatnya kota pun kehilangan makna.

Kota menjadi ruang ekspresi kerakusan untuk semata mengeruk kekayaan dan mendaki gunung status sosial. Tidak ada solidaritas. Yang ada adalah kompetisi murni. Saingan adalah musuh yang mesti dilindas.

Kota menjadi kerajaan kerakusan. Kemegahan kota tidak didasarkan pada nilai-nilai luhur kehidupan, melainkan pada arogansi yang berbalut kehendak untuk mengeruk harta dan kuasa. Inilah kota yang tanpa cita-cita. Kota yang tak lebih dari sekedar ruang untuk merebut tanpa memberi, merengkuh tanpa mencintai.

Udara kota menjadi sesak. Udara fisik dipenuhi asap kendaraan dan pabrik. Udara mental dipenuhi asap dengki dan kerakusan. Orang tidak betah tinggal di dalamnya.

Secara fisik kota yang tanpa cita-cita tidak enak dilihat. Gedung mewah bersanding dengan perumahan kumuh tanpa ada bela rasa. Pemandangan ini tidak hanya mengganggu mata, tetapi juga membuat jiwa menjadi sesak. Kota tanpa cita-cita tidak sehat untuk penghuninya.

Kota yang tanpa cita-cita juga membuat penghuninya mengalami proses dehumanisasi. Ia kehilangan ciri kemanusiaannya. Ia kehilangan kebaikan hatinya. Yang tersisa adalah keganasan untuk meraup dan mengalahkan musuh.

Gas motor ditarik tanpa pikir. Pedal gas mobil diinjak untuk melibas sesama pengandara yang dianggap sebagai saingan. Orang bertingkah seperti binatang. Bahkan binatang pun lebih beradab dibanding penduduk kota tanpa cita-cita yang telah kehilangan sisi manusianya.

Kota tanpa cita-cita adalah ruang diskriminasi. Mobil mewah berkeliaran. Orang miskin susah cari makan. Semua itu menjadi kondisi biasa yang membutakan nurani.

Orang kaya berlomba memberi properti untuk memperkaya diri. Orang miskin kesulitan untuk mencari sesuap nasi. Yang tampak adalah ironi dalam bentuk diskriminasi. Para penghuni kota tanpa cita-cita sudah cacat nurani.

Totalitas pada Cita-cita

Pemda harus mencegah Surabaya menjadi kota yang tanpa cita-cita. Warga harus berperan serta secara aktif dan kritis untuk memberi kota yang tercinta ini makna yang sepatutnya. Diperlukan pendekatan yang holistik untuk mencipta sebuah kota. Paradigma holistik tersebut meliputi semua aspek kehidupan manusia yang menjadi ciri khas kemanusiaannya, termasuk di dalamnya budaya, politik, sosial, ekonomi, seni, dan agama.

Bidang-bidang tersebut harus menjadi fokus pemda dan warga untuk merangkai kota. Tidak boleh ada bidang yang dianaktirikan. Tidak boleh ada bidang yang dianak emaskan. Hanya dengan begitu kota (Surabaya) bisa bermakna bagi warganya.

Pemda dan warga perlu untuk total pada komitmen awal penciptaan kota, yakni untuk kesejahteraan semua penghuninya dalam arti yang menyeluruh, dan bukan bidang-bidang tertentu semata. Tidak lebih dan tidak kurang. Totalitas tersebut perlu dihayati. Totalitas tersebut perlu untuk mendarah daging di sanubari pemda dan warga.

Kita semua harus ingat untuk apa kita disini. Kita semua harus ingat untuk apa ini semua dibangun. Hanya dengan begitu kita bisa setia pada visi awal yang luhur. Hanya dengan begitu kita bisa membuat Surabaya sungguh bermakna. Yang juga berarti hidup kita semua menjadi bermakna. ***

Gambar dari http://skincitysl.com/sin_city_city.jpg

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

4 tanggapan untuk “Kota Tanpa Cita-cita”

  1. Sejatinya, semua unsur masyarakat adalah stakeholder dari sebuah kota. Namun hal ini adalah asumsi teoritik yang sulit diaplikasikan. Seringkali, stakeholder yang mampu mengelola kekuasaan representatif, entah lewat cara yang tulus atau memaksakan, menjadi penentu arah perkembangan kota. Inilah diskusi praksis yang dialami oleh semua kota. Saya lihat ini di Surabaya, di Jakarta, di Malang, dan di Seattle sekalipun.

    Suka

  2. Yah ini memang seperti pepatah latin klasik, kebenaran itu ditentukan oleh otoritas, bukan oleh kebenaran itu sendiri. Kebijakan publik yang benar di kota sangat tergantung pada otoritas hegemonial pihak-pihak di dalamnya. Kota adalah sebuah arena pertarungan kepentingan. Mungkin ini lebih realistis. Tinggal kita memilih berkomitmen dimana. 🙂

    Suka

  3. 1. Sebenarnya, apa saja pertanyaan-pertanyaan yang khas dari ilmu psikologi? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang khas itu, bagaimana caranya?

    2. Ada setidaknya dua pengetahuan yaitu pengetahuan empirik-faktual dan logis-formal (lihat Isaiah Berlin dalam The Power of Idea di bab tentang the purpose of philosophy ) Nah pertanyaan-pertanyaan khas tadi (no.1) bisa dijawab dengan kategori pengetahuan yang mana dan mengapa demikian ya pak?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.