Filsafat Yahudi

Arti

Filsafat Yahudi[1]

Reza A.A Wattimena.

Pusat Kajian Multikulturalisme dan Skolatik Filsafat Widya Mandala, Surabaya

Setiap buku tentang filsafat Yahudi harus selalu dimulai dengan terlebih dahulu menjawab pertanyaan, apa yang dimaksud dengan filsafat yahudi? Tentu saja ini bukanlah merupakan salah satu pertanyaan abadi di dalam filsafat, seperti apa hakekat manusia dan dunia, dan bagaimana kita harus hidup. Namun pertanyaan ini tetap perlu untuk dijawab, guna menempatkan seluruh filsafat Yahudi, dan pemahaman atasnya, pada konteks yang tepat. Pertanyaan tentang ‘apa’ biasanya selalu terkait dengan pertanyaan ontologis, yakni pertanyaan tentang hakekat. Di dalam pertanyaan ini sudah diandaikan keberadaan esensi, yakni sekumpulan ciri yang dimiliki oleh para filsuf Yahudi di dalam merumuskan dan menyampaikan pemikiran mereka, sekaligus membedakan mereka dari aliran-aliran besar filsafat lainnya.

Tentu saja orang akan sangat sulit menentukan hakekat dari filsafat Yahudi, terutama dengan menggunakan kriteria di atas. Tidak hanya itu konsep ‘filsafat Yahudi’ pun juga sebenarnya konsep yang ditemukan pada masa modern. Konsep itu sendiri pertama kali dirumuskan sebagai bagian dari mata kuliah filsafat, yakni mata kuliah yang hendak mempelajari sejarah pemikiran para filsuf Yahudi secara sistematis dan utuh. Namun apakah semua filsuf berdarah Yahudi praktis memiliki kesamaan ciri di dalam filsafat mereka? Tentu saja tidak. Itu sama sulitnya dengan mengatakan, bahwa semua orang filsuf Jerman memiliki kesamaan ciri di dalam filsafat mereka. Walaupun seringkali tidak memuaskan, namun lahirnya konsep “filsafat Yahudi” adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan begitu saja. Cukuplah kita sadari bersama kekurangan yang ada di dalam konsep itu, bahwa itu lebih merupakan konsep yang berguna untuk kepentingan pembelajaran.

Dengan demikian pertama-tama, filsafat yahudi adalah suatu displin akademik. Filsafat yahudi adalah suatu penemuan (invention) dari para sejarahwan filsafat abad ke -19. Mereka ingin menyatukan para filsuf berdarah Yahudi ke dalam satu kerangka untuk bisa dipelajari dan ditanggapi secara kritis. Sebelum abad ke-19, tidak ada orang yang secara eksplisit mengajukan tesis ataupun pertanyaan terkait dengan filsafat yahudi. Sebabnya sederhana yakni karena tidak ada yang disebut sebagai filsafat yahudi. Tidak ada filsuf sebelum abad ke-19 yang mengakui filsafat yahudi sebagai cabang dari filsafat. Para filsuf berdarah Yahudi seringkali digolongkan di dalam aliran-aliran filsafat tertentu, namun bukan filsafat yahudi. Hal ini sebenarnya bisa dimengerti, karena pada masa pra-modern dan modern, filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan masih berada di dalam satu kesatuan. Pada masa-masa itu, perbedaan antara ketiganya seringkali tidak jelas.

Di peradaban Islam yang justru merupakan tempat yang subur bagi berkembangnya pemikiran para filsuf yang berdarah yahudi, orang-orang seperti Maimonides ataupun Gersonides (yang akan kita bedah isi pemikirannya pada bab-bab berikutnya) tidak memandang diri mereka sebagai bagian dari para filsuf yahudi. Dalam arti tertentu mereka lebih tepat ditempatkan sebagai para filsuf yang memberikan tafsiran yang kreatif dan rasional atas tradisi Yahudi yang memang telah berkembang ribuan tahun sebelumnya. Mereka adalah para filsuf yang menggunakan konsep-konsep filosofis sebagai dasar bagi tafsiran atas tradisi Yahudi.[2]

Bagi para pemikir seperti Maimonides dan Gersonides, kitab suci Yahudi adalah suatu traktat filosofis yang bisa dikembangkan tafsirannya secara rasional dan sistematis. Akan tetapi kegiatan intelektual semacam itu, yakni menafsirkan kitab suci Yahudi secara filosofis, juga belum dapat menjadi dasar yang kokoh untuk suatu ‘filsafat yahudi’. Menurut Frank dan Leaman (selanjutnya saya singkat menjadi FL), suatu refleksi filosofis terhadap kita suci Yahudi tidak pernah dapat disebut sebagai filsafat yahudi, karena refleksi semacam itu tidak memiliki implikasi universal yang kiranya bisa berlaku untuk orang-orang di luar etnis ataupun agama Yahudi.

Bagi Maimonides dan Gersonides (seperti akan kita lihat secara lebih detil pada bab-bab berikutnya), berfilsafat atas ajaran Yahudi adalah suatu kewajiban moral yang perlu dan harus dilaksanakan, terutama untuk menarik relevansi konkret dari ajaran Yahudi yang memang sudah berusia ribuan tahun. Mereka menafsirkan tradisi dan menjadikannya sebagai tema diskusi yang menarik, terutama tentang penciptaaan, karya Allah, dan bahkan ramalan atas masa depan bangsa Yahudi. Gaya semacam ini memang tidak hanya ditemukan di dalam tradisi Yahudi. Berdasarkan penelitian FL gaya seperti itu sebenarnya juga dapat ditemukan di tradisi filsafat lainnya. Bahkan hampir semua agama monoteistik, seperti Islam dan Kristen, melakukan hal ini. Mereka menanggapi hal-hal yang muncul di dalam kitab suci secara filosofis.

Sekali lagi perlu untuk ditegaskan, bahwa filsafat Yahudi bukanlah cabang filsafat, melainkan suatu cara untuk menafsirkan tradisi kultur Yahudi dengan menggunakan pendekatan filosofis yang sifatnya rasional, kritis, dan sistematis. Di dalam filsafat abad pertengahan, para filsuf seringkali berpijak pada tradisi agama tertentu, dan kemudian bergerak untuk merumuskan suatu sistem filsafat tersendiri untuk memahami realitas. Tidak hanya dulu para filsuf kontemporer sekarang ini seringkali berpijak pada suatu sistem filsafat tertentu untuk mengembangkan pemikirannya, seperti yang dilakukan oleh Iris Murdoch dengan tradisi Platonisme dan Alasdair MacIntyre dengan tradisi Aristoteliannya.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, filsafat Yahudi adalah temuan pada sejarahwan filsafat abad ke-19. Tujuan mereka adalah untuk menanggapi suatu situasi dan kondisi jaman tertentu yang dianggap dapat menghancurkan identitas Keyahudian. “Filsafat Yahudi”, demikian FL, “muncul sebagai suatu upaya untuk melukiskan, sejalan dengan standar garis akademik, sebuah kesatuan tulisan-tulisan.”[3] Dengan kata lain filsafat Yahudi adalah suatu kesatuan tekstual yang berpijak pada tradisi suku dan agama Yahudi, serta memenuhi standar akademik. Misalnya filsafat Yahudi tidak membahas mistisisme, karena dianggap tidak sesuai dengan standar akademik dan rasionalitas.

Dari pemaparan FL dapatlah disimpulkan, bahwa filsafat Yahudi merupakan suatu displin akademik yang diciptakan pada abad ke-19 untuk memelihara dan mengembangkan tradisi Yahudi, serta untuk menegaskan akar akademisnya. Tema utama filsafat Yahudi adalah tradisi dan agama Yahudi yang kemudian dijadikan bahan refleksi filosofis. Yang juga harus disadari adalah, bahwa tradisi itu berubah sejalan dengan perubahan jaman. Di sisi lain agama dan tradisi Yahudi juga memiliki banyak aliran. Di dalam filsafatnya Maimonides hendak merumuskan kembali pandangan dunia Yahudi yang dikaitkan dengan konteks jamannya. Ia semacam mendirikan aliran sendiri dengan mengubah pandangan orang Yahudi, yang sebelumnya memang masih bersifat tradisional, menjadi lebih progresif.

Pada masa abad pertengahan, tidak ada pemisahan yang tegas antara akal budi dan wahyu. Pemisahan itu baru dilakukan, setelah Eropa mulai mengenal dan menerapkan prinsip pemisahan negara dan gereja. Bahkan menurut penelitian FL, para filsuf besar abad pertengahan, seperti Averroes, Maimonides, dan Thomas Aquinas tidak melihat adanya pemisahan antara akal budi dan wahyu agama.  Proyek filsafat abad pertengahan, dan juga filsafat Yahudi, adalah untuk memahami dan menafsirkan wahyu yang terdapat di dalam agama tertentu melalui rasionalitas. Sekali lagi tujuan dari filsafat abad pertengahan, dan juga di dalam Filsafat Yahudi abad pertengahan, bukanlah mempertanyakan tradisi dan agama, melainkan memahaminya dengan cara-cara yang rasional.


[1] Pada bab ini saya diinspirasikan dari tulisan Frank, Daniel H., dan Leaman, Oliver (ed), History of Jewish Philosophy, London: Routledge, 1997. Saya akan memberikan keterangan selengkapnya dari sumber-sumber lain yang saya gunakan.

 

[2] Lihat, ibid, 2.

[3] Ibid, 4.

Filsafat dan Persahabatan

Memahami

Makna Persahabatan

Sebuah Refleksi Filosofis Tentang Persahabatan

Reza A.A Wattimena[1]

Mengapa manusia bersahabat? Apa hakekat atau inti terdalam dari persahabatan yang mewarnai cerita Amir dan Hasan di dalam novel The Kite Runner? Pertanyaan tersebut memang terdengar retoris, namun itulah yang muncul di kepala saya, ketika diminta untuk menuliskan beberapa patah kata mengenai persahabatan. Sejarah filsafat penuh dengan refleksi soal persahabatan. Dan karena psikologi adalah anak kandung filsafat, maka ada baiknya saya memperkenalkan anda dengan sebuah refleksi filsofis tentang persahabatan.

Hakekat Persahabatan

Ijinkan saya memperkenalkan mas Plato, seorang filsuf yang hidup lebih dari 2400 tahun yang lalu. Dapat juga dikatakan Plato adalah filsuf pertama yang membuka percakapan yang sifatnya rasional dan sistematis di dalam sejarah pemikiran manusia. Apa pendapatnya tentang hakekat persahabatan? Coba kita teliti pandangannya.[2]

Di dalam persahabatan terselip sebuah kata dan konsep luhur yang seringkali digunakan, namun sulit sekali untuk dipahami; cinta. Dapat pula dikatakan pendapat Plato tentang persahabatan terkait dengan pendapatnya soal cinta. Apa itu cinta? Menjawab pertanyaan itu Plato memperkenalkan tiga konsep; philia, eros, dan agape.

Secara singkat philia dan eros adalah jenis cinta yang masih berfokus pada kualitas orang yang dicintai. Misalnya saya mencintai kamu, karena kamu ganteng, cantik, pintar, dan sebagainya. Jadi tindak mencinta (termasuk bersahabat) muncul, karena orang yang dicintai memiliki kelebihan tertentu. Eros biasanya terkait dengan cinta yang melibatkan nafsu seksual. Eros dengan mudah ditemukan pada pasangan yang tengah bercinta.

Sementara philia adalah cinta antar saudara, teman, sahabat, rekan kerja, ataupun cinta terhadap orang-orang yang berasal dari bangsa maupun suku yang sama. Persahabatan antara Amir dan Hasan sangat mungkin didasarkan pada philia yang sangat kuat. Cirinya ada dua yakni keduanya mengagumi sosok sahabatnya (Amir ke Hasan, dan Hasan ke Amir), serta keduanya merasa kecewa, terutama ketika menghadapai fakta, bahwa sahabatnya ternyata tidak sesuai dengan persepsi yang mereka bangun masing-masing. Ciri khas philia dan eros adalah, bahwa keduanya hancur, ketika orang yang kita cintai (termasuk sahabat) tidak lagi menjadi seperti yang kita inginkan.

Bagi Plato tingkat cinta tertinggi adalah agape, yakni cinta yang tidak lagi berfokus pada keunggulan ataupun kehebatan orang yang dicintai, melainkan justru ingin mengembangkan orang yang dicintai untuk mempunyai keunggulan yang sebelumnya tidak ada. Dengan kata lain cinta agape adalah cinta yang membangun. Orientasi utama agape bukanlah kepentingan dan kepuasan diri, melainkan kepentingan dan perkembangan orang yang dicintai. Dengan mudah kita menemukan cinta ini pada ibu yang merawat anaknya dengan penuh kasih sayang, dan seorang suami yang dengan setia dan tulus mencintai istri dan anaknya.

Alasan Persahabatan

Dengan filsafatnya tentang cinta (yang memang menjadi dasar kokoh untuk persahabatan), Plato tetap tidak menjawab pertanyaan mengapa manusia bersahabat. Ia menjelaskan hakekat persahabatan, namun tidak menjelaskan alasan mengapa orang bersahabat. Muridnya yang bernama Aristoteleslah yang akan menjawab pertanyaan ini. Uraiannya tentang persahabatan terdapat di dalam bukunya yang legendaris, Nicomachean Ethics.

Menurut Aristoteles ada tiga alasan orang menjalin persahabatan, yakni kenikmatan (hedonic/pleasure), kegunaan (utility), dan keutamaan (arete/virtue). Artinya sederhana saya bersahabat dengan anda, karena anda memberikan saya kenikmatan (pleasure), seperti bisa diajak diskusi, pintar, suka berbagi ilmu, suka mentraktir saya, suka berpetualang bersama (untuk yang suka jalan-jalan), atau suka membelikan saya barang-barang mewah. Alasan lainnya adalah bahwa saya bersahabat dengan anda, karena anda berguna untuk saya. Ketika menjelang ujian anda mau membagikan ilmu dengan diskusi, atau dengan berteman dengan anda, saya memiliki koneksi lebih banyak, serta motif-motif ‘berguna’ lainnya. Dan alasan ketiga adalah, saya bersahabat dengan anda, karena anda adalah orang yang memiliki keutamaan, seperti anda rendah hati, murah hati, sabar, penyayang, dan sebagainya.

Dari pemaparan di atas dapatlah disimpulkan, bahwa bagi Aristoteles persahabatan tidak pernah sungguh-sungguh murni, karena selalu diwarnai motif-motif di balik persahabatan itu. Namun begitu tidak berarti persahabatan lalu menjadi ternoda. Justru di dalam konsep persahabatan sudah selalu terkandung konsep ‘motif’, yakni motif kenikmatan, kegunaan, dan keutamaan. Persahabatan dan motif tidaklah bisa dipisahkan.

The Kite Runner

Persahabatan Amir dan Hasan adalah persahabatan yang didasari oleh cinta. Seperti sudah saya tekankan sebelumnya, dasar dari hubungan mereka adalah philia, yakni cinta yang berorientasi pada persaudaraan. Sekilas philia memang tampak luhur, namun philia juga sangatlah rapuh, karena ketika orang yang dicintai tidak lagi sesuai dengan gambaran kita, maka kita dapat segera meninggalkannya. Akhir dari philia adalah kekecewaan, karena harapan yang tidak menjadi kenyataan. Hal itu dengan jelas dapat terlihat di dalam tragedi yang memisahkan Amir dan Hasan.

Pada hemat saya hubungan Amir dan Hasan adalah hubungan yang mencerminkan ketiga motif yang diutarakan oleh Aristoteles. Amir mengagumi Hasan karena ia memiliki keutamaan (berani, gagah, dan sebagainya). Keduanya mendapatkan keuntungan (kegunaan) dari relasi persahabatan mereka. Akibatnya persahabatan pun membawa kenikmatan (pleasure) bagi keduanya, yakni kenikmatan yang muncul dari rasa kebersamaan dan persaudaraan. Itulah motif-motif yang mendasari persahabatan mereka. Namun dasar itu tetaplah lemah, karena masih melulu didasarkan pada philia.

Saat ini kalian berada di salah satu momen terpenting di dalam hidup kalian, yakni kalian memasuki bangku kuliah untuk menuntut ilmu dan menjadi bijaksana di dalam kehidupan. Kunci sukses terpenting (berdasarkan pemaparan ini) di dalam dunia perkuliahan (dan juga di dalam kehidupan) adalah persahabatan, dan bagaimana mengelola persahabatan itu. Dari Plato kita semua bisa belajar untuk memiliki cinta konstruktif kepada orang yang kita cintai (termasuk sahabat kita), yakni cinta yang membangun dan mengembangkan. Dari Aristoteles kita bisa belajar untuk memiliki cinta yang berkeutamaan, yakni cinta yang mau belajar untuk menjadi orang yang berkeutamaan (rendah hati, jujur, sabar, murah hati, rajin) dari orang yang kita cintai.

Cinta yang membangun (agape), dan cinta yang mau belajar untuk berkeutamaan (virtue), adalah kunci sukses kehidupan. Bentuklah pemikiran seperti ini sedari awal, maka segalanya (termasuk harta, kuasa, dan kebahagiaan sejati) akan ditambahkan kepadamu. Have faith and have hope (yakin dan berharaplah).***


[1] Dosen Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Dipresentasikan untuk diskusi informal di Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2 Oktober 2009

 

[2] Untuk uraian tentang Plato dan Aristoteles, saya mendasarkan diri pada  http://plato.stanford.edu/entries/friendship/ diakses pada 1 Oktober 2009, Pk. 17.24. Tulisan-tulisan lain juga membantu, seperti Annas, J., 1977, “Plato and Aristotle on Friendship and Altruism”, Mind, 86:532–54, Lynch, S., 2005, Philosophy and Friendship, Edinburgh: Edinburgh University Press, Schoeman, F., 1985, “Aristotle on the Good of Friendship”, Australasian Journal of Philosophy, 63:269–82, dan White, R.J., 1999a, “Friendship: Ancient and Modern”, International Philosophical Quarterly, 39:19–34.

Paradoks Memaafkan

Paradoks Memaafkan

Reza A.A Wattimena

Hampir semua agama dan kepercayaan di dunia ini mengajarkan umatnya untuk saling memaafkan. Di dalam tindak memaafkan, ada niat untuk berdamai dengan kehidupan, baik kehidupan orang lain ataupun kehidupan diri sendiri. Namun apa sebenarnya arti tindak memaafkan ini? Mengapa kita perlu melakukannya?

Makna Memaafkan

Tindak memaafkan adalah tindakan paradoksal (Lazare). Di dalam ucapan maaf selalu terkait dua hal, yakni keinginan untuk mengingat sekaligus untuk melupakan. Untuk mengingat berarti untuk menerima kejadian yang negatif, yang harus dimaafkan, sebagai bagian dari peristiwa hidup, dan juga sebagai bagian dari relasi antar manusia. Untuk melupakan berarti berkomitmen untuk tidak lagi mengungkap peristiwa negatif tersebut di kemudian hari sebagai alat untuk menyakiti.

