
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di München, Jerman
Sudah sekitar seminggu ini, saya naik sepeda untuk kegiatan sehari-hari di München. Seringkali, saya harus berhenti, karena lampu merah. Pada saat itu, saya memperhatikan, sepeda pun ikut antri berjejer rapi di pinggir jalan, ketika lampu merah menyala. Ketika lampu berganti menjadi hijau, sepeda-sepeda yang berhenti rapi tersebut mulai berjalan pelan-pelan, tetap dengan pola semula yang antri dengan rapi.
Beragam orang menggunakan sepeda, mulai dari anak kecil yang hendak belajar ke sekolah, mahasiswa yang hendak ke kampus atau perpustakaan, ibu-ibu yang membawa bayinya yang juga diikat di boncengan sepeda, bapak-bapak yang lengkap dengan dasi dan jasnya untuk bekerja ke kantor, sampai dengan oma-oma yang mungkin hendak mengunjungi temannya. Mereka semua antri di lampu lalu lintas khusus untuk sepeda. Tentu saja, beberapa kali, ada orang bandel yang menyerobot lampu lalu lintas sepeda tersebut, biasanya mereka harus cepat-cepat pergi ke suatu tempat.
Sewaktu di Surabaya, saya berjumpa dengan teman lama di sebuah restoran. Ia berpendapat, bahwa belajar antri itu lebih penting daripada belajar matematika. Antri itu, menurutnya, mencerminkan sikap hidup yang luar biasa mendalam. Antri adalah keutamaan hidup yang penting, yang menyangkut sikap moral, yang jauh lebih penting daripada sekedar menguasai rumus-rumus matematika. Ketika saya bersepeda di München, saya teringat percakapan dengan teman saya di Surabaya itu. Lanjutkan membaca Antri Donk.. Pak.. Bu.. Mas.. Mbak