Paradoks Demokrasi

Paradoks Demokrasi

Reza A.A Wattimena

Sejalan dengan proses reformasi Indonesia yang terus bergejolak, cita-cita mewujudkan masyarakat demokratis yang adil dan makmur terasa masih jauh dari jangkauan. Demokrasi pun kini mulai dipertanyakan. Apakah demokrasi layak menjadi prinsip pemerintahan kita? Atau mungkinkah bangsa kita tidak cocok dengan demokrasi?

Pemilu adalah pesta demokrasi. Namun banyak kalangan berpendapat, bahwa pemilu hanya menghabiskan biaya negara, yang seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan lain yang lebih berdaya guna. Gejolak Pilkada Jawa Timur yang memakan biaya begitu besar masih basah di ingatan kita semua. Lagi pula banyak orang juga yakin, bahwa orang-orang yang terpilih tidak murni atas dasar kemampuan dan yang merupakan kehendak rakyat, tetapi lebih berdasarkan kekayaan material semata.

Kebebasan Berpendapat

Satu hal yang sungguh menandai masyarakat demokratis adalah kebebasan berpendapat. Setiap orang berhak mengajukan pandangannya tentang berbagai hal. Kebebasan berpendapat adalah roh demokrasi. Tanpanya penguasa bisa memerintah seenaknya tanpa adalah kontrol dari rakyatnya.

Kebebasan berpendapat itu disalurkan melalui Pers. Pers memiliki panggilan untuk menanggapi secara kritis semua kebijakan yang terkait dengan kehidupan bersama. Jika kebebasan berpendapat adalah roh demokrasi, maka pers adalah wujud nyata kebebasan berpendapat tersebut. Tidak ada demokrasi tanpa pers yang kuat, kritis, dan independen.

Yang terjadi di indonesia adalah, kini kebebasan berpendapat itu disalahgunakan. Alih-alih digunakan untuk memperjuangkan kepentingan bersama, banyak kelompok menyebarkan kebencian dan fitnah yang diselubungkan atas dasar klaim kebebasan berpendapat. Banyak berita yang bertujuan bukan untuk mengungkapkan kebenaran, melainkan untuk menimbulkan perpecahan. Alih-alih menciptakan masyarakat yang kritis dan cerdas, kebebasan berpendapat justru sering digunakan untuk memperbodoh dan memecah belah.

Kebebasan Berorganisasi

Hal yang sama terjadi pada prinsip kebebasan berorganisasi. Diktum dasar demokrasi adalah kebebasan bagi setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya melalui organisasi yang dilindungi sepenuhnya oleh hukum. Organisasi tersebut berfungsi untuk mengumpulkan opini dan menyalurkan aspirasi, yang kemudian diperjuangkan di dalam arena publik. Masyarakat demokratis yang ideal terdiri dari organisasi-organisasi independen yang kritis dan aktif memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat, sekaligus masih menyadari perlunya kesatuan untuk menciptakan kebaikan bersama.

Yang terjadi di Indonesia adalah kebebasan berorganisasi banyak terkena sensor, baik oleh pemerintah maupun oleh organisasi lainnya yang mendaku mewakili pendapat rakyat banyak. Di era reformasi ini, masih banyak kelompok-kelompok organisasi minoritas yang dianggap subversif, sehingga patut untuk ditutup. Dengan kata lain kebebasan organisasi bukanlah prinsip yang membantu mengembangkan masyarakat, tetapi justru menjadi ajang penindasan kelompok yang kuat terhadap yang lemah.

Paradoks Demokrasi

Dengan fakta-fakta itu, banyak orang tidak lagi percaya pada demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai ciptaan peradaban Barat yang tidak cocok untuk Indonesia. Demokrasi dianggap terlalu mahal, dan tidak cocok untuk masyarakat kita yang masih feodal. Alih-alih dianggap sebagai penyelamat, demokrasi dianggap sebagai penghalang.

Memang semua kritik itu masuk akal. Akan tetapi semua kritik itu tepat mengalami paradoks. Di dalam bukunya yang berjudul The Republic buku ke-8, Plato menulis begini, “Adalah mungkin kasusnya bahwa untuk melakukan apa yang telah kita lakukan (yakni melakukan kritik tajam terhadap demokrasi), kita mesti hidup dalam masyarakat demokratis.” (Roochnik, 2005) Artinya kita bisa leluasa berbicara tentang cacat-cacat demokrasi, dan upaya untuk menggantinya, justru ketika kita berada di dalam masyarakat yang tengah mengusahakan demokrasi. Demokrasi adalah satu-satunya prinsip politik yang memungkinkan kritik terhadapnya hidup dan berkembang.

Maka seperti dikatakan oleh Winston Churchill, “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk kecuali dari bentuk-bentuk pemerintahan lainnya yang pernah ada.” Kita boleh meremehkan demokrasi. Kita boleh tidak setuju dengannya. Kita boleh menghina demokrasi sebagai sebuah prinsip politik. Namun jangan lupa bahwa itu semua bisa kita lakukan, jika kita hidup di dalam masyarakat demokratis! Inilah sisi paradoks demokrasi yang sering terlupakan dari para kritikusnya.***

Hubungan Pengetahuan dan Nilai

http://www.worlds-luxury-guide.com

Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Dua tajuk rencana Kompas 9 Juni 2009 mengenai independensi lembaga survei dan hasil pemilu di Lebanon menyentuh langsung problem abadi di dalam filsafat ilmu pengetahuan, yakni relasi antara pengetahuan dan nilai. Lembaga survei menyajikan hasil penelitian yang beragam mengenai hasil pemilu presiden dan wakil presiden mendatang. Perbedaan hasil penelitian sangatlah besar. Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan, bahwa calon SBY-Boediono akan mendapatkan 71 persen suara, sementara menurut Lembaga Riset Indonesia (LRI), pasangan SBY-Boediono akan mendapatkan 33,02 persen suara. (Kompas, 9 Juni 2009) Tidak jelas mana hasil survei yang lebih akurat.

Di sisi lain hasil pemilu di Lebanon menunjukkan kemenangan Koalisi 14 Maret yang didukung oleh AS, Mesir, Yordania, dan Arab Saudi atas Koalisi 8 Maret yang didukung oleh kubu Iran dan Suriah. Intinya kelompok-kelompok pro AS menang atas kelompok-kelompok yang pro Iran. (Kompas, 9 Juni 2009) Jelas sekali pengaruh asing pada pemilu di Libanon. Sebagai sebuah praktek politik di Lebanon, pesta demokrasi sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang bersifat eksternal dari padanya.

Pengetahuan dan Nilai

Problem relasi antara pengetahuan dan nilai muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern dan filsafat, terutama pada masa revolusi saintifik (scientific revolution) pada abad ke-17. Pertanyaan yang diajukan sebenarnya sederhana, bisakah ilmu pengetahuan dan filsafat mencapai tingkat obyektivitas murni? Bisakah ilmu pengetahuan dan filsafat memberikan kebenaran yang bersifat universal, yang berlaku untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun? Bisakah ilmu pengetahuan dan filsafat bebas dari nilai? (Wattimena, 2008)

Ada dua jawaban yang ditawarkan. Yang pertama adalah jawaban yang diberikan oleh para pemikir positivis-obyektivis. Bagi mereka pengetahuan bisa mencapai tahap obyektivis dengan mengacu secara ketat dan sistematis pada metode penelitian ilmiah. Artinya metode adalah alat penjamin netralitas dan obyektivitas penelitian. Metode membantu orang untuk tetap setia pada fakta yang dapat dipersepsi oleh inderawi, dan tidak terbawa pada spekulasi-spekulasi yang tampaknya rasional, tetapi sebenarnya tidak memiliki dasar. Cara berpikir ini bisa diterapkan baik di ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam.

Yang kedua adalah jawaban para pemikir kritis dan fenomenolog. Bagi mereka pengetahuan tidak akan pernah mencapai level obyektivitas. Pengetahuan adalah sekaligus hasil konstruksi individu maupun lingkungan sosial yang terbatas pada ruang dan waktu tertentu. Tidak hanya itu fungsi penelitian bukanlah untuk menemukan kebenaran universal, melainkan untuk memahami suatu konteks tertentu yang memang bersifat partikular. Tidak ada ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, yang bisa mencapai level hukum universal. Tidak hanya tidak ada, melainkan aspirasi semacam itu adalah sesat, karena berasal dari kesalahpahaman terhadap fungsi pengetahuan bagi kehidupan manusia.

Setiap bentuk pengetahuan merupakan hasil konstruksi dari penelitian. Dan setiap penelitian selalu dipengaruhi setidaknya tiga hal, yakni keyakinan moral, asumsi-asumsi epistemis, dan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi sang peneliti. Seorang peneliti tidak akan bisa melepaskan keyakinan moralnya. Jika ia menabukan sebuah tema tertetu, maka ia tidak akan bisa melakukan penelitian yang bertanggung jawab terhadap tema itu. Konsep si peneliti tentang apa itu realitas, fungsi ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, dan pengaruh dari penyandang dana penelitian membuat hasil penelitian semakin jauh dari obyektivitas.

Ilusi Obyektivisme

Apa relevansi perdebatan itu bagi kehidupan berbangsa kita? Relevansinya jelas yakni masyarakat kita perlu semakin kritis terhadap semua pernyataan yang mendaku ilmiah, yang dilontarkan di dalam ruang publik melalui media massa. Gelar doktor, guru besar, ataupun pejabat penting negara tidak boleh mengaburkan sikap kritis masyarakat terhadap pernyataan-pernyataan mereka. Ingatlah bahwa seorang peneliti, ilmuwan, ataupun filsuf yang paling ahli sekalipun memiliki ‘lubang’ di dalam penelitian maupun pernyataan mereka. Lubang yang tidak bisa dihindari, karena terintegrasi di dalam hakekat pengetahuan manusia itu sendiri.

Masyarakat juga tidak boleh terjebak pada ilusi obyektivisme. Obyektivisme adalah paham yang berpendapat, bahwa realitas berada secara bebas dari kesadaran manusia, dan bahwa manusia bisa mencapai pengetahuan yang obyektif dan universal tentang realitas dengan menggunakan pendekatan yang ilmiah. Pandangan ini sesat tepat karena menutupi aspek pertarungan kekuasaan dan nilai yang berada di balik pernyataan ilmiah, baik di dalam ilmu-ilmu alam, dan terutama di dalam politik. Pandangan ini tidak peka dan mengabaikan begitu saja pada faktor kekuasaan di dalam pembentukan pengetahuan manusia.

Lembaga survei dan riset ilmiah boleh mengeluarkan pernyataan apapun. Kelompok-kelompok kepentingan boleh memberikan pengaruh pada politik bangsa. Akan tetapi masyarakat Indonesia tidak boleh terjebak pada ilusi-ilusi yang disebarkan dengan mengatasnamakan obyektivitas ilmiah ataupun kebenaran universal! Sudah saatnya masyarakat berani untuk berpikir sendiri!

Keterbatasan pengetahuan kita sebagai manusia berakar pada keterbatasan kemampuan kita sebagai manusia. Kita adalah mahluk terbatas yang dihadapkan pada realitas yang tidak terbatas.***

Banalitas Korupsi Indonesia

Language Game

dan Banalitas Korupsi Indonesia

Reza A.A Wattimena

Laporan Transparency International yang menyatakan DPR sebagai institusi terkorup sungguh mengenaskan hati. Memang seperti yang dinyatakan Harian Kompas, laporan itu bukanlah sebuah pembuktian hukum, melainkan hasil persepsi publik. (Kompas, 5 Juni 2009) Walaupun begitu predikat tersebut menggantung tepat di jantung hati institusi demokrasi kita, yakni DPR. Jika simbol demokrasi adalah lembaga yang dianggap terkorup, tak heran proses demokratisasi bangsa kita terpuruk seperti sekarang ini.

Korupsi adalah soal klasik di Indonesia. Beragam retorika telah dibuat untuk menegaskan komitmen kita mengentaskan korupsi. Dan seraya dengan berbuihnya retorika tersebut, tindakan nyata pun terseok-seok di dalam keinginan semata. Apa sebenarnya yang terjadi?

Banalitas Korupsi

Cara berpikir yang dikembangkan oleh Ludwig Wittgenstein, seorang filsuf asal Jerman pada awal abad keduapuluh, tentang language game kiranya bisa membantu kita. Ada dua buku Wittgenstein yang kiranya menggoyang dunia filsafat pada waktu itu, yakni Tractatus Logico Philosophicus dan Philosophical Investigations. Buku kedua kiranya lebih relevan untuk analisis mengenai korupsi.

Sekarang ini banyak praktek koruptif di dalam masyarakat kita tidak dikenal sebagai korupsi, melainkan sebagai bagian dari rutinitas. Praktek suap, kolusi, nepotisme tidak dipandang sebagai elemen-elemen koruptif yang harus diberantas, melainkan sebagai sesuatu yang wajar. Hal ini terjadi mulai dari level pemerintah paling rendah di tingkat RT/RW, sampai di level para wakil rakyat di DPR. Tidak hanya rutinitas korupsi adalah bagian penting dari tradisi yang harus terus diwariskan ke generasi berikutnya.

Pertanyaan sederhana muncul mengapa korupsi tidak lagi dikenali sebagai korupsi?

Language Game Korupsi Indonesia

Bagi Wittgenstein language game bukanlah sebuah definisi rigid, melainkan sebuah analogi. Language game adalah permainan yang memberikan arti bagi sebuah tindakan tertentu. Artinya suatu tindakan hanya bisa dimengerti dalam konteks suatu language game tertentu. Tanpa language game tertentu, tindakan menjadi tidak berarti sama sekali. Tindakan itu menjadi Chaotic.

Misalnya anda menendang bola. Tindakan itu masuk akal, jika anda bermain bola bersama teman, atau terlibat dalam pertandingan sepak bola. Dalam arti ini tindakan menendang bola menjadi masuk akal. Akan tetapi cobalah anda menendang bola di perpustakaan. Apa yang akan terjadi? Tindakan anda akan dicap irasional. Kemungkinan besar anda akan diusir dari perpustakaan.

Di Indonesia korupsi tidak lagi dikenali sebagai korupsi, karena language game yang melatarbelakangi tindakan tersebut tidak cocok untuk memberikan definisi korupsi. Artinya language game yang ada tidak mengenali konsep korupsi, sebagaimana konsep tersebut dipahami secara umum. Akibatnya apa yang disebut sebagai korupsi di Singapura belum tentu dapat disebut Korupsi di Indonesia. Lebih parah lagi apa yang disebut sebagai korupsi di Sumatera belum tentu dapat dikategorikan sebagai korupsi di Papua, karena language game-nya berbeda, walaupun sama-sama menggunakan kata korupsi.

Aphoria

Itulah sebabnya mengapa pemberantasan korupsi di Indonesia menemui jalan buntu, atau yang di bahasa Yunani disebut sebagai aphoria. Ada nuansa relativisme di dalam pemaknaan banyak orang Indonesia tentang korupsi. Artinya suatu tindakan bisa disebut korup di suatu tempat, tetapi tidak di tempat lain, tergantung language game yang berlaku di tempat itu. Relativisme semacam ini berbahaya, karena pada akhirnya, orang bisa jelas-jelas melakukan korupsi, tetapi dia tidak menyadarinya sama sekali.

Aphoria bisa berakhir pada setidaknya dua kemungkinan, yakni pesimisme atau optimisme. Dilihat secara pesimis perbedaan language game bermuara pada tidak mungkinnya kita mengatur korupsi secara tepat di Indonesia. Korupsi akan tetap menjadi bagian dari tradisi yang sulit dihilangkan, karena melekat pada language game masyarakat setempat. Sedikit mengutip pendapat banyak orang, korupsi di Indonesia adalah korupsi berjamaah.

Namun dilihat secara optimis, pengetahuan bahwa konsep korupsi selalu tertanam pada konteks language game tertentu memaksa kita untuk mendefinisikan korupsi secara multidimensional. Artinya mulai sekarang secara kultural maupun secara legal, korupsi harus didefinisikan ulang, sehingga tidak terjadi lagi relativisme konsep korupsi, seperti yang sekarang ini banyak terjadi. Korupsi kembali dimaknai sebagai tindakan yang jahat, dan harus dicegah sedapat mungkin pada semua bentuk language game yang ada, dan akan ada. Memang dibutuhkan upaya yang besar dan waktu yang lama untuk melakukan itu.

Pada akhirnya kepada para wakil rakyat, saya berpesan, kalian adalah simbol demokrasi. Jangan permalukan simbol itu dengan kebodohan maupun ketidakpedulian kalian. Jika kalian tidak mampu menahan godaan untuk korupsi, walaupun kalian sungguh sadar bahwa itu adalah tindakan keliru, maka copotlah jabatan sebagai wakil rakyat. Jangan permalukan kami yang telah memilih kalian.***

Waktu Berubah dan Kita Ikut Berubah di dalamnya

tempora mutantur

et nos mutamur in illis

Waktu Berubah dan Kita Ikut

Berubah Di dalamnya

Reza A.A Wattimena


Orang Cina kuno sangat menghargai perubahan. Bagi mereka perubahan merupakan inti alam semesta. Bangun pagi mereka melihat matahari di sebelah Timur. Lalu menjelang selesai bekerja, mereka melihat matahari terbenam di sebelah Barat. Waktu berubah dan manusia ikut berubah di dalamnya.

Manusia juga berubah. Dahulu saya tidak bisa membaca. Namun sekarang saya bisa membaca dalam dua bahasa, yakni Indonesia dan Inggris. Sekali lagi waktu berubah, dan saya ikut berubah di dalamnya.

Herakleitos

Dahulu kala hiduplah seorang bernama Herakleitos. Namanya memang agak aneh. Akan tetapi bagi orang pada jaman itu di Yunani Kuno (sekitar 500 tahun sebelum Masehi), itu adalah nama yang wajar. Ia adalah seorang pemikir yang menjadi salah satu tokoh awal perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.

Herakleitos adalah seorang yang suka belajar. Ia tertarik pada alam, dan ingin memahaminya lebih jauh. Pada jaman itu belum ada ilmu pengetahuan. Yang ada adalah cerita-cerita tentang kehadiran dewa dan dewi untuk melukiskan alam semesta, mirip Batara Guru dan kawan-kawan dalam Mitologi Jawa. Herakleitos tidak setuju dengan pandangan mitologis semacam itu, maka ia merumuskan ajarannya sendiri.