Di sisi lain tindak memaafkan juga selalu mengandung aspek universal dan partikular. Di dalam semua peradaban, tradisi memaafkan dapat dengan mudah ditemukan. Fenomena memaafkan adalah fenomena yang universal. Namun tindak memaafkan juga bersifat partikular, karena pribadi-pribadi yang melakukannya adalah pribadi yang unik. Mereka adalah person-person. Semua tindakan terkait memaafkan selalu muncul dari pengalaman personal, dan berawal dari ucapan orang personal pula.

Level tertinggi dari memaafkan adalah memaafkan apa yang sebenarnya tidak termaafkan (Derrida). Jika anda memaafkan hal-hal yang sepele, yang sebenarnya tidak merugikan anda, maka sebenarnya anda belum memaafkan, karena anda masih melakukan hitung-hitungan untung rugi dengan orang yang anda maafkan. Namun jika anda sungguh dirugikan, baik secara mental maupun fisik, dan anda mampu memaafkan, maka anda sudah mencapai tingkat tertinggi dari memaafkan itu sendiri. Inilah dimensi paradoksal terdalam dari tindak memaafkan, yakni bahwa ia sungguh menjadi nyata, ketika orang berani untuk memaafkan apa yang sebenarnya tidak termaafkan.

Distorsi Memaafkan

Sekarang ini banyak orang memaafkan, jika mereka dimaafkan. Pola yang berlaku adalah saya untung, dan anda juga untung. Tidak ada beda antara transaksi bisnis dengan memaafkan. Padahal tindak memaafkan memiliki makna tepat karena tindakan itu tidak bersifat transaksional, melainkan altruistik. Selain cinta ibu kepada anaknya, mungkin tindak memaafkan adalah satu-satu sumber keyakinan kita semua, bahwa manusia mampu bertindak tulus terhadap sesamanya.

Sekarang ini banyak juga orang yang memaafkan hanya sekedar di mulut. Mereka mengucapkan maaf atau memaafkan, tetapi hatinya tetap membenci dan menyimpan dendam. Tindak memaafkan dan meminta maaf dilepaskan dari kejujuran. Padahal pada hakekatnya, meminta maaf dan memaafkan mengandaikan kejujuran. Tanpa kejujuran semua tindakan itu tidak ada artinya.

Tradisi memaafkan memang tradisi yang mulia. Namun orang tidak boleh hanya melakukannya, hanya karena itu merupakan kewajiban. Dengan kata lain tindak meminta maaf dan memaafkan tidak boleh hanya menjadi sekedar formalitas dan ritualistik. Sekarang ini banyak orang terjebak pada formalitas memaafkan. Formalitas dan ritualitas memaafkan mengeringkan tindakan itu dari maknanya yang sesungguhnya sangat dalam.

Memaafkan Secara Sosial

Di sisi lain tindak memaafkan memang berawal dari pengalaman personal. Namun akhir dan puncak dari tindak memaafkan sebenarnya ada di level sosial. Kehidupan sosial manusia sudah sejak awal selalu dilumuri dengan perang dan penderitaan. Tanpa keberanian untuk menerima semua kepedihan yang muncul dari peristiwa itu, kehidupan sosial yang harmonis tidak akan pernah tercipta.

Tanpa keberanian untuk memaafkan di level sosial, identitas kita sebagai bangsa tidak akan pernah terbentuk secara utuh. Kita harus berani berani menatap sejarah bangsa Indonesia yang penuh dengan perang dan penderitaan secara terbuka dan berani. Ajakan ini bukan untuk menguak luka lama, melainkan untuk menjadikan perang dan penderitaan itu sebagai bagian dari identitas bangsa ini. Tanpa kehendak dan keberanian untuk menatap masa lalu yang negatif, kita tidak akan pernah dewasa sebagai bangsa.

Di tingkat sosial memaafkan juga mengandaikan keberanian untuk melupakan. Dalam arti ini melupakan bukan sekedar untuk melupakan begitu saja, melainkan melupakan untuk menerima, dan menerima untuk mengingat (Ricoeur). Semua kepedihan bangsa ini, yang muncul dari begitu banyak perang, krisis, dan konflik antar kelompok, hanya dapat dilampaui dengan dilupakan. Supaya dapat menerima orang perlu untuk melupakan, karena hanya di dalam kemampuan untuk melupakanlah orang dapat mengingat secara tepat (Straub).***

Membangun Kultur Demokrasi Radikal

Membangun
Kultur Demokrasi Radikal

Kompas, Kamis, 5 November 2009 | 04:49 WIB

Oleh Reza AA Wattimena

Dalam arti yang paling radikal (radix: akar), demokrasi adalah bentuk tata sosial politik yang menjadikan pihak yang diperintah (rakyat) sebagai pemerintah. Radikalitas demokrasi persis terletak di dalam inti argumen yang sekilas bersifat paradoksal itu.

Buku ini ingin menjelaskan radikalitas tersebut dengan bingkai kerangka teoretis filsafat politik Jürgen Habermas. Radikalitas demokrasi itu kini berhadapan dengan fakta kemajemukan yang dewasa ini semakin runcing.

Di hadapan fakta kemajemukan sosial yang mengundang kerumitan itu muncul dua pertanyaan. Pertama, model tata sosial macam apa yang dapat diterapkan untuk menata kehidupan sosial politik masyarakat majemuk, seperti Indonesia? Tujuannya adalah agar kesatuan tetap tercipta tanpa harus mengorbankan identitas masing-masing kelompok di dalamnya. Lalu, kedua, syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi supaya model ideal tersebut bisa menjadi kenyataan? Penulis buku ini menawarkan jawaban tentatif atas dua pertanyaan di atas dengan mengacu secara ketat terhadap teks-teks asli berbahasa Jerman tulisan Jürgen Habermas.

Kerumitan masyarakat

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sudah dari akarnya bersifat majemuk. Beragam suku, ras, dan agama hidup serta berkembang bersama membentuk suatu realitas kolektif yang disebut ”Indonesia”. Pada era globalisasi informasi dan komunikasi seperti saat ini, kemajemukan berkembang sangat cepat. Di satu sisi, kemajemukan sosial itu dapat menjadi sumber kekayaan budaya yang tiada tara. Namun, di sisi lain dapat berpotensi sebagai penghancur sekaligus menjadi sumber perpecahan dan konflik.

Di dalam paradoks itu muncul berbagai gerakan kultural-religius yang ingin menghapus semua bentuk kemajemukan pandangan hidup atas nama kelompok ajaran tertentu. Segala masalah seolah bisa diselesaikan dengan diterapkannya ajaran tersebut. Pandangan-pandangan yang berbeda dari ajaran itu dianggap sebagai noda yang harus dimusnahkan.

Di sisi lain, pola pikir yang mengedepankan uang sebagai kriteria utama kehidupan semakin berkembang luas di masyarakat. Solidaritas sosial luntur ditelan cara berpikir kapitalistik yang memuja penumpukan modal. Nilai-nilai kemanusiaan takluk di hadapan nilai uang. Seseorang baru diperhitungkan jika ia memiliki daya beli yang kuat.

Dalam bahasa Jürgen Habermas, dunia kehidupan (Lebenswelt) telah dijajah oleh cara berpikir sistem ekonomi. Spontanitas dan solidaritas yang mendasari komunikasi antarmanusia secara perlahan hancur. Ini adalah akibat berkembangnya cara berpikir yang mengedepankan kontrol, efektivitas, dan efisiensi. Berhadapan dengan situasi seperti itu, model tata sosial macam apa yang bisa meredam dominasi ajaran kelompok partikular sekaligus juga cara berpikir kapitalistik? Dengan mengacu secara teliti pada Habermas, jawaban yang diberikan Budi Hardiman adalah model teori diskursus negara hukum demokratis.

Komunikasi terbuka

Secara singkat, teori diskursus negara hukum demokratis ingin mengatakan bahwa semua bentuk kebijakan publik haruslah dibuat dalam proses komunikasi yang terbuka, bebas paksaan, dan egaliter dari semua pihak. Terutama pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut.

Dalam wawancaranya dengan Budi Hardiman, dengan jelas Habermas mengatakan, ”Saya tidak mengenal gagasan yang lebih radikal daripada gagasan tentang perwujudan suatu asosiasi otonom yang terdiri dari para warga negara yang bebas dan mempunyai hak-hak yang sama, …” (hal 223). Diskursus publik merupakan salah satu bentuk komunikasi dalam proses penentuan kebijakan publik. Dalam diskursus, setiap orang dianggap sebagai subyek bebas yang berdiri setara dan memiliki keinginan untuk mencapai kesepakatan bersama. Subyek bebas ini juga harus menjauhkan diri dari semua bentuk sikap yang tidak adil untuk mencapai kesepakatan bersama yang bebas dan rasional (hal 49).

Diskursus tersebut dilindungi oleh hukum yang dianggap sebagai kunci penjaga kesatuan di dalam masyarakat majemuk. Hukum itu sendiri hanya dapat dianggap sahih apabila sudah merupakan hasil dari proses diskursus yang egaliter, bebas paksaan, dan terbuka. Nantinya, hukum yang sahih itu pula dapat memastikan terjadinya diskursus yang sehat. Sekaligus untuk melindungi orang-orang yang terlibat di dalamnya (hal 65). Ini berarti hukum selalu terkait dengan moral sebagai prinsip keadilan yang tidak memihak (hal 69).

Semua praktik diskursus untuk merumuskan beragam bentuk kebijakan publik terjadi di dalam ruang publik. Ruang publik tidak hanya terdiri dari para ahli ataupun penguasa semata, tetapi juga melibatkan warga negara sebagai pihak yang berdaulat. Dalam arti ini, praktik demokrasi tidak hanya dijalankan pada masa pemilu, melainkan justru di antara pemilu. Saat di mana warga negara sebagai pihak yang berdaulat melakukan diskursus publik yang egaliter, bebas paksaan, dan terbuka untuk membicarakan berbagai persoalan yang terkait dengan kehidupan bersama. Ruang publik pun dibayangkan sebagai arena tempat bertemunya berbagai suara yang mengutarakan sudut pandang dan kepentingan masing-masing pihak. Inilah esensi dari demokrasi radikal. Setiap warga negara adalah tuan atas dirinya sendiri, sambil tetap mengorientasikan dirinya pada kepentingan bersama.

Buku garapan Budi Hardiman ini ingin mengajak kita untuk berani menatap keberagaman identitas bangsa Indonesia dengan berani, cerdas, dan terbuka. Formasi demokrasi radikal adalah formasi pendidikan warga negara untuk membentuk masyarakat majemuk yang didasarkan pada rasionalitas. Formasi semacam itu mengandaikan proses yang matang dan bukan gerak cepat yang serba instan. Seperti yang dikatakan dengan lugas oleh Habermas, ”Percepatan ekonomis akan dibeli dengan keterbelakangan mental” (hal 229). Gerak serba instan untuk membangun ekonomi tanpa membangun fondasi demokrasi secara radikal akan menghasilkan komunitas yang terbelakang secara mental. Keterbelakangan mental (kebodohan) dalam soal politik, itulah yang kiranya ingin dicegah oleh Budi Hardiman.

Reza AA Wattimena Pengajar Filsafat di Universitas Widya Mandala, Surabaya

• Judul: Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas • Penulis: F Budi Hardiman • Penerbit: Kanisius • Cetakan: I, 2009• Tebal: 246 halaman • ISBN: 978-979-21-1902-2

Manusia, Tulisan, dan Peradaban

Manusia, Tulisan,

dan Peradaban

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Peradaban manusia dibentuk oleh pemikiran, dan pemikiran dirumuskan serta disebarkan melalui tulisan. Bangsa tumbuh dan hancur, namun ingatan atasnya tetap melekat dan menjadi kajian wacana. Semua dimungkinkan karena adanya tulisan yang memotret dan mengabadikan peristiwa. Tulisan adalah kisah tentang jatuh bangunnya manusia memahami dan memaknai dirinya sendiri.

Tulisan juga merupakan tanda, bahwa manusia merupakan mahluk yang hidup dan memaknai dirinya dalam simbol. Manusia adalah mahluk yang berpijak sekaligus mencipta sejarah, dan sejarahnya menjadi abadi selama itu tertulis, serta diwariskan ke generasi berikutnya. Maka tidak dapat diragukan lagi, budaya tulis menulis sangat penting untuk mengembangkan peradaban manusia secara keseluruhan.

Manusia dan Tulisan

Ernst Cassirer pernah menulis, bahwa manusia adalah animal symbolicum, yakni mahluk simbol. (Cassirer, 1944) Manusia hidup, berkembang, dan memaknai eksistensi dirinya di dalam kepungan simbol. Simbol tersebut bisa beragam, mulai dari bahasa, sampai dengan simbol-simbol matematis yang merupakan abstraksi dari realitas. Tidak hanya itu konsep ‘manusia’ pun sebenarnya suatu simbol yang mengabstraksi entitas bertubuh, berdarah, berdaging, berotot, dan mampu berpikir.

Cassirer lebih jauh berpendapat, bahwa manusia adalah mahluk hidup yang selalu berada dalam lingkup ekosistem tertentu. Ekosistem inilah yang memberikan kehidupan pada manusia. Dalam arti ini secara lebih luas, manusia adalah mahluk yang hidup dalam simbol, dan simbol itulah yang memberikan arti bagi segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Salah satu simbol yang dominan di dalam peradaban manusia adalah tulisan. (Basyir, 2008)

Kebudayaan dan peradaban merupakan hasil dari perkembangan simbol. Manusia tidak lagi pasif di hadapan alam, melainkan menjadi aktif mengartikan dan memberi makna pada dunia secara personal. Ide muncul dari pemikiran, dan menyebar melalui tulisan. Tulisanlah yang membentuk peradaban, dan melepaskan manusia dari insting dasariah yang seringkali bersifat hewani.

Di sisi lain manusia adalah mahluk historis. Identitasnya ditentukan oleh sejarah hidupnya. Ia menjadi apa yang ada sekarang, karena ia telah menempuh proses historis tertentu. Tidak hanya itu manusia pun adalah mahluk yang menyejarah. Ia terjun langsung secara kreatif mencipta ulang realitas seturut dengan pemikiran dan tindakannya.

Oleh karena itu peran dokumentasi yang permanen amatlah penting. Sejarah yang merentang ke masa lalu, masa kini, dan mengembang menjadi harapan ke masa depan perlu untuk digoreskan dengan tinta di atas kertas, supaya orang selalu jelas akan apa yang menjadi identitasnya. Ia pun bisa mewariskan ke generasi berikutnya. Tulisan adalah alat untuk mewariskan apa yang penting di masa lalu dan masa kini kepada generasi berikutnya.

Tulisan dan Peradaban

Tulisan juga melatih orang untuk menganalisis apa yang dilihat dan dialaminya. Di dalam proses menulis, orang diminta untuk sekaligus tenggelam dan mengambil jarak dari peristiwa. Sikap mengambil jarak itu memungkinkan orang untuk menganalisis dan berpikir kritis. Dalam arti ini tulisan bisa mengembangkan kesadaran kritis bagi orang-orang yang terbiasa melakukannya.

Dengan kesadaran kritis orang tidak lagi hanyut di dalam arus peristiwa, namun mampu mengambil jarak dan menentukan sikap. Peradaban adalah hasil dari kemampuan manusia untuk mengambil jarak dan bersikap kritis terhadap alam semesta yang penuh dengan ketidakpastian. Dengan akal budinya manusia memahami dan mematuhi hukum-hukum alam. Namun di dalam kepatuhan itu, manusia justru bisa bersikap bebas di hadapan alam, karena ia tidak lagi ‘dijajah’ oleh alam, melainkan mampu memanipulir hukum-hukum alam itu untuk memenuhi kebutuhannya. (Bacon, 1620)

Itulah sebenarnya hakekat dari teknologi dan peradaban. Manusia mampu menaklukan alam justru dengan terlebih dahulu memahami serta mematuhi hukum-hukumnya. Semua itu bisa berkembang, karena manusia mendokumentasikan hasil pengetahuannya dalam bentuk tulisan, dan kemudian menyebarkannya untuk memperoleh tanggapan. Tulisan adalah medium untuk mengasah dan mempublikasikan pemikiran, terutama yang berguna untuk menegaskan status manusia sebagai subyek yang mampu mencipta ulang realitas.

Dengan demikian tulisan memiliki peran penting di dalam proses penciptaan identitas, penegasan eksistensi, serta pembentuk peradaban manusia secara keseluruhan. Sebuah masyarakat baru dikatakan beradab, jika budaya tulis sudah berkembang dan mengakar di dalam masyarakat tersebut. Indonesia juga perlu menjadikan tulis menulis sebagai budaya untuk menyampaikan pendapat dan menyebarkan pemikiran. Hal ini berlaku bukan hanya untuk kaum terdidik, tetapi untuk semua orang memiliki kepentingan dan pemikiran untuk didengar. Saya jadi teringat diktum lama; “yang terkatakan akan lenyap, yang tertulis akan abadi.”

Dengan berpikir serta menulis, manusia yang rapuh dan fana ini akan mampu mewujudkan mimpi kecilnya yang sampai sekarang masih terlihat mustahil, yakni berpartisipasi di dalam keabadian. ***

Hermeneutika Hans-Georg Gadamer

e

Hermeneutika

Hans-Georg Gadamer

Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya kita sudah melihat inti dasar dari teori kritis yang menjadi salah satu pisau analisis sosial paling tajam di abad kedua puluh. Dan juga seperti sudah disebutkan sebelumnya, di samping beragam bentuk pemikiran yang ada di dalamnya, teori kritis memiliki satu pengandaian dasar, bahwa rasionalitas universal manusia mampu melakukan kritik atas kapitalisme, dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu sosial yang membuat manusia tidak mampu mengembangkan kemampuan dirinya semaksimal mungkin. Pada bab ini saya ingin memperkenalkan sebuah metode yang sangat berkembang pada awal dan pertengahan abad kedua puluh, yakni hermeneutika, terutama hermeneutika yang dirumuskan oleh Hans Georg Gadamer.

Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah retorika dan filsafat praktis (etika). Di dalam sejarahnya retorika dan hermeneutika memang selalu terkait. Retorika adalah seni untuk memaparkan pengetahuan. Sementara hermeneutika adalah seni untuk memahami teks. Teks ini memang dalam bentuk tulisan. Akan tetapi teks juga bisa memiliki arti luas, yakni realitas itu sendiri. Dalam arti ini juga dapat dikatakan, bahwa hermeneutika dan retorika saling membutuhkan satu sama lain. Retorika mengandaikan orang memahami teks. Sementara pemahaman tidak boleh berhenti di dalam diri seseorang saja, melainkan juga dapat disampaikan dengan jernih kepada orang lain. Gadamer sendiri berulang kali menegaskan, bahwa hermeneutika dan retorika lebih merupakan seni, dan bukan ilmu pengetahuan.

