Dekonstruksi Penampilan Profesional

chestofbooks.com

Dipresentasikan di Universitas Airlangga 24 Mei 2011

Oleh Reza A.A Wattimena

Apa artinya menjadi seorang profesional? Saya melihat setidaknya dua hal yang terkandung di dalam kata ini. Yang pertama adalah kompetensi seseorang di dalam satu bidang. Yang kedua adalah pemberian diri atau totalitas untuk melayani masyarakat di bidang tersebut. Saya akan coba bahas satu per satu tentang ini.

Profesional

Yang pertama; profesionalitas selalu terkait dengan kompetensi. Kompetensi adalah kemampuan pada satu bidang yang lahir dari latihan, ketekunan, kemampuan bertahan di dalam kesulitan, serta komitmen.

Misalnya saya adalah seorang dosen profesional di bidang filsafat. Artinya saya terlatih untuk berpikir dan menulis filsafat, terus bertahan di tengah kesulitan belajar dan mengajarkan filsafat, serta memiliki komitmen teguh untuk terus mengembangkan filsafat di Indonesia. Anda bisa deret banyak contoh lainnya.

Yang kedua; profesionalitas juga berarti totalitas. Artinya orang memberikan dirinya secara utuh untuk melayani orang lain di bidang kompetensinya. Ia tidak bekerja atau melayani secara setengah-setengah, melainkan dengan sepenuh hati dan jiwanya.

Misalnya seorang pelayan restauran profesional yang tidak hanya pandai di dalam mengerjakan pekerjaannya, tetapi juga total dalam bekerja. Ia tak pernah terlambat, amat rajin, amat ramah, dan amat tulus, sehingga banyak orang merasa senang dengan pelayanan yang diberikan olehnya.

Dekonstruksi

Dekonstruksi adalah konsep yang dirumuskan oleh Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang hidup pada pertengahan abad lalu. Inti dari dekonstruksi amatlah sederhana, yakni sikap menunda semua bentuk kepastian maupun kebenaran yang telah diyakini sebelumnya. Semua pernyataan yang merasa benar dibongkar, lalu ditinggalkan di dalam ketidakpastian. Ketidakpastian adalah resep untuk hidup yang bijaksana. (Derrida, 1982)

Dalam konteks penampilan profesional, argumennya begini; jika anda ingin memiliki penampilan seorang profesional, maka janganlah menginginkan untuk tampil seperti seorang profesional. Untuk bisa menampilkan citra seorang profesional, orang perlu memoles dirinya. Sementara tindak memoles adalah tindak menutupi apa yang alami, maka ada kepura-puraan di dalamnya.

Seorang profesional tidak boleh berpura-pura. Jika ia berpura-pura, maka esensinya sebagai seorang profesional menghilang. Ia tidak lagi menjadi seorang profesional. Maka sekali lagi; jika anda ingin tampil sebagai seorang profesional, janganlah terobsesi untuk tampil sebagai seorang profesional. Disinilah paradoks dari penampilan profesional yang telah melalui proses dekonstruksi.

Lalu kita harus bagaimana? Argumen saya cukup sederhana; jika ingin tampil sebagai seorang profesional, anda harus mengasah kompetensi dan totalitas anda pada bidang tertentu, dan biarkan apa yang tampil merupakan ekspresi dari apa yang anda hayati (kompetensi dan totalitas) di dalam batin.

Ekspresi

Fokus anda bukanlah memoles diri, tetapi justru mengasah kompetensi dan totalitas dalam bekerja serta mengabdi (untuk suatu institusi, atau untuk suatu nilai yang anda percaya). Polesan dibuat seminimal mungkin, demi tujuan kesehatan dan keindahan, sehingga apa yang tampak dapat sungguh mencerminkan apa yang ada di belakangnya. Inilah penampilan profesional yang sesungguhnya.

Yang perlu dihindari adalah sikap pura-pura, karena sikap pura-pura justru membunuh etos profesional yang ingin ditempa. Sikap pura-pura adalah simbol mental pengecut dan penipu. Dan ini tentu tidak akan pernah menjadi bagian dari sifat seorang profesional.

Penampilan adalah suatu pernyataan, bahwa saya kompeten dan saya bekerja dengan total. Ini yang harus diingat. Penampilan tidak pernah boleh dipakai untuk mengelabui mata yang melihat. Saya teringat satu stiker di spakbor motor; jika anda tidak ingin dibohongi, maka janganlah berbohong. Walaupun manusia tak pernah bisa menyatakan seluruh kebenaran, entah karena disengaja, ataupun karena kelemahan bahasa. Namun kiranya kita bisa mengontrol satu hal; apa yang kita tampilkan sedapat mungkin sejalan dengan apa yang kita hayati. Itulah arti kesejatian diri.***

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

3 tanggapan untuk “Dekonstruksi Penampilan Profesional”

  1. Memang benar jika suatu keprofesionalan itu tidak bisa lepas dari totalitas dan komitmen yang telah kita buat,dan kita jalani, sebuah misteri Tuhan juga kan apabila ketika kita ingin menjadi seseorang yang profesional didalam bidang yang kita pilih itu tapi masih sulit. Pilihan yang dimana tetap harus dipilih untuk totalitas, sejelek apapun pilihan yang kita pilih kita harus tetap memilih karena kita ingin profesional, tapi pasti dibalik pilihan itu ada jalan terbaik tuhan yang diberikan untuk melangkah selanjutnya, agar menjadi profesional.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.