Menolak Lupa: Detraumatisasi Demokrasi

Monsters-and-Myths-ThumbOleh Reza A.A Wattimena

Empat kata ini mengerikan (Menolak Lupa: Detraumatisasi Demokrasi). Saya ingin, supaya kita sebagai bangsa tidak lupa dengan empat kata ini. 2023 dan 2024 adalah tahunnya. Jangan sampai hingar bingar berita kacangan menutup kita dari masalah besar yang sedang menatap bangsa kita.

Datanya lengkap di media massa. Ada yang di dalam negeri, namun media internasional juga terus mengikuti. Intinya sederhana: penguasa busuk melanggar sumpah jabatan, melakukan penipuan terhadap rakyat dan menciptakan politik dinasti, atau politik keluarga, yang korup sampai ke akarnya. Sebagai bangsa, ingatan kita cenderung pendek, sehingga mudah lupa dengan pelanggaran sebesar itu, dan sibuk dengan hingar bingar peristiwa yang tak penting.

Trauma Demokrasi: Beberapa Refleksi

Ada beberapa refleksi yang ingin saya tawarkan. Pertama, kita mengalami trauma demokrasi. Trauma demokrasi adalah trauma kolektif (kollektives Trauma; Angela Kühner). Sebuah masyarakat mengalami peristiwa yang begitu besar dan mencengang, sehingga bekasnya tetap terasa, walaupun peristiwa itu sudah lama berlalu.

Traumanya terletak pada pengkhianatan demokrasi dan konstitusi Indonesia itu sendiri. Penguasa busuk menggunakan fasilitas jabatannya untuk bermain curang. Ia meracuni pemilu, penegakan hukum dan seluruh proses pencarian keadilan di institusi hukum. Trauma kolektifnya terletak pada pandangan rakyat terhadap mutu institusi pemerintah yang busuk dan korup sampai ke akarnya, sehingga kebencian, ketidakpercayaan serta ketidakpedulian pada politik meningkat tajam.

Trauma juga terjadi pada hukum. Hukum semakin kehilangan wibawanya. Orang tak lagi peduli pada hukum, terutama karena pemimpinnya juga tak peduli pada hukum. Tidak ada keteladanan di dalam mematuhi hukum sebagai unsur pengikat di dalam masyarakat majemuk, sehingga masyarakat terancam jatuh ke dalam kekacauan yang berkepanjangan.

Dua, demokrasi, jelas, mengalami trauma berat di Indonesia. Namun, mengapa demokrasi begitu penting untuk diperjuangkan? Dari semua bentuk pemerintahan yang ada, mulai dari aristokrasi sampai dengan monarki, demokrasilah yang paling mungkin mewujudkan keadilan. Kekuasaan berada di dalam kontrol kritis dari rakyat. Transisi kekuasaan pun bisa dijalankan dengan tertib dan damai, tanpa perang saudara yang berdarah, seperti yang banyak terjadi pada negara-negara monarki.

Dari keadilan lahirlah kemakmuran bersama. Sumber daya yang ada dikelola sebaik mungkin, sehingga seluruh unsur masyarakat bisa merasakan dampak baiknya. Dalam arti ini, keadilan dan kemakmuran adalah dua hal yang selalu terkait satu sama lain. Demokrasi kiranya menjadi sistem politik yang paling mungkin untuk mencapai ini.

Tiga, namun, demokrasi tidak lahir dari ruang hampa. Ia membutuhkan keadaan yang tepat, supaya bisa bertumbuh dengan subur. Berbagai institusi politik yang saling mengontrol tentu amat dibutuhkan. Ide dasarnya adalah pembagian kekuasaan, sehingga ada kontrol satu sama lain yang membuat cita-cita keadilan dan kemakmuran tak pernah terlupakan.