Di dalam beberapa tulisannya, termasuk Truth and Method, yang merupakan karya terbesarnya, Gadamer mencoba untuk melepaskan hermeneutika dari wilayah ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial. Untuk melakukan itu ia kemudian kembali membaca tulisan-tulisan Plato. Menurut Gadamer hubungan antara pembaca dengan teks mirip seperti hubungan dialog antara dua orang yang saling berbicara. Dalam arti ini dialog kehilangan dimensi rigorus saintifiknya, dan menjadi percakapan rasional untuk memahami suatu persoalan. Selain itu Gadamer juga membaca tulisan-tulisan Aristoteles, terutama pada bagian etika. Gadamer menjadikan etika sebagai dasar bagi hermeneutika. Tujuan utamanya tetap yakni melepaskan hermeneutika dari ilmu pengetahuan yang cenderung rigorus, saintifik, dan sifatnya instrumental.

Pengertian Sebagai Kegiatan Pikiran[1]

Jika membaca tulisan-tulisan Gadamer langsung, anda akan mendapatkan kesan bahwa ia senang sekali bermain kreatif dengan bahasa untuk menciptakan pemahaman-pemahaman baru. Menurutnya bahasa tidak pernah bermakna tunggal. Bahasa selalu memiliki beragam makna, dan itu justru harus diakui dan dirayakan. Beragam makna di dalam bahasa menandakan adanya sesuatu yang bersifat esensial, tetap, dan universal di dalam bahasa itu sendiri. Artinya bahasa itu memiliki sesuatu yang sifatnya khas pada dirinya sendiri, dan lepas dari pikiran manusia. Di dalam bahasa terdapat pengertian, dan tugas hermeneutika adalah memahami pengertian tersebut, dan membuka kemungkinan bagi pemahaman-pemahaman baru.

Berdasarkan penelitian Jean Grodin, hermeneutika, yakni proses untuk memahami teks, memiliki tiga arti. Hermeneutika selalu terkait dengan pengertian tentang realitas. Yang pertama pengertian selalu terkait dengan proses-proses akal budi (cognitive process). Untuk memahami berarti untuk menyentuhnya dengan akal budi. Untuk memahami berarti untuk melihatnya secara lebih jelas. Untuk memahami berarti untuk menggabungkan pengertian yang bersifat partikular dalam konteks yang lebih luas. Untuk memahami sesuatu berarti untuk menggenggamnya dengan kekuatan akal budi. Inilah arti dasar dari hermeneutika sebagai proses untuk memahami sesuatu, atau memahami teks.

Konsep pengertian atau pemahaman (understanding) juga bisa diterapkan untuk memahami realitas sosial. Inilah yang kiranya menjadi argumen utama Wilhelm Dilthey, seorang filsuf ilmu-ilmu sosial yang hidup pada abad ke-19. Di dalam proses memahami realitas sosial, setiap bentuk tindakan dan ekspresi seseorang selalu mencerminkan apa yang dihayatinya di dalam kehidupan. Inilah yang disebut Dilthey sebagai pengalaman hidup (life experience). Pengalaman hidup tersebut dapat dipahami melalui proses rekonstruksi ulang yang dilakukan peneliti melalui penelitiannya. Maka dari itu menurut saya, searah dengan penelitian Dilthey, ilmu-ilmu sosial tidak dapat menggunakan metode ilmu-ilmu alam, karena tujuan ilmu-ilmu alam bukanlah memami pengalaman hidup, melainkan mengkalkulasi yang untuk mengeksploitasi dan memprediksi fenomena alamiah. Konsep pengertian sendiri memang sudah tertanam di dalam tradisi hermeneutika sejak lama. Di dalam tradisinya hermeneutika berfokus pada upaya untuk memahami teks-teks kuno, terutama teks kitab suci. Konsep hermeneutika Gadamer juga berakar pada tradisi tafsir teks-teks kitab suci ini.

Pengertian sebagai Kegiatan Praktis

Yang kedua hermeneutika selalu terkait dengan pengertian yang bersifat praktis. Dalam arti ini orang yang mengerti bukan hanya ia memahami pengetahuan tertentu, tetapi juga memiliki ketrampilan praktis untuk menerapkannya. Misalnya anda adalah seorang guru yang baik. Artinya anda tidak hanya memahami pengetahuan teoritis tentang cara mengajar dan arti pengajaran itu sendiri, tetapi mampu mengajar dengan baik. Seorang koki yang baik tidak hanya memahami konsep teoritis bumbu, tetapi juga mampu mengolahnya menjadi sebuah masakan yang enak. Untuk memahami sudah selalu mengandaikan mampu menerapkan.

Di dalam hidupnya manusia selalu mencari arah baru untuk dituju. Untuk menemukan arah yang tepat, manusia haruslah memiliki pengertian yang tepat tentang dirinya sendiri. Hanya dengan memahami diri secara tepatlah manusia bisa mewujudkan potensi-potensinya semaksimal mungkin. Di dalam proses merumuskan filsafatnya, Gadamer sangat terpengaruh pada filsafat Heidegger, terutama tentang fenomenologi adanya. Namun Gadamer tidak mengikuti jalur yang telah dirintis oleh Heidegger, yakni proses untuk memahami eksistensi ada melalui manusia. Gadamer memfokuskan hermeneutikanya lebih sebagai bagian dari penelitian ilmu-ilmu manusia. Untuk memahami manusia menurutnya, orang harus peduli dan mampu memaknai manusia tersebut dalam konteksnya. Kepedulian dan pemaknaan itu membuat tidak hanya teks yang menampilkan dirinya, tetapi juga si peneliti yang membentuk makna di dalam teks itu.

Dapat juga dikatakan bahwa filsafat Gadamer lebih bersifat terapan, jika dibandingkan dengan filsafat Heidegger. Sifat praktis ini diperoleh Gadamer, ketika ia mulai secara intensif membaca tulisan-tulisan Aristoteles tentang kebijaksanaan praktis. Kebijaksanaan praktis juga melibatkan pengertian tertentu. Dalam konteks pengertian ini, penerapan adalah sesuatu yang amat penting. Penerapan adalah soal tindakan nyata. Bertindak baik tidak sama dengan memahami hakekat dari yang baik, seperti yang dilakukan Plato di dalam filsafatnya.[2]

Pengertian sebagai Kesepakatan

Gadamer juga berpendapat bahwa pengertian selalu melibatkan persetujuan. Untuk mengerti berarti juga untuk setuju.   Di dalam bahasa Inggris, kalimat yang familiar dapa dijadikan contoh, “we understand each other”. Kata understand bisa berarti mengerti atau memahami, dan juga bisa berarti saling menyetujui atau menyepakati. Memang pengertian itu tidak seratus persen berarti persetujuan, namun ada hal-hal mendasar yang telah disetujui sebelumnya, ketika orang mengerti. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Grondin, ada dua alasan yang mendorong Gadamer merumuskan pengertian sebagai bagian dari persetujuan. Yang pertama bagi Gadamer, untuk memahami berarti juga untuk merekonstruksi makna dari teks sesuai dengan yang dimaksud penulisnya. Di dalam proses pemahaman itu, pembaca dan penulis teks memiliki kesamaaan pengertian dasar (basic understanding) tentang makna dari teks tersebut. Misalnya saya membaca teks tulisan Immanuel Kant. Ketika membaca saya tidak hanya mencoba memahami secara pasif tulisan Kant, namun pemikiran saya dan pemikiran Kant bertemu dan menghasilkan persetujuan dasar.

Pemahaman atau pengertian dasar (basic understanding) itu disebutnya sebagai sache, atau subyek yang menjadi tema pembicaraan. Sache inheren berada di dalam setiap proses pembacaan ataupun proses dialog. Dalam arti ini proses sache tidak lagi berfokus untuk membangkitkan maksud asli dari penulis teks, melainkan berfokus pada tema yang menjadi perdebatan yang seringkali berbeda dengan maksud asli si penulis teks. Di dalam hermeneutika tradisional, tujuan utamanya adalah membangkitkan maksud asli pengarang. Namun di dalam hermeneutika Gadamer, maksud asli pengarang hanyalah hal sekunder. Yang penting adalah apa yang menjadi tema utama pembicaraan. Dan tema utama pembicaraan (subject matter) itu dapat terus berubah. Maksud asli pengarang tetap ada. Namun kita hanya dapat mengerti maksud tersebut, jika kita memiliki beberapa pengertian dasar yang sama dengan pengarang. Namun tetaplah harus diingat, bahwa fokus dari hermeneutika, atau proses menafsirkan, menurut Gadamer, adalah untuk membangkitkan makna tentang tema utama pembicaraan, dan tidak semata-mata hanya untuk menjelaskan maksud asli dari penulis teks.[3]

Yang kedua menurut Gadamer, setiap bentuk persetujuan selalu melibatkan dialog, baik dialog aktual fisik, ataupun dialog ketika kita membaca satu teks tulisan tertentu. Di sisi lain persetujuan juga selalu melibatkan bahasa dan percakapan. Inilah yang disebut Gadamer sebagai aspek linguistik dari pengertian manusia (linguistic elements of understanding). Dalam arti ini untuk memahami berarti untuk merumuskan sesuatu dengan kata-kata, dan kemudian menyampaikannya dengan kejernihan bahasa. Bagi Gadamer elemen bahasa untuk mencapai pengertian ini sangatlah penting. Bahkan ia berpendapat bahwa pengalaman penafsiran (hermeneutic experience) hanya dapat dicapai di dalam bahasa. Maka perlulah ditegaskan bahwa bagi Gadamer, tindak memahami selalu melibatkan kemampuan untuk mengartikulasikannya di dalam kata-kata dan menyampaikannya di dalam komunikasi. Di dalam proses ini, peran bahasa sangatlah penting.

Namun begitu bukankah tidak semua hal dapat disampaikan dengan kata-kata? Seringkali kita mengerti sesuatu, tetapi tidak bisa mengartikulasikannya secara jernih melalui bahasa. Misalnya saya mengerti sebuah simbol. Saya juga bisa memahami keindahan dari suatu karya seni. Saya juga bisa memahami keindahan suatu musik. Tidak hanya itu seringkali perasaan dan bahkan kebenaran itu sendiri tidak dapat dikurung di dalam rumusan kata-kata. Di dalam bukunya yang berjudul The Truth and Method, Gadamer berpendapat bahwa para seniman, termasuk pelukis, pematung, dan pemusik, tidak pernah mampu menyampaikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan dengan menggunakan kata-kata. Sebaliknya bagi mereka kata-kata adalah sesuatu yang sifatnya reduktif, karena menyempitkan makna di dalam rumusan yang tidak dinamis.

Jika bahasa tidak lagi bermakna, lalu bagaimana proses pengertian atau memahami bisa terjadi? Menurut Gadamer bahasa memiliki arti yang lebih luas daripada sekedar kata-kata. Dalam beberapa kasus tarian dan bahkan diam juga bisa menjadi sebentuk bahasa yang menyampaikan pesan tertentu. Semua bentuk komunikasi itu bisa membuka ruang untuk penafsiran dari pendengar ataupun penerima pesan. Tentu saja orang bisa salah tangkap, sehingga tercipta kesalahpahaman. Namun hal itu terjadi, karena orang tidak mampu menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Maka dari itu di dalam komunikasi, kita perlu memperhatikan juga apa yang tak terkatakan, di samping juga mendengarkan apa yang terkatakan. Dengan demikian walaupun sifatnya terbatas, namun bahasa, dalam arti luas, merupakan alat komunikasi yang universal untuk mencapai pemahaman.

Konsep Lingkaran Hermeneutis[4]

Gadamer juga dikenal dengan argumennya soal proses penafsiran, atau yang disebutnya sebagai lingkaran hermeneutis. Argumennya begini setiap bentuk penafsiran selalu mengandaikan pengertian dasar tertentu. Pengertian dasar itu disebut Gadamer sebagai antisipasi. Konsep lingkaran hermeneutis ini sangatlah dipengaruhi oleh filsafat Heidegger. Oleh karena itu konsep lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer sangatlah berbau fenomenologi. Seperti sudah sedikit disinggung, menurut Gadamer, setiap bentuk penafsiran untuk memperoleh pemahaman selalu melibatkan pemahaman dasar lainnya. Artinya untuk memahami kita juga memerlukan pemahaman. Tentu saja dari sudut logika, hal ini tidak bisa diterima. Logika berpikir menolak sebuah penjelasan atas suatu konsep yang terlebih dahulu mengandaikan konsep tersebut, seperti untuk menafsirkan guna memahami sesuatu, orang perlu memiliki pemahaman. Namun jika dilihat secara fenomenologis, seperti yang dilakukan Heidegger dan Gadamer, hal itu mungkin.

Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah sebuah logika klasik, bahwa orang bisa memahami keseluruhan dengan terlebih dahulu memahami bagian-bagiannya. Hal yang sama dapat diterapkan untuk memahami suatu teks. Maksud utama dari keseluruhan teks dapat dipahami dengan berpusat pada bagian-bagian teks tersebut, dan sebaliknya bagian-bagian teks itu dapat dipahami dengan memahami keseluruhan teks. Tujuan utama Gadamer adalah untuk memahami teks di dalam kerangka berpikir yang lebih menyeluruh, dan bukan hanya terjebak pada apa yang tertulis atau terkatakan saja. Teks harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yang tentunya melibatkan teks-teks lainnya. Ini adalah salah satu kriteria untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, menurut Gadamer.[5]

Pengandaian hermeneutika Gadamer adalah, bahwa keseluruhan (whole) dan bagian (parts) selalu koheren. Supaya dapat memperoleh pemahaman yang tepat, si pembaca teks haruslah memahami koherensi antara makna keseluruhan dan makna bagian dari teks tersebut. Setiap bentuk pemahaman juga mengandaikan adanya kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya ingin dipahami. Jika kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya sungguh dipahami ini tidak ada, maka proses penafsiran akan menjadi tidak fokus. Jika sudah begitu maka pemahaman yang tepat pun tidak akan pernah terjadi.

Jika dilihat dengan kaca mata ini, maka konsep lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer tetap mengandung unsur logika yang tinggi.           Tidak hanya itu proses untuk memahami keseluruhan melalui bagian, dan sebaliknya, adalah proses yang berkelanjutan. Pemahaman adalah sesuatu yang harus terus menerus dicari, dan bukan sesuatu yang sudah ditemukan lalu setelah itu proses selesai. Dalam arti ini Gadamer memiliki perbedaan mendasar dari Heidegger. Obyek penelitian hermeneutik Heidegger adalah eksistensi manusia secara keseluruhan. Sementara obyek penelitian Gadamer lebih merupakan teks literatur. Gaya Heidegger adalah gaya eksistensialisme. Sementara Gadamer lebih berperan sebagai seorang filolog yang hendak memahami suatu teks kuno beserta kompleksitas yang ada di dalamnya.

Bagi Heidegger fokus dari pengertian manusia adalah untuk memahami masa depan dari eksistensi manusia. Sementara bagi Gadamer fokus dari pengertian adalah upaya untuk memahami masa lalu dari teks, serta arti sebenarnya dari teks tersebut. Juga bagi Heidegger proses menafsirkan untuk memahami sesuatu selalu mengandaikan pemahaman yang juga turut serta di dalam proses penafsiran tersebut. Artinya untuk memahami orang perlu untuk memiliki pemahaman dasar terlebih dahulu. Sementara bagi Gadamer konsep lingkaran hermeneutis mencakup pemahaman bagian-bagian melalui keseluruhan, dan sebaliknya. Maksud utuh dari teks dapat dipahami dengan memahami bagian-bagian dari teks tersebut. Dan sebaliknya bagian-bagian dari teks dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami maksud keseluruhan dari teks tersebut.

Di sisi lain seperti sudah disinggung sebelumnya, fokus dari proses penafsiran (hermeneutika) dari Heidegger adalah eksistensi manusia. Sementara fokus dari hermeneutika Gadamer adalah teks literatur dalam arti sesungguhnya.[6] Dalam arti ini fokus dari hermeneutika Heidegger adalah membentuk manusia yang otentik, yakni membantu menemukan tujuan dasar dari eksistensi manusia. Sementara bagi Gadamer fokus dari hermeneutika adalah menemukan pokok permasalahan yang ingin diungkapkan oleh teks. Namun keduanya sepakat bahwa musuh utama dari proses penafsiran untuk mencapai pemahaman adalah prasangka. Prasangka membuat orang melihat apa yang ingin mereka lihat, yang biasanya negatif, dan menutup mata mereka dari kebenaran itu sendiri, baik kebenaran di level eksistensi manusia, maupun kebenaran yang tersembunyi di dalam teks.

Walaupun banyak memiliki perbedaan, namun Gadamer dan Heidegger setidaknya identik dalam satu hal, yakni bahwa proses lingkaran hermeneutik sangatlah penting di dalam pembentukan pemahaman manusia. Dengan demikian kita bisa memastikan, bahwa walaupun filsafat Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran Gadamer, namun keduanya tidaklah sama. Gadamer memang mendapatkan banyak sekali inspirasi dari Heidegger. Namun ia kemudian mengembangkannya serta menerapkannya pada hal yang lebih spesifik, yakni proses penafsiran tekstual di dalam literatur dan filsafat. Inilah inti dari Hermeneutika Gadamer. Ia memberikan kepada kita prinsip-prinsip untuk menafsirkan teks-teks dari masa lalu. Dan dengan itu ia membantu kita memahami apa artinya menjadi manusia dengan berdasarkan pada historisitas kehidupan itu sendiri.***



[1] Pada bagian ini saya mengacu pada Jean Grondin, “Gadamer’s Basic Understanding of understanding”, dalam Cambridge Companion to Gadamer,  Cambridge: Cambridge University Press, 36.

[2] Lihat, ibid, hal. 40.

[3] Lihat, ibid, hal. 41.

[4] Lihat, ibid, hal. 46.

[5] Lihat, ibid, hal. 47.

[6] Lihat, ibid, hal. 49.

Filsafat, Terorisme, dan Kebenaran

Filsafat, Terorisme,

dan Pencarian Kebenaran

Reza A.A Wattimena

Apa kaitan antara filsafat, terorisme, dan kebenaran? Pertanyaan itu kiranya patut menjadi perhatian kita bersama, terutama dengan ketakutan dunia internasional, termasuk Indonesia, akan bahaya terorisme itu sendiri, sekaligus sebagai momen refleksi peringatan tragedi 11/9 di Amerika Serikat 8 tahun yang lalu. Bom Kuningan beberapa waktu lalu masih segar diingatan kita. Fakta bahwa ada orang yang bersedia mengorbankan nyawanya untuk memusnahkan nyawa orang lain atas nama pandangan dunia tertentu tampak begitu menakutkan. Terorisme pun menggantung sebagai sebuah kemungkinan yang mengerikan.