Ia pernah menulis, “Kita tidak pernah menginjakkan kaki di sungai yang sama”. Artinya ketika kita menginjakkan kaki ke air, maka airnya sudah berubah. Air yang satu menggantikan air yang lain. Tidak mungkin air yang sama menyentuh kaki kita lagi.

Air berubah. Sel kaki kita yang bersentuhan dengan air pun berubah, seberapapun kecilnya. Tidak ada yang tetap di dalam alam semesta ini, kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan adalah inti kehidupan. Segalanya berubah. Waktu dan manusia ikut berubah di dalamnya.

Aristoteles

Beberapa ratus tahun setelah Herakleitos meninggal, hidupnya seorang bernama Aristoteles. Anda pasti sudah pernah mendengar nama itu. Ia adalah ilmuwan pertama yang diakui menemukan metode empiris dan klasifikasi pengetahuan, seperti kita kenal sekarang ini. Ia juga adalah perumus kurikulum pengajaran pertama kali di dalam sejarah manusia.

Sama seperti pendahulunya Aristoteles mengakui perubahan sebagai bagian penting kehidupan. Namun ajarannya sedikit lebih rumit. Ia berpendapat bahwa perubahan merupakan kemungkinan setiap benda di alam semesta ini. Artinya segala sesuatu bisa berubah, namun belum tentu berubah. Perubahan adalah kemungkinan.

Kayu bisa menjadi meja, tetapi tidak selalu menjadi meja, bisa saja tetap menjadi kayu, atau menjadi kursi, patung, dan sebagainya. Saya bisa menjadi presiden, tetapi tidak itu pun tidak pasti, karena saya mungkin punya pilihan lain, seperti jadi pengacara, guru, dan sebagainya. Jika nanti saya menjadi presiden sungguhan, maka perubahan tidak lagi hanya kemungkinan, tetapi sudah menjadi fakta. Fakta yang bisa dibuktikan hanya dengan berjalannya waktu dan proses.

Jelaslah perubahan adalah konsep yang penting. Seluruh realitas terdiri dari dua konsep, yakni diam (rest) and gerak (motion). Kedua elemen itulah yang membentuk alam semesta. Waktu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya.

Perkembangan Kehidupan

Sekarang ini banyak orang terobsesi dengan perkembangan. Karir harus berkembang. Nilai harus berkembang. Perusahaan harus berkembang dan sebagainya.

Perkembangan mengandaikan perubahan dan perubahan mengandaikan apa yang tadinya hanya kemungkinan bisa menjadi fakta. Artinya untuk berkembang kita harus siap untuk berubah. Kalau kita tidak berubah, maka perkembangan tidak akan pernah terjadi. Banyak orang mau berkembang dalam hidupnya, tetapi mereka tidak bersedia berubah, yakni mengubah cara hidup, cara berpikir, cara merasa, dan mengubah nilai-nilainya.

Dalam hal manajamen bisnis, Rhenald Kasali mengajak kita untuk siap untuk berubah, mulai dari mengubah gaya manajemen, produk yang kita pakai, sampai cara berpikir kita tentang bisnis sebagai sebuah aktivitas sosial. Obama terkenal dengan semboyannya, Change dan Yes We can! Dia menawarkan perubahan. Perubahan adalah cita-cita setiap orang, namun tidak setiap orang mau membuatnya sungguh menjadi nyata.

Memang perubahan itu menyakitkan. Perubahan membuat kita masuk ke dalam ketidakpastian. Nilai-nilai dan pandangan yang kita anut sebelumnya tergoncang. Kita pun jadi gelisah.

Namun perubahan seringkali tidak bisa dihindari. Menolak perubahan pada akhirnya akan merugikan kita sendiri. Satu-satunya cara adalah bersikap terbuka dan berbesar hati menghadapi perubahan. Ingatlah bahwa hidup itu sendiri adalah perubahan. Hidup berubah dan kita ikut berubah di dalamnya. Menolak perubahan berarti menolak hidup itu sendiri. Apakah anda siap untuk menolak kehidupan?***

Populerisme Politik dan Harapan Bangsa

Populerisme Politik

dan Harapan Bangsa

Reza A.A Wattimena

Berdasarkan perhitungan suara Pemilu legislatif 2009 lalu, setidaknya ada 15 pesohor yang hampir dipastikan menjadi anggota DPR. Mereka adalah Eko Patrio, Primus Yustisio, Rieke Diah Pitaloka, dan beberapa artis lainnya. (Kompas, 24 Mei 2009).. Wajah mereka sering muncul di televisi untuk menghibur kita, dan kini mereka merasa mampu untuk menjadi wakil guna menyampaikan kepentingan dan suara rakyat.

Peluang mereka semakin besar, terutama ketika Pemilu Legislatif 2009 lalu menggunakan sistem perolehan suara terbanyak. Apalagi semua orang tahu, bahwa untuk mencalonkan diri, orang membutuhkan modal yang besar, terutama untuk memperkenalkan dirinya secara menarik kepada rakyat banyak. Para artis tersebut memiliki keuntungan ganda. Di satu sisi mereka sudah banyak dikenal, dan disisi lain mereka memiliki banyak modal finansial untuk menunjang penampilan mereka.

Di tengah situasi politik yang mengandalkan uang serta pencitraan, tak heran para pesohor tersebut lancar menuju Senayan. Partai-partai politik pun jeli melihat peluang ini, dan menjadikan mereka salah satu caleg, tak peduli visi ataupun keberpihakan politik mereka. Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Gerindra, menyatakan, “Kami menerima saja karena mereka figur populer dan potensial sebagai vote getter”. (Kompas, 24 Mei, 2009)

Populerisme Politik

Di dalam bukunya Melakukan Perubahan dan Manajemen Negara (2009), Rhenald Kasali menempatkan populerisme sebagai salah satu budaya yang menghambat perkembangan bangsa. Latar belakang populerisme sendiri adalah prinsip persaingan pasar, yang sangat menekankan penerimaan pasar terhadap produk tertentu. Dalam konteks politik produk itu adalah para calon legislatif ataupun capres yang mengajukan diri mereka. Jadi politik disamakan begitu saja dengan pasar produk-produk ekonomi, tidak peduli apakah asumsi tersebut tepat atau tidak.

Pada situasi ‘pasar politik’ yang kompetitif, konsumen/rakyat hanya akan memilih mereka yang mudah diingat, menonjol, dan memiliki posisi yang kuat di dalam pemikiran rakyat. Di dalam praktek manajemen pemasaran, taktik ini dikenal juga sebagai strategi positioning. (Kasali, 2009) Untuk mencapai tujuan itu, pihak-pihak yang berkompetisi memanfaatkan pop culture, yakni cara menghibur dengan menggunakan penghibur yang mudah dimengerti dan murah. Di dalam politik populerisme menjadi sangat penting, karena rakyat, yang disamakan dengan konsumen pasar, menghendaki sesuatu yang populer, dan sesuatu yang populer dianggap sebagai sesuatu yang bersahabat.

Dua Akibat

Kasali juga menegaskan bahwa populerisme bisa menjadi sangat negatif, karena menghasilkan dua akibat. Yang pertama muncul massa orang banyak yang berpendapat, bahwa segala sesuatu yang populer pasti bermutu dan berkualitas. Segala sesuatu yang populer lebih baik untuk dipilih, karena menyenangkan. Tidak heran banyak artis yang lancar menuju ke Senayan sebagai anggota DPR, lepas dari mereka dianggap sungguh memiliki kualitas wakil rakyat yang baik atau tidak.

Yang kedua adalah munculnya massa orang banyak yang berpendapat, bahwa segala sesuatu atau siapa saja yang populer pasti tidak berkualitas, karena mereka dangkal, kepalanya kosong, dan bahkan seringkali menipu. Gejala terakhir ini banyak muncul di kalangan akademisi. Di tengah iklim akademik yang kental dengan logika ilmiah, mereka berpendapat bahwa para artis yang menggunakan populerisme politik tersebut (pasti) manipulatif. (Kasali, 2009)

Harapan Kita

Di tengah kerumitan, kekacauan, dan kedangkalan gejala di atas patutlah kita bertanya, masihkah kita bisa berharap pada para wakil rakyat kita di DPR? Apakah mereka yang sehari-hari menghibur kita dengan gelak tawa, tangis, dan kekaguman di televisi ataupun bioskop itu mampu menjadi wakil rakyat yang punya integritas, jujur, kreatif, sekaligus memiliki konsep politik yang kuat?

Satu hal yang pasti, bahwa tidak ada gunanya kita bersikap sinis. Bagaimanapun mereka adalah wakil rakyat yang terpilih. Sampai ada keputusan hukum yang jelas tentang problematika Pemilu legislatif kemarin, merekalah satu-satunya pilihan kita Senayan. Kita tidak bisa menentang atau menjadi anarkis, tetapi mungkin bisa memberikan warna yang positif.

Kontrol publik perlu terus dilakukan terhadap semua keputusan legislatif. Dan jika terbukti bahwa mereka tidak mampu, kita bisa menggoyangnya terus dengan membuat kritik tajam di dalam ruang publik, dan tidak memilihnya di Pemilu kemudian hari. Namun sekarang ini setidaknya berilah mereka kesempatan. Mungkin seperti kita ingin memberikan warga bagi kehidupan politik bangsa, begitu pula mereka bisa memberikan warna bagi para wakil kita di DPR.***

Demokrasi dalam Tegangan

Demokrasi dalam Tegangan

Reza A.A Wattimena

Beberapa waktu lalu berlangsung sebuah diskusi politik bertemakan politik bangsa di Surabaya. Kesan singkat ketika mengikuti diskusi itu adalah aura pesimisme yang ada di masyarakat mengenai kondisi politik Indonesia sekarang ini. Dari hari ke hari, mereka menonton televisi, mendengar berita, dan mengikuti diskusi. Satu kesimpulan mereka bahwa politik Indonesia kacau.

Partai politik setiap hari berubah pendapat. Hari ini A keesokannya B. Capres dan cawapres pergi ke daerah-daerah untuk berkampanye dan memberikan janji. Namun banyak rakyat sudah tidak lagi percaya pada mereka. Belum lagi hasil Pemilu legislatif yang masih penuh dengan masalah kemarin. Pesimisme politik tercium harum di udara republik kita.

Apakah kita berhak untuk pesimis menanggapi kehidupan politik kita? Apakah tidak ada sudut pandang yang lain?

Pesimisme Politik

Pesimisme berakar pada hilangnya kepercayaan dan sulitnya tantangan. Kepercayaan itu lenyap karena pengalaman pengkhianatan, sesuatu yang sudah begitu familiar bagi masyarakat Indonesia. Sejarah kita penuh dengan pengkhianatan. Mulai dari politik Belanda yang berpura-pura berdagang lalu menjajah, sampai dengan janji-janji reformasi yang berbuih indah namun miskin penerapan nyata.

Pesimisme juga berakar pada besarnya tantangan yang dihadapi, terutama pada era reformasi sekarang ini. Birokasi pemerintahan yang berbelit membuat masyarakat tercekik. Perilaku para politikus yang kian hari kian menimbulkan pertanyaan terhadap kredibilitas dan reliabilitas mereka. Dengan situasi seperti itu, cita-cita masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan hukum kian jauh dari genggaman.

Dalam situasi itu masyarakat kita punya hak sepenuhnya untuk merasa pesimis. Beberapa kalangan sudah tidak lagi peduli dengan kehidupan bersama kita. Yang ada di pikiran mereka hanyalah mencari uang sekedar untuk selamat dari hari ke hari, atau untuk menumpuk kekayaan lebih dan lebih lagi, supaya suatu saat bisa pergi dan menetap di luar negeri. Di tengah iklim pesimisme politik yang begitu mencekik, perilaku pengejaran harta, sebagai pengalihan dari sulitnya membentuk kehidupan bersama yang bermutu, itu tampaknya bisa dimaklumi.

Anarki dan Demokrasi

Dilihat dengan kaca mata tertentu, kondisi politik kita memang bagaikan anarki. Akan tetapi keadaan sebenarnya tidak selalu seperti itu. Politik yang tampak anarkis tersebut sebenarnya punya nilai positif yang cukup besar, yakni terjadinya perimbangan kekuatan antara berbagai kelompok dominan yang ada. Bagaikan kandang binatang politik kita bagaikan pertarungan antara harimau, singa, dan serigala yang berlangsung terus menerus.

Dulu hanya ada satu yang berkuasa, entah serigala, entah harimau, atau singa. Salah satu dari mereka menjadi penguasa tunggal. Yang lain tunduk pada yang paling kuat. Mekanisme militer dan pendidikan ditujukan untuk membenarkan kekuasaan yang tunggal itu.

Namun sekarang tidak ada lagi kekuasaan tunggal, karena kekuasaan-kekuasaan yang dominan saling bertarung satu sama lain. Mereka saling mengimbangi. Tidak ada lagi Kekuasaan. Yang ada adalah kekuasaan-kekuasaan.

Ada tiga bentuk kekuasaan yang kiranya sedang bertarung satu sama lain, yakni gerakan fanatisme agama yang ingin mendirikan negara teokrasi, gerakan neoliberalisme yang ingin membebaskan pasar dari cengkraman pengaturan pemerintah dan kontrol publik, serta gerakan-gerakan sosialisme baru gaya Amerika Selatan yang ingin menciptakan ekonomi pasar sosial. Tentu saja ketiga bentuk kekuasaan itu tidak simetris. Namun tegangan di antara ketiganyalah yang membuat demokrasi itu menjadi mungkin.

Demokrasi dalam Tegangan

Teori-teori demokrasi berpijak pada pengandaian, bahwa terjadi perimbangan kekuasaan. Itulah setidaknya yang dirumuskan Montesquieu dengan Trias Politica-nya. Di dalam teori itu, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dipisahkan, supaya terjadi kontrol dan perimbangan kekuatan di antara ketiganya. Di Indonesia perimbangan kekuatan tidak hanya terjadi di level eksekutif, yudikatif, dan legislatif saja, tetap juga pada kekuatan paradigma yang dominan menguasai masyarakat. Tidak berlebihan jika dikatakan, inti dari demokrasi adalah perimbangan kekuasaan. Dalam arti ini demokrasi selalu berada dalam tegangan.

Dilihat sekilas kondisi tegangan itu memang tampak seperti kekacauan, sehingga menciptakan pesimisme di masyarakat kita. Namun jika dilihat lebih jernih, kekacauan itu sebenarnya adalah hasil pertarungan dan kontrol otomatis dari kekuasaan-kekuasaan yang dominan di republik kita. Untuk sekarang setidaknya kita sementara sudah terlepas dari kekuasaan totalitarisme gaya Orde Baru.

Perimbangan kekuasaan yang tampak seperti anarkis itu masih bisa disebut normal, ketika tidak tergelincir menjadi anarki yang secara langsung melanggar HAM, terutama hak untuk hidup, dan hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Mungkin ada baiknya kita sedikit optimis menghadapi gejolak politik di negara kita, karena itu merupakan langkah awal dari perjuangan demokrasi menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, yang memang masih sangat muda. Namun setidaknya kita sudah berada di jalur yang tepat.***

Konspirasi, Antasari, dan Asas Praduga tak Bersalah


Konspirasi, Antasari,

dan Asas Praduga Tak Bersalah

Reza A.A Wattimena

Sekarang ini banyak orang berpendapat, bahwa kasus mengagetkan terkait Antasari Azhar adalah sebentuk konspirasi politik. Konspirasi tersebut didasarkan pada niat untuk menjatuhkan wibawa KPK di mata publik. Ada sekelompok orang yang selama ini dirugikan oleh KPK berniat membalas dendam. Mereka kemudian menjadikan Antasari Azhar sebagai kambing hitam.

Apakah kecurigaan banyak orang ini mempunyai basis empiris? Kecurigaan ini didasarkan pada teori konspirasi. Teori itu sendiri berbunyi begini; semua peristiwa sosial yang terjadi merupakan hasil dari kerja sama rahasia yang dilakukan oleh sekelompok orang ‘kuat’. Kelompok orang kuat tersebut biasaya memiliki kekuasaan di bidang ekonomi maupun politik. Seringkali teori ini tidak memiliki data-data empiris, dan lebih merupakan penarikan kesimpulan kasar dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Teori Konspirasi

Konspirasi berasal dari bahasa Inggris to conspire, yang berarti bergabung di dalam kesepakatan rahasia untuk melakukan tindakan melanggar hukum demi mencapai suatu tujuan politis tertentu. Biasanya tindak konspiratif tersebut terhubung dengan konspirasi-konspirasi lainnya, dan pada akhirnya membentuk suatu ‘konspirasi agung’, atau Grand Conspiracies. Artinya suatu tindak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sekelompok orang kuat terhubung dengan tindak pelanggaran hukum lainnya yang lebih besar skala maupun intensitasnya. Tidak heran teori ini sering digunakan oleh Hollywood sebagai narasi cerita yang mencengangkan.

Teori konspirasi memang terkesan sebagai konsep yang ilmiah. Akan tetapi ini tidak sepenuhnya benar. Kata ‘teori’ di dalam teori konspirasi lebih digunakan secara informal, yakni sebagai hipotesis ataupun spekulasi. Jadi kata tersebut kurang bernuansa empiris. Padahal metode ilmiah mengharuskan adanya basis empiris bagi setiap klaim yang ada di dalamnya. Keluar dari rimba ilmu pengetahuan, konsep teori konspirasi pun berkembang di dalam ranah populer masyarakat. Di ranah populer tersebut gosip, prasangka, maupun pengaruh budaya massa tidak dapat dihindari mencemari arti dan penggunaan konsep tersebut.

Fiksi

Banyak akademisi sudah melakukan kritik tajam terhadap teori konspirasi. Kritik paling tajam mengatakan, bahwa konspirasi adalah sebuah fiksi. Teori konspirasi tidak memiliki fondasi kebenaran yang kuat untuk mendukungnya. Ada beberapa argumen yang relevan.