Namun, di dalam demokrasi, masyarakat harus memiliki tingkat kecerdasan tertentu. Dalam arti ini, kecerdasan bukanlah berarti kemampuan untuk menghafal dan berhitung dengan cepat, seperti yang menjadi model pendidikan bobrok di Indonesia. Di alam demokratis, kecerdasan berarti kemampuan menggunakan akal sehat untuk membedakan apa yang baik untuk semua, dan apa yang baik untuk sebagian orang saja. Pendek kata, di dalam demokrasi, kecerdasan adalah kemampuan berpikir kritis dan rasional. Inilah yang kiranya amat kurang di Indonesia, karena sengaja tidak diajarkan oleh sistem pendidikan yang bobrok sampai ke akarnya.

Empat, di 2024, kita sedang menyaksikan lahirnya politik dinasti, atau politik keluarga, dari si penguasa busuk. Politik keluarga adalah politik korup. Orang menjadi pemimpin dan pejabat publik bukan karena kemampuan, tetapi karena hubungan keluarga, dan kedekatan pribadi. Keadilan pun jauh dari kenyataan, dan kemiskinan akan segera mengikuti.

Politik keluarga penuh dengan korupsi. Dalam arti ini, korupsi adalah pembusukan fungsi-fungsi publik dari lembaga negara. Tidak ada profesionalitas dan keadilan di dalam melayani kebutuhan rakyat. Yang paling jelas dan gamblang, uang rakyat digunakan untuk membiayai kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan yang bersifat sempit.

Sumber daya dibagikan dengan tidak merata. Secara statistik, ekonomi kelihatan bertumbuh. Namun, kemakmuran hanya dirasakan segelintir orang yang dekat dan kerap bermain mata dengan penguasa busuk. Sebagian besar rakyat tetap hidup dalam kemiskinan dan ketakutan yang berkepanjangan.

Lima, di 2024 ini, kita menyaksikan, rakyat Indonesia dihina secara terang-terangan oleh pemimpinnya sendiri. Penghinaan ini begitu vulgar. Pengkhianatan terjadi secara terang benderang. Manuver korup penguasa busuk dilakukan dengan begitu busuk dan arogan langsung di depan mata seluruh dunia.

Tidak hanya rakyat yang dihina secara vulgar. Konstitusi, sebagai pengikat dan batu fondasi kebangsaan, juga dihina. Institusi hukum dikangkangi oleh penguasa busuk, dan semakin mencoreng rasa keadilan di hati rakyat. Si penguasa busuk tampak lugu dan tak peduli, walaupun tangan dan hatinya kotor, serta arogansinya menciptakan rasa muak.

Ia menghina rakyat dan konstitusi. Ia juga menghina revolusi Indonesia. Bangsa ini didirikan oleh orang-orang besar dengan visi yang luhur. Kini, semua itu dicoreng oleh manuver murahan dari penguasa busuk yang sombong, dan tak punya rasa malu.

Semua ini menciptakan trauma demokrasi. Hukum dan politik kembali memperoleh citra buruk. Rakyat pun enggan terlibat di dalamnya dengan niat tulus untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran untuk semua. Semakin hari semakin jelas, orang ingin terlibat di dalam politik praktis untuk mencuri, seperti yang dilakukan si penguasa busuk di hari ini.

Detraumatisasi Demokrasi

Kita tak boleh hanyut di dalam trauma. Kita harus melakukan proses detraumatisasi. Ini penting untuk mengembalikan bangsa ini ke arahnya yang sejati. Keadilan dan kemakmuran harus menjadi milik bersama seluruh rakyat, tanpa kecuali. Ada lima hal yang bisa dilakukan.

Pertama, kita perlu terus mengingat hal ini. 2023 dan 2024, kita mengalami krisis dan trauma demokrasi. Penguasa busuk menghkhianati sumpah jabatannya, mengkhianati konstitusi dan menghina rakyat dengan menciptakan politik keluarga yang korup sampai ke akarnya. Kita perlu menjadikan peristiwa ini sebagai bagian dari ingatan kolektif bangsa Indonesia. Ia tidak boleh lenyap oleh hingar bingar peristiwa lainnya yang datang kemudian.