Pencarian Kebenaran

Filsafat adalah bentuk upaya manusia untuk memahami seluruh dimensi kehidupannya, termasuk yang terkait dengan Tuhan dan alam semesta, secara rasional dan terbuka, serta mencoba menyentuh prinsip-prinsip terdasar semua dimensi kehidupan tersebut. Dalam arti ini filsafat memiliki peran penjernihan teoritis. Filsafat adalah bagian dari aktivitas manusia untuk memahami dunianya secara rasional dan mendalam.

Namun filsafat tidak hanya berkutat soal teori. Filsafat juga memiliki maksud praktis. Inilah yang disebut sebagai etika. Dengan pemahaman yang bersifat mendalam terkait dengan semua dimensi kehidupan manusia, orang diharapkan mampu bertindak dan membuat keputusan secara bijaksana di dalam kehidupannya. Orang tidak hanya perlu tahu, tetapi ia juga perlu menerapkannya.

Di sisi lain terorisme adalah suatu tindakan menyebar ketakutan dengan menggunakan medium kekerasan. Ada banyak bentuk terorisme, mulai dari sabotase gardu listrik, penyanderaan, bom bunuh diri, penculikan, dan sebagainya. Tindakan teror adalah tindakan yang dikenai pada pihak partikular tertentu, namun dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat luas. Itulah esensi teror.

Tindakan kekerasannya sendiri seringkali tidak dirasakan langsung. Namun ketakutan bahwa saya atau anda akan mengalaminya menciptakan ketakutan tersendiri. Teror adalah ketakutan akan hal-hal yang belum terjadi, namun memiliki kemungkinan akan terjadi. Kemungkinan itulah yang menciptakan teror.

Lalu apa kaitan antara filsafat dan terorisme? Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa tujuan filsafat adalah mencapai kebenaran. Asumsinya adalah bahwa kebenaran itu belum ditemukan, namun masih terus diupayakan. Di sisi lain terorisme berpijak pada suatu pemahaman tertentu yang mengklaim kebenarannya sebagai kebenaran mutlak. Artinya dasar dari pemahaman para teroris adalah, bahwa mereka sudah menemukan kebenaran. Semua pandangan yang berbeda dengan pandangan mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan.

Anti-filsafat

Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa terorisme, dengan pandangan dunia yang melandasinya, adalah suatu anti-filsafat, terutama filsafat sebagai aktivitas pencarian kebenaran. Filsafat terus berusaha menemukan kebenaran dalam proses. Sementara terorisme yakin secara dogmatis, bahwa mereka sudah sampai pada kebenaran, dan memutuskan untuk memusnahkan pandangan-pandangan yang bertentangan dengannya. Di dalam pencarian kebenaran, filsafat bersifat terbuka, sementara terorisme bersifat tertutup.

Terorisme adalah suatu tindak menyebar ketakutan dengan menggunakan medium kekerasan, sekaligus dilandasi suatu pandangan yang mengklaim kebenaran mutlak. Dalam arti ini terorisme menghalalkan segala cara untuk mewujudkan tujuannya. Tajuk rencana Kompas 12 September lalu mencap terorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh sebab itu terorisme harus dilawan dengan berbagai cara.

Pendekatan kekerasan dengan menggunakan senjata dan militer untuk memusnahkan terorisme terbukti gagal. Maka kita perlu merumuskan suatu pendekatan baru yang lebih bersifat non-kekerasan, namun mengedepankan rasionalitas dan filsafat. Filsafat sebagai pencarian kebenaran yang bersifat terbuka harus menjadi obat bagi terorisme yang bersifat tertutup. Walaupun terorisme adalah anti-filsafat, namun filsafat bisa terbuka untuk memahami dan membongkar kesempitan berpikir para teroris.

Kunci utama untuk membongkar terorisme adalah membongkar kesempitan cara berpikir. Para teroris haruslah disadarkan, bahwa kebenaran mutlak itu sifatnya hanyalah klaim, dan bukan sesuatu yang obyektif. Maka dari itu tindak memusnahkan kelompok-kelompok yang bertentangan dengan klaim itu sangatlah tidak masuk akal. Filsafat dengan kemampuannya untuk membongkar mitos dan memperkenalkan cara berpikir kritis mampu menjadi obat tawar bagi racun dogmatisme yang menjangkiti begitu banyak pemikiran para teroris di seluruh dunia.

Di sisi lain filsafat juga bisa menjadi alat untuk berpikir kritis terhadap pihak-pihak yang menyebabkan timbulnya fenomena terorisme tersebut. Kita semua tahu bahwa terorisme tidak muncul dari kekosongan, melainkan dari ketidakadilan yang menyebabkan penderitaan begitu banyak orang, baik fisik maupun mental. Keberanian untuk melakukan kritik diri, keterbukaan pada pada kebenaran yang ditemukan di dalam proses, serta penggunaan akal budi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial adalah prinsip-prinsip yang harus juga diterapkan pada para pihak yang menyebabkan munculnya ketidakadilan di level internasional.

Pada akhirnya kebenaran mutlak memang hanyalah klaim. Kita manusia terlempar ke dunia dan harus menelan fakta, bahwa kita adalah mahluk yang sangat terbatas, termasuk dalam pencarian kebenaran.***

Gempa Eksistensial


Gempa Eksistensial

Reza A.A Wattimena

Beberapa waktu yang lalu, gempa mengguncang kota-kota di Jawa Barat. Infrastruktur hancur. Korban nyawa pun terus bertambah. Banyak orang masih khawatir akan kemungkinan terjadinya gempa susulan dengan skala lebih besar.

Gempa tersebut adalah sebuah musibah. Namun yang terserang gempa ternyata bukan hanya kota dengan infastrukturnya, tetapi juga gempa eksistensial, yakni gempa yang terkait dengan eksistensi manusia secara keseluruhan. Apa yang dimaksud dengan gempa eksistensial tersebut? Dan apa dampaknya bagi kehidupan bersama kita?

Gempa Eksistensi

Gempa adalah sebuah guncangan akibat aktivitas tektonik maupun vulkanik di lapisan bumi bawah. Gempa inilah yang mengguncang Jawa Barat dan sekitarnya beberapa waktu lalu. Sementara gempa eksistensial adalah runtuhnya keseharian manusia, akibat bencana ataupun perubahan mendadak yang terjadi di dalam aktivitasnya. Dalam situasi itu orang kehilangan pegangan dan tujuan hidup. Yang ada adalah rasa panik dan kekhawatiran ekstrem.

Setiap orang hidup di dalam dunia yang sudah mereka terima begitu saja, sehingga tidak lagi dipertanyakan. Mesin kendaraan yang beroperasi. Jalan raya yang sudah jadi. Gedung tempat kerja yang biasa mereka tempati, dan sebagainya.

Di dalam situasi normal, apa yang sudah mereka terima begitu saja menjadi bagian dari keseharian, atau rutinitas hidup. Semua berjalan biasa sampai suatu saat, gempa terjadi dan mengguncang tempat kerja ataupun rumah mereka. Dalam situasi gempa segala kehormatan, harga diri, kecerdasan, dan kekayaan seolah menjadi lenyap, dan digantikan semata oleh insting untuk menyelamatkan diri. Dalam situasi ekstrem itu, status dan kehormatan yang menjadi nomor dua. Tidak ada beda antara atasan dan bawahan. Semuanya adalah manusia yang berusaha menyelamatkan diri.

Situasi panik itu adalah gempa eksistensial, yakni gempa yang tidak hanya menghancurkan ataupun menggoyang fasilitas fisik yang digunakan, tetapi juga gempa yang menggoyang keseharian seseorang. Di dalam keseharian itu tercakup cara pandang, nilai-nilai, keyakinan hidup, tujuan hidup, status, harga diri, dan sebagainya. Dengan kata lain gempa menggoyang sekaligus dunia fisik dan dunia mental manusia. Di dalam gempa eksistensial, yang hancur bukanlah gedung, melainkan kedirian (self).

Hancurnya rumah milik satu keluarga tertentu tidak hanya menghancurkan tempat tinggal fisiknya, tetapi juga mental orang yang sebelumnya tinggal disana. Hancurnya tempat kerja tidak hanya merusak lingkungan fisik semata, tetapi juga mental dan eksistensi orang-orang yang bekerja di dalamnya. Dengan demikian gempa itu sifatnya selalu multidimensional, karena ia tidak hanya menggoyang bangunan fisik, tetapi juga menggoyang eksistensi kita sebagai manusia. Dimensi multidimensional itulah yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama, ketika berusaha memberi makna pada musibah yang terjadi.

Momen Refleksi

Gempa adalah sebuah peristiwa. Di dalam peristiwa selalu terkandung makna, sebagaimana kita mampu dan mau untuk memaknainya. Di dalam peristiwa gempa yang menimpa Jawa Barat beberapa waktu lalu, terselip sebuah kesempatan untuk berpikir ulang tentang apa artinya kita menjadi manusia. Di dalam gempa fisik terdapat gempa eksistensial, dan di dalam gempa eksistensial terselip sebuah kesempatan untuk bereksistensi dengan cara baru.

Cara baru apa yang bagaimana? Sebuah cara hidup yang didasarkan pada kesadaran diri utuh, bahwa manusia adalah mahluk yang lemah dan rapuh di hadapan apa yang tidak diketahuinya. Di hadapan gempa yang penuh dengan unsur misteri, semua bentuk gelar sosial, seperti presiden, bupati, menteri, gubernur, professor, doktor, dokter, manajer, direktur, dan semuanya menjadi tidak berarti. Manusia menjadi mahluk yang telanjang di dalam eksistensinya. Ia seolah turun menjadi binatang dengan satu tujuan hidup, yakni untuk mempertahankan diri.

Di hadapan yang tidak diketahuinya (the unknown), manusia menjadi gentar sekaligus kagum. Di dalam dilema eksistensial antara kagum dan gentar tersebut, ada baiknya kita hening dari keseharian, dan mengingat kembali akar eksistensi kita sebagai manusia, bahwa pada akhirnya kita semua adalah mahluk yang tidak berarti di hadapan alam semesta yang tak terhingga keluasannya. Di dalam ketidakberartian itu, kesadaran diri sebagai mahluk fana yang rapuh dan lemah mencuat tajam. Pada akhirnya kita hanyalah satu titik di tengah ratusan milyar titik lainnya di alam semesta ini. Pada akhirnya tujuan hidup manusia hanya satu, yakni mempersiapkan kematian yang bermartabat.***

Teori Kritis Kontemporer

Teori Kritis Kontemporer

Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya kita sudah melihat bagaimana Heidegger, dengan menggunakan fenomenologi dan mengubahnya menjadi ontologi, berupaya untuk memahami Ada yang adalah realitas itu sendiri. Filsafat Heidegger memang terkesan abstrak, dan tidak memiliki relevansi langsung untuk kehidupan. Namun sebenarnya Heidegger ingin mengajak kita untuk lebih memahami keterkaitan diri kita sebagai manusia dengan dunia dalam relasi yang sifatnya konstruktif dan positif. Manusia dan dunia adalah ada itu sendiri. Keduanya tak terpisahkan dan selalu hidup dalam relasi kesatuan yang utuh. Ontologi adalah penyelidikan rasional dan sistematis tentang Ada itu sendiri, dan ada itu selalu melibatkan dunia, di mana manusia termasuk di dalamnya.

Pada bab ini saya ingin memperkenalkan anda dengan suatu tradisi berpikir yang disebut sebagai teori kritis. Teori kritis sifatnya sangat konkret, karena langsung berhadapan dengan persoalan-persoalan sosial yang mendesak di dalam masyarakat. Sebagai acuan teks saya menggunakan tulisan Axel Honneth, yang banyak dianggap sebagai tokoh teori kritis kontemporer, yang berjudul The Social Pathology of Reason: On the Intellectual Legacy of Critical Theory.[1] Teori kritis memang mencapai puncak kejayaannya pada awal dan pertengahan abad kedua puluh. Sekarang ini banyak orang menganggapnya tinggal sekedar artifak yang tidak lagi relevan.

Memang harus diakui banyak analisis tajam yang dibuat oleh para pemikir Teori Kritis pada awal abad kedua puluh sudah jauh terpisah dengan realitas sekarang ini. Namun sekarang ini banyak pemikir muda yang mendedikasikan karya-karya mereka untuk mengembangkan analisis teori kritis ini. Tokoh yang pertama kali mengembangkan teori kritis secara sistematis adalah Horkheimer dan Marcuse. Mereka adalah para filsuf kontemporer. Walaupun dapat dinilai sebagai bagian dari filsuf kontemporer, namun banyak analisis mereka sudah terasa ketinggalan jaman. Itulah yang menjadi pendapat Axel Honneth.

Teori kritis tradisional yang dipelopori oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno banyak menjadikan filsafat Hegel dan Freud sebagai dasar pemikiran mereka. Di dalam tradisi berpikir semacam itu, akal budi (reason) masih menjadi titik tolak untuk membaca dan memahami gerak sejarah. Akal budi dianggap sebagai kemampuan universal manusia untuk bersikap kritis terhadap dinamika masyarakat. Akan tetapi keyakinan besar pada kemampuan akal budi tersebut tampak tidak lagi relevan sekarang ini. Banyak filsuf dan intelektual pada umumnya sekarang ini sudah mulai sadar akan pluralitas budaya, sekaligus pluralitas konsep akal budi itu sendiri. Di dalam wacana postmodernisme, akal budi dianggap merupakan salah satu narasi besar yang mengklaim dirinya universal. Padahal sebenarnya kemampuan dan isi dari akal budi sangatlah tergantung pada kultur yang sifatnya lokal dan partikular.[2]

Ciri khas dari Teori Kritis, yang banyak juga dikenal sebagai sekolah Frankfurt, adalah keyakinannya pada kemampuan rasio manusia untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di dalam kehidupan sosial. Namun ciri itu kini sudah banyak ditinggalkan, karena banyak filsuf tidak lagi yakin, bahwa akal budi mampu menyelesaikan semua persoalan kehidupan sosial manusia. Akal budi itu sifatnya partikular dan jamak. Tidak ada akal budi universal yang mampu menjadi titik tolak untuk pembebasan manusia, seperti yang dicita-citakan oleh Adorno dan Horkheimer. Salah satu alasannya adalah, karena akal budi manusia telah dipersempit menjadi melulu soal-soal teknis instrumental, dan telah kehilangan kemampuan kritisnya. Misalnya di dalam sistem masyarakat kapitalis, akal budi lebih banyak digunakan untuk mencari uang dengan berbagai cara, daripada digunakan untuk bersikap kritis guna mencegah dampak-dampak negatif dari kapitalisme itu sendiri.

Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa kecenderungan para filsuf sekarang ini tidak lagi ingin membuka struktur sosial yang tidak adil, melainkan ingin lebih memahami konsep keadilan yang memang seringkali sifatnya lokal dan partikular. Artinya ketidakadilan itu bukanlah sesuatu yang melulu universal, melainkan memiliki aspek lokal partikular yang harus dipahami terlebih dahulu. Jika proses pencerahan dan pembebasan hendak dilakukan, maka kita harus terlebih dahulu memahami ketidakadilan lokal yang terjadi, dan kemudian berusaha memberikan pengertian pada orang-orang yang tertindas tersebut untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Di dalam salah satu tulisannya, yang memang bertujuan untuk merumuskan proyek teori kritis secara baru, Axel Honneth hendak menantang pendekatan yang hanya berusaha memahami lokalitas dan partikularitas dari suatu gejala ketidakadilan sosial. Ia ingin merumuskan suatu teori kritis yang bersifat universal sekaligus historis. Untuk bisa mewujudkan proyek itu, ia kemudian menempuh tiga langkah. Yang pertama Honneth hendak menegaskan kembali ide-ide dasar teori kritis tradisional, terutama yang terkait dengan kritik terhadap kapitalisme. Yang kedua ia juga ingin menegaskan, bahwa kapitalisme merupakan akar penyebab dari lemahnya cara berpikir kritis di dalam masyarakat. Dan yang ketiga ia ingin merumuskan suatu praksis politik yang tepat untuk menghadapi problem-problem yang muncul di dalam masyarakat kontemporer. Proyek besar dari Honneth adalah merumuskan suatu bentuk teori kritis yang relevan dan cocok dengan problem-problem yang dihadapi masyarakat sekarang ini. Dapat juga dibilang Honneth, dengan arah dan isi argumentasinya, adalah generasi ketiga teori kritis Frankfurt setelah Horkheimer dan Adorno (generasi pertama), serta Jürgen Habermas (generasi kedua).

Pada dasarnya teori kritis adalah suatu gaya berpikir yang merentang ke berbagai bidang. Maka dari itu sangatlah sulit untuk menemukan satu kesatuan utuh di dalamnya. Namun menurut Honneth ada satu kesamaan yang mendasari seluruh pemikir di dalam ranah teori kritis, yakni sikap negatifnya pada realitas faktual. Artinya mayoritas pemikir teori kritis bersikap negatif dan curiga terhadap semua situasi sosial yang terjadi, bahkan yang tampak paling positif sekalipun. Honneth menyebut ini sebagai negativitas sosial (social negativism). Setiap kondisi sosial tidak pernah merupakan suatu situasi yang positif, karena selalu menyembunyikan ketidakadilan sosial. Di tangan Honneth teori kritis tidak lagi hanya berfokus soal keadilan sosial, tetapi juga pada soal keadilan kultural (terkait dengan konsep hidup yang baik), yakni iklim yang menghambar perkembangan kultural suatu masyarakat.[3]

Menurut Honneth teori kritis selalu melibatkan dua kategori analisis, yakni apa yang patologis (misalnya krisis di dalam masyarakat), dan apa yang tidak patologis (yang seharusnya terjadi). Horkheimer misalnya pernah merumuskan konsep organisasi yang tidak masuk akal (irrational organization). Adorno pernah merumuskan konsep dunia yang teradministrasi (administered world). Marcuse merumuskan konsep masyarakat satu dimensi (one dimensional society) dan konsep toleransi represif (repressive tolerance). Dan Habermas kemudian merumuskan konsep kolonisasi dunia kehidupan. Semua konsep itu sebenarnya menggambarkan satu hal, bahwa masyarakat yang ada sekarang ini mengalami berbagai krisis dan masalah sosial. Bentuk krisis dan masalah sosial tersebut terkandung di dalam analisis-analisis para pemikir teori kritis, sesuai dengan gayanya masing-masing.