Yang pertama teori konspirasi seringkali mengabaikan penjelasan lain yang lebih masuk akal. Teori konspirasi menumbuhkan sensasi bagi orang yang merumuskan maupun mendengarnya, dan mengabaikan penjelasan lain yang lebih mengandung kebenaran. Dengan kata lain teori konspirasi lebih mengabdi pada penciptaan sensasi untuk kenikmatan sementara daripada kepada kebenaran faktual. Dalam hal ini kebenaran dikorbankan demi meraih kenikmatan sesaat yang tentunya menghasilkan korban pada akhirnya.

Yang kedua teori konspirasi seringkali menyalahi aturan logika. Teori konspirasi menarik kesimpulan universal dari premis-premis yang bersifat partikular. Hal ini tentunya menyalahi aturan silogisme, bahkan dalam bentuknya yang paling sederhana. Salah satu hukum logika adalah, bahwa kesimpulan universal hanya bisa ditarik, jika salah satu premis yang membentuk kesimpulan tersebut juga bersifat universal. Sekali lagi kelurusan logika dikorbankan demi sensasi kenikmatan sementara.

Yang ketiga teori konspirasi tidak dapat dibuktikan salah benarnya. Dengan kata lain teori konspirasi tidak dapat difalsifikasi. Karl Popper berulang kali mengatakan, bahwa suatu teori ilmiah haruslah dapat dibuktikan salah benarnya. Jika tidak maka teori tersebut lebih merupakan ideologi, ataupun kesadaran palsu. Dalam hal ini teori konspirasi tidak dapat difalsifikasi, maka lebih cocok dianggap sebagai kesadaran palsu daripada sebagai kebenaran.

Asas Praduga tak Bersalah

Dalam kasus Antasari Azhar, teori konspirasi jelas menunjukkan taringnya. Masyarakat curiga akan adanya konspirasi di belakang kontroversi seputarnya. Namun sekali lagi teori konspirasi lebih merupakan suatu cerita menarik daripada kebenaran faktual.

Di sisi lain kontroversi seputar Antasari Azhar diberitakan secara berlebihan, sehingga vonis bersalah sudah dijatuhkan jauh sebelum pengadilan atasnya terlaksana. Salah satu asas yang menjadi fondasi hukum adalah asas praduga tak bersalah. Asas ini mau menyatakan, bahwa seseorang dinyatakan tidak bersalah sampai pengadilan hukum yang sah menyatakannya bersalah. Asas ini mau melindungi setiap orang dari prasangka maupun tuduhan tanpa dasar. Dengan demikian asas ini mau menjamin terciptanya keadilan di dalam hukum, bahkan bagi orang yang sudah divonis bersalah oleh masyarakat luas.

Sudah terlalu sering masyakat kita menjadi hakim atas kejahatan seseorang yang belum terbuktikan di hadapan hukum yang sah. Dan sudah terlalu sering teori konspirasi menodai fakta-fakta yang ada, sehingga menciptakan kultur ketakutan dan ketidakpercayaan di dalam masyarakat. Dan sekarang sudah waktunya masyarakat sadar, bahwa mereka tidak berhak menjadi hakim liar, dan bahwa mereka tidak boleh mengorbankan kebenaran dan keadilan demi memperoleh kenikmatan sensasional sesaat.***

Idealisme sebagai Warisan Utama

Visi dan Idealisme sebagai

“Warisan” Utama Organisasi

Reza A.A Wattimena


Masalah utama banyak organisasi sekarang ini adalah regenerasi. Pemimpin yang hebat dan visioner pensiun. Namun belum ada orang yang layak untuk menggantikannya. Akibatnya organisasi menurun kinerjanya, dan dalam konteks perusahaan-perusahaan bisnis, organisasi itu bankrut.

Bisnis

Siapa yang tak mengenal Jakob Oetama, mantan CEO (Chief Executive Officer) Kompas Gramedia? Dia dikenal sebagai pemimpin yang visioner, humanis, dan karismatis. Selama bertahun-tahun ia memimpin Kompas Gramedia. Hasilnya perusahaan tersebut kini menjadi salah satu kelompok konglomerasi terbesar di Indonesia.

Waktu berlalu dan kini saatnya untuk pergantian generasi. Pemimpin baru naik sementara pemimpin lama pensiun. Jakob Oetama pun pensiun, dan menyerahkan kepemimpinannya kepada generasi baru. Ia kini merasa cukup menjadi penasihat saja. Akan tetapi mampukah sang pemimpin baru menggantikan sosok visioner, humanis, dan karismatis yang sebelumnya dipegang oleh Jakob Oetama?

Pertanyaan ini menjadi pertanyaan inti banyak perusahaan besar yang mengalami pergantian generasi, baik di dalam maupun di luar negeri. Kecenderungan yang banyak terjadi adalah, perusahaan kehilangan sosok kepemimpinan, kinerja menurun, dan akhirnya mengalami kerugian besar jika tidak malah bangkrut. Apa yang terjadi? Jawabannya jelas yakni tidak adanya regenerasi kepemimpinan.

Politik

Dalam bidang politik kejadiannya tidak terlalu berbeda. Siapa orang di Indonesia yang tidak mengetahui sosok revolusioner, karismatis, dan visioner seperti Bung Karno? Lepas dari begitu banyak kekurangan yang ia miliki, Sukarno menyediakan sesuatu yang sangat dibutuhkan pada awal berdirinya bangsa ini, yakni kepemimpinan yang mantap dan visioner. Dia pun kini dikenal sebagai bapak proklamator.

Pertanyaannya tetap sama siapakah yang kini bisa menggantikan Bung Karno dengan memberikan kepemimpinan yang tepat bagi Indonesia? Jawabannya jelas yakni tidak ada, termasuk anaknya yang sekarang ini mencalonkan diri menjadi presiden, yakni Megawati Soekarno Putri. Krisis kepemimpinan semakin terasa di bidang politik, ketika pemilu presiden akan atau sedang berlangsung di Indonesia. Bangsa kita memiliki banyak pejabat, tetapi sedikit yang layak disebut sebagai pemimpin.

Gereja

Mungkin dalam hal ini, kita bisa belajar dari Gereja Katolik Roma yang memang terkenal dengan kemampuannya yang hebat dalam bidang organisasi. Selama hampir 2000 tahun, Gereja Katolik Roma mempertahankan hirarki mereka. Tentu saja sejarah menunjukkan banyaknya kekurangan hirarki ini. Akan tetapi kekurangan yang ada tidak mampu menutup keunggulan yang mereka miliki. Konon struktur organisasi militer modern banyak diinspirasikan dari struktur Gereja Katolik Roma ini.

Ada satu hal yang menurut saya penting di dalam proses regenerasi kepemimpinan maupun organisaasi Gereja Katolik Roma, yakni kuatnya pendidikan spiritualitas, dan bagaimana spiritualitas tersebut dihadapkan langsung pada tantangan jaman, serta kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya untuk juga menghadapi tantangan jamannya nanti. Jadi yang diwariskan bukan hanya struktur dan birokrasi organisasi, tetapi juga visi, semangat, dan idealisme Gereja Katolik Roma yang dijalankan secara konsisten dan sistematis.

Mewariskan Visi dan Idealisme

Itulah yang bisa kita pelajari dari ‘kehebatan’ struktur dan organisasi Gereja Katolik Roma, yakni regenerasi dengan berdasarkan visi, semangat, spiritualitas, dan idealisme! Yang perlu diajarkan kepada generasi berikutnya bukan hanya model struktur organisasi, cara menata uang, atau klien perusahaan dalam bidang bisnis semata, tetapi juga semangat dan idealisme yang pada awal mulanya mendasari seluruh kegiatan organisasi yang ada. Maka jika anda ingin membangun sebuah organisasi, baik di bidang bisnis maupun di bidang lainnya, anda harus memantapkan visi dan misi perusahaan, idealisme, semangat, dan bahkan spiritualitas yang mendasari organisasi anda! Tanpa itu semua organisasi akan hancur seraya dengan bergantinya kepemimpinan.

Hal yang sama berlaku dalam bidang politik, ekonomi, maupun pendidikan. Generasi berikutnya haruslah diajarkan dan dibiasakan hidup dalam iklim semangat dan spiritualitas yang mantap. Maka pendidikan juga bukan hanya soal mentransfer kemampuan teknis semata, tetapi juga menularkan semangat dan kecintaan pada ilmu pengetahuan, kebenaran, dan kemanusiaan itu sendiri. Ingatlah bahwa elemen terpenting dari warisan utama kita kepada generasi berikutnya bukanlah uang maupun harta benda, tetapi semangat, visi yang jelas, dan idealisme. Itulah nilai-nilai yang membuat kehidupan bersama kita menjadi bermakna!***

Sekolah Gratis dan Wajah Pendidikan Kita

Sekolah Gratis dan Wajah Pendidikan Kita

Reza A.A Wattimena

Belakangan ini banyak muncul iklan tentang sekolah gratis di televisi. Sepercik harapan akan perbaikan kualitas manusia Indonesia pun hadir. Namun harapan tersebut tampaknya dibarengi dengan skeptisisme. Pertanyaan sederhana pun muncul, apakah kehadiran sekolah gratis ini akan mengubah wajah pendidikan kita?

Dampak Sekolah Gratis

Tak bisa dibantah lagi, bahwa sekolah gratis adalah prestasi membanggakan bangsa ini. Sudah waktunya pemerintah mulai memberi perhatian besar pada kualitas pendidikan generasi mendatang bangsa Indonesia. Perhatian tersebut kini tidak lagi sebatas retorika, melainkan sudah menjelma menjadi aksi nyata. Kini semakin banyak orang mendapatkan akses pendidikan yang berpotensi besar untuk mengubah hidup mereka ke arah yang lebih baik.

Seperti yang diungkapkan iklan di televisi, sekarang anak bisa menjadi pilot, walaupun orang tuanya supir mikrolet. Stratifikasi sosial dibuat menjadi terbuka. Latar belakang keluarga kini tidak lagi menjadi halangan bagi orang untuk bisa berkembang. Buta huruf bisa disingkirkan. Bangsa pun bisa menjadi semakin beradab.

Namun masalah sesungguhnya terletak bukan hanya pada biaya pendidikan yang selama ini mahal, tetap juga pada paradigma pendidikan yang digunakan. Paradigma sendiri adalah cara pandang terhadap manusia, dunia sosial, dan dunia alamiah yang menentukan cara berpikir seseorang. Dalam bidang pendidikan paradigma menentukan semua aktivitas ajar mengajar yang terjadi di kelas, maupun di luar kelas.

Paradigma Pendidikan

Bagaimana guru memandang muridnya? Bagaimana murid memandang gurunya? Apa peran orang tua di dalam proses pendidikan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu menentukan seluruh aktivitas ajar mengajar.

Jika murid dipandang sebagai kertas putih yang tidak tahu apa-apa, maka kegiatan mengajar akan memakai pola satu arah saja, yakni guru menyuapi informasi pada murid. Jika guru dipandang sebagai ‘dewa’ yang tidak bisa salah, maka murid tidak boleh bertanya, apalagi berdebat. Jika orang tua menganggap pendidikan itu urusan sekolah, maka mereka tidak peduli dengan kualitas pendidikan anak-anaknya, kecuali dalam hal biaya.

Tentu saja pandangan diatas tidak tepat. Namun ironisnya banyak orang masih menganut asumsi semacam itu. Entah sadar atau tidak, banyak aktivitas pendidikan di negara ini masih menggunakan paradigma yang sudah tidak tepat. Ketika diajak untuk berubah mereka hanya menjawab, “itu kan sudah tradisi.”

Kesalahan Naturalistik

Jadi tradisi digunakan untuk membenarkan praktek pendidikan yang sudah tidak tepat. Tak peduli praktek itu salah atau tidak, selama banyak orang sudah melakukannya dalam waktu lama, maka praktek itu otomatis benar. Kira-kira cara berpikir inilah yang banyak digunakan masyarakat kita. Mulai dari orang yang mengaku terpelajar sampai orang yang tidak pernah mencicipi bangku sekolah, semuanya menganut cara pandang ini.

Di dalam pendekatan metode saintifik, cara berpikir itu disebut sebagai kesalahan naturalistik. Artinya orang membenarkan begitu saja apa yang sudah dilakukan bersama-sama dalam jangka waktu yang dianggap lama. Disini terjadi percampuran antara apa yang terjadi dan apa yang seharusnya, atau apa yang deskriptif dan apa yang normatif. Cara berpikir ini sesat, namun ironisnya, banyak orang secara sadar maupun tidak menggunakannya.

Walaupun rakyat mendapatkan pendidikan gratis, selama paradigma pendidikan yang digunakan masih paradigma pendidikan yang sudah tidak tepat, maka prestasi menciptakan sekolah gratis menjadi sia-sia. Ini seperti memberikan BBM gratis pada semua orang, namun BBM yang diberikan tidak sesuai dengan kriteria mesin, sehingga pada akhirnya justru merusak.

Selama cara berpikir kita tentang status guru, murid, dan peran orang tua dalam pendidikan belum berubah, selama itu pula dunia pendidikan kita terpuruk. Akibatnya generasi masa depan bangsa ini menjadi generasi yang tidak kompetitif, korup, dan alergi pada perubahan. Wajah pendidikan kita pun tidak berubah.

Paradigma pendidikan baru

Para praktisi pendidikan masyarakat secara keseluruhan perlu untuk meninjau ulang paradigma pendidikan yang mereka gunakan. Jika belum tepat dan tidak sesuai dengan perkembangan jaman, maka paradigma itu haruslah diubah. Dalam hal ini guru adalah manusia biasa yang bisa salah, bisa dipertanyakan, dan justru harus diminta pertanggungjawaban atas semua pernyataannya. Dan juga dalam hal ini, murid adalah partner dialog di dalam proses pendidikan, dan bukan sekedar kertas putih yang miskin pemikiran.

Sekolah gratis menjadi sia-sia, jika paradigma yang digunakan di dalam pendidikan masih menggunakan paradigma lama. Inilah yang harus menjadi perhatian kita bersama.***

Bangsa Paranoid dan Reaksioner

Hentikan Sikap Paranoid dan Reaksioner!

Reza A.A Wattimena

Flu babi diduga akan menjadi pandemi. Banyak orang di banyak tempat mengalami kemungkinan terjangkit. Tentu saja kita harus berhati-hati. Akan tetapi perlukah kita menjadi paranoid?

Sikap paranoid adalah ketakutan berlebihan akan apa yang akan terjadi. Sikap tersebut diwarnai kecemasan mendalam atas ketidakpastian realitas. Sikap hati-hati memang diperlukan. Namun sikap paranoid sebaiknya harus dijauhi, karena sikap tersebut kontraproduktif, dan justru akan menyebabkan panik massa pada akhirnya.

Bangsa yang Paranoid

Rupanya sikap paranoid bangsa kita bukanlah hal baru. Bisa dibilang identitas kita sebagai bangsa dibentuk melalui kecemasan dan sikap paranoid akan masa depan. Oleh karena itu kesan dipaksakan sebagai ‘bangsa dan negara’ sulit untuk dilepaskan. Apa yang disebut sebagai Indonesia tampaknya memang dibentuk di atas dasar paranoia.

Karakter paranoid tersebut dapat dengan mudah ditemukan di peristiwa-peristiwa historis yang kita alami bersama. Masih basah di ingatan bangsa kita, ketika krisis moneter menghantam pada 1997. Ketika itu ketakutan, kecemasan, dan paranoia muncul di semua tempat. Keputusan untuk bekerja sama dengan IMF pada waktu itu juga lahir dari negativitas semacam itu. Tak heran hasilnya buruk.

Alih-alih memperbaiki ekonomi bangsa, kerja sama tersebut justru membuat bangsa ini terpuruk ke dalam jalinan hutang. Roda deregulasi dan privatisasi seolah tidak bisa dihentikkan. Pemerintah dan rakyat kehilangan kekuatan untuk mengatur sumber dayanya sendiri. Itulah konsekuensi dari keputusan yang dibuat atas dasar paranoia.

Masih segar juga diingatan, ketika dunia dihebohkan oleh karikatur bernada religius, yang dianggap menghina umat Islam di seluruh dunia. Tentu saja bangsa kita tidak kalah heboh. Kelompok-kelompok religius menyatakan macam-macam hal, yang sebenarnya tidak perlu. Buah dari paranoia adalah sikap reaksioner. Sikap reaksioner adalah sikap membuat keputusan dan bertindak tidak dengan pertimbangan yang matang, tetapi dengan emosi.

Sudah waktunya kita perlu sadar akan dua karakter negatif bangsa ini, yakni paranoid dan reaksioner. Pengetahuan itu memungkinkan kita menjaga jarak dari keduanya. Dengan bersikap rasional bangsa ini akan lebih bisa membuat keputusan dan bertindak dengan matang. Kematangan itulah yang belakangan ini jarang terlihat di ruang publik kita.

Ciri paranoid itu tampak juga di dalam tingkah laku para petinggi partai politik belakangan ini. Karena rasa takut tidak kebagian kue kekuasaan, mereka tunggang langgang mencari teman untuk menyelamatkan diri. Kemunafikan, perbedaan visi, dan filsafat politik tidak dijembatani oleh argumen yang masuk akal, tetapi oleh dorongan paranoid dan sikap reaksioner partai yang belebihan. Tak heran juga manuver partai politik kita terkesan buru-buru serta jauh dari pertimbangan yang rasional dan matang.

Paranoia dan Massa

Di dalam berbagai tulisannya Budi Hardiman terus menekankan bahayanya politik massa. Politik massa tidak didorong oleh cita-cita untuk mewujudkan tatanan bersama, tetapi oleh hasrat untuk berkuasa, menghancurkan, dan harsrat untuk dikuasai. Sikap paranoia dan reaksioner berjalan berdampingan dengan politik massa. Keduanya muncul berbarengan dan tidak bisa dipisahkan begitu saja.

Dalam arti ini tidak ada yang disebut sebagai “bangsa” Indonesia. Yang ada adalah “massa” Indonesia. Mengapa? Karena warganya tidak dibentuk di dalam kesadaran nasionalisme dan demokrasi yang kuat, melainkan dalam ketakutan, kecemasan, serta kerinduan untuk terus dikuasai. Tidak ada warga negara. Yang ada adalah sekumpulan massa. Dan cocok dengan ciri dari keputusan yang dibuat atas dasar paranoia, warga negara kita cenderung terburu-buru dan tidak rasional di dalam melihat masalah dan membuat keputusan.