Mengingat bukan untuk menyiksa diri. Mengingat bukan untuk membuka luka lama. Mengingat bukan untuk membangkitkan dendam dan menciptakan konflik baru. Kita menjadikan pengkhianatan demokrasi ini sebagai bagian dari ingatan kolektif kita sebagai bangsa, supaya kita bisa belajar darinya.

Bangsa Indonesia cenderung pendek ingatannya. Konflik dan peristiwa traumatis terjadi, namun kerap dilupakan, karena takut menciptakan ketegangan baru. Alhasil, kita tidak pernah belajar dari apa yang telah terjadi. Berulang kali, kita jatuh ke dalam kesalahan yang serupa, mulai dari korupsi berjamaah, konflik antar agama, dan kini lahirnya politik keluarga.

Dua, lembaga hukum Indonesia tak bisa lagi diharapkan akan memberikan keadilan. Rakyat harus bergerak secara mandiri. Saya rasa, kita perlu adanya pengadilan rakyat (People’s Tribunal) terhadap penguasa busuk pengkhianat demokrasi dan konstitusi ini. Sebagai rakyat, kita punya kekuasaan tertinggi di dalam demokrasi, dan punya hak untuk sepenuhnya mengadili dan menghukum penguasa busuk yang telah mengkhianati bangsa ini.

Tiga, saya juga merasa, sudah saat kita turun ke jalan. Demonstrasi besar melawan penguasa busuk harus dilakukan. Ini adalah agenda besar pembangkangan sipil (civil disobedience), yakni keadaan masyarakat, ketika hukum tak lagi adil, dan ekonomi-politik tak lagi peduli pada keadilan serta kemakmuran rakyat. Dalam keadaan ini, masyarakat wajib untuk tidak patuh pada pemimpinnya. Sebagai rakyat, kita tak boleh hanyut dalam pesona pengalihan isu yang biasa dilakukan oleh penguasa busuk, dan media massa yang menjadi kaki tangannya.

Empat, penguasa yang baru jelas tak legitim di mata rakyat. Ia tidak sah di mata rakyat, karena lahir dari kecurangan dan pengkhianatan terhadap demokrasi serta konstitusi. Dalam hal ini, kita perlu menjadi kritikus yang cerdas dan kritis terhadap sepak terjang mereka. Kita tidak boleh mendiamkan penghinaan dan pengkhianatan terhadap rakyat, demokrasi serta konstitusi Indonesia.

Lima, secara pribadi, seperti berulang kali saya tulis, kita perlu melakukan transformasi kesadaran ke tingkat yang lebih tinggi. Perubahan di tingkat pribadi akan berdampak pada keadaan sosial politik yang lebih luas. Ini terjadi, karena, pada hakekatnya, tidak ada keterpisahan di dalam kenyataan. Teori entanglement di dalam fisika kuantum serta pandangan dunia yang berkembang di Filsafat Asia sudah menyatakan hal ini dengan amat jelas. Referensi ini kiranya bisa membantu: silahkan di klik (Kesadaran, agama dan politik)

Tayangan ini juga kiranya membantu: silahkan klik Tranformasi Kesadaran 

Wujud dari kesadaran yang meluas bisa dirasakan di dalam bidang agama dan politik. Kita melepaskan agama kematian dari tanah gersang yang melahirkan kemunafikan dan kebodohan. Kita memeluk agama kehidupan yang membebaskan dan mencerdaskan. Kita meninggalkan politik lama yang busuk dan sempit, serta menganut pola politik yang baru, yakni politik progresif inklusif yang mampu mewujudkan keadilan dan kemakmuran untuk semua. (Referensi silahkan klik: Kesadaran, agama dan politik

Kita menolak lupa dari penghinaan dan pengkhianatan demokrasi serta konstitusi yang dilakukan penguasa busuk. Kita harus memilih untuk mengingat, dan belajar darinya. Terlebih, kita memilih untuk melakukan perubahan-perubahan yang perlu dilakukan, guna mewujudkan keadilan dan kemakmuran untuk semua. Ini haruslah menjadi komitmen kita bersama.

===

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.