Menurut Honneth ada satu hal yang kiranya bisa ditemukan di dalam pemikiran para filsuf tersebut, yakni mereka menjadikan lemahnya sikap kritis dan rasionalitas masyarakat sebagai sebab utama dari krisis sosial yang terjadi. “Mereka”, demikian Honneth, “menjaga relasi internal antara relasi-relasi patologis dan kondisi dari rasionalitas sosial.”[4] Konsekuensi logisnya adalah bahwa sikap kritis dari rasionalitas masyarakat (social rationality) haruslah dibangkitkan ulang. Jika teori kritis generasi ketiga, yang berfokus pada masalah-masalah kontemporer hendak dirumuskan, maka konsep rasio kritis harus juga dirumuskan ulang sesuai kondisi-kondisi sekarang.[5]

Untuk membangkitkan rasio kritis guna menanggapi problem-problem sosial kontemporer, Honneth lalu menimba kembali ide-ide dari filsafat Hegel, terutama di dalam buku Hegel tentang filsafat politik, yakni Philosophy of Right. Menurut tafsiran Honneth bukuPhilosophy of Right tulisan Hegel mencoba menganalisis lenyapnya makna dari kehidupan politik pada masa itu. Dan bagi Hegel cara mengembalikan makna adalah dengan membangkitkan rasio obyektif di dalam sejarah. Rasio obyektif itu sudah ada, namun tertutup oleh hiruk pikuk sejarah dan krisis sosial yang terjadi.

Konsep rasio di dalam filsafat Hegel, menurut Honneth, sangatlah komprehensif. Hegel berusaha menggabungkan konsep rasio universal yang bergerak di dalam sejarah dalam bentuk peradaban di satu sisi, dan tuntutan etika yang sifatnya lokal dan partikular di sisi lain. Setiap orang diharapkan mampu mempertimbangkan aspek-aspek sejarah yang dominan pada situasi sekarang, dan mulai mengkaitkan aspek-aspek itu dengan nilai-nilai kehidupan yang lebih bersifat lokal dan partikular. Jika hal itu bisa dilakukan, maka mereka akan menjalani hidup yang bermakna. Hegel memberikan tempat bagi bentuk-bentuk pemikiran dominan, sekaligus bentuk-bentuk pemikiran yang sifatnya lokal. Yang terakhir ini disebut Hegel sebagai etika (ethics). Ia juga yakin bahwa semua krisis sosial terjadi, karena ketidakmampuan masyarakat menghidupi dan mengekspresikan nilai-nilai lokal yang mereka punyai. Mereka tidak mampu menegaskan dan mengekspresikan identitas lokal mereka.

Honneth juga berpendapat bahwa suatu masyarakat bisa berkembang, jika mereka tetap menjadikan rasionalitas sebagai tolok ukur semua nilai dan keputusan sosial yang ada. Rasionalitas dapat menjadi dasar yang kokoh untuk memandu kehidupan orang-orang yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Di dalam masyarakat kapitalis, rasionalitas disempitkan melulu menjadi soal cara untuk memperoleh dan mengembangkan modal. Dalam situasi ini rasionalitas tidak dijadikan titik tolak untuk membuat keputusan sosial, melainkan hanya disempitkan pada cara-cara untuk memperoleh keuntungan. “Setiap anggota masyarakat”, demikian tulis Honneth, “haruslah setuju bahwa untuk menciptakan kehidupan bersama yang berhasil dan tidak terdistorsi hanyalah mungkin jika semua anggota masyarakat mengarahkan diri mereka berdasarkan pada prinsip ataupun institusi yang dapat dimengerti sebagai tujuan rasional dari aktualisasi diri.”[6] Krisis sosial terjadi ketika sebuah masyarakat kehilangan pijakannya terhadap rasionalitas untuk membuat keputusan yang terkait dengan kehidupan bersama.

Dengan demikian rasionalitas manusia yang bersifat universal dan etika kultural yang bersifat partikular harus bisa memperoleh tempat yang semestinya di dalam kehidupan sosial. Konsep rasionalitas universal memang terdengar abstrak. Akan tetapi konsep itu sebenarnya sangat mengakar di dalam aktivitas manusia, dan bahkan di dalam kemanusiaan itu sendiri. Horkheimer mempunyai dimensi itu di dalam filsafatnya, terutama ketika ia merumuskan pernyataan, bahwa manusia sudah pada dasarnya terarah untuk menguasai alam dengan menggunakan rasionalitasnya. Dan penguasaan itu memang ditujukan untuk mengembangkan kehidupannya. Salah satu pemikir teori kritis terbesar, Karl Marx, pernah menyatakan bahwa krisis sosial terjadi, karena rendahnya standar rasionalitas di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut, rasionalitas disempitkan untuk semata-mata melakukan produksi. Rasio absen dari dimensi-dimensi kehidupan manusia lainnya.

Rekan Horkheimer sekaligus salah satu tokoh teori kritis generasi pertama, yakni Herbert Marcuse, pernah mengajukan pendapat bahwa rasionalitas universal manusia dapat ditemukan di dalam praksis estetika. Estetika adalah alat untuk menciptakan integrasi sosial, terutama integrasi sosial yang didasarkan pada identitas di dalam dunia kehidupan manusia, yang memang belum terstruktur menjadi sistem. Generasi kedua teori kritis, yakni Jürgen Habermas, menterjemahkan konsep rasionalitas universal di dalam filsafat Hegel menjadi proses komunikasi rasional untuk menemukan kesalingpengertian antara kedua belah pihak yang berbeda latar belakang tentang satu masalah sosial yang sama. Rasionalitas universal yang bergerak di dalam sejarah diterjemahkan di dalam proses komunikasi antar manusia yang melibatkan bahasa untuk mencapai kesepakatan rasional.

Tokoh-tokoh yang saya sebutkan di atas, Karl Marx, Horkheimer, Adorno, Marcuse, dan Habermas, adalah tokoh-tokoh penting di dalam teori kritis, terutama teori kritis sekolah Frankfurt. Di balik semua teori mereka, ada satu ciri yang kurang lebih sama, yakni keyakinan akan peran rasionalitas universal manusia sebagai alat untuk mengembangkan kehidupan sosial. Rasionalitas universal tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk tindakan konkret manusia di dalam masyarakatnya. Kesatuan masyarakat yang adil dan makmur hanya dapat tercipta, jika rasionalitas sungguh mewujud nyata di dalam tindakan orang-orang yang hidup di dalamnya. “Proses menjauh dari dunia ideal yang dapat dicapai dengan aktualisasi sosial dari akal budi universal”, demikian tulis Honneth, “dapat disebut juga sebagai patologi sosial, karena di dalamnya tidak terjadi aktualisasi diri yang didasarkan pada intersubyektivitas.”[7]

Walaupun sama-sama mengandaikan kekuatan dari rasionalitas universal di dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul di dalam kehidupan manusia, namun para filsuf teori kritis memiliki perbedaan di dalam pemahaman mereka soal rasionalitas universal tersebut. Horkheimer misalnya yakin bahwa rasionalitas memungkinkan orang untuk mengembangkan diri seutuhnya, dan mewujudkan semua potensi yang ia miliki semaksimal mungkin. Jika semua warga masyarakat hidup dan bertindak dengan rasionalitas, maka akan tercipta apa yang disebutnya sebagai komunitas orang-orang bebas (community of free human beings). Pandangan Habermas agak berbeda dengan Horkheimer. Horkheimer percaya bahwa rasionalitas bisa menjadi alat sekaligus tujuan. Sementara bagi Habermas rasionalitas hanyalah penjamin suksesnya proses komunikasi untuk mencapai kesepakatan. Rasionalitas sifatnya proseduralistik dan bukan substantif.

Namun begitu para pemikir teori kritis kiranya juga yakin bahwa, selain kekuatan rasionalitas manusia, faktor kebebasan juga memainkan peranan penting. Kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan yang sifatnya kooperatif (cooperative freedom). Ada dua hal yang terkandung di dalam konsep kebebasan ini. Yang pertamaadalah bahwa orang memiliki kemampuan dan kemauan untuk memilih cara-cara yang dianggapnya perlu guna mewujudkan potensi-potensi dirinya semaksimal mungkin. Yang kedua kepenuhan potensi diri itu hanya bisa dicapai, jika secara langsung beririsan dengan kebaikan seluruh masyarakat (common good). Kebaikan bersama seluruh masyarakat adalah kebaikan yang telah disepakati secara rasional oleh seluruh warga masyarakat yang memiliki kebebasan individual untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya.

Isu-isu yang dibuka oleh para pemikir teori kritis Frankfurt kini berlanjut di dalam perbebatan antara liberalisme dan komunitarianisme. Jürgen Habermas yang memang banyak dianggap sebagai tokoh terbesar teori kritis juga terlibat secara aktif di dalam perdebatan itu. Filsafat Habermas memang lebih kental nuansa liberalisme, terutama karena ia sangat menekankan pentingnya otonomi individu.[8] Di dalam filsafatnya ia yakin, bahwa kebebasan individu haruslah berada dalam relasi dengan kebaikan bersama. Keduanya tidaklah bisa dipisahkan. Dalam arti ini filsafatnya lebih mendalam dan radikal daripada liberalisme, yang hanya menjadikan kebebasan individu sebagai titik tolak, tanpa ada usaha konkret untuk mengkaitkannya dengan kebaikan bersama. Kebaikan bersama itu biasanya tertanam di dalam keyakinan-keyakinan yang terdapat di dalam kehidupan sosial. Di dalam keyakinan-keyakinan itulah proses komunikasi bisa berlangsung. Dengan demikian proses komunikasi pertama-tama mengandaikan adanya kesamaan titik pijak sekaligus keberadaan individu yang memiliki kebebasan.

Komunikasi memang menjadi tema utama filsafat Habermas, terutama komunikasi di dalam proses pembentukan hukum dan tata politik yang sah. Komunikasi mengandaikan konsep subyek yang bersifat intersubyektif. Artinya konsep subyek selalu terkait dengan subyek-subyek lainnya, dan tidak pernah berdiri sendiri. Konsep subyek ini tentunya berbeda dengan konsep subyek di dalam liberalisme. Di dalam liberalisme subyek dipandang sebagai sesuatu yang otonom, bebas, dan tidak terkait dengan subyek-subyek lainnya. Sementara di dalam tradisi teori kritis, subyek justru bisa mengembangkan dirinya sejauh ia terlibat dan menghidupi nilai-nilai sosial yang ada di dalam masyarakatnya.

Dalam konteks perdebatan liberalisme dan komunitarianisme, teori kritis memiliki posisis yang tegas yang sekaligus membedakannya dari kedua aliran tersebut. Yang pertama teori kritis menegaskan pentingya aspek intersubyektif dari manusia. Artinya pengembangan diri yang maksimal hanya dapat terwujud, jika subyek selalu berada di dalam relasi dengan subyek-subyek lainnya. Jika setiap orang memiliki kesadaran akan intersubyektivitas di dalam dirinya, maka akan tercipta kerja sama di level sosial yang sungguh didasari oleh solidaritas. Sebuah komunitas yang didasari atas solidaritas yang otentik dari masing-masing warganya masih merupakan komunitas ideal cita-cita para pemikir teori kritis. Masyarakat atau komunitas semacam itu hanya bisa tercipta di dalam terang rasionalitas yang digunakan untuk menerangi kehidupan bersama.

Teori kritis setidaknya memiliki tujuan dasar. Yang pertamaadalah membongkar kesesatan-kesesatan berpikir dan bertindak di dalam masyarakat kapitalis, dan yang kedua adalah menawarkan sebuah teori untuk melakukan pembebasan dari kesesatan-kesesatan semacam itu. Dengan demikian teori kritis sungguh ingin menjadi suatu kritik sosial terhadap kapitalisme, sekaligus teori dengan maksud praktis untuk membebaskan masyarakat dari belenggu negatif kapitalisme yang menciptakan banyak krisis sosial. Proses pembebasan atau emansipasi tersebut ditempuh dengan pertama-tama mengacu pada kekuatan akal budi manusia. Rasionalitas dan penggunaannya secara maksimal di dalam kehidupan publik adalah kunci untuk melenyapkan penderitaan.

Walaupun percaya pada kekuatan rasionalitas sebagai alat untuk memperbaiki krisis sosial, namun para pemikir teori kritis memiliki ciri khas mereka masing-masing. Mereka juga yakin bahwa bahkan di dalam keadaan krisis paling gawat sekalipun, manusia selalu bisa menggunakan rasionalitasnya. Namun rasionalitas itu tidak hanya mengenai akal, logika, dan metode ilmiah semata. Seperti yang ditulis oleh Marcuse, dorongan kehidupan juga memilki aspek estetik yang melibatkan rasionalitas. Aspek estetik inilah yang memungkinkan manusia mengambil jarak dari krisis, dan kemudian melampauinya dengan menggunakan kekuatan rasionalitas. Tentu saja pendapat Marcuse tersebut sangatlah kontroversial. Aspek estetik seringkali tidak membawa manusia pada rasionalitas, namun justru menyesatkannya di dalam kebuntuan.[9]

Habermas mencoba menjawab kebuntuan yang diciptakan Marcuse. Bagi Habermas rasionalitas manusia paling tampak di dalam kemampuannya berkomunikasi melalui bahasa. Bahasa adalah medium rasionalitas, karena memungkinkan manusia berkomunikasi untuk mencapai kesalingpengertian bersama. Namun komunikasi itu harus memenuhi syarat terlebih dahulu, yakni bahwa proses itu dilakukan di dalam suasana kebebasan dan kesetaraan antar subyek. Krisis sosial pun juga bisa diselesaikan dengan menggunakan rasionalitas yang diterjemahkan di dalam komunikasi ini. Rasionalitas di dalam komunikasi ini, yang disebut Habermas sebagai rasionalitas komunikatif, adalah dasar dari semua proses pembebasan di dalam masyarakat yang tercengkeram oleh krisis sosial. Proyek besar teori kritis adalah pembebasan manusia dari belenggu-belenggu dirinya, baik belenggu sosial maupun individual. Dan proyek itu hanya dapat terwujud, menurut Habermas, jika bahasa sebagai alat komunikasi dapat digunakan sebaik-baiknya untuk menciptakan kesepakatan rasional tentang hal-hal yang terkait dengan kehidupan bersama.

Dari sini dapatlah disimpulkan tiga konsep yang kiranya menjadi kunci dari seluruh teori kritis, yakni kritik atas kapitalisme, rasionalitas universal, dan cita-cita pembebasan. Menurut Honneth ketiga konsep itu haruslah diterjemahkan untuk membaca kondisi jaman sekarang ini, terutama jika kita secara konsisten mengacu pada dasar-dasar teori kritis klasik, dan tetap mempertahankan semangatnya untuk menganalisis jaman ini. ***



[1] Pada bab ini saya mengacu pada Axel Honneth, “The Social Pathology of Reason: On the Intellectual Legacy of Critical Theory”, dalam Cambridge Companion to Critical Theory, Cambridge, Cambridge University Press, 2004, hal. 336.

[2] Lihat, ibid, hal. 337.

[3] Lihat, ibid, hal. 338.

[4] Ibid.

[5] Lihat, ibid, hal. 339.

[6] Ibid, hal. 340.

[7] Ibid, hal. 341.

[8] Lihat, Reza A.A Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

[9] Lihat, Honneth, 2004, 356.


Fenomenologi-Ontologi Martin Heidegger

Fenomenologi Ontologi di dalam

Pemikiran Martin Heidegger


Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya kita sudah berdiskusi sejenak mengenai fenomenologi yang dirumuskan Edmund Husserl. Ia merumuskan suatu cara untuk memahami realitas, terutama dengan menekankan fenomena keterarahan kesadaran pada obyek yang selalu berada di dalam konteks dunia kehidupan tertentu. Pada kesempatan ini saya ingin memperkenalkan anda pada pemikiran Martin Heidegger yang notabene adalah murid dari Husserl. Heidegger mengembangkan filsafat Husserl ke level ontologi, yakni refleksi mengenai realitas keseluruhan sebagai “Ada”. Sebagai acuan teks saya melihat pada tulisan Dorothea Frede yang berjudul The Questions of Being: Heidegger’s Project.[1]

Ingatkah anda metode elenchus khas Sokrates yang sudah diterangkan sebelumnya? Jika tidak coba lihat kembali ke bab-bab sebelumnya. Heidegger adalah seorang yang sangat ahli di dalam metode Sokratik. Di dalam kuliah-kuliahnya, ia seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam kepada para pendengar kuliahnya, supaya mereka menjadi bingung, dan mempertanyakan semua asumsi-asumsi pemikiran yang mereka miliki, serta dapat memulai diskusi dengan pemikiran terbuka.

Proyek utama filsafat Heidegger adalah mempertanyakan makna “ada”. Konsep itu sendiri memang sudah menjadi bagian dari refleksi filsafat selama berabad-abad. Heideggerlah yang kemudian menggunakan kembali konsep tersebut di dalam filsafatnya. Namun apa sesungguhnya arti kata Ada? Apa arti penting dari konsep itu? Di dalam filsafat Heidegger, kata itu sendiri memiliki beragam makna. Salah satu komentator otoritatif atas filsafat Heidegger yang bernama Hubert Dreyfus pernah berpendapat, bahwa Ada adalah latar belakang dari semua tindakan keseharian manusia yang dapat dipahami dengan akal budi. Thomas Sheehan, ahli Heidegger lainnya, berpendapat bahwa konsep Ada merupakan konsep yang mencakup keseluruhan realitas. Ada adalah konsep yang ada di dalam setiap bentuk pengetahuan manusia tanpa terkecuali.

Setiap pemikir besar biasanya memiliki satu ide dasar yang sifatnya revolusioner. Ide dasar ide dasar itu biasanya merupakan jawaban atas suatu pertanyaan yang juga tak kalah revolusioner. Pertanyaan itulah yang nantinya membimbing seluruh refleksi filosofis filsuf besar tersebut. Hal ini kiranya berlaku di dalam filsafat Heidegger. Menurut penelitian yang dibuat oleh Frede, pertanyaan yang menggantung di seluruh filsafat Heidegger sebenarnya adalah, apa maksud sesungguhnya dari konsep Ada? Di dalam filsafat pertanyaan ini berada di ranah ontologi, yakni penyelidikan tentang Ada yang merupakan dasar dari seluruh realitas. Maka dapat juga dikatakan, bahwa filsafat Heidegger berfokus pada ontologi. Namun ontologi Heidegger tidak sama dengan ontologi yang sudah ada sebelumnya. Searah dengan perjalanan waktu, makna dari pertanyaan tentang Ada pun sudah berubah.[2]

Tentu saja bagi banyak orang, terutama yang tidak berkecimpung secara khusus di dalam dunia filsafat, pertanyaan yang diajukan Heidegger tampak agak bodoh. Jika ditelusuri secara mendalam, konsep Ada sebenarnya ada di dalam setiap hal, sepertiada batu, ada manusia, ada hewan, dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang menempati ruang dan waktu tertentu di alam semesta ini memiliki ada. Segala sesuatu berada. Lalu konsep ada manakah sebenarnya yang dimaksud Heidegger? Ataukah ia mencari Ada yang mendasari seluruh realitas? Jika dilihat dari karya-karyanya, Heidegger hendak menemukan Ada yang mendasar ada-ada lainnya, yang terdapat memang terdapat di semua hal. Maka dari itu pertanyaan tentang ada haruslah diubah menjadi, apakah yang dimaksud dengan Ada yang mendasari ada-ada lainnya di dalam realitas?