Bangsa semacam ini mudah sekali dipecah belah. Sedikit percikan api akan langsung menyulut konflik horisontal yang tak terkendali. Sewaktu masa kolonialisme pemerintah Belanda dengan cerdas memanfaatkan sifat paranoid dan reaksioner bangsa ini dengan politik adu domba mereka. Tak heran pula bangsa sebesar kita tunduk tak berdaya selama 350 tahun di bawah negara Belanda yang begitu kecil dalam ukuran ruang dan jumlah penduduk.

Hentikan sikap paranoid dan reaksioner

Sudah waktunya kita belajar dari sejarah dan dari kesalahan di masa lalu. Mulai sekarang bangsa Indonesia perlu untuk lebih tenang dan rasional menyingkapi semua persoalan yang ada, mulai dari Pemilu, flu babi, sampai krisis finansial yang mungkin saja menghantam. Sikap tenang, dingin, dan rasional dalam menghadapi segala sesuatu adalah keutamaan politik yang tidak boleh dilupakan. Keutamaan politik tersebut harus menjadi bagian dari identitas bangsa, sehingga kita sungguh menjadi ‘Bangsa’, dan bukan lagi ‘massa’.***

Feodalisme sebagai Musuh Demokrasi

Feodalisme sebagai Musuh Demokrasi

Reza A.A Wattimena

Kompas, 30 April 2009

Masyarakat Indonesia masih hidup di dalam iklim feodalisme yang kuat. Memang ada pernyataan tegas, bahwa setiap warga negara setara di hadapan hukum. Akan tetapi pernyataan tersebut rupanya tidak menjadi realitas. Banyak orang dianggap tidak setara dengan orang-orang lainnya.

Orang kaya dan penguasa masih mendapatkan fasilitas lebih. Sementara orang miskin dan lemah tidak mendapat fasilitas apapun. Untuk hidup normal saja, mereka masih kesulitan. Mereka dianggap sebagai warga negara yang lebih rendah.

Kultur Feodalisme

Kultur feodalisme itulah yang menjadi salah satu penyebab kita tidak bisa melakukan pemilu secara efektif dan efisien. Banyak caleg menggunakan gelar kulturalnya, seperti raden mas dan sebagainya, untuk menarik pemilih. Ketika gagal dalam pemilu, mereka lalu merasa terhina. Perasaan terhina itu muncul, karena mereka menganggap diri mereka ‘berdarah biru,’ alias keluarga keraton. Mereka menganggap diri lebih tinggi statusnya daripada warga negara lainnya.

Coba perhatikan pertemuan-pertemuan umum. Dari ucapan salam saja, seperti selamat siang bapak pejabat A, pejabat B, dan kemudian turun sampai di strata yang paling rendah, kita sudah bisa mencium bau kultur feodalisme. Coba perhatikan juga ketika para pejabat melewati jalan raya. Mereka merasa diri sebagai raja, yakni sebagai orang yang memiliki status lebih tinggi dari orang-orang lainnya.

Sekali lagi slogan kesetaraan di hadapan hukum tampaknya hanya menjadi impian di Indonesia. Faktanya banyak orang masih berpikir feodal, yakni menempatkan diri ataupun orang lain pada status yang lebih tinggi daripada status orang-orang pada umumnya.

Feodalisme Ekonomi

Hal yang sama berlaku dalam hal ekonomi. Semakin banyak uang yang dimiliki seseorang, semakin ia mendapatkan tempat istimewa yang lebih tinggi daripada orang-orang lainnya. Uang bisa membeli segalanya. Hak asasi manusia seseorang hanya bisa terpenuhi, jika ia memiliki daya beli yang tinggi.

Orang yang tidak punya uang, yakni tidak memiliki daya beli yang tinggi, dianggap tidak layak mendapatkan hak-hak dasar. Uang membuat orang mendapatkan keistimewaan daripada yang seharusnya ia peroleh. Feodalisme ekonomi dan feodalisme kultural juga menyuburkan korupsi. Jika orang tersebut punya gelar yang tinggi di mata masyarakat, maka masyarakat pada umumnya akan takut menuntut mereka dengan tuduhan korupsi.

Hal ini haruslah dihindari. Semua orang baik ia bangsawan, pengusaha, pejabat, professor, haruslah diadili dan dihukum, jika ia terbukti secara definitif melakukan korupsi.

Musuh Demokrasi

Demokrasi berdiri di atas asumsi, bahwa setiap warga negara setara di hadapan hukum. Semua bentuk feodalisme haruslah dihilangkan. Demokrasi juga berdiri di atas asumsi keterbukaan terhadap semua bentuk cara hidup, selama cara hidup tersebut tidak melanggar hukum yang telah sah di mata rakyat. Maka tidak ada cara hidup yang lebih tinggi daripada cara hidup lainnya.

Baik orang itu keturunan keraton, pemuka agama, pengusaha kaya, ataupun pejabat tinggi, semuanya memiliki kedudukan setara di mata hukum maupun di mata negara. Feodalisme dalam segala bentuknya haruslah dimusnahkan. Jika masyarakat Indonesia masih hidup dalam alam feodalisme, maka demokrasi tidak akan pernah terbentuk. Buah dari feodalisme adalah diskriminasi, intoleransi, penindasan, korupsi, dan pada akhirnya pemusnahan kelompok minoritas.

Pendidikan Anti Feodalisme

Senjata utama untuk menghancurkan feodalisme adalah pendidikan. Pendidikan itu tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga di dalam masyarakat maupun keluarga secara intensif. Pendidikan anti feodalisme dimulai dengan pernyataan, bahwa semua orang itu setara. Semua bentuk diskriminasi ataupun ketidaksetaraan adalah ciptaan manusia, yang pada akhirnya bisa merusak tatanan yang ada.

Semua orang setara tidak berarti orang boleh kurang ajar satu sama lain. Prinsip penghormatan dan kepercayaan juga perlu untuk diajarkan. Jadi siapapun orangnya baik di orang tua yang punya status tinggi ataupun orang miskin, semuanya haruslah diperlakukan dengan penghormatan dan kepercayaan yang sama. Tidak ada diskriminasi apapun.

Dengan pendidikan anti feodalisme yang memadai, maka demokrasi bisa tumbuh dengan subur, dan korupsi dalam segala bentuknya bisa dilenyapkan secara bertahap. Seorang bisa menjabat sebagai pemimpin dalam bidang apapun bukan karena keturunan orang hebat, punya uang, ataupun punya kedudukan sosial tinggi, tetapi karena ia mau dan mampu membela kepentingan yang mengacu pada kebaikan bersama. Setiap orang setara di hadapan hukum dan negara, karena setiap orang setara di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa.***

Hasrat Gelap Para Pemimpin Bangsa

Hasrat “Gelap” Para Pemimpin Bangsa

Reza A.A Wattimena

Sekarang ini Indonesia tengah menanti datangnya para pemimpin yang baru. Mereka adalah para calon wakil rakyat, presiden, dan wakil presidennya. Di tengah pesimisme pemilu legislatif kemarin, banyak orang mulai berpikir tentang kriteria calon presiden yang akan memimpin mereka. Tulisan ini bukanlah sebuah gambaran tentang pemimpin, melainkan sebuah peringatan tentang hasrat gelap yang bercokol di belakang status mulia seorang pimpinan.

Hasrat Manusia

Hasrat manusia adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dipahami. Bahkan menurut Simon Blackburn, manusia akrab sekaligus asing dengan hasrat yang ada di dalam dirinya. (Blackburn, 2004) Hasrat itu sendiri pada akarnya terkait dengan keinginan. Peradaban kita mengajarkan untuk meredam hasrat, karena hasrat dianggap sebagai sumber dari semua kejahatan.

Akibatnya banyak orang tidak mengenal hasratnya sendiri. Dan di dalam ketidaktahuan itu, hasrat gelap secara perlahan namun pasti menjajahnya. Yang juga perlu diingat adalah, bahwa tujuan tertinggi dari hasrat adalah kenikmatan. Apapun yang nikmat pasti melibatkan pemenuhan hasrat dibaliknya, seperti seks, kekuasaan, nikmatnya makanan, dan sebagainya.

Phytagoras seorang filsuf Yunani Kuno berpendapat, bahwa tindak pemenuhan hasrat adalah tindak yang melemahkan diri sendiri. Sebagai salah satu bentuk konkret dari hasrat, seks adalah tindakan yang nikmat, namun melelahkan. (Blackburn, 2004) Bahkan Hippokrates yang banyak juga dikenal sebagai bapak kedokteran berpendapat, bahwa hasrat seksualitas adalah tanda kegilaan. Pandangan ini terus bertahan sampai abad ke-19, dan hasilnya bisa kita lihat pada masa represi seksualitas pada era Victorian di Inggris.

Hasrat Kekuasaan

Seperti unsur hasrat lainnya, hasrat untuk menjadi penguasa adalah hasrat yang memberikan kenikmatan. Jika orang berhasil menjadi pemimpin, ia akan memperoleh kenikmatan yang besar. Para calon pemimpin bangsa perlu menyadari ini. Agama dan moral memang mengajarkan untuk mengekang hasrat. Akan tetapi mereka juga perlu mengenali hasrat yang berkecamuk di relung-relung jiwa manusia. Membenci tanpa mengenali sama naifnya dengan tidak mau tahu tentang musuh yang ganas.

Hasrat akan kekuasaan tersebut menjelma ke dalam hasrat akan kebenaran dan hasrat akan kepastian. Ketiga bentuk hasrat tersebut saling bertautan tanpa bisa terpisahkan. Klaim kebenaran yang saling berkonstestasi di dalam ruang publik disangkal dengan satu klaim kebenaran absolut yang bersifat dogmatis. Realitas kehidupan manusia yang kontingen direduksi ke dalam prinsip-prinsip yang rindu akan kepastian, yang pada akhirnya mengurung kompleksitas realitas itu sendiri.

Para pemimpin kita harus peka akan hal ini. Mereka harus bisa membedakan antara kebenaran yang sesungguhnya dan kebenaran yang dipaksakan; antara kepastian yang masuk akal dan kepastian yang ‘dipasti-pastikan’. Semuanya membutuhkan pengenalan, kesadaran, dan sikap awas diri terhadap hasrat gelap manusia.

Perlu Bersikap Reflektif

Thomas Hobbes pernah menulis, bahwa hasrat adalah dorongan aktif di dalam diri manusia yang jika dipenuhi justru akan memusnahkan dirinya sendiri. Ada semacam paradoks di dalam hasrat manusia, yakni semakin kita mengejar dan mendapatkannya, semakin itu pula kita tidak lagi menginginkannya. Dengan demikian hasrat itu sifatnya sangat sementara. Semakin kita memenuhinya semakin itu pula kita merasa hampa.

Hal yang sama berlaku untuk hasrat gelap kekuasaan. Semakin orang ingin berkuasa, semakin itu pula ia kehilangan makna dari kekuasaannya. Maka dari itu orang perlu mengenali dan bersikap reflektif terhadap hasrat yang bergejolak keras di dalam dirinya. Dan kepada para calon pimpinan masa depan bangsa, saya hanya ingin mengatakan, musuh terbesar bangsa ini bukanlah musuh dari luar, tetapi dari dalam, yakni dari hasrat gelap untuk meraih kekuasaan para pemimpinnya.***

Hubungan Indonesia, Komputer, dan Pemilu Kita

Indonesia, Komputer,

dan Kontradiksi Pemilu

Reza A.A Wattimena

Ada yang menarik dari pemilu kita sekarang ini, yakni kemampuannya untuk bisa dianalogikan dengan komputer. Seperti halnya dengan komputer, masyarakat Indonesia terdiri dari dua unsur, yakni sistem dan kultur. Sistem itu seperti perangkat keras (hardware). Dan kultur itu seperti perangkat lunak (software).

Keduanya diperlukan untuk beroperasi suatu mekanisme tertentu. Dalam hal komputer perangkat lunak dan perangkat keras diperlukan untuk bisa bekerja, mendengarkan lagu, berkomunikasi, atau tersambung ke internet. Dalam hal masyarakat keduanya berfungsi menjalankan roda rutinitas harian masyarakat. Jika keduanya terpisahkan maka akan timbul patologi dan bahkan krisis sosial.

Sistem dan Kultur Indonesia

Menurut Niklas Luhmann, salah satu teoritikus terbesar teori sistem, sistem memiliki karakter autopoiesis. Artinya sistem itu bersifat cukup diri. Ia tidak membutuhkan sesuatu apapun di luar dirinya. Dalam hal ini masyarakat juga bisa dipandang sebagai sistem, karena dalam banyak hal, masyarakat berfungsi secara otomatis dan otonom terlepas dari individu-individu yang membentuknya. Masyarakat adalah sistem.

Di sisi lain masyarakat tidak hanya terdiri dari sistem, melainkan juga kultur. Di dalam bukunya yang berjudul The Theory of Communicative Action jilid kedua, Juergen Habermas, seorang filsuf Jerman yang masih aktif sampai sekarang, menyamakan kultur dengan dunia kehidupan (lifeworld). Di dalam dunia kehidupan orang menemukan makna dan identitas. Self seseorang terbentuk melalui relasi terus menerus dengan dunia kehidupan yang ia miliki.

Indonesia juga terdiri dari dua dimensi itu, yakni sistem dan kultur. Sistem bisa dibayangkan sebagai sistem politik, sistem hukum, dan sistem ekonomi. Sementara kultur bisa dibayangkan sebagai budaya, seni, dan tradisi. Keduanya diperlukan untuk menjaga ‘ada’nya Indonesia. Keduanya terus ada dalam relasi yang saling mengisi sekaligus meniadakan. Bisa dikatakan bahwa keduanya saling membenci, tetapi saling membutuhkan.

Habermas juga menambahkan bahwa sistem dan kultur beroperasi dengan cara berpikir yang berbeda. Di dalam sistem cara berpikir yang tepat untuk digunakan adalah rasionalitas instrumental, yakni cara berpikir kalkulatif, berjarak, dan dalam arti tertentu, manipulatif. Sementara di dalam kultur cara berpikir yang digunakan adalah rasionalitas komunikatif, yakni penggunaan bahasa untuk mencapai saling pengertian tentang segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan bersama. Sekali lagi kedua cara berpikir tersebut saling bertentangan, sekaligus saling membutuhkan.

Sistem dan kultur di dalam masyarakat dapat dianalogikan dengan perangkat lunak dan perangkat keras di dalam komputer. Pada komputer perangkat kerasnya adalah motherboard, processor, VGA Card, dan Sound Card. Sementara perangkat lunaknya adalah program operasi, seperti Windows, dengan program-program lainnya, seperti Microsoft Office, Windows Media Player, dan sebagainya. Motherboard bisa dibayangkan seperti sistem politik. Dan kultur bisa dibayangkan sebagai program operasi.

Pemilu sebagai Kontradiksi

Yang menarik adalah kita bisa menggunakan analogi komputer dan telepon seluler untuk memahami masalah yang kiranya bercokol di dalam kultur masyarakat Indonesia, yang membuat semua proses Pemilu sekarang ini menjadi problematis. Bayangkan sistem di Indonesia sebagai perangkat keras yang canggih. Sistem di Indonesia adalah sistem yang modern dengan demokrasi, pemilu, perwakilan rakyat, baik di tingkat pusat maupun daerah, pers yang relatif bebas, dan sebagainya. Analoginya adalah motherboard Pentium Core 2 Duo dengan processor tercepat yang ada, dan VGA Card keluaran Nvidia yang terbaru. Intinya sistem yang ada di Indonesia, termasuk pemilu yang dilaksanakan kemarin, sangatlah canggih.

Sebaliknya kultur di Indonesia tidak bisa dibilang canggih. Dalam banyak hal Indonesia tidak bisa disebut sebagai ‘masyarakat modern’. Mungkin kata ‘desa raksasa’ (the big village) lebih tepat menggambarkan kultur orang Indonesia sekarang ini. Gejalanya bisa dilihat mulai dari perilaku para politikus yang penuh dengan korupsi, kolusi, ataupun nepotisme, sampai perilaku pengguna jalan raya yang tidak lagi peduli pada tata aturan lalu lintas bersama. Dalam hal analogi dengan komputer, kultur di Indonesia itu mirip program operasi DOS 6.22 yang sudah punah, dan VGA Card yang untuk menonton film sederhana sajapun tidak mampu.

Jelaslah sistemnya modern tetapi kulturnya ‘pra-pedesaan’. Perangkat kerasnya canggih tetapi perangkat lunaknya jauh ketinggalan jaman. Bisa dibilang sistem dan kulturnya incompatible, sama seperti DOS 6.22 tidak mungkin mengenali kecanggihan processor Core 2 duo. Pemilu kita pun berlangsung di dalam kondisi seperti ini, di mana mekanisme perhitungan dengan menggunakan mekanisme yang canggih, media massa yang relatif bebas, dan slogan-slogan demokratis yang kelihatan cerdas, namun kultur yang melandasi cara hidup bangsa kita incompatible dengan kecanggihan sistem tersebut. Cita-citanya tinggi. Namun sayang kontradiksi diantara keduanya terlalu besar.

Inovasi Kultural

Tidak mungkin Indonesia kembali ke jaman kerajaan untuk menyesuaikan sistem dengan kulturnya yang ‘pra-pedesaan’. Satu-satunya pilihan adalah menyesuaikan kultur yang primitif tersebut dengan sistem yang modern, sehingga kontradiksinya dapat diperkecil. Seperti yang dikatakan oleh Habermas, sistem selalu berada dalam tegangan dengan kultur. Keduanya tidak bisa dipisahkan, namun juga tidak bisa selalu dalam kondisi tanpa kontradiksi.

Kontradiksi itu perlu. Demokrasi yang sehat selalu memberi ruang untuk tegangan dan kontradiksi di dalamnya. Masalah muncul ketika kontradiksi itu terlalu besar atau terlalu kecil. Jika terlalu besar maka akan timbul anarkisme politik, seperti yang sedikit kita rasakan sekarang ini. Jika terlalu kecil maka akan muncul totalitarisme, seperti yang kita alami selama lebih dari tiga dekade lalu.