Pada tulisan ini saya tidak mau, dan mampu, untuk menelusuri karya-karya Heidegger seutuhnya. Di dalam tulisan ini, saya akan mencoba memasuki ontologi Heidegger, yakni problem tentang Ada yang digelutinya, sambil mencoba mengkaitkan dengan gurunya yang juga merupakan bapak fenomenologi, yakni Edmund Husserl. Selain itu Heidegger juga banyak mendasarkan pikirannya pada filsafat Yunani Kuno. Ia banyak mendapatkan inspirasi dari mereka di dalam prosesnya mempertanyakan makna ada, walaupun nantinya Heidegger akan mengembangkan rumusannya sendiri. Menurut penelitian Frede ketertarikan Heidegger pada masalah Ada dan ontologi secara keseluruhan dimulai, ketika ia membaca tulisan Franz Brentano yang berjudul On the Several Sense of Being in Aristotle. Apa sebenarnya hubungan Heidegger dengan para filsuf Yunani Kuno, terutama di dalam prosesnya untuk memahami Ada?

Heidegger Muda

Salah seorang filsuf Yunani Kuno yang terbesar, Aristoteles, pernah berusaha mendefinisikan ontologi, yakni sebagai ilmu tentang ada (science of being).[3] Bahkan sebelum filsafat Yunani Kuno berkembang, konsep Ada sudah memperoleh porsi besar di dalam refleksi para pemikir. Mereka kerap menyebutnya sebagai “apa yang sesungguhnya”, atau “dasar”. Konsep Ada melibatkan dua hal yang sangat penting di dalam diri seorang pemikir, yakni kemampuan berabstraksi, yakni menarik apa yang sama dari segala sesuatu yang berbeda di dalam realias, dan kemampuan refleksi, yakni menilai diri sendiri dan berpikir secara mendalam. Para filsuf Yunani Kuno juga ingin bertanya, apakah Ada itu sesuatu yang tunggal atau jamak? Apakah ada itu satu atau banyak?

Menurut Frede orang yang pertama  kali mengajukan pertanyaan tentang Ada secara sistematik adalah Plato. Ia melakukan perdebatan tentang konsep Ada dengan para sofis, yakni para pengajar retorika. Kaum sofis sendiri tidak percaya adanya kebenaran mutlak. Bagi mereka segala sesuatu sifatnya relatif di muka bumi ini. Maka dari itu hal yang salah bisa jadi benar, dan sebaliknya, selama orang mampu memberikan argumentasi tentangnya. Bagi Plato sendiri problematika terkait dengan Ada adalah problem gigantotnacbia, yang berarti problem para raksasa pemikiran. Heidegger sendiri sadar akan hal ini. Namun pemikir yang sungguh-sungguh memberikan pengaruh besar di dalam ontologi, ilmu tentang Ada, adalah Aristoteles, murid Plato. Heidegger sendiri memang banyak berpijak pada pemikiran Aristoteles. Ia juga berpendapat bahwa seluruh sejarah pemikiran manusia adalah sejarah kelupaan akan ada (forgetfulness of being).

Di dalam tulisan-tulisannya, Aristoteles membedakan beragam ada seturut kategori pengertiannya. Kategori utama adalah substansi (substance), yakni sesuatu yang sifatnya cukup diri; tidak membutuhkan suatu apapun di luar dirinya. Beragam kategori lainnya berada di dalam ataupun dalam hubungan dengan substansi tersebut. Kategori-kategori itu adalah kuantitas, kualitas, relasi, ruang, waktu, tindakan, afeksi, posisi, dan kepemilikan. Misalnya anda melihat sebuah batu. Batu baru sungguh bermakna bagi manusia, jika ia dikenakan predikat. Dan setiap predikat selalu merupakan salah satu dari kategori-kategori Ada lainnya, baik kuantitas, kualitas, ruang, dan sebagainya. Dalam arti ini menurut Aristoteles, kategori-kategori Ada bukanlah ciptaan manusia, melainkan sudah selalu berada di dalam realitas yang tersusun secara logis. Kategori ada adalah realitas, dan bukan konstruksi pikiran manusia.

Dengan posisinya itu Aristoteles dapat dikategorikan sebagai seorang realis metafisikus. Ia mengakui keberadaan obyektif dari kategori-kategori Ada, maka ia disebut sebagai seorang realis. Dan ia menjadikan konsep Ada sebagai pusat penyelidikannya, maka ia disebut sebagai seorang metafisikus. Seluruh alam semesta menurutnya terdiri dari struktur-struktur obyektif dari Ada. Inti dari struktur obyektif itu adalah substansi. Semua bentuk kategori lainnya menempel pada substansi tersebut. Dalam arti ini juga, tidak ada kesatuan utuh di dalam konsep Ada, karena konsep Ada itu sendiri terdiri dari substansi dan predikat-predikat dari substansi tersebut, seperti kualitas, kuantitas, dan sebagainya. Tidak ada kesatuan ada (unified of being). Yang ada adalah analogi dari berbagai bentuk kategori Ada.

Di dalam filsafat selanjutnya, konsep substansi menjadi tema sentral di dalam seluruh refleksi filsafat, terutama metafisika. Heidegger pun menjadi salah satu filsuf yang bergulat dengan tema ini. Baginya konsep ada di dalam filsafat Aristoteles masihlah kosong. Kekosongan itu diisi oleh para filsuf abad pertengahan dengan ajaran-ajaran Kristiani, seperti yang misalnya dilakukan dengan sangat mengagumkan oleh Thomas Aquinas. Pada filsuf neothomisme di abad kedua puluh juga masih mengacu pada Aristoteles di dalam refleksi mereka tentang substansi.[4]

Heidegger sendiri pun membutuhkan waktu lama untuk melampaui tradisi berpikir Aristotelian ini. Bahkan menurut Frede tulisan-tulisan Heidegger sebelum Being and Time, seperti pada The Doctrine of Judgment in Psychologism (yang merupakan disertasi doktoralnya) dan The Theory of Categories and Meaning of Duns Scotus, tidak menunjukkan orisinalitas ataupun pemikiran-pemikiran revolusioner. Andaikata ia puas dengan karya-karya itu, tentu saja namanya tidak akan dikenal sebagai salah satu filsuf terbesar sepanjang sejarah. Dan kita tentunya tidak akan menjadikan pemikirannya sebagai tema diskusi.

Walaupun tidak dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner, pemikiran-pemikiran Heidegger muda sebenarnya juga mengandung argumen yang kuat. Ia berpendapat bahwa makna dari kesadaran manusia tidak akan pernah bisa didapatkan hanya dengan sekedar mengamati realitas dengan panca indera. Argumen ini membawanya kepada fenomenologi Edmund Husserl. Kesadaran manusia berbeda dengan apa yang disadarinya sebagai ada. Dalam hal ini kita perlu membedakan isi pikiran itu sendiri, dengan obyek dari pikiran tersebut. Orang bisa berpikir tentang makanan. Namun satu hal yang pasti, bahwa pikiran itu sendiri bukanlah makanan. Arti dari pikiran berbeda dengan tindak berpikir. Begitu pula konsep Ada itu sendiri berbeda dengan ada-ada lainnya yang melekat di dalam segala sesuatu yang ada di dalam realitas.

Sewaktu muda pikiran Heidegger belum menyentuh upaya untuk merumuskan konsep Ada sebagai sesuatu yang utuh dan universal. Ia masih melihat ada sebagai sesuatu yang melekat pada benda-benda lainnya. Perkembangan pesat di dalam pemikiran Heidegger muncul, ketika ia menyelesaikan karya keduanya, yakni tentang pemikiran Duns Scotus. Heidegger tertarik pada pemikiran Duns Scotus, karena ia adalah filsuf pertama yang menolak sistem kategori dan substansi Aristoteles. Bagi Scotus sistem Aristoteles tidaklah mencukupi untuk memahami konsep Tuhan. Memang Scotus adalah seorang filsuf abad pertengahan yang berusaha memberikan pemahaman rasional terhadap konsep Tuhan. Baginya Tuhan tidak sama dengan substansi. Kebaikan Tuhan juga tidak sama dengan kebaikan di dalam benda-benda lainnya.

Menurut Heidegger pemikiran Scotus sudah membuka kemungkinan untuk mengembangkan refleksi tentang Ada yang sama sekali baru. Dalam arti ini ada tidak hanya berlaku untuk benda-benda, tetapi juga untuk manusia. Dengan kata lain ada menjadi bagian dari seluruh realitas, termasuk realitas hakiki manusia. Pertanyaan tentang ada bergeser menjadi pertanyaan tentang relasi antara manusia dengan dunia. Bagi Scotus relasi antara dunia dan manusia melibatkan konsep subyektivitas. Subyektivitas membuat manusia mampu memaknai dunianya, dan proses pemaknaan itu selalu melibatkan jaringan makna yang lebih luas. Tugas filsuf menurut Heidegger adalah menjelaskan jaringan makna yang melatarbelakangi tindak pemaknaan atas dunia tersebut. Jaringan makna itu adalah struktur dari realitas. Itulah Ada.[5]

Namun menurut Scotus konsep ada berbeda-beda untuk setiap hal. Ia kemudian membedakan dua hal, yakni ada dari alam (being of nature) dan ada dari akal budi (being of reason). Dalam arti ini kebenaran yang ada di dalam akal budi tidak otomatis sama dengan kebenaran yang ada di dalam alam. Pikiran adalah penanda. Sementara benda di alam adalah petanda. Penanda dan petanda memang berhubungan, tetapi tidak selalu sama. Tanda untuk menunjukkan dilarang merokok tidak harus sama dengan orang yang ingin dilarang untuk merokok bukan? Dalam hal ini Heidegger sependapat dengan Scotus. Heidegger pun menolak teori cermin tentang realitas. Ia menolak bahwa pikiran kita sungguh mencerminkan apa yang ada di dalam realitas.

Satu hal dari pemikiran Scotus yang kiranya sungguh mempengaruhi Heidegger adalah, bahwa walaupun pikiran dan realitas itu tidak selalu sama, namun keberadaan realitas itu sendiri ditentukan oleh pengertian subyek tentangnya. Inilah yang disebut sebagai subyektivitas yang obyektif (objective subjectivity). Yang obyektif adalah adalah yang diberikan sebagai obyektif (object-givenness) oleh bahasa kepada pikiran manusia. Di dalam karya terbesarnya yang berjudul Being and Time, Heidegger menitikberatkan keterkaitan antara bahasa, penafsiran, dan alam obyektif. Pemahaman manusia tidak pernah merupakan pemahaman tentang dunia pada dirinya sendiri, melainkan selalu sudah dijembatani oleh bahasa dan penafsiran. Dan penafsiran maupun bahasa selalu sudah tertanam di dalam jaringan makna kultural tertentu.

Being and Time

Lalu apa beda filsafat Heidegger dengan filsafat tradisional lainnya yang banyak berbicara tentang ada? Ada jarak waktu 12 tahun sebelum Heidegger menulis karya terbesarnya yang berjudul Being and Time dari karya sebelumnya. Menurut Frede gaya berfilsafat Heidegger di dalam Being and Time sangat dipengaruhi oleh pemikiran Edmund Husserl. Namun walaupun berhutang pada Husserl, Heidegger tetap memiliki banyak perbedaan argumen dengannya. Setidaknya ada dua bentuk pengaruh Husserl yang sangat jelas di dalam pemikiran Heidegger. Yang pertama Heidegger sendiri sudah mengakui, bahwa ia sangat terpengaruh oleh buku karangan Husserl yang berjudul Logical Investigations. Pada waktu ia bertemu secara langsung dengan Husserl, Heidegger kemudian menyadari betul peran fenomenologi di dalam persoalan tentang ada. Dalam arti ini bisa juga dikatakan, bahwa Being and Time adalah upaya Heidegger untuk menerapkan metode fenomenologi untuk memahami ada.[6]

Walaupun sudah dibahas pada bab sebelumnya, ada baiknya kita mengingat kembali inti dari fenomenologi Husserl. Salah satu konsep kunci di dalam fenomenolog Husserl adalah intensionalitas. Menurutnya setiap aktivitas manusia, baik fisik maupun mental, seperti berpikir, selalu mengarah pada suatu fenomena obyektif di luar dirinya. Dalam arti ini kesadaran tidak pernah kesadaran pada dirinya sendiri, melainkan kesadaran akan sesuatu. Setiap obyek di luar diri manusia hanya bisa dipahami sejauh obyek tersebut dipahami oleh kesadaran. Jika ingin memahami hakekat dari semua benda-benda yang ada di dunia, maka kita harus melihat kaitannya obyek itu dengan kesadaran manusia yang mempersepsinya.

Husserl juga berpendapat bahwa isi dari kesadaran adalah sesuatu yang murni, atau yang disebutnya sebagai aku murni (pure I). Aku murni adalah dasar dari pengetahuan. Sementara fakta-fakta dunia hanyalah kemungkinan. Jika kita ingin mengetahui hakekat dari obyek di luar diri kita, maka yang harus kita lakukan justru adalah memahami kesadaran yang membuat kita bisa mengetahui obyek tersebut. Husserl berpendapat bahwa inti dari filsafat bukalah obyek empiris, melainkan isi dari kesadaran manusia. Dalam arti ini filsafat, terutama fenomenologi Husserl, memang menjadi pendekatan yang berpusat pada ego manusia.

Husserl dapat dianggap sebagai seorang filsuf subyektivis transendental (transcendental subjectivist). Subyektivisme transendental sendiri adalah paham yang berpendapat, bahwa subyektivitas merupakan sumber dari semua bentuk pengetahuan, pikiran, dan pengalaman manusia. Lalu dimanakah tempat dunia eksternal? Husserl masih memberikan tempat besar bagi dunia fisik eksternal. Namun di dalam fenomenologi, dunia eksternal berusaha ditunda terlebih dahulu, sehingga pemahaman subyek tentang dunianya bisa tampak. Yang menjadi fokus utama fenomenologi adalah pengalaman subyek dan isi kesadarannya, ketika berusaha memahami dunia.

Heidegger setuju dengan Husserl, ketika ia menyatakan bahwa ada dari benda-benda terletak di dalam pengertian manusia tentang benda-benda tersebut. Namun setidaknya ada empat hal dari pemikiran Husserl yang tidak disetujui oleh Heidegger. Yang pertamaadalah ia tidak setuju dengan kecenderungan Husserl untuk memusatkan seluruh analisisnya pada manusia sebagai subyek. Fakta bahwa manusia bisa sadar akan sesuatu tidak menjamin, bahwa ia memahaminya secara utuh. Di dalam tulisan-tulisannya, Heidegger menunjukkan bahkan pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri juga bisa jatuh dalam kesalahan.[7] Yang kedua Heidegger tidak setuju dengan konsepsi Husserl tentang “menaruh di dalam kurung”. Tidak mungkin manusia bisa menaruh di dalam kurung pertimbangan-pertimbangannya tentang dunia eksternal. Sebaliknya pertimbangan-pertimbangan itu harusnya dijadikan bagian utuh dari proses penafsiran manusia atas dunianya.

Yang ketiga menurut Heidegger, filsafat Husserl nantinya akan terkurung ke dalam subyektivisme, yakni paham yang berpendapat bahwa dunia luar berada di dalam diri manusia. Memang Husserl mengatakan bahwa kesadaran selalu terarah pada obyek, dan keberadaan obyek sangatlah tergantung pada kesadaran manusia. Paham itu bisa dengan mudah digeser menjadi pernyataan, bahwa obyek, atau dunia luar itu sendiri, berada di dalam kesadaran manusia.Yang keempat bagi Heidegger, fenomenologi Husserl masih terjebak pada filsafat tradisional, yakni bahwa kesadaran adalah sesuatu yang bisa diselidiki dengan cara menciptakan refleksi yang berjarak dari manusia itu sendiri. Penolakan terhadap pandangan-pandangan Husserl ini membantu Heidegger merumuskan pandangannya sendiri di dalam karya terbesarnya, yakni Being and Time.[8]

Buku Being and Time memiliki dua proyek dasar. Yang pertama adalah proyek untuk merumuskan cara baru dalam menafsirkan seluruh sejarah filsafat. Yang kedua adalah klarifikasi konsep ada itu sendiri. Proyek yang kedua memang telah lama menjadi obsesi pribadi Heidegger. Dalam bahasa teknis Heidegger, kedua proyek itu disebut juga sebagai Ontological Analytic of Dasein as Laying Bare the Horizon for an Interpretation of the Meaning of Being in General danDestroying the History of Ontology.

Karena Heidegger sendiri memang terobsesi dengan proses untuk menghancurkan ontologi, maka saya, dengan mengacu pada Frede, akan menerangkan proyek ini terlebih dahulu. Tidak ada nuansa kekerasan di dalam pemikiran Heidegger, walaupun ia memang menggunakan kata Desttuktion. Di dalam bahasa Jerman, arti kata itu agak berbeda dengan terjemahan Inggrisnya, yakni destruction. KataDesttuktion lebih berarti suatu upaya untuk membuktikan adanya kesalahan berpikir di dalam filsafat Kant, Descartes, dan Aristoteles. Kesalahan berpikir itu bukanlah sesuatu yang disengaja, namun memang tak terhindarkan.

Menurut Heidegger seluruh sejarah metafisika dan ontologi di dalam filsafat barat mengalami apa yang disebutnya kelupaan akan ada (forgetfulness of being). Para filsuf berpikir bahwa ada itu tidak memiliki konsep yang konkret, dan juga bahwa ada hanya bisa dipahami melalui pengada-pengada, seperti manusia, tuhan, konsep-konsep, dan sebagainya. Cara berpikir ini sebenarnya sudah dimulai sejak Aristoteles. Bagi Aristoteles segala sesuatu yang tidak memiliki kategori-kategori ada, seperti kualitas, kuantitas, substansi, dan sebagainya, berarti tidak bisa diketahui. Maka dari itu seperti sudah ditulis sebelumnya, Ada hanya dapat diketahui melalui benda-benda konkret di dalam realitas.[9]

Heidegger juga tidak setuju dengan pandangan tradisional yang mengatakan bahwa ada merupakan konsep yang independen dari pikiran manusia. Baginya inilah sebab kebuntuan berbagai refleksi filsafat tentang ada di dalam sejarah, yakni ketika ada dipandang sebagai obyek yang keberadaannya dapat dilepaskan dari manusia sebagai sosok pengamat. Filsafat Descartes dan Kant, yang memang sangat berpusat pada subyek, juga tidak mengurangi kesulitan di dalam memahami ada tersebut. Manusia seolah adalah subyek yang memandang dunia sebagai obyek secara berjarak. Jika manusia adalah subyek yang terpisah dari dunia sebagai obyeknya, maka bagaimana ia bisa tahu mengenai dunianya? Ini adalah salah satu tema penting di dalam epistemologi, yakni refleksi filsafat pengetahuan.

Pertanyaan yang juga muncul dari argumen ini adalah, bagaimana kita bisa menjamin kebenaran, jika pengetahuan hanya merupakan impresi dari subyek atas dunia? Kant dengan filsafatnya hendak menjawab pertanyaan itu. Namun ia sendiri tampaknya masih terjebak pada konsep benda-pada-dirinya-sendiri. Konsep ini seolah tidak bisa dipahami, karena berada di luar pemahaman manusia. Jadi walaupun konsep benda-pada-dirinya-sendiri tidak bisa diketahui, namun di dalam pemikiran Kant, konsep itu menempati peran yang sangat penting di dalam proses pembentukan realitas itu sendiri. Dengan tidak jelasnya konsep itu, bagi Heidegger, filsafat Kant belum secara radikal memberikan terobosan di dalam ontologi dan metafisika.

Heidegger lebih jauh berpendapat, bahwa seluruh problem di dalam filsafat modern muncul, karena terpisahnya subyek, yakni manusia, dari obyek, yakni dunia yang dipersepsinya. Inilah yang disebut Heidegger sebagai ‘membelah dan menghancurkan fenomena’ (splitting asunder of the phenomena). Keterpisahan subyek manusia dan dunia obyektif yang dipersepsinya adalah penyebab utama dari begitu banyak problem di dalam filsafat yang tidak terselesaikan secara tuntas.[10] Heidegger juga menyebut sikap ini sebagai sikap alamiah (natural way) yang mengisolasi obyek dari subyek, dan sebaliknya. Sikap berjarak memang diperlukan, baik di dalam refleksi filsafat yang mendalam maupun di dalam ilmu pengetahuan. Namun orang tetap harus ingat, bahwa sikap berjarak itu sifatnya artifisial, yakni hanya untuk memperoleh pengetahuan dari satu sisi saja, dan tidak dari keseluruhan aspek.

Di dalam ilmu-ilmu positivis, seperti psikologi positivistik, seorang pengamat dianggap memiliki status istimewa terhadap obyek yang diamati. Cara pandang positivistik ini menganggap obyek, yang sering juga adalah manusia itu sendiri, adalah subyek yang tidak memiliki dunia (worldless). Cara pandang semacam inilah yang ingin ditentang secara keras oleh Heidegger. Baginya manusia yang merupakan subyek pengamat adalah bagian dari dunia yang sama dari obyek yang diamati, yakni dunia. Manusia adalah mahluk yang selalu ada di dunia (being in the world) bersama dengan benda-benda fisik maupun mahluk hidup lainnya. Konsekuensinya manusia adalah mahluk yang ada bersama (being among) dan terlibat (involve) dengan dunia yang sudah selalu ada.

Namun sampai akhir hidupnya, Heidegger tidak pernah menyelesaikan proyek destruksi metafisikanya. Buku yang membuat pemikirannya dikenal banyak orang, Being and Time, tidak pernah selesai. Niat Heidegger untuk melakukan destruksi metafisika-ontologi, dan sekaligus mengajukan suatu cara baru untuk memahami Ada tampaknya memang tidak akan pernah tercapai. Pada bagian kedua Being and Time, ia sendiri berniat untuk membalikkan proyek buku itu, yakni menjadi Time and Being. Namun tampaknya ia tidak pernah bisa menyelesaikan proses penulisannya, dan segera beralih ke tema-tema filosofis lainnya.

Di dalam Being and Time, Heidegger hendak memahami ada dari seluruh realitas dalam artinya yang paling dinamis, sesuai dengan perkembangan dan perubahan realitas itu sendiri. Di dalam metafisika-ontologi tradisional, konsep ada tidak dipahami dalam temporalitas waktu. Padahal konsep waktu seperti yang selalu ditekankan Heidegger sangat terkait dengan konsep ada itu sendiri. Untuk mengubah pemahaman tentang ada itu sendiri, Heidegger lalu mencoba memahami ada melalui mahluk yang mampu memikirkan dan menanyakan ada, yakni manusia sendiri. Bagi Heidegger manusia bukanlah entitas yang terisolasi, ataupun tidak memiliki dunia sebagai latar belakangnya. Manusia adalah mahluk yang dari dasar dan hakekatnya sudah dibentuk oleh dunia.

Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa modus mengada (modes of being) dari manusia adalah ada-bersama-dunia, ada-di-dalam-dunia, dan sekaligus ada-disana. Namun ketiga modus mengada itu pun belum mencukupi. Modus mengada hanya berlaku untuk manusia yang menanyakan ada, dan bukan untuk ada itu sendiri. Di dalamBeing and Time, Heidegger memang banyak menganalisis tentang manusia sebagai mahluk penanya ada, dan bukan ada itu sendiri. Jika Heidegger tidak melanjutkan refleksi filsafatnya, maka sebenarnya ia tidak beranjak jauh dari pemikiran Husserl. Heidegger hanya melukiskan modus mengada manusia dalam kaitannya dengan dunia, tanpa menusuk langsung ke pertanyaan tentang ada itu sendiri, yang seharusnya menjadi inti dari proyek filosofisnya.[11]

Namun untungnya filsafat Heidegger maju lebih jauh. Ia pertama-tama memperkenalkan konsep perawatan/memelihara (care). Memelihara sendiri adalah relasi dasar antara manusia dengan alam. Karena manusia selalu berada di dalam relasi keterlibatan (involvement) dengan alam, maka sudah selayaknya ia ikut merawat dan memelihara alam itu sendiri. Tindak memelihara disini bukanlah tindakan amal, melainkan sudah melambangkan relasi fundamental antara manusia dengan alam, dan sebaliknya. Heidegger juga berpendapat bahwa manusia adalah bagian dari alam keseluruhan, karena ia selalu ada-di-dalam-dunia (being in the world). Jadi manusia dan alam berada di dalam kesatuan ontologis yang utuh serta tak terpisahkan. Maka dari itu sikap yang tepat dari manusia terhadap alam adalah sikap yang memperlakukan alam sebagai bagian dari diri manusia itu sendiri. “Kita”, demikian tulis Frede dalam tulisannya tentang Heidegger, “memproyeksikan diri kita sendiri, seluruh eksistensi kita, ke dalam dunia dan memahami diri kita dan semua hal di dunia ini dalam bentuk kemungkinan bentukan kita tentang diri kita sendiri.”[12] Manusia dan alam adalah satu, karena gambaran tentang dunia adalah gambaran manusia tentang dunia. Kedua hal itu tidak bisa dipisahkan.

Segala sesuatu bisa diketahui, karena manusia memaknainya. Dan makna itu bisa diterima, karena kita, manusia, adalah bagian dari pemaknaan itu sendiri. Di dalam dunia manusia membangun dan mencipta ulang dirinya sendiri. Segala sesuatu yang bermakna bagi manusia juga sudah selalu terletak di dalam dunia. Manusia dan dunia adalah suatu proyek. Proyek adalah suatu harapan akan masa depan. Harapan akan masa depan itu tidak didasarkan pada kekosongan, melainkan pada pengertian kita tentang dunia yang ada sekarang ini. Masa lalu memang mempengaruhi manusia, namun manusia tetap terikat dan tertanam di dalam masa kini. Kekinian itulah dunia (world) yang mengikat dan memberikan makna bagi kehidupan kita sehari-hari. Manusia terhisap di dalam temporalitas kekinian, dan kekinian itulah yang mengikat manusia dengan dunia. Manusia selalu terlibat dengan dunia di dalam kekiniannya.

Inilah inti dari konsep temporalitas (temporality) di dalam filsafat Heidegger. Dengan konsep itu ia tidak hanya mau mengatakan, bahwa manusia itu adalah mahluk yang hidup dalam waktu, atau memiliki intuisi tentang waktu, melainkan bahwa manusia hidup dalam tiga dimensi waktu sekaligus, yakni berharap untuk masa depan, mengingat apa yang sudah berlalu, dan terhisap serta terikat di dalam kekinian (presentness). Keserentakan dari ketiga momen itu, yakni yang lalu, sekarang, dan masa depan, itulah yang disebut sebagai temporalitas, menurut Heidegger. Dalam arti ini kekinian murni (here and now) adalah suatu ilusi, karena manusia tidak pernah berada di dalam kekinian murni, melainkan selalu sudah menghidupi dirinya dalam ketiga momen, yakni masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Fenomenologi sebagai Ontologi

Dalam arti apakah fenomenologi menjadi ontologi di tangan Heidegger? Fenomenologi adalah ilmu tentang fenomena. Secara spesifik fenomenologi ingin kembali kepada obyek itu sendiri. Artinya fenomenologi menolak semua rumusan teori, asumsi, maupun prasangka yang seringkali justru mengaburkan proses untuk mencapai pengetahuan. Fenomenologi ingin memahami esensi dari kesadaran manusia sebagaimana dilihat dari sudut pandang orang pertama. Di tangan Husserl fenomenologi menjadi suatu displin tersendiri yang berbeda dari ilmu-ilmu manusia lainnya.

Heidegger melihat potensi besar di dalam fenomenologi. Namun ia tidak lagi menggunakannya semata untuk memahami esensi kesadaran manusia. Fokus dari filsafat Heidegger adalah untuk memahami ada. Jadi dia menerapkan fenomenologi untuk memahami ada. Dalam arti inilah fenomenologi berubah menjadi ontologi. Untuk memahami ada Heidegger awalnya mencoba memahami mahluk penanya ada, yakni manusia itu sendiri, yang selalu berelasi dengan dunia. Manusia dan dunia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Manusia dan dunia itulah ada itu sendiri. Ada yang tidak terjebak pada ada-ada lainnya di dalam realitas, melainkan ada yang menjadi realitas itu sendiri. Filsafat Heidegger adalah suatu upaya untuk memahami Ada yang menyingkapkan dirinya.***



[1] Pada bab ini saya mengacu pada Dorothea Frede, “The Questions of Being: Heidegger’s Project”, dalam The Cambridge Companion to Heidegger, Cambridge, Cambridge University Press, 1993.

[2] Lihat, Frede, 1993, hal. 41.

[3] Lihat, ibid, hal. 45.

[4] Lihat, ibid, hal. 46.

[5] Lihat, ibid, hal. 49.

[6] Bdk, ibid, hal. 52.

[7] Lihat, ibid, hal. 53.

[8] Lihat, ibid.

[9] Lihat, ibid, hal. 60.

[10] Lihat, ibid, hal. 61.

[11] Lihat, ibid, hal. 63.

[12] Ibid, hal. 64.

Fenomenologi Edmund Husserl

Bab

7

Fenomenologi Edmund Husserl


Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya kita sudah berdiskusi soal gaya aphorisme di dalam filsafat Nietzsche. Ia mengajarkan kita untuk berani menembus batas-batas rasionalitas itu sendiri, dan membuka tabir-tabir pemikiran baru yang belum tersentuh sebelumnya. Pada bab ini saya ingin mengajak anda berdiskusi mengenai metodologi berpikir di dalam filsafat Husserl, yang banyak juga dikenal sebagai fenomenologi. Metode ini sangat penting di dalam filsafat, dan juga di dalma penelitian ilmu-ilmu sosial. Di dalam pemikiran Husserl, fenomenologi tidak hanya berhenti menjadi metode, tetapi juga mulai menjadi ontologi. Muridnya yang bernama Heideggerlah yang nantinya akan melanjutkan proyek itu. Pada bab ini saya mengacu pada tulisan David W. Smith tentang Husserl di dalam bukunya yang berjudul Husserl.[1]

Cita-cita Husserl adalah membuat fenomenologi menjadi bagian dari ilmu, yakni ilmu tentang kesadaran (science of consciousness). Akan tetapi pendekatan fenomenologi berusaha dengan keras membedakan diri dari epistemologi tradisional, psikologi, dan bahkan dari filsafat itu sendiri. Namun sampai sekarang definisi jelas dan tepat dari fenomenologi belum juga dapat dirumuskan dan dimengerti, bahkan oleh orang yang mengklaim menggunakannya. Oleh karena itu dengan mengacu pada tulisan Smith, saya akan coba memberikan definisi dasar tentang fenomenologi, sekaligus mencoba memberi contoh penerapannya. Setelah itu saya akan mengajak anda untuk memahami latar belakang teori fenomenologi Husserl yang memang secara langsung diinspirasikan oleh Frans Bretagno, terutama pemikirannya soal psikologi deskriptif. Lalu masih mengacu pada tulisan Smith, saya akan mengajak anda memahami teori tentang kesadaran, terutama konsep kuncinya yang disebut sebagai intensionalitas. Intensionalitas sendiri berarti kesadaran yang selalu mengarah pada sesuatu (consciousness on something), seperti kesadaran akan waktu, kesadaran akan tempat, dan kesadaran akan eksistensi diri sendiri. Selanjutnya kita akan berdiskusi tema-tema yang lebih spesifik di dalam filsafat Husserl, seperti pemikirannya tentang logika, ontologi, dan filsafat transendental.[2]

Arti Fenomenologi

Menurut Smith fenomenologi Husserl adalah sebuah upaya untuk memahami kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang pertama. Secara literal fenomenologi adalah studi tentang fenomena, atau tentang segala sesuatu yang tampak bagi kita di dalam pengalaman subyektif, atau tentang bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar kita. Setiap orang pada dasarnya pernah melakukan praktek fenomenologi. Ketika anda bertanya “Apakah yang aku rasakan sekarang?”, “Apa yang sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan kulakukan?”, maka sebenarnya anda melakukan fenomenologi, yakni mencoba memahami apa yang anda rasakan, pikirkan, dan apa yang akan anda lakukan dari sudut pandang orang pertama.

Dengan demikian fenomenologi adalah upaya untuk memahami kesadaran dari sudut pandang subyektif orang terkait. Pendekatan ini tentu saja berbeda dengan pendekatan ilmu pengetahuan saraf (neuroscience), yang berusaha memahami cara kerja kesadaran manusia di dalam otak dan saraf, yakni dengan menggunakan sudut pandang pengamat. Neurosains lebih melihat fenomena kesadaran sebagai fenomena biologis. Sementara deskripsi fenomenologis lebih melihat pengalaman manusia sebagaimana ia mengalaminya, yakni dari sudut pandang orang pertama.

Walaupun berfokus pada pengalaman subyektif orang pertama, fenomenologi tidak berhenti hanya pada deskripsi perasaan-perasaan inderawi semata. Pengalaman inderawi hanyalah titik tolak untuk sampai makna yang bersifat konseptual (conceptual meaning), yang lebih dalam dari pengalaman inderawi itu sendiri. Makna konseptual itu bisa berupa imajinasi, pikiran, hasrat, ataupun perasaan-perasaan spesifik, ketika orang mengalami dunianya secara personal.

Jika fenomenologi berfokus pada pengalaman manusia, lalu apa kaitan fenomenologi dengan psikologi sebagai ilmu tentang perilaku manusia? Husserl sendiri merumuskan fenomenologi sebagai tanggapan kritisnya terhadap psikologi positivistik, yang menolak eksistensi kesadaran, dan kemudian menyempitkannya semata hanya pada soal perilaku. Oleh sebab itu menurut Smith, fenomenologi Husserl lebih tepat disebut sebagai psikologi deskriptif, yang merupakan lawan dari psikologi positivistik.

Di dalam fenomenologi konsep makna (meaning) adalah konsep yang sangat penting. “Makna”, demikian tulis Smith tentang Husserl, “adalah isi penting dari pengalaman sadar manusia..”[3] Pengalaman seseorang bisa sama, seperti ia bisa sama-sama mengendari sepeda motor. Namun makna dari pengalaman itu berbeda-beda bagi setiap orang. Maknalah yang membedakan pengalaman orang satu dengan pengalaman orang lainnya. Makna juga yang membedakan pengalaman yang satu dan pengalaman lainnya. Suatu pengalaman bisa menjadi bagian dari kesadaran, juga karena orang memaknainya. Hanya melalui tindak memaknailah kesadaran orang bisa menyentuh dunia sebagai suatu struktur teratur (organized structure) dari segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Namun begitu menurut Husserl, makna bukanlah obyek kajian ilmu-ilmu empiris. Makna adalah obyek kajian logika murni (pure logic). Pada era sekarang logika murni ini dikenal juga sebagai semantik (semantics). Maka dalam arti ini, fenomenologi adalah suatu sintesis antara psikologi, filsafat, dan semantik (atau logika murni).

Bagi Husserl fenomenologi adalah suatu bentuk ilmu mandiri yang berbeda dari ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Dengan fenomenologi Husserl mau menantang semua pendekatan yang bersifat biologis-mekanistik tentang kesadaran manusia, seperti pada psikologi positivistik maupun pada neurosains. Ia menyebut fenomenologi sebagai ilmu pengetahuan transendental (transcendental science), yang dibedakan dengan ilmu pengetahuan naturalistik (naturalistic science), seperti pada fisika maupun biologi. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya, perbedaan utama fenomenologi dengan ilmu-ilmu alam, termasuk psikologi positivistik, adalah peran sentral makna di dalam pengalaman manusia (meaning in experience). Fenomenologi tidak mengambil langkah observasi ataupun generalisasi di dalam penelitian tentang manusia, seperti yang lazim ditemukan pada psikologi positivistik.

Cita-cita Husserl adalah mengembangkan fenomenologi sebagai suatu displin ilmiah yang lengkap dengan metode yang jelas dan akurat. Di dalam ilmu-ilmu alam, seperti kimia, fisika, dan biologi, kita mengenal adalah metode penelitian ilmu-ilmu alam yang sifatnya empiris dan eksperimental. Inti metode penelitian ilmu-ilmu alam adalah melakukan observasi yang sifatnya sistematis, dan kemudian menganalisisnya dengan suatu kerangka teori yang telah dikembangkan sebelumnya. Husserl ingin melepaskan diri dari cara berpikir yang melandasi metode penelitian semacam itu. Baginya untuk memahami manusia, fenomenologi hendak melihat apa yang dialami oleh manusia dari sudut pandang orang pertama, yakni dari orang yang mengalaminya.