Yang kita perlukan sekarang ini adalah inovasi kultural untuk bisa mengimbangi kecanggihan sistem demokrasi yang kita gunakan. Inovasi bukan hanya dalam bidang teknologi, tetapi juga dalam bidang budaya, politik, HAM, dan pendidikan. Urgensi kita sekarang ini bukanlah membuat pesawat, tetapi merancang kultur demokrasi modern yang compatible dengan sistem demokrasi yang kita pilih bersama. Sekali lagi pilihannya hanya satu; lakukanlah inovasi kultural secepat mungkin, atau Indonesia kembali menjadi negara kerajaan.***

Sedih

Sedih

Reza A.A Wattimena

Ada empat hal yang membuat saya sedih hari ini. Yang pertama adalah soal anjing. Di tempat saya tinggal ada tiga anjing. Satu laki-laki dan dua perempuan. Yang laki-laki sudah tua. Saya dengar dia dibunuh kemarin siang, karena akan ada anjing pria pengganti yang lebih muda. Haruskah ia dibunuh? Salah apakah dia? Tadi pagi saya dengar, anjing pria pengganti itu kabur dari rumah. Maka kematian si anjing pria tua itu sia-sia. Anw diakan hanya anjing, bukan manusia. Menerapkan pola pikir manusia untuk memandang anjing adalah kesalahpahaman epistemis. Lagi pula jutaan orang mati karena perang dan kemiskinan toh tidak membuat saya sedih. Akan tetapi hati tetap saja terasa tersayat-sayat, jika mengingat kejadian ini.

Yang kedua saya sering merasa kesepian, jika berbeda pendapat. Kesepian ini lain dengan kesepian karena tidak punya teman ataupun tidak punya pacar. Kesepian ini muncul dari upaya untuk menjadi otentik dengan diri sendiri. Menjadi otentik tentu saja menciptakan perbedaan diri dengan orang lain. Dan perbedaan itu seringkali membuat saya merasa kesepian. Pilihan lainnya adalah menyesuaikan diri. Akan tetapi penyesuaian diri itu seringkali artifisial dan pura-pura belaka, karena takut pada kekuasaan. Saya tidak mau melakukan itu. Saya jadi ingat kata-kata dosen saya. Orang Indonesia takut dengan perbedaan pendapat. Mereka takut kepada kesepian yang timbul akibat perbedaan pendapat. Oleh karena itu mereka memilih untuk hidup harmonis; menyesuaikan diri dengan lingkungan. Walaupun seringkali harmoni itu cuma tanda hidup yang munafik. Sekali lagi saya tidak mau melakukan itu.

Yang ketiga saya mulai muak dengan kebodohan dan fanatisme religius maupun fanatisme ekonomi yang berkembang di sekitar saya. Mereka seolah tidak mau berpikir, apakah praktek hidup yang mereka lakukan itu sudah tepat atau belum. Mereka seperti mayat-mayat hidup berjalan, bekerja, berdagang, berdoa, tanpa sungguh sadar akan apa yang mereka lakukan. Jika saya mulai bertanya dan mengajak diskusi, mereka melarikan diri, dan menganggap saya sok pintar, sombong, pemberontak, bidaah, dan sebagainya. Padahal tidak ada niat jahat apapun yang ada di dalam hati saya. Yang ada adalah cita-cita, supaya hidup bersama kita diwarnai dengan keterbukaan, toleransi, dinamika yang sehat, serta solidaritas. Praktek beragama dan berbisnis yang saya lihat sekarang ini jauh dari cita-cita hidup bersama tersebut.

Yang keempat saya merasa diri saya sangat kering dan tidak bermakna. Saya sudah mencoba berdoa, berpikir, menulis, bertanya, tetapi semua itu tidak memuaskan saya. Kekeringan itu ditambah dengan rasa bersalah dan rasa tidak pantas diri yang begitu besar. Saya memiliki kesalahan berat di masa lalu, yang sampai sekarang masih menghantui mimpi-mimpi saya. Akibat kesalahan itu saya jadi tidak merasa pantas melakukan peran sosial yang saya jalankan sekarang ini. Tapi saya ingat kata pembimbing rohani saya. Hidup yang sempurna bukanlah hidup yang tanpa cacat, melainkan hidup dengan mengakui, menerima, serta mengintegrasikan semua kesalahan dan cacat yang kita punya pada kehendak Tuhan, karena Tuhanlah yang akan menyempurnakan semua cacat dan kesalahan itu menjadi senjata untuk menyebarkan cinta dan kebaikan. Kesadaran ini menenangkan saya. Semoga waktu dan kedewasaan dapat membimbing saya di dalam masa-masa sedih ini. Terus terang menulis apa yang saya rasakan sedikit memberikan saya ketenangan. Mungkin anda juga harus mencobanya.

Menuju Agama Yang Membebaskan

Menuju Agama yang Membebaskan

Sketsa tentang Hubungan Iman, Akal budi, dan Agama

Reza A.A Wattimena

Kata orang iman tanpa agama itu kosong. Itu bagaikan roh tanpa tubuh. Banyak orang juga berkata, bahwa agama tanpa iman itu juga bahaya, bisa jatuh ke formalisme agama. Dalam konteks itu analoginya adalah tubuh tanpa jiwa, yang kering dan tak bernyawa.

Pandangan itu kelihatan koheren, tetapi sebenarnya mempunyai cacat fundamental di dalamnya. Yang pertama agama-agama yang ada sekarang ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan iman umatnya. Agama dengan ritual yang dibanggakannya telah mengurung ekspresi iman umat ke dalam bentuk liturgi yang membosankan. Dengan ritualnya yang tidak menjawab kebutuhan umat, agama telah tercabut dari konteks umatnya, sehingga menjadi asing dan tak bermakna.

Di sisi lain iman mutlak tetap diperlukan. Adanya iman membantu orang untuk tetap kuat menjalani hidup. Iman adalah relasi personal Allah dengan manusia yang bersifat intim. Iman bisa memberikan kehidupan yang bermakna bagi yang memilikinya.

Dan iman bukanlah sesuatu yang tidak rasional. Iman yang otentik justru diperoleh dengan pencarian akal budi yang tak kenal lelah untuk memahami misteri dunia, alam, dan Tuhan. Jadi iman terkait dengan akal budi. Keduanya tak terpisahkan. Manusia yang secara otentik beriman hidup dalam tegangan pencarian yang tak akan berhenti antara akal budi dan kepercayaannya pada Yang Mutlak, yang disebut umat beragama sebagai Tuhan.

Maka dapatlah disimpulkan bahwa iman lebih penting daripada ritual. Ritual seringkali tidak menjawab persoalan makna orang yang mengikutinya. Beberapa orang memaksakan bentuk ritual tertentu tanpa ada konsultasi dengan umat beragama, yang nanti harus mengikutinya. Dalam arti ini ritual tidak hanya asing, tetapi juga memperbodoh orang yang mengikutinya.

Apakah iman itu mengandaikan agama? Jawabannya ya dan tidak. Ya karena iman berakar pada konteks kultural agama tertentu. Tidak karena iman sekaligus melampaui konteks kultural tersebut. Agama itu punya nuansa politik yang kuat. Sementara iman memang berdasar pada agama, tetapi iman menyangkut hubungan yang intim dengan Yang Mutlak, yang disebut juga sebagai Tuhan. Sekarang ini yang terjadi adalah agama dengan ritualnya justru menjadi penghalang bagi penghayatan iman seseorang dengan Tuhannya. Agama menjadi dangkal. Ritual menjadi tidak bermakna. Umat pun jadi diperbodoh.

Agama tetap dibutuhkan. Namun agama yang dibutuhkan adalah agama yang membebaskan, yakni agama yang memberikan makna bagi hidup pemeluknya, dan bukan agama yang memperbodoh dengan dogma, ajaran, serta ritual yang cenderung dipaksakan. Agama yang membebaskan adalah agama yang memberikan ruang dialog bagi umatnya tentang bagaimana cara mereka menghayati imannya.

Yang terjadi sekarang adalah para pemuka agama melakukan monopoli terhadap bentuk penghayatan tersebut. Akibatnya ritual yang seharusnya menjadi bentuk konkret dari iman kini terasa kosong, karena jauh dari perasaan, pergulatan, dan air mata umatnya. Ritual agama menjadi impersonal. Dan itu bukanlah agama yang membebaskan, tetapi agama yang memperbodoh. Iman dan agama haruslah didasarkan pada akal budi yang jernih. Jika sudah begitu barulah agama yang membebaskan bisa terwujud.

Mungkin agama yang membebaskan adalah sebuah cita-cita yang harus terus dikejar, karena tidak mungkin terwujud di dalam realitas. Namun cita-cita ini haruslah disadari dan dikejar terus menerus, baik oleh pemimpin ataupun pemeluk agama lainnya. Jadi walaupun tetap sebuah cita-cita, namun realitas yang ada tidaklah terlalu jauh dengan cita-cita itu. Cita-cita tentang agama yang membebaskan, dan bukan agama yang memperbodoh, adalah cita-cita yang bermakna dan layak dikejar bagi semua orang beriman.***

Pendidikan Virtual

Pendidikan “Virtual”?

Reza A.A Wattimena

Saya jamin judul tulisan ini langsung menarik pikiran anda pada pendidikan berbasis teknologi di era digital-internet sekarang ini. Sayangnya anggapan anda salah.

Tulisan ini adalah sebuah ratapan sekaligus harapan tentang dunia pendidikan secara umum, maupun aktivitas akademik yang dilakukan secara khusus di Universitas Widya Mandala, Surabaya. Sebuah ratapan sekaligus harapan tentang pendidikan yang telah tercabut dari konteks kehidupan manusia yang penuh dengan warna dan hiruk pikuk peradaban, dan menjadi “virtual”.

Sudah dua bulan ini saya mengajar filsafat manusia di Universitas Widya Mandala, Surabaya. Sebelumnya saya mengajar di Universitas Atma Jaya, Jakarta selama kurang lebih dua tahun. Satu hal yang terus menjadi bahan refleksi saya; begitu sulitnya membuka mata dan membangunkan mahasiswi/a dari tidur dogmatis mereka!

Orang yang mengalami tidur dogmatis itu adalah orang yang tetap beraktivitas, namun aktivitas tersebut dijalankan secara mekanis. Mereka tenggelam di dalam rutinitas, dan seolah kehilangan kesadaran kritis pada aktivitas yang mereka lakukan.

Mereka tidak mengerti betul apa yang mereka lakukan. Jika ditanya “mengapa?” maka mereka akan menjawab, “sudah dari dulu begitu!”

Dalam hati saya bertanya, mengapa ini terjadi? Jangan-jangan yang mengalami tidur dogmatis ini bukan hanya mahasiswi/a, tetapi juga dosennya, dan mayoritas orang di dalam masyarakat kita!

Integrasi

Salah satu sebabnya adalah, bahwa metode pendidikan dan isi pendidikan yang diberikan di dalam perkuliahan tidak mengajarkan mereka untuk membuka mata pada dunia. Pendidikan jatuh pada teknikalitas dan transfer pengetahuan teknis, tanpa ada usaha untuk menumbuhkan kesadaran mahasiswa/i tentang situasi dunia.

Dalam arti ini saya menyebut pendidikan kita sebagai pendidikan virtual, yakni pendidikan yang telah tercabut dari realitas, dan menjadi artifisial. Apa yang disebut sebagai pendidikan kini terasa jauh dari hiruk pikuk penderitaan, emosi, dan perasaan manusia.

Pendidikan seolah terputus dari konteks, dan menjadi “pertunjukan anonim” belaka. Pendidikan bukanlah usaha manusia untuk memahami dunia dengan segala kerumitannya, tetapi seni menghafal materi yang dimuntahkan pada saat ujian sekedar untuk mendapatkan nilai baik.

Menghadapi fenomena ini saya sadar betul bahwa, sebagai dosen, saya perlu mengambil tindakan nyata, dan tidak sekedar melakukan kritik saja, walaupun kritik tetaplah mutlak perlu dilakukan. Oleh karena itu saya berusaha mengajak mahasiswa get in touch dengan dunia global melalui kuliah-kuliah yang saya berikan.

Kata kuncinya adalah integrasi pengetahuan dengan dunia. Di awal kuliah saya mengajak mahasiswa untuk berdiskusi mengenai salah satu artikel majalah internasional, seperti Newsweek dan Times, yang membahas situasi politik internasional terkini.

Terakhir ini saya mengajak mahasiswa berdiskusi soal radikalisme dalam Islam secara khusus, maupun radikalisme di dalam kehidupan secara umum. Memang artikel yang saya bahas hampir tidak terkait dengan materi yang akan saya berikan, namun relevansi diskusi tersebut di dalam kehidupan terasa jelas. Dan itu memang tujuan utamanya.

Analitis

Di samping menekankan aspek teknis dari materi kuliah, dosen perlu mengajarkan mahasiswa berpikir analitis. Di dalam tradisi pemikiran rasionalisme, cara berpikir analitis tidak mau memberikan data-data baru, tetapi berusaha menarik kesimpulan-kesimpulan logis dari data dan fenomena yang sudah ada.

Banyak dosen yakin bahwa mahasiswa haruslah diberikan data-data terbaru dari studi yang terkait dengan mata kuliah yang diberikan. Anggapan ini sekaligus benar dan salah.

Benar karena data terbaru bisa merubah perspektif kita tentang sesuatu. Salah karena mahasiswa tidak punya waktu untuk mengolah dan menarik kesimpulan-kesimpulan logis dari data yang sudah ada.

Yang terakhir ini seperti sudah makan kenyang, tetapi lalu suguhi makanan baru, sementara makanan lama juga belum diolah. Perut bisa mual, dan orang pada akhirnya muntah.

Kritis

Kemampuan menarik kesimpulan logis dari data yang sudah ada juga berguna untuk membuat orang menjadi kritis. Secara literer cara berpikir kritis adalah cara berpikir yang mengambil jarak dari suatu data atau fenomena, dan berusaha menilai fenomena tersebut dengan menggunakan penalaran rasional.

Orang yang kritis akan sulit mengalami tidur dogmatis. Mereka bertanya dan menggugat tentang segala sesuatu yang sudah berjalan rutin, namun terasa tidak tepat.

Di dalam realitas banyak orang merasa terganggu dengan orang-orang kritis ini. Padahal merekalah para pemicu perubahan, dan, dalam arti yang lebih luas, “hati nurani” masyarakat.

Cara berpikir kritis dimulai dengan pertanyaan sederhana, seperti “mengapa?”, lalu dilanjutkan dengan pengajuan-pengajuan hipotesis tentatif untuk menjawab pertanyaan tersebut. Suatu cara yang sangat familiar sekaligus sangat asing bagi dunia pendidikan kita yang semakin lama menjadi semakin virtual; semakin tercabut dari realitas.

Praksis

Cara berpikir analitis dan kritis adalah praksis itu sendir. Pikiran adalah tindakan. Keduanya terpaut erat tanpa bisa terpisahkan.

Banyak orang berpendapat bahwa berpikir itu bukanlah tindakan nyata. Yang disebut tindakan nyata adalah demonstrasi, pelatihan, atau apapun.

Padahal semua itu tidak dapat dilakukan, jika orang tidak berpikir terlebih dahulu. Tidak hanya awalnya tetapi semua proses tersebut melibatkan pikiran.

Maka teori adalah praksis. Pikiran adalah tindakan, dan cara berpikir analitis dan kritis adalah praksis. Jangan pernah meremehkan pemikiran, ide, dan teori, karena peradaban manusia dibangun di atas itu semua, mulai dari sistem politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan kesehatan.

Yang pertama-tama harus diubah di dalam masyarakat kita bukanlah sistem politiknya, atau sistem ekonominya, atau sistem pendidikannya, tetapi cara berpikir yang bercokol di dalam bidang-bidang itu. Maka tindakan nyata pertama adalah berpikir!

Kebaikan Bersama

Apa relevansi tulisan ini bagi kebaikan bersama kita sebagai masyarakat? Tulisan ini mau meratapi gejala dunia pendidikan kita yang semakin hari semakin tercabut dari realitas. Dunia pendidikan yang menjadi menara gading, seolah tidak mau kotor dari derita dan air mata dunia.

Tulisan ini juga sebuah harapan tentang integrasi kembali pendidikan dan dunia. Harapan perubahan yang berpijak pertama-tama tidak pada sistem obyektif yang sudah ada, melainkan pada sistem organis yang pertama-tama bercokol di kepala kita, yakni pikiran.

Kebaikan bersama hanya bisa diraih, jika kita memandang dunia ini dalam kaca mata integrasi, di mana segala sesuatu saling bertautan tanpa bisa terpisahkan. Pendidikan adalah salah satu unsur penting di dalam pertautan itu. Salam. ***

Kesadaran Manusia

Manusia dan Kesadaran

Reza A.A Wattimena

Pada bab ini, masih terhubung dengan bab sebelumnya, saya akan membedah aspek-aspek yang membentuk manusia. Pengenalan akan aspek-aspek ini membuahkan pengenalan terhadap diri sendiri. Dan pengenalan terhadap diri sendiri merupakan syarat utama untuk mencapai hidup yang otentik. Selain didorong oleh motivasinya manusia juga dipengaruhi oleh kesadaran yang ada di dalam dirinya. Pada bab ini saya akan mencoba memberikan beberapa refleksi filosofis tentang fenomena kesadaran manusia. Sebagai kerangka saya banyak terinspirasi dari pembacaan saya terhadap tulisan Ken Wilber dan Lycan W.G.

Di dalam sejarah para filsuf dan psikolog seringkali berbicara tentang “problematika kesadaran” (the problem of consciousness), seolah problem kesadaran merupakan problem yang sudah jelas pemetaannya. Descartes, seorang filsuf modern asal Prancis, berupaya menanggapi problem itu dengan merumuskan pendapatnya sendiri. Ia berpendapat bahwa pikiran manusia merupakan entitas yang lebih tinggi tingkatannya dari pada tubuh. Pikiran mempunyai prioritas atas tubuh. Fakta bahwa kita dapat berpikir menunjukkan bahwa manusia merupakan entitas yang memiliki kesadaran. Ada relasi internal antara kesadaran dan pikiran.[1] Pikiran juga memiliki prioritas atas dunia. Tanpa pikiran tidak ada realitas eksternal. Dengan demikian pikiran terpisah dari dunia. Pikiran adalah entitas yang mandiri. Pikiran juga terlepas dari tubuh. Argumen Descartes banyak dikenal sebagai teori tentang dualisme tubuh dan jiwa. Pandangan semacam ini mendominasi dunia filsafat, terutama dalam metafisika dan epistemologi, dari abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20. Pada akhir dekade 1950-an pandangan ini mulai ditantang dari berbagai penjuru.

Behaviorisme dan Kritik terhadap Dualisme

Penantang pertama adalah para pemikir positivisme logis. Mereka memprioritaskan verifikasi dari pikiran individual. Pernyataan yang bermakna adalah pernyataan yang bisa diverifikasi langsung di dalam realitas. Pernyataan yang bermakna adalah pernyataan yang menggunakan “bahasa bersama yang bisa diobservasi secara inter personal” ( interpersonally shared observation language). Cara pandang ini kemudian menjadi basis bagi behaviorisme di dalam filsafat dan psikologi.

Behaviorisme, baik di dalam filsafat maupun psikologi, sebenarnya merupakan kritik terhadap pandangan Descartes tentang pikiran dan kesadaran. Kritik pertama berpendapat bahwa filsafat Descartes menggunakan bahasa-bahasa privat yang tidak diakui secara komunal, sehingga keakuratannya patut dipertanyakan. Kritik kedua terhadap dualisme tubuh-jiwa Cartesian adalah bahwa problem tentang keterpisahan tubuh dan jiwa di dalam filsafat Cartesian seolah tidak akan pernah terselesaikan, dan hanya tetap tinggal sebagai misteri manusia selamanya. Untuk memberikan kontribusi terhadap problem itu orang perlu menggunakan piranti sains yang empiris dan eksperimental, seperti peran otot dan organ di dalam relasi antara tubuh dan jiwa.[2] Di dalam kerangka ilmiah ini hipotesis Cartesian tidak akan lagi mengambang, melainkan bisa diverifikasi dan diuji secara empiris oleh orang banyak.

Menurut Lycan hipotesis Descartes tentang dualisme tubuh dan jiwa juga menyalahi hukum fisika. Andaikan kita bisa membuka tengkorak kepala seseorang. Kemudian kita mengamati proses mekanis yang ada di dalam otak. Di dalamnya kita melihat aliran listrik yang tidak berasal dari manapun, tetapi hanya dari kekosongan. Artinya ada semacam energi yang tidak berasal dari aspek biologis tubuh. Tentunya ini adalah penemuan yang mencengangkan, dan akan menjadi afirmasi empiris atas dualisme. Walaupun dalam realitas penemuan semacam ini akan sulit dilakukan. Para fisikawan akan menolak kesimpulan itu. Tidak mungkin ada energi yang berasal dari kekosongan, pasti ada sebab biologis yang belum diketahui.

Behaviorisme, baik di dalam filsafat maupun psikologi, berpindah dari sudut pandang orang pertama menjadi sudut pandang orang ketiga, atau pengamat. Hal yang sama berlaku di dalam refleksi tentang pikiran dan kesadaran manusia. Kesadaran manusia dianalisis secara obyektif melalui sudut pandang pengamat, dan bukan dari sudut pandang orang yang menghayatinya. Ini merupakan ciri khas pendekatan positivisme dan behaviorisme di dalam menganalisis realitas. Di dalam tulisannya Lycan dengan tegas menyatakan bahwa behaviorisme merupakan kritik yang salah sasaran terhadap dualisme di dalam filsafat.

Kritik terhadap Behaviorisme

Bagi para pemikir behavioris kondisi internal mental manusia bukanlah sebuah fakta. Kondisi internal mental tidaklah relevan, karena itupun akan tunduk pada hukum aksi reaksi dan stimulus respons. Misalnya anda bertanya pada orang di pinggir jalan, “Bagaimana pendapat anda tentang sepeda motor?” Ia menjawab, “Benda itu berbahaya. Begitu banyak kecelakaan terjadi karenanya.” Maka dapatlah dipastikan jika anda menawarkannya untuk mengendarai motor, maka ia akan menolaknya. Dalam hal ini kondisi internal mental seseorang tidaklah relevan. Keputusannya nyaris bisa dipastikan, sama seperti satu tambah satu sama dengan dua. Akan tetapi banyak filsuf berpendapat bahwa penolakan terhadap pengetahuan tentang kondisi mental seseorang justru merupakan “kelupaan” terhadap aspek paling penting yang mempengaruhi perilaku seseorang. Para pemikir behavioris menolak mengakui kondisi internal mental seseorang sebagai sesuatu yang faktual demi alasan rigorisitas saintifik. Misalnya anda duduk dan menghadap sebuah tembok berwarna hijau. Lalu anda mengkontemplasikan warna hijau tersebut. Apakah warna hijau, yang merupakan persepsi internal mental anda, tidaklah faktual? Hanya orang bodoh yang menyebut bayangan anda tidak faktual.[3]

Lycan kemudian mengajukan alternatif terhadap behaviorisme dalam bentuk teori identitas. Di dalam teori ini kondisi internal mental seseorang berperan sangatlah penting di dalam menentukan perilakunya. Ia menyebutnya sebagai perasaan-perasaan mentah (raw feels), yang hanya dapat dipahami dengan menggunakan metode fenomenologi kualitatif. Perasaan-perasaan mentah ini melibatkan pengalaman inderawi sekaligus gambar-gambar mental (mental images). Teori identitas, juga behaviorisme, memang menolak pandangan-pandangan dualisme Cartesian. Akan tetapi teori identitas juga menolak pandangan-pandangan dasar behaviorisme. Dari sudut pandang teori identitas para pemikir behavioris mereduksikan kondisi internal mental manusia melulu pada kondisi fisiknya. Menurut Lycan kondisi internal manusia berbeda dengan kondisi fisiknya. “Kondisi mental”, demikian tulis Lycan. “..adalah kondisi yang menjadi penghubung antara stimulus dan respons.”[4] Kondisi mental adalah kondisi di dalam diri manusia yang menentukan apa keputusan seseorang menghadapi keadaan yang ada.

Menuju Teori Tentang Kesadaran

Dengan demikian kesadaran adalah bagian dari kondisi internal manusia yang harus dibedakan dengan kondisi fisiknya. Dengan menolak behaviorisme teori identitas menjadi alternatif memandang relasi antara kesadaran, tubuh, dan dunia luar. Kesadaran dapatlah dipandang sebagai penghubung antara stimulus yang diterima oleh seseorang, dan respons yang diberikannya. Inilah paham tentang kesadaran di dalam teori identitas, yang menjadi alternatif dari dualisme dan behaviorisme. Sekilas pandangan ini memang mirip dengan dualisme, yakni jiwa yang melulu dipisahkan dari badan. Namun di dalam teori identitas yang ditawarkan Lycan, pikiran, kesadaran, dan jiwa manusia terhubung dengan tubuh untuk memberikan respons terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar. Pikiran, kesadaran, tubuh, dan dunia luar adalah empat konsep yang saling terhubung satu sama lain, yang mempengaruhi perilaku manusia secara signifikan.

Pemahaman diatas dapatlah kita jadikan titik tolak untuk merumuskan teori tentang kesadaran.[5] Menurut Wilber dewasa ini banyak bermunculan beragam pendekatan di dalam memahami fenomena kesadaran manusia. Ada beberapa aliran yang kiranya cukup dominan di dalamnya. Yang pertama adalah pendekatan ilmu pengetahuan kognitif (cognitive science). Pendekatan ini mencoba memandang kesadaran sebagai bagian dari fungsi otak yang kemudian berkembang (emerge). “Kesadaran dalam pendekatan ini”, demikian Wilber, “dipandang sebagai berkembanganya jaringan-jaringan yang terintegrasi secara hirarkis.”[6] Kesadaran adalah sesuatu yang bertumbuh dari kompleksnya jaringan yang saling terhubung di dalam otak manusia.

Pendekatan kedua adalah pendekatan instrospeksionisme (introspectionism). Di dalam pandangan ini kesadaran dipandang sebagai kesadaran orang pertama yang tertuju pada sesuatu di luarnya. Penafsiran terhadap realitas didasarkan pada kesadaran langsung yang muncul dari pengalaman sehari-hari, dan bukan dari pengamatan obyektif orang ketiga. Menurut Wilber pendekatan ini mencakup fenomenologi, eksistensialisme, dan psikologi introspektif.

Pendekatan ketiga adalah neuropsikologi. Di dalam pandangan ini kesadaran dipandang sebagai sesuatu yang berakar pada sistem-sistem saraf, neurotransmiter, dan mekanisme otak yang bersifat organik. Sekilas pandangan ini mirip seperti pendekatan ilmu pengetahuan kognitif. Namun ilmu pengetahuan kognitif lebih menggunakan ilmu komputer sebagai pisau analisisnya, sehingga seringkali, menurut Wilber, pendekatan ini mengalami kebingungan tentang relasi antara kesadaran dengan struktur organik dari otak. Sementara pendekatan neuropsikologi lebih berbasis pada ilmu biologi. “Dengan bersandar lebih pada ilmu saraf daripada ilmu komputer,” demikian tulis Wilber, “neuropsikologi melihat kesadaran sebagai sesuatu yang secara intrinsik terhubung dengan sistem saraf organik dengan kompleksitas yang memadai.”[7]

Pendekatan keempat adalah apa yang disebut Wilber sebagai psikoterapi individual (individual psychotherapy). Pendekatan ini menggunakan psikologi interpretatif dan psikologi introspektif untuk menyelesaikan masalah-masalah emosional dan personal. Pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu yang berakar pada kemampun adaptif dari individu terhadap dunia luarnya. Pendekatan psikoterapi sangat mengandalkan suatu pemahaman tertentu tentang kesadaran, karena pendekatan itu berurusan langsung dengan kemampuan individu untuk menciptakan makna dari apa yang dialaminya. Ketidakmampuan individu untuk menciptakan makna dari peristiwa yang dialaminya, terutama peristiwa buruk, akan membuatnya terjatuh kepada tekanan mental emosional yang berat. Kondisi terakhir ini yang disebut sebagai psikopatologi.

Pendekatan kelima adalah pendekatan psikologi sosial. Menurut Wilber pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu yang tertanam pada jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain kesadaran adalah produk dari sistem sosial yang ada di dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini terdiri dari pendekatan marxisme, konstruktivisme, dan hermeneutika kultural. Semua pendekatan ini berakar pada satu asumsi bahwa kesadaran tidaklah terletak melulu di kepala individu, tetapi ditentukan oleh kultur sosial-politik-ekonomi masyarakat.

Pendekatan keenam adalah pendekatan psikiatri klinis (clinical psychiatry). Pendekatan ini berfokus pada relasi antara psikopatologi, pola perilaku, dan psikofarmakologi. Sebenarnya pendekatan ini mirip dengan neuropsikologi. Dewasa ini, pendekatan psikiatri klinis banyak menggunakan kosa kata biologis untuk menganalisis “penyakit mental” manusia. Problem emosional dan mental, dari sudut pandang ini, dianggap merupakan problem yang terdapat di dalam sistem saraf. Pengobatannya dapat dilakukan dengan meminum obat tertentu, atau melakukan terapi tertentu.

Pendekatan ketujuh adalah pendekatan psikologi perkembangan. Pendekatan ini memandang kesadaran bukan sebagai sesuatu yang tunggal, tetapi sebagai sesuatu yang terus berkembang di dalam proses. Setiap tahap di dalam proses tersebut memiliki perbedaan yang substansial, dan harus dianalisis menurut kekhususannya masing-masing. Menurut Wilber pendekatan ini juga menyentuh perkembangan-perkembangan unik di dalam diri manusia dalam bentuk kemampuan supernatural. Kemampuan ini dianggap sebagai fungsi kognitif, afektif, moral, dan spiritual yang berada di level yang lebih tinggi.[8]

Pendekatan kedelapan adalah pendekatan pengobatan psikosomatik (psychosomatic medicine). Pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu yang terkait erat dengan proses-proses tubuh yang bersifat biologis. Pada level yang lebih maju pendekatan ini melihat adanya kemungkinan kesadaran sebagai fungsi penyembuh dari penyakit-penyakit akut yang diderita manusia. Kesadaran bisa ditingkatkan dengan meningkatkan kekuatan doa didalam tradisi religius, misalnya. Pendekatan ini juga mempelajari dampak kekuatan kehendak dan intensionalitas manusia untuk penyembuhan. Bentuknya mulai dari terapi suara, visualisasi, sampai dengan meditasi.

Pendekatan kesembilan, menurut Wilber, adalah pendekatan nonordinary states of consciousness. Pendekatan ini mencakup area yang luas, mulai dari tafsir mimpi hingga penggunaan obat-obat tertentu yang memiliki efek halusinatif. Pendekatan ini, menurut Wilber, berusaha memahami kesadaran dalam arti yang luas. Pada titik ekstrem penggunaan obat dengan efek halusinatif bisa menimbulkan keracunan. Akan tetapi jika digunakan secara tepat, obat-obat semacam itu dapat memberikan penyembuhan pada kesadaran dengan cara-cara yang tampaknya diabaikan oleh ilmu pengetahuan, atau diremehkan oleh pendekatan-pendekatan lainnya.

Pendekatan kesepuluh yang diajukan oleh Wilber adalah pendekatan yang berasal dari tradisi Timur yang bersifat kontemplatif. Di dalam pandangan ini kesadaran, seperti yang dimaksud oleh ilmu-ilmu yang mempelajarinya, berada pada tingkatan yang lebih rendah dari yang seharusnya bisa dicapai manusia. Untuk meningkatkan kesadarannya orang perlu melakukan praktek meditasi dan yoga. Kesadaran yang sesungguhnya hanya dapat dicapai, jika orang melakukan praktek tersebut secara konsisten.

Pendekatan kesebelas dalam pandangan Wilber adalah apa yang disebutnya sebagai kesadaran kuantum. Di dalam pendekatan itu kesadaran dipandang sebagai sesuatu yang secara intrinsik terikat dengan dunia fisik. Kesadaran memiliki interaksi dan kemampuan untuk mengubah dunia luar. Jadi realitas ditentukan oleh kesadaran, terutama pada level intracellular. Pendekatan ini mencakup teori tentang dawai di dalam memandang alam semesta, sampai teori tentang hyperspace.

Pendekatan keduabelas adalah pendekatan yang disebut sebagai teori energi-energi halus (subtle energies). Di dalam pendekatan ini penelitian dilakukan dengan berpijak pada pengandaian, bahwa ada sesuatu yang disebut energi kehidupan yang melampaui fisika. Energi ini mempengaruhi kesadaran dan perilaku manusia secara signifikan. Energi ini memiliki banyak nama lain, seperti prana, ki, dan chi. Energi ini pula yang direkayasa di dalam praktek akupunktur untuk kepentingan pengobatan. Menurut Wilber energi kehidupan ini merupakan penghubung antara dunia luar yang bersifat material dengan kesadaran manusia, dan sebaliknya, yakni dunia kesadaran manusia yang tertuju pada dunia luarnya.

Pemadatan Teori Lebih Jauh

Wilber tidak hanya menjabarkan beragam pendekatan di dalam memahami kesadaran, tetapi juga menawarkan teorinya sendiri. Ia menyebutnya sebagai teori yang integral tentang kesadaran. Pada hemat saya teori ini cukup representatif sebagai cara untuk memahami fenomena kesadaran manusia. Coba kita lihat pandangannya lebih jauh.

Menurut Wilber suatu teori yang bersifat integral tentang kesadaran haruslah menempuh dua langkah berikut. Yang pertama penelitian yang berkelanjutan di berbagai pendekatan yang ingin memahami fenomena kesadaran manusia. Fenomena kesadaran adalah suatu enigma, yakni sesuatu yang misterius. Masing-masing pendekatan yang telah dijabarkan sebelumnya mampu memberikan sumbangan untuk memahami enigma ini. Setiap pendekatan penting, dan layak mendapatkan dukungan lebih jauh untuk mengembangkan penelitiannya.

Memang jika dilihat sekilas beberapa pendekatan terlihat sangat dekat dengan mistik, sehingga kadar ilmiahnya memang patut dipertanyakan. Akan tetapi, menurut Wilber, fenomena kesadaran itu tidak melulu ilmiah, tetapi merupakan suatu misteri. Maka pendekatan apapun sebenarnya bisa membantu kita untuk memahaminya. Dalam hal ini kesombongan ilmiah sedapat mungkin harus dicegah.

“Tidak ada pikiran manusia”, demikian tulis Wilber, “yang dapat melakukan kesalahan seratus persen. Kita dapat berkata, tidak ada orang yang cukup pintar untuk salah setiap waktu.”[9] Dalam konteks ini semua pendekatan dapat menyumbangkan kebenarannya masing-masing di dalam proses memahami kesadaran. Semua cara harus ditempuh, supaya enigma yang bernama kesadaran ini semakin dapat dipahami.

Yang kedua walaupun masing-masing pendekatan memiliki keunikannya sendiri, tetapi upaya untuk menciptakan kerja sama di antara ragam pendekatan tersebut teruslah harus diupayakan. Hal ini sangat penting supaya teori tentang kesadaran yang bersifat integral dapat dirumuskan secara komprehensif. “Fakta bahwa, sebagian besar, pendekatan selama ini telah terkurung di dalam kerangkengnya masing-masing”, demikian Wilber, “tidak berarti bahwa bahwa realitas juga terkurung seperti itu.”[10] Realitas itu melampaui batas-batas paradigma ilmiah yang digunakan oleh para peneliti. Realitas itu melompat dari satu kerangkeng ke kerangkeng yang lain. Untuk merumuskan suatu teori komprehensif tentang kesadaran, kita perlu juga untuk melompat dari satu pendekatan ke pendekatan yang lain, mengikuti lenturnya realitas yang ingin kita teliti, terutama lenturnya fenomena kesadaran.

Setiap pendekatan memiliki asumsi dan metode yang berbeda. Akan tetapi masing-masing pendekatan itu sebenarnya melukiskan aspek yang berbeda dari realitas yang sama. Dalam arti ini setiap pendekatan sebenarnya saling berhubungan satu sama lain. Setiap pendekatan menyentuh realitas, dan membahasakannya dengan menggunakan kerangka teorinya masing-masing. Dengan demikian setiap pendekatan, apapun bentuknya, memiliki arti penting sebagai salah satu cara untuk memahami satu aspek dari keseluruhan realitas.



[1] Bagian ini terinspirasi dari pembacaan terhadap Lycan W.G, Consciousness, versi E book.

[2] Lihat, Ibid, hal. 2.

[3] Bdk, Lycan, hal. 4.

[4] Ibid, hal. 8.

[5] Bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap Ken Wilber, “An Integral Theory of Consciousness”, Journal of Consciousness Studies, 4 (1), February 1997, hal. 71-92.

[6] Ibid, hal. 72.

[7] Ibid, hal. 73.

[8] Ibid, hal. 74.

[9] Ibid, hal. 90.

[10] Ibid, hal. 91.

Motivasi Hidup Manusia

Manusia dan Motivasi Hidupnya

Reza A.A Wattimena

Untuk menjadi otentik orang perlu untuk mengenal dirinya sendiri. Proses pengenalan itu adalah proses belajar. Proses belajar yang tertinggi bukanlah mengetahui hal-hal baru di dunia luar, tetapi justru mengenal dan memahami diri sendiri secara penuh. Itulah proses belajar tertinggi. Jika orang tidak mengenal dirinya sendiri, maka ia tidak akan pernah merasa bahagia. Ia juga tidak akan pernah menjadi orang yang bijaksana. Semua pengetahuan akan dunia luar akan menjadi percuma, jika orang tidak memahami dirinya sendiri. Bisa juga dibilang bahwa pengetahuan yang penuh akan dirinya sendiri adalah pengetahuan tertinggi yang bisa dimiliki manusia, dan cara terpenting untuk mencapai hidup yang otentik.

Salah satu aspek mendasar yang mendorong setiap orang untuk hidup dan beraktivitas adalah motivasi. Motivasi mendasari tindakan orang, apapun tindakannya, dan siapapun orang itu. Untuk memiliki pengetahuan yang utuh tentang diri, orang perlu untuk memahami motivasi yang mendorong tindakan. Menurut Laming[1] motivasi adalah “perubahan dari beberapa pola perilaku dari suatu program tindakan yang ditentukan secara spesifik internal oleh individu.”[2] Jika dibahasakan secara lugas, motivasi adalah program internal yang ada di dalam diri seorang, yang mendorong orang itu untuk melakukan tindakan tertentu. Program internal itu bisa bersifat bawaan, yakni sudah ada di dalam diri orang sejak ia lahir, atau dibentuk melalui pengalaman.

Laming juga berpendapat bahwa setiap mahluk biologis pasti memiliki insting yang bersifat repetitif. Insting ini adalah semacam pola tetap yang bisa diabstraksi dari perilakunya. Manusia pun juga sama. Tanpa pola perilaku yang tetap ini, orang tidak akan bisa beraktivitas, ataupun untuk hidup. “Diberikan rangsangan yang tepat”, demikian Laming, “maka pola perilaku terkait akan tergerak.”[3] Motif tindakan dipandang sebagai sumber energi, yang memungkinkan orang bisa melakukan sesuatu. Rangsangan dari luar itu bukanlah sumber perilaku, melainkan suatu cara untuk membebaskan energi internal, yakni motivasi, yang sudah ada di dalam diri orang. Inilah yang disebut Laming sebagai pola instingtif, yang juga disebutnya sebagai “perilaku semi mekanis” dari manusia.

Menggaruk kulit ketika gatal adalah perilaku instingtif. Perilaku semacam ini juga bisa direkayasa. Di dalam psikologi rekayasa perilaku ini disebut juga sebagai conditioning, atau pengkondisian. Ketika pola perilaku yang ada mulai tampak dan menjadi rutin, maka lama-kelamaan, pola itu akan menjadi instingtif. Di dalam filsafat ini disebut juga sebagai behaviorisme. Mahluk hidup, termasuk manusia, jika diberikan rangsangan yang tepat, maka mereka akan bertindak sesuai dengan pola tertentu yang tetap. Sebaliknya tanpa rangsangan yang tepat, mahluk hidup tidak akan mampu bertindak sesuai dengan yang diharapkan. Pada beberapa kasus rangsangan yang salah justru dapat membuat orang bertindak aneh, seperti orang yang biasanya sabar tiba-tiba berubah menjadi pelaku kekerasan yang mengerikan.[4]

Untuk memahami dinamika motivasi dan perilaku manusia, seorang ilmuwan memiliki tugas untuk mengajukan teori yang mampu memberi penjelasan rasional dan ilmiah terhadap dua kategori itu. Tujuannya adalah supaya orang semakin memperoleh pengetahuan sistematis tentang diri dan dunianya, sekaligus untuk mendorong penelitian lebih jauh. Pada titik ini peran teori di dalam mengamati fakta sangatlah penting. Menurut Laming teori, walaupun masih merupakan pernyataan yang belum teruji secara metodis, dapat membantu orang untuk mengaitkan berbagai kejadian faktual yang terjadi, sehingga bisa dipahami secara sistematis.[5]

Tiga Kerangka Teori

Laming kemudian mengajukan tiga kerangka teori yang bisa digunakan untuk memahami manusia. Yang pertama adalah apa yang disebutnya sebagai perilaku semi mekanis dari manusia. Manusia memiliki aspek instingtif yang bersifat mekanis di dalam dirinya. Aspek instingtif ini seringkali mempengaruhi perilaku manusia, dan bisa dipelajari melalui pendidikan, ataupun melalui pengaruh kultural secara rutin. Akan tetapi, perilaku manusia tidak sepenuhnya mekanis. Kita menyebut perilaku orang mekanis, karena kita terbiasa dengannya. Namun jika dipikirkan lebih jauh, tidak ada perilaku yang sungguh mekanis, dan sama sekali terlepas dari kesadaran pelakunya. “Perilaku kita sendiri”, demikian Laming, “tidak merasa mekanis sama sekali.”[6] Orang menyadari, bahwa mereka berbuat sesuatu, sehingga mereka menolak untuk disebut sebagai orang yang mekanis. Karena jika mekanis, maka manusia memiliki status yang kurang lebih sama seperti benda-benda.

Pandangan kedua berangkat dari kelemahan pandangan pertama. Laming menyebutnya sebagai teori tentang sudut pandang personal dan sudut pandang kamera (personal and camera view). Ia memberikan contoh tentang pertandingan sepak bola. David Beckham adalah seorang pemain bola yang terbiasa melakukan tentang sudut di pertandingan. Dalam satu pertandingan, ia bisa melakukannya lebih dari lima kali. Bagi para penonton, itu adalah hal yang biasa dan mudah ditebak. Namun bagi Beckham, tendangan itu sama sekali tidak bersifat mekanis. Ia harus memilih, kemana ia harus menendang bola, dan kepada siapa ia harus mengumpannya.

Menurut Laming dalam hal ini, Beckham adalah “sekaligus pada waktu yang sama mesin biologis kompleks yang berkemampuan tinggi yang menendang bola dan juga pengamat dari tindakan itu – sebuah mesin yang mengamati dirinya sendiri.”[7] Jika manusia adalah mesin yang bisa mengamati dirinya sendiri, seperti yang diajukan oleh Laming, maka ia lebih kompleks daripada mesin biasa, karena mesin biasa tidak menyadari dirinya sendiri adalah mesin. Mesin tidak menyadari bahwa dirinya bersifat mekanis. Mesin juga tidak bisa menggunakan dirinya sendiri. Harus ada orang yang menggunakannya, seperti orang yang menggunakan telepon untuk berkomunikasi, orang yang melihat jam untuk mengetahui waktu, dan sebagainya.

Dari sudut pandang orang luar, perilaku manusia terlihat mekanis. Jika ia lapar, maka ia makan. Ia akan minum, jika ia haus. Jika dipukul, maka ia akan mengeluh sakit. Itu semua terlihat mekanis. Itulah yang disebut Laming sebagai perilaku semi mekanis dari manusia. Disebut semi mekanis, karena sesungguhnya, tidak ada perilaku manusia yang sepenuhnya mekanis. Jika dilihat dari dalam, yakni dari sudut pandang pelaku yang menghayati suatu perilaku, maka unsur mekanisnya sangat kecil. Setiap orang memang akan makan, ketika ia lapar. Akan tetapi, tegangan perasaan yang ia alami ketika ia lapar berbeda-beda pada setiap orang. Dapat juga dibilang, orang menghayati laparnya dengan cara yang berbeda-beda. Inilah yang disebut Laming sebagai pandangan personal dari suatu perilaku yang sama sekali tidak mekanis. Setiap orang pergi bekerja. Itu adalah perilaku mekanis. Akan tetapi, setiap orang menghayati pekerjaannya secara berbeda. Itulah perilaku sadar yang hanya dapat dipahami dengan menggunakan sudut pandang personal.

Pandangan ketiga adalah apa yang disebut Laming sebagai teori pengaruh sosial. Perilaku dan motivasi manusia sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat ia lahir dan berkembang. Lingkungan sosial yang satu membentuk individu yang berbeda dengan lingkungan sosial lainnya. Tidak hanya perilaku, konsep-konsep pun tertanam pada konteks sosial. Konteks sosial yang berbeda memberikan arti yang berbeda pula pada konsep-konsep yang digunakan. Misalnya konsep keluarga. Di Jakarta, konsep keluarga mengacu pada keluarga inti, yakni ayah, ibu, dan anak. Sementara di beberapa tempat di Papua, konsep keluarga mengacu pada klan, yakni keluarga besar yang memiliki satu nama. Konsep keluarga dimaknai berbeda di konteks sosial yang berbeda.

Interaksi kita dengan orang lain tampak bersifat instingtif-mekanis. Namun, seringkali apa yang tampak instingtif-mekanis itu mengalami hambatan. Interaksi kita dengan orang lain menjadi menurun kualitasnya. Contoh ekstrem yang diajukan oleh Laming adalah pelaku kejahatan yang anti sosial akan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan. Hal yang sama kurang lebih terjadi dengan orang-orang yang mengalami gangguan mental. Mereka ditempatkan di rumah sakit jiwa. Dengan demikian, masyarakat mempertahankan tradisi sistem dan kulturnya dengan menciptakan institusi-institusi yang mampu “mengembalikan orang ke kondisi yang sesuai dengan kelompok dominan di dalam masyarakat”, seperti lembaga pemasyarakatan, rumah sakit jiwa, dan bahkan sekolah. Perilaku dan motivasi manusia dalam bertindak seringkali dipengaruhi oleh institusi-institusi sosial tersebut.

Tiga kerangka teori di atas, yakni teori perilaku semi-mekanis manusia, teori tentang cara pandang kamera dan personal, serta teori tentang pengaruh sosial, dapat membantu kita memahami mengapa orang melakukan apa yang mereka lakukan. “Apa yang orang lakukan”, demikian tulis Laming, “adalah mengekspresikan pola bawaan dari perilaku yang diperoleh secara kultural dengan cara menyesuaikan diri dengan tuntutan dan konvensi yang ada di masyarakat di mana mereka hidup.”[8]

Pemadatan Kerangka Teori

Kita memiliki emosi-emosi dan perasaan-perasaan internal di dalam diri kita. Kita menghayati hasrat, kecemasan, dan pikiran-pikiran bergejolak. Tidak ada orang lain yang mampu memahami perasaan-perasaan kita, selain kita sendiri. Perasaan-perasan itu bersifat privat. Bahkan seorang dokter atau psikiater paling ahli sekalipun hanya bisa berspekulasi tentang apa yang sesungguhnya kita rasakan. Laming menyebut ini sebagai pandangan personal (personal view). Di sisi lain, ada sisi obyektif dari manusia yang bisa dilihat oleh orang banyak. Orang berjalan, dan orang lain bisa melihatnya. Inilah yang disebut Laming sebagai pandangan kamera (camera view). Hal yang sama berlaku sebaliknya. Kita tidak dapat melihat orang lain sebagaimana mereka melihat dirinya sendiri.[9] Kita tidak memiliki akses untuk langsung memahami pikiran, perasaan, dan kegelisahan dari orang lain. Yang dapat kita lakukan adalah melakukan spekulasi terhadapnya untuk sampai pada pengetahuan yang bersifat probabel.

Di dalam melakukan penelitian dan pengamatan mendalam terhadap perilaku manusia, setidaknya ada dua sudut pandang yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah pengamatan perilaku kita sendiri melalui sudut pandang pertama, yakni sudut pandang kita sendiri. Yang kedua adalah pengamatan terhadap perilaku kita sendiri, tetapi dengan menggunakan sudut pandang orang kedua, yakni sudut pandang orang lain. Yang pertama disebut Laming sebagai sudut pandang personal. Dan yang kedua disebutnya sebagai sudut pandang kamera.[10]

Dari sudut pandang personal, orang memiliki kebebasan. Mereka memiliki pergulatan emosional, perasaan, dan kecemasan-kecemasan. Ciri-ciri itulah yang membuat manusia menjadi manusiawi. Di sisi lain, jika dilihat dari sudut pandang kamera, perilaku manusia tampak mekanis. Ia diberi rangsangan, dan kemudian memberikan respons yang kurang lebih tetap terhadap rangsangan tersebut. “Pertanyaan tentang perilaku manusia ditandai oleh kehendak bebas atau sepenuhnya ditentukan”, demikian tulis Laming, “bukanlah bagian dari perilaku, tetapi dari titik tolak dari mana perilaku tersebut diamati”.[11] Jika kedua sudut pandang ini tidak dibedakan, maka yang terjadi adalah kebuntuan intelektual (intellectual impasse), di mana suatu tindakan tampak melulu ditentukan sekaligus bebas dalam waktu yang sama.

Dari sudut pandang kamera, perilaku manusia tampak sepenuhnya ditentukan. Perilaku manusia seolah berlangsung secara mekanis. Manusia dikenal juga sebagai mesin biologis. Walaupun memiliki unsur biologis, tetapi tetap saja, manusia itu mesin. Mesin biologis itu bereaksi terhadap berbagai rangsangan yang muncul dari luar dirinya. Laming menyebut aspek perilaku ini sebagai perilaku semi mekanis. Jika ada seorang wanita cantik berpakaian seksi berjalan di terminal bis kota pada siang hari, maka semua pria yang duduk di terminal, baik itu supir maupun penumpang, akan terkesima melihat wanita tersebut. Memang secara personal, masing-masing orang yang menyaksikan wanita seksi berjalan menghayati peristiwa itu secara berbeda-beda. Namun dilihat dari sudut pandang kamera, perilaku mereka tampak mekanis.

Dengan demikian dari sudut pandang personal, tidak ada perilaku manusia yang mekanis. Namun dari sudut pandang kamera, yakni sudut pandang pengamat, perilaku manusia tampak mekanis. Namun seringkali, orang tidak menyadari dirinya sendiri adalah mesin yang mekanis. Pada saat memandang wanita cantik tadi, saya berpikir, “Dia cantik sekali, saya ingin berkenalan dengannya”. Pada saat itu, saya tidak menyadari, bahwa kepala saya ternyata sedang menghadap wanita itu, dan menatapnya langsung. Dari sudut pandang kamera, itu adalah tindakan yang khas pria, yakni menatap wanita cantik yang sedang berjalan. Isi dari pikirannya memang berbeda-beda, tetapi tindakannya serupa. Laming menyatakan dengan jelas, bahwa tidak mungkin orang bisa mengamati perilakunya sendiri secara akurat.

Masyarakat dibentuk oleh interaksi antar manusia. Interaksi tersebut memiliki pola yang kurang lebih tetap. Namun di dalam perjalanan waktu, interaksi antar manusia tersebut semakin diwarnai oleh kekuasaan. Interaksi pun jatuh ke titik negatif ekstrem, seperti terjadinya perkelahian antar kampung, pencurian, pembunuhan, dan bahkan pemerkosaan. Sebagai antitesisnya, masyarakat kemudian mendirikan berbagai institusi sosial dan kelompok kepentingan yang berpihak pada perwujudan kepentingan umum. Keberadaan organisasi-organisasi itu bertujuan menghadapi krisis interaksi yang terjadi di dalam masyarakat.

Pertanyaan dasarnya adalah, mengapa pada akhirnya orang melakukan “kejahatan” pada orang lainnya, sehingga merusak interaksi sosial yang merupakan inti dari keberadaan masyarakat? Menurut Laming, suatu perilaku didefinisikan sebagai suatu kejahatan, jika perilaku tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat. Sedari kecil, setiap orang selalu dibentuk dalam suatu konteks kultural tertentu yang memilik norma-norma spesifik. Tuntutan masyarakat merupakan suatu tuntutan yang harus dipatuhi oleh orang-orang yang hidup di dalamnya. Apa yang baik oleh masyarakat harus juga dianggap sebagai yang baik oleh individu. Namun dalam perjalanan, banyak orang tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial tersebut. Mereka memiliki dorongan personal yang berbeda dengan tuntutan kultural dibebankan masyarakat. Mereka bertindak dengan motivas personal yang tidak memerlukan justifikasi dari dunia sosial. Akibatnya, mereka dianggap jahat, asing, aneh, eksentrik, dan sebagainya. Dengan kata lain, Laming mengajukan argumen menarik, yakni bahwa kejahatan muncul justru karena adanya aturan. Keberadaan aturan dan norma tidak memusnahkan kejahatan, tetapi justru melahirkannya.[12]

Dunia sosial memilki kekuatan yang luar biasa, sehingga bisa memaksakan norma-normanya kepada individu. Norma-norma ini diperpanjang oleh institusi-instusi pendidikan, penjara, dan rumah sakit jiwa yang menyatakan inilah yang benar, dan yang lain adalah salah. Moral dan agama pun membantu di dalam pelestarian tata sosial tersebut. Moral, agama, pendidikan, penjara, hukum, dan rumah sakit jiwa adalah elemen-elemen dunia sosial yang memiliki fungsi kontrol kuat terhadap individu. Jika individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma-norma yang terdapat di dalam institusi-institusi tersebut, maka ia bisa dipenjara, rehabiliitasi, ataupun dimasukan ke dalam rumah sakit jiwa. Keberadaan institusi ini tidaklah melulu buruk, karena mereka menjaga stabilitas sosial, sekaligus mewariskan nilai-nilai kultural ke generasi berikutnya. Dalam kerangka ini, motivasi manusia, terutama yang mekanis, haruslah tunduk pada norma-norma kultural dan hukum positif yang ada.



[1] Tulisan ini diinspirasikan dari pemikiran Donald Laming, Understanding Human Motivation, Oxford, Blackwell, 2004.

[2] Ibid, hal. 2.

[3] Ibid.

[4] Lihat, Laming, 2004, hal. 3.

[5] Lihat, ibid, hal. 6.

[6] Ibid.

[7] Ibid, hal. 7.

[8] Laming, 2004, hal. 8.

[9] Lihat, Ibid, hal. 278.

[10] Lihat, ibid, hal. 279.

[11] Ibid, hal. 279.

[12] Bdk, Laming, 2004, hal. 281.


Menuju Pendidikan yang Mengubah Hati

Pendidikan yang Mengubah Hati

Reza A.A Wattimena

Dunia pendidikan kita carut marut. Idealisme pendidikan untuk mengembangkan keseluruhan diri manusia terancam musnah digantikan pendidikan sebagai mesin pencetak uang instan.

Untuk mendapatkan pendidikan yang bermakna, orang harus keluar banyak uang. Padahal, tidak semua orang Indonesia mampu memenuhi kebutuhan itu.

Sekolah sebagai institusi pendidikan pun tidak lagi murni, namun dilumuri kepentingan untuk mendapatkan uang, sehingga mereka bisa survive dengan membayar upeti pada pemerintah. Sekarang ini, jika ingin bertahan sebagai sekolah yang unggul, maka sekolah haruslah menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk pelicin ke pemerintah.

Inilah praktek kotor yang terus berlangsung, namun tampak tidak lagi menjadi tema persoalan, karena sudah dianggap biasa. Kejahatan sudah dianggap banal.

Ekonomi

Hal yang sama terjadi di dalam bidang ekonomi. Banyak pengusaha harus membayar uang pelicin kepada pemerintah, supaya mereka tetap bisa melakukan bisnis.

Pada hari-hari raya, pejabat pemerintah, mulai dari yang tinggi sampai yang rendah, ramai-ramai meminta upeti dari pengusaha. Upeti itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa.

Uang upeti itu kemudian digunakan untuk membuat pesta-pesta keagamaan demi menjaga citra pejabat tersebut di mata masyarakat. Dengan membuat pesta-pesta itu, maka kesalahan-kesalahan si pejabat seolah terhapuskan, padahal tidak.

Tidak jarang pula ditemukan, banyak pejabat yang meminta uang upeti dari para pengusaha sekedar untuk liburan ke luar negeri bersama keluarganya. Pengusaha tidak bisa menolak. Jika mereka menolak, maka bisnis mereka bisa terhambat nantinya.

Korbannya adalah para buruh. Keuntungan dari bisnis, yang seharusnya cukup besar untuk meningkatkan gaji buruh, diberikan kepada pejabat pemerintah yang korup. Gaji buruh tetap rendah. Kemiskinan pun jadi penyakit akut yang sulit sekali disembuhkan.

Hukum

Korupsi di bidang hukum pun sudah bukan lagi rahasia. Para “prajurit hukum”, yang seharusnya menjadi pionir pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, justru melestarikan budaya korupsi, dan membuat hukum menjadi impoten di hadapan para pelanggarnya.

Hakim, jaksa, dan pengacara tak berdaya di hadapan suap. Hati nurani dan etika profesi mereka terancam musnah, karena tak mampu menahan suap.

Tidak hanya itu, undang-undang kini pun bisa dipesan, asalkan dengan nominal finansial yang mencukupi. Kontradiksi dalam undang-undang yang ada sudah bukan hal baru lagi. Kontradiksi itu pun ditutupi dengan uang.

Di mata para pejabat hukum, kejahatan tidak lagi dikenali sebagai kejahatan, tetapi sebagai barang dagangan. Tidak berlebih jika analis ekonomi, B. Herry Priyono, berulang kali menegaskan bahaya homo oeconomicus di dalam semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Pendidikan yang Mengubah Hati

Bidang politik dan hukum tidak lagi bisa diharapkan untuk membawa perubahan. Kultur dan sistem yang sudah eksis di kedua bidang itu sudah terlalu kotor dan akut untuk bisa mengubah dirinya sendiri.

Harapan utama kita adalah pada bidang pendidikan. Akan tetapi,bidang ini pun juga dipenuh masalah.

Politik uang mewarnai bidang ini. Pendidikan pun seringkali jatuh pada pengajaran yang bersifat teknis semata, dan tidak pernah menyentuh hati para peserta didik.

Para praktisi dan teoritikus pendidikan harus mulai menggalakan pendidikan yang mengubah hati. Pendidikan semacam ini tidak hanya mengajarkan hal-hal teknis kepada mahasiswa, tetapi mengubah hatinya ke arah yang lebih bermoral.

Akal bisa dipakai untuk tujuan apapun, tetapi hati menggambarkan otentisitas jiwa manusia. Sastra dan filsafat adalah kunci untuk mengubah hati para peserta didik.

Pendidikan hati mampu menyentuh kedalaman sanubari orang, sehingga ia berubah. Tentu saja, metode menghafal juga tidak berguna di dalam membentuk hati seseorang.

Teknik menghafal membunuh kreatifitas dan dinamika intelektualitas peserta didik. Para peserta didik harus diajak untuk mulai peduli dengan dunia. Kepedulian yang tidak didasarkan pada hitungan untung rugi, tetap pada solidaritas yang berbasis hati serta kepekaan.

Hati yang terbuka, sabar, dan peka kepada orang lain bukan karena kesamaan identitas, seperti satu agama, satu bangsa, ataupun satu ras, dan juga bukan karena motif keuntungan finansial, tetapi karena hati nurani yang menjerit untuk peka menolong siapapun atau apapun yang membutuhkan.

Untuk mencapai tujuan perubahan hati ini, para praktisi pendidikan haruslah mengubah asumsi dan metode mengajar mereka. Mereka harus mengajar peserta didik untuk berpikir dengan jernih, sekaligus dengan keberpihakan yang jelas pada cita-cita kehidupan bersama yang lebih baik. Bentuk dialog imajinatif dan diskusi rasional sangat cocok dengan ini.

Kemampuan teknis, seperti menghitung, membuat besi, mengolah minyak, memang perlu. Akan tetapi, bangsa ini lebih membutuhkan orang-orang yang memiliki hati. Kehadiran mereka bagaikan oasis segar di tengah padang gurun krisis sosial yang terjadi sekarang ini.***

Panduan untuk Memahami Platon: Survei Singkat atas Karya-karya dan Cara Berpikir Platon

Panduan untuk Memahami Platon[1]

Survei Singkat atas Karya-karya dan Cara Berpikir Platon

Reza A.A Wattimena

Platon adalah warga Athena yang berasal dari keluarga aristokrat. Ia aktif hidup dan berfilsafat pada abad keempat sebelum masehi. Ia adalah pengikut setia dari Sokrates. Tulisan-tulisannya menunjukkan hal ini dengan sangat jelas. Hampir semua isi tulisan Platon, yang kebanyakan bergaya dialog, menjadikan Sokrates sebagai tokoh utamanya. Sokrates adalah guru dari Platon. Ia adalah filsuf yang suka berjalan-jalan di pasar, dan mengajukan pertanyaan kritis kepada orang disana tentang berbagai hal, seperti tentang keadilan, manusia, pengetahuan, kebenaran, dan sebagainya. Ia dihukum mati oleh pemerintah Athena, karena dianggap meracuni pikiran anak muda pada jamannya. Di dalam tulisan-tulisannya, Platon, dengan menggunakan nama Sokrates, seringkali berfilsafat sambil bernostalgia tentang bagaimana keadaan politik Athena sebelum dirobek oleh perang saudara, atau mengalami kekalahan perang dari Sparta. Filsafat politiknya juga muncul dari imajinasi dan nostalgia semacam itu.

Tulisan-tulisan awal Platon lebih banyak bernada pembelaan terhadap pandangan-pandangan Sokrates tentang penghukuman dan kematian. Dialog yang paling terkenal adalah Apology, yang merupakan reproduksi dari pidato Sokrates saat pengadilannya. Pada dialog Gorgias, Platon menuliskan perdebatan tentang pilihan antara kehidupan berpolitik atau kehidupan berfilsafat. Platon, dengan menggunakan mulut Sokrates, terlibat dalam perdebatan keras dengan seorang retoris, seorang sophis di dalam Protagoras, dan seorang ahli agama di dalam Euthyphro. Melalui dialog-dialognya, Platon tetap berpegang teguh, bahwa filsafat merupakan jalan utama untuk sampai pada kebenaran dan keutamaan. Ia menolak semua pendekatan lainnya.

Di dalam Meno, Symposium, dan Phaedo, Platon mengembangkan pemikirannya ke ranah etika, metafisika, epistemologi, dan psikologi. Metode yang ia gunakan adalah metode hipotesis. Di dalam metode ini, orang mengajukan pendapat, lalu ditanggapi secara bersama-sama di dalam diskusi oleh orang lainnya. Di dalam dialog ini pulalah Plato mulai menjauhkan diri dari pandangan-pandangan Sokrates, dan mengajukan pandangan-pandangannya sendiri. Dua teori yang kiranya khas Platon adalah teori tentang forma dan teori tentang keabadian jiwa. Teori tentang forma mengacu pada pengetahuan tentang suatu benda yang tidak berada di dunia empiris, tetapi merupakan eidos yang bersifat abadi, tidak berubah, dan cukup diri. Misalnya, eidos tentang keindahan mendefinisikan apa yang dimaksud dengan keindahan. Keindahan di dalam realitas merupakan partisipasi terhadap eidos keindahan. Eidos keindahan merupakan esensi dari keindahan. Eidos ini bersifat abadi dan tidak berubah. Sementara, keindahan di dalam realitas sifatnya relatif dan berubah-ubah. Di dalam Phaedo, Platon menulis, bahwa argumen ini hanya bisa dibenarkan, jika teori ini konsisten dengan kebenaran-kebenaran lainnya. Di dalam Republic, ia menulis bahwa teori tentang forma baru bisa dibenarkan, jika argumennya koheren dengan satu prinsip tertinggi yang disebutnya sebagai “yang baik”. Yang baik merupakan sumber dari segala eidos. Ia adalah to agathon.

Teori tentang keabadian jiwa dipertahankan oleh Platon di dalam dialog-dialognya. Asumsi dari teori ini adalah, bahwa jiwa dan tubuh merupakan dua entitas yang terpisah. Pada waktu hidup, dua entitas ini saling bergandengan di dalam diri manusia. Akan tetapi, entitas ini akan murni terpisah pada saat orang meninggal. Argumen ini pertama kali muncul pada dialog Meno, ketika membicarakan tentang bagaimana orang bisa sampai pada pengetahuan apriori tentang kebenaran matematis. Menurut Platon, dengan menggunakan mulut Sokrates, kebenaran matematis tidaklah diberikan orang lain kepada kita dalam bentuk informasi. Kita mengetahuinya melulu dengan penalaran kita, terutama dengan menggalinya dari dalam diri kita sendiri, di mana terdapat memori laten yang sudah selalu ada. Dalam perjalanan waktu, orang lupa akan pengetahuan yang sudah mereka punya. Kelupaan pertama akan eidos terjadi, saat jiwa memasuki tubuh. Tubuh membuat jiwa kehilangan pengetahuannya. Proses belajar sebenarnya adalah proses mengingat kembali. Di dalam dialog Phaedo, Platon mengajukan argumen bahwa orang yang mendedikasikan hidupnya untuk berfilsafat, yakni untuk mencari kebijaksanaan, akan menemukan kebenaran yang sesungguhnya, ketika ia mati dan meninggalkan tubuhnya. Ketika mati, ia akan mencapai kebijaksanaan, dan terbebas dari belenggu tubuh. Ia akan sampai pada pengetahuan murni tentang eidos kembali, sama seperti sebelum jiwa memasuki tubuh.

Buku Republic merupakan karya terbaik Platon. Buku ini ditulis, ketika ia sedang subur-suburnya berfilsafat. Di dalam buku itu, metafisika dan epistemologi di dalam filsafatnya diterjemahkan dalam konteks filsafat politik. Platon merumuskan tentang kota yang ideal. Kota yang ideal adalah kota yang diatur dengan prinsip keadilan. Kota itu dibentuk dengan pemerintahan komunisme, di mana semua tata kehidupan bersama diatur oleh seorang filsuf-raja juga atas dasar prinsip keadilan. Seorang filsuf raja adalah seorang filsuf yang ambil bagian di dalam kehidupan politik. Ia adalah orang yang telah terlatih untuk berpikir abstrak tentang eidos dan matematika. Ia memiliki keutamaan yang diperlukan untuk menciptakan harmoni di dalam masyarakat. Tata politik yang ideal hanya bisa terwujud, jika dipimpin oleh seorang filsuf raja yang memiliki pemahaman tentang eidos dan tentang to agathon.

Sampai sekarang, banyak ahli Platon masih berdebat, apakah filsafat politik Platon tentang filsuf-raja, baik perempuan ataupun pria, memang dimaksudkan untuk diterapkan, atau tidak. Tulisan-tulisan Platon sendiri, jika dibaca secara detil, menujukkan pesimisme yang besar terhadap kemungkinan manusia untuk sampai kehidupan bersama yang ideal. Metafor yang paling terkenal di dalam buku republic adalah analogi gua. Di dalam metafor tersebut digambarkan, bagaimana orang pada umumnya lebih senang terjebak dalam ilusi di gua, dan menolak untuk dicerahkan oleh para filsuf yang berhasil keluar dari gua dan melihat matahari sebagai simbol kebenaran. Teori psikologi Platon juga cukup pesimis. Ia menggambarkan bagaimana manusia terdiri dari akal budi, emosi, dan hasrat. Ketiga elemen itu seringkali berkonflik, dan pada akhirnya menciptakan keraguan moral, yang berujung pada kejahatan. Platon juga menulis dialog berjudul Timaeus. Di dalam dialog ini, ia berpendapat, bahwa alam semesta diciptakan oleh seorang tukang agung, yang menciptakan segala sesuatu dengan ketepatan rasio matematik yang sangat akurat.

Dialog-dialog ini memberikan kontribusi besar bagi perkembangan filsafat. Namun, kontribusi terbesar tampaknya diberikan oleh teks Platon yang berjudul Parmenides. Di dalamnya, Parmenides mengajukan kritik terhadap koherensi logis teori forma Platon tentang eidos. Menurutnya, teori forma Platon tidak menampung proses dialektika, yang notabene merupakan pola gerak realitas. Di dalam Theaetetus, Platon menulis tentang kritiknya terhadap kebenaran relatif yang diajukan oleh kaum sofis. Dua karya terakhir Platon adalah Statesman dan Laws. Statesman berisi pengetahuan praktis tentang cara seorang negarawan memerintah rakyatnya. Sementara, Laws terdiri dari 12, yang belum selesai ditulis, bahkan sampai Platon meninggal.

Mengenai Cara Berpikir Platon

Salah satu metode yang dipakai oleh Platon di dalam mengemukakan pendapatnya adalah metode bidan. Metode ini didapatkannya dari Sokrates. Metode bidan adalah metode yang menggunakan pertanyaan sebagai alat untuk sampai pada kebenaran. Metode bidang berusaha menemukan kebenaran melalui proses bertanya terus menerus, karena kebenaran tidak terletak di luar diri manusia, tetapi di dalamnya. Pertanyaan membantu orang untuk sampai pada kebenaran yang sebenarnya sudah ada di dalam dirinya. Jadi, seperti bidang yang membantu ibu melahirkan anak, begitu pula seorang filsuf mengajukan pertanyaan untuk membantu orang melahirkan kebenaran yang sudah ada di dalam dirinya.

Filsafat Platon juga menunjukkan tegangan yang besar antara apa yang ideal dan apa yang faktual. Yang ideal adalah apa yang seharusnya. Sementara, yang faktual adalah apa yang terjadi. Di dalam filsafat Platon, yang ideal adalah eidos. Sementara, yang faktual adalah benda-benda di dalam dunia nyata. Eidos adalah esensi dari benda-benda yang ada di dalam dunia konkret. Filsafat politik Platon juga berbicara tentang tata sosial masyarakat dengan menggunakan eidos sebagai panduannya, jadi bukan suatu tips praktis untuk membangun negara. Eidos adalah esensi yang bersifat abadi dan tidak berubah. Sementara, benda-benda di dunia konkret adalah benda-benda tidak abadi dan terus mengalami perubahan.

Platon secara tegas menentang relativisme dalam segala bentuknya. Relativisme adalah pengetahuan yang menyatakan, bahwa kebenaran itu bersifat plural, tergantung pada konteksnya. Menurut Platon, kebenaran semacam ini sama sekali tidak bisa disebut sebagai kebenaran. Kebenaran yang sesungguhnya adalah eidos dari kebenaran yang bersifat universal, abadi, dan tidak berubah. Segala pernyataan yang mengklaim kebenaran itu relatif masihlah berada di tataran realitas konkret sehari-hari, dan belum sampai pada eidos. Pengetahuan semacam itu masihlah merupakan doxa, yang belum mencapai kemurnian kebenaran.

Platon juga menjadikan filsafat sebagai jalan hidup. Jalan filsafat adalah jalan untuk menemukan kebenaran dan kebijaksanaan. Jalan hidup lainnya berorientasi pada kenikmatan sesaat yang diberikan oleh materi. Sementara, jalan filsafat menawarkan kebahagiaan yang muncul, karena orang memandang kebaikan itu sendiri. Jalan hidup filsafat, menurut Platon, melepaskan orang dari penjara tubuh, yang membuat orang tidak mampu sampai pada kebenaran. Oleh karena itu, seorang filsuf tidaklah takut pada kematian. Kematian adalah pemusnahan badan. Jika badan dimusnahkan, maka jiwa terbebas dari penjara badan. Jiwa akan kembali menemukan kebenaran yang sempat diambil dari padanya.***