Di dalam kerangka berpikir ini, seorang ilmuwan sekaligus adalah sekaligus peneliti dan yang diteliti. Ia adalah subyek sekaligus obyek dari penelitian. Dan seperti sudah ditegaskan sebelumnya, fenomenologi adalah cara untuk memahami kesadaran manusia dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Namun menurut penelitian Smith, Husserl membedakan tingkat-tingkat kesadaran (state of consciousness). Yang menjadi fokus fenomenologi bukanlah pengalaman partikular, melainkan struktur dari pengalaman kesadaran, yakni realitas obyektif yang mewujud di dalam pengalaman subyektif orang per orang. Konkretnya fenomenologi berfokus pada  makna subyektif dari realitas obyektif di dalam kesadaran orang yang menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari. Dalam kosa kata Husserl, “obyek kesadaran sebagaimana dialami.”[4]

Fenomenologi Husserlian adalah ilmu tentang esensi dari kesadaran. Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan esensi dari kesadaran? Berdasarkan penelitian Smith fenomenologi Husserl dibangun di atas setidaknya dua asumsi. Yang pertama, setiap pengalaman manusia sebenarnya adalah satu ekspresi dari kesadaran. Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya sendiri yang memang bersifat subyektif. Dan yang kedua, setiap bentuk kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Ketika berpikir tentang makanan, anda membentuk gambaran tentang makanan di dalam pikiran anda. Ketika melihat sebuah mobil, anda membentuk gambaran tentang mobil di dalam pikiran anda. Inilah yang disebut Husserl sebagai intensionalitas (intentionality), yakni bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu.

Tindakan seseorang dikatakan intensional, jika tindakan itu dilakukan dengan tujuan yang jelas. Namun di dalam filsafat Husserl, konsep intensionalitas memiliki makna yang lebih dalam. Intensionalitas tidak hanya terkait dengan tujuan dari tindakan manusia, tetapi juga merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran tidak pernah pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas sesuatu. Pikiran selalu memiliki obyek. Hal yang sama berlaku untuk kesadaran. Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran (directedness of consciousness). Dan intensionalitas juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada satu obyek.

Namun Husserl juga melihat beberapa pengalaman konkret manusia yang tidak mengandaikan intensionalitas, seperti ketika anda merasa mual ataupun pusing. Kedua pengalaman itu bukanlah pengalaman tentang suatu obyek yang konkret. Namun pengalaman itu sangatlah jarang, kecuali anda yang menderita penyakit tertentu. Mayoritas pengalaman manusia memiliki struktur. Mayoritas pengalaman manusia melibatkan kesadaran, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Husserl menyebut setiap proses kesadaran yang terarah pada sesuatu ini sebagai tindakan (act). Dan setiap tindakan manusia selalu berada di dalam kerangka kebiasaan (habits), termasuk di dalamnya gerak tubuh dan cara berpikir.

Fenomenologi adalah analisis atas esensi kesadaran sebagaimana dihayati dan dialami oleh manusia, dan dilihat dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Fenomenologi menganalisis struktur dari persepsi, imajinasi, penilaian, emosi, evaluasi, dan pengalaman orang lain yang terarah pada sesuatu obyek di luar. Dengan demikian menurut Smith, fenomenologi Husserl adalah suatu penyelidikan terhadap relasi antara kesadaran dengan obyek di dunia luar, serta apa makna dari relasi itu. Konsep bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu merupakan konsep sentral di dalam fenomenologi Husserl.[5]

Kesimpulan

Seperti sudah disinggung sebelumnya, fenomenologi adalah suatu refleksi atas kesadaran dari sudut pandang orang pertama. Konkretnya fenomenologi hendak menggambarkan pengalaman manusia sebagaimana ia mengalaminya melalui pikiran, imajinasi, emosi, hasrat, dan sebagainya. Dalam hal ini Husserl sangat berhutang pada Bretano. Bretano sendiri membedakan dua jenis psikologi, yakni psikologi deskriptif yang dikenal juga sebagai fenomenologi, dan psikologi genetis (genetic psychology). Psikologi deskriptif hendak memahami dinamika kehidupan mental manusia. Sementara psikologi genetis ingin memahami dinamika mental manusia dengan kaca mata ilmu-ilmu genetika yang sifatnya biologistik. Di dalam pemikiran Husserl, fenomenologi menjadi suatu displin yang memiliki status otonom. Ia pun merumuskannya secara lugas, yakni sebagai ilmu tentang esensi kesadaran. Dan berulang kali ia menegaskan, bahwa kesadaran manusia tidak pernah berdiri sendiri. Kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Inilah yang disebut dengan intensionalitas, suatu konsep yang sangat sentral di dalam fenomenologi Husserl.

Husserl kemudian mencoba mengembangkan teori intensionalitas ini. Setiap tindakan manusia selalu melibatkan kesadaran, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran atas suatu obyek yang nyata di dunia. Manusia adalah subyek dan subyek selalu terarah pada suatu obyek yang nyata di dunia. Obyek dari kesadaran dan tindakan manusia tidak pernah berada di dalam ruang kosong, melainkan selalu berada di dalam horison makna tertentu. Maka dari itu intensionalitas kesadaran selalu melibatkan relasi rumit antara subyek (manusia) yang sadar, tindakan, obyek, dan horison dari obyek tersebut. Relasi rumit di dalam intensionalitas kesadaran itulah yang menjadi dasar dari fenomenologi.

Setelah menjadikan intensionalitas kesadaran sebagai dasar filsafatnya, Husserl kemudia menganalisis struktur-struktur dasar kesadaran secara detil, seperti persepsi, penilaian, tindakan, ruang, waktu, tubuh, keberadaan orang lain, dan sebagainya. Subyek (manusia) dan obyek selalu berada di dalam horison makna tertentu yang disebut Husserl sebagai dunia kehidupan (life-world). Secara singkat dunia kehidupan adalah dunia di sekeliling manusia yang dialaminya secara familiar di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam dunia kehidupan, manusia memperoleh makna dan identitasnya sebagai manusia. Dalam arti ini fenomenologi adalah suatu upaya untuk memahami kesadaran manusia dalam konteks kaitan dengan dunia kehidupannya.

Fenomenologi Husserl hendak menganalisis dunia kehidupan manusia sebagaimana ia mengalaminya secara subyektif maupun intersubyektif dengan manusia lainnya. Sebenarnya ia membedakan antara apa yang subyektif, intersubyektif, dan yang obyektif. Yang subyektif adalah pengalaman pribadi kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan. Obyektif adalah dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen di dalam ruang dan waktu. Dan intersubyektitas adalah pandangan dunia semua orang yang terlibat di dalam aktivitas sosial di dalam dunia kehidupan.[6] Interaksi antara dunia subyektif, dunia obyektif, dan dunia intersubyektif inilah yang menjadi kajian fenomenologi. Fenomenologi membuka kesadaran baru di dalam metode penelitian filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Kesadaran bahwa manusia selalu terarah pada dunia, dan keterarahan ini melibatkan suatu horison makna yang disebut sebagai dunia kehidupan. Di dalam konteks itulah pemahaman tentang manusia dan kesadaran bisa ditemukan.***



[1] Pada bab ini saya mengacu pada David Woodruff Smith, Husserl, London, Routledge, 2007.

[2] Lihat, ibid, hal. 188.

[3] Ibid, hal. 190.

[4] Ibid, hal. 191.

[5] Lihat, ibid, hal. 193.

[6] Lihat, ibid, hal. 234.


Tentang Nietzsche dan Aphorisme

Bab

6

Metode Aphorisme

di dalam Filsafat Nietzsche


Pada bab sebelumnya saya sudah menjabarkan metode dialektika di dalam filsafat Hegel. Hegel adalah seorang filsuf yang berpikir dan menyusun filsafatnya secara sistematis. Ia membangun sistem untuk memahami seluruh realitas, termasuk alam, manusia, dan sejarah. Pada kesempatan ini saya ingin memperkenalkan anda pada satu sosok filsuf yang sangat berlainan dengan Hegel, yakni Nietzsche. Berbeda dengan sistem filsafat Hegel, Nietzsche justru sangat anti sistem. Ia menulis dengan aphorisme, yakni dengan kalimat-kalimat pendek yang seolah tanpa hubungan satu sama lain, untuk menjabarkan pemikirannya. Argumennya juga tidak bertujuan untuk menciptakan pemahaman tertentu yang bersifat koheren ataupun sistematis. Bisa juga dikatakan Nietzsche ingin menghancurkan semua pemahaman lama yang bercokol di dalam filsafat. Ia berfilsafat dengan palu pemikiran untuk menghancurkan mitos dan cara berpikir kuno.

Pada bab ini saya berfokus untuk menjelaskan cara berpikir khas Nietzsche, yakni nihilisme dan teknik berfilsafat dengan aphorisme. Sebagai acuan saya menggunakan tulisan Jill Marsden yang berjudul Nietzsche and the Art of Aphorism, dan tulisan Andreas Urs Sommer yang berjudul Nihilism and Skepticism in Nietzsche.[1] Di dalam tulisan-tulisan filsafatnya, Nietzsche menegaskan bahwa kebiasaan atau cara kita berpikir menentukan apa yang kita anggap sebagai pikiran. Semua bentuk cara berpikir, termasuk apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang layak dipikirkan, dibentuk oleh kebiasaan. Cara kita memahami dan memaknai dunia juga terbentuk di dalam kebiasaan. Aristoteles sendiri pernah berkata, bahwa tidak ada yang lebih kuat daripada kebiasaan. Dan seperti yang pernah ditulis oleh Herry Priyono, orang tidak sadar akan kebiasaannya sama seperti ia tidak sadar akan bau mulutnya.

Dalam arti ini kebiasaan menjadi halangan utama bagi orang untuk sampai pada kebenaran. Banyak orang menganggap begitu saja, bahwa apa yang telah mereka ketahui ataupun lakukan secara biasa itu sama dengan kebenaran. Padahal kebiasaan justru bisa menjadi halangan terbesar untuk melihat kebenaran. Dalam konteks inilah Nietzsche menempatkan filsafatnya, yakni sebagai kritik dari cara berpikir yang timbul atas dasar kebiasaan semata. Untuk melampaui kebiasaan cara berpikir yang terwujud nyata di dalam cara orang menulis dan mengungkapkan argumen, Nietzsche menggunakan aphorisme sebagai alat untuk melakukan kritik. Menurut Marsden aphorisme merupakan suatu cara untuk melepaskan diri dari keyakinan-keyakinan lama yang melulu didasarkan atas kebiasaan. Aphorisme adalah cara baru berfilsafat untuk melepaskan diri dari kategori-kategori pengetahuan manusia yang cenderung terkotak-kotak dan membatasi realitas. Cara berpikir tradisional yang kental terasa pada sains dan filsafat yang berpegang teguh pada rasionalitas justru membuat manusia tertutup dari kekayaan realitas dan kehidupan itu sendiri. Aphorisme menempatkan realitas sebagai suatu teks yang terbuka, sekaligus membuka horison pemikiran baru yang kreatif dan inovatif.[2]

Aphorisme membuka ruang besar untuk ketidakpastian, agresivitas berpikir, dan ekspansi ide. Aphorisme menolak kepastian mutlak, ataupun dinding-dinding yang menghambat kreativitas berpikir. Seluruh proyek filsafat dengan menggunakan aphorisme ini haruslah ditempatkan sebagai kritik Nietzsche terhadap cara berpikir Platonisme (overcoming platonism) yang cenderung mengedepankan rasionalitas, pengendalian diri, dan kontrol terhadap realitas melalui pikiran, dan tujuan Nietzsche untuk mengevaluasi ulang seluruh nilai-nilai (reevaluation of all values) yang ada di dalam masyarakat. Pada hemat Marsden yang penting dari intensi Nietzsche bukanlah substansinya (substance) semata, yakni isi kritiknya yang memang sangat tajam, melainkan juga bentuk (forms) dari cara berpikir yang melandasari kritik tersebut.

Jika orang hanya berfokus pada isi kritik Nietzsche terhadap masyarakat pada jamannya, maka mereka hanya akan menemukan kritik klise yang seolah tanpa relevansi sekarang ini. Nietzsche melakukan kritik tajam terhadap budaya dan cara berpikir orang pada jamannya yang berfokus pada kontrol diri dan alam, sehingga melupakan daya-daya kehidupan yang sesungguhnya. Ia juga melakukan kritik tajam terhadap agama, yang dianggapnya menciptakan sekaligus melestarikan mentalitas dekaden. Yang menarik buat kita untuk memahami metode Nietzsche bukanlah isi dari kritik tersebut, melainkan caranya membentuk kritik. Dalam konteks inilah metode berfilsafat dengan menggunakan aphorisme bisa ditempatkan. Gaya berfilsafat dengan menggunakan aphorisme dapat dianggap sebagai kritik terhadap cara berpikir tradisional yang cenderung membatasi realitas dan kehidupan itu sendiri ke dalam konsep-konsep.

Nietzsche dan Aphorisme

Menurut penelitian Marsden teks tulisan Nietzsche pertama yang menggunakan gaya aphorisme adalah Human, All too Humanyang ditulis pada 1878. Di dalam buku itu, Nietzsche menulis berdasarkan pengamatan yang tajam tentang manusia, namun tidak dengan gaya sistematis khas buku filsafat, melainkan dengan paragraf-paragraf pendek yang seolah terpecah dan tidak memiliki kaitan satu sama lain. Dalam arti harafiahnya aphorisme berarti ekspresi pemikiran singkat yang lugas tentang suatu bentuk kebenaran yang bersifat umum. Dengan demikian aphorisme bukanlah isi dari filsafat itu sendiri, melainkan gaya berfilsafat tentang suatu tema tertentu. Marsden juga menegaskan bahwa tidak semua tulisan Nietzsche menggunakan gaya aphorisme murni. Beberapa tulisan Nietzsche lainnya, seperti On the Genealogy of Morals, tidak menggunakan aphorisme murni, melainkan bab-bab (chapters).[3]

Menurut Marsden ada alasan medis di balik gaya berfilsafat Nietzsche yang menggunakan aphorisme. Seperti disinggung sebelumnya Human, All too Human adalah karya pertama Nietzsche yang menggunakan metode aphorisme. Pada waktu menulis buku itu, ia mengalami sakit berat, akibat terlalu lelah bekerja dan hidup yang tidak teratur. Kombinasi antara agresivitas pemikiran dan sakit fisik membuat Nietzsche memutuskan untuk melepaskan diri dari filsafat tradisional yang selama ini digelutinya, dan merambah ke wilayah pemikiran yang baru. Pada titik inilah ia kemudian berfilsafat mengenai tema-tema yang sensitif pada jamannya, dan dengan gaya yang kurang familiar, yakni berfilsafat dengan aphorisme.

Marsden juga berpendapat bahwa gaya aphoristik sebenarnya dapat dirunut kembali ke jaman Yunani Kuno, tepatnya pada masa Hippokrates. Banyak penulis pada jaman itu, terutama yang mendedikasikan karyanya untuk mengembangkan pemikiran Hippokrates, menggunakan gaya aphorisme di dalam tulisan-tulisan mereka. Kumpulan tulisan untuk Hippokrates itu disebut juga sebagaiThe Corpus Hippocraticum. Di dalamnya tertulis aturan dan resep untuk hidup sehat, mendiagnosis penyakit, dan hidup bahagia. Semua itu ditulis dengan menggunakan aphorisme.

Aphorisme berbeda dengan logika. Logika seringkali berasal dari penalaran akal budi murni, tanpa perlu mengacu pada pengalaman konkret sehari-hari. Sebaliknya aphorisme justru dibentuk dari pengalaman dan eksperimen yang bersifat empiris. Tidak hanya itu aphorisme seringkali berbentuk resep-resep praktis untuk menjalani hidup secara bijak. Yang terakhir inilah yang ditawarkan oleh Nietzsche melalui aphorisme-aphorismenya. Jika ilmuwan kedokteran dahulu berkonsultasi ke tulisan-tulisan Hipokrates untuk mendiagnosis pasiennya, maka para filsuf bisa membaca Nietzsche sebagai upaya untuk mengobati diri dari penyakit kemalasan berpikir.[4]

Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa pada waktu Nietzsche mulai mengalami penyakit yang berat, ia juga mulai menulis dengan gaya yang berbeda, yakni gaya aphorisme. Memang ada hubungan antara penyakit beratnya dan cara ia berfilsafat, walaupun hubungan itu tidak selalu berupa hubungan sebab akibat. Bahkan menurut penelitian Marsden, Nietzsche seringkali menganggap penyakitnya sebagai musuh. Namun dalam pengertian Nietzsche, musuh bukanlah sesuatu yang harus dihancurkan, melainkan tetap diperlukan untuk menjaga dan mengembangkan vitalitas diri. Adanya musuh membuat orang selalu dalam keadaan waspada, dan siap setiap saat untuk bertindak serta mengembangkan dirinya. Cara berfilsafat dengan menggunakan aphorisme, dalam arti ini, dapatlah dipandang sebagai tanggapan Nietzsche pada penyakitnya. Ia tidak menganggap penyakit sebagai halangan untuk berpikir. Sebaliknya penyakit adalah musuh yang diperlukan, supaya ia tetap kritis dan tajam di dalam berpikir. Marsden bahkan berpendapat bahwa Nietzsche menggunakan penyakitnya secara tidak langsung untuk mengembangkan filsafatnya.

Banyak orang menganggap penyakit sebagai batu sandungan bagi kehidupan. Penyakit adalah kutukan yang harus dihindari ataupun dimusnahkan. Namun Nietzsche mengajarkan kepada kita, bahwa banyak hal buruk di dalam hidup sebenarnya bisa menjadi pelajaran yang berharga. Kejahatan dan penderitaan adalah bagian integral dari kehidupan. Dan dalam kerangka itu, manusia harus belajar memaknai penderitaan, kejahatan, dan kegagalan sebagai keniscayaan hidup. Justu di dalam tempaan penderitaanlah peradaban manusia bisa berkembang. Nietzsche menanggapi penderitaan yang ia alami langsung di dalam filsafatnya, terutama dengan metode aphorisme yang ia gunakan. Dengan itu ia mengubah pengalaman penderitaan yang bersifat personal menjadi refleksi filosofis yang indah sekaligus inspiratif. Penderitaan menjadi titik tolak bagi sebuah pemikiran filosofis yang menyegarkan.

Semua ini membuat orang tidak akan menemukan gaya filsafat tradisional di dalam tulisan-tulisan Nietzsche. Anda tidak akan menemukan pepatah-pepatah bijak yang menenangkan hati di dalam tulisan Nietzsche. Seringkali ia memprovokasi anda untuk berpikir, dan untuk membalik semua kepercayaan yang telah anda pegang sebelumnya. Di dalam salah satu bagian, Nietzsche menulis bahwa kekuatan fisik dan jiwa manusia justru berkembang melalui luka (wound). Dapat juga dikatakan bahwa kekuatan yang membuat manusia bahagia adalah kekuatan yang sama, yang membuat manusia merasa menderita. Dengan aphorisme-aphorismenya Nietzsche mengajarkan kita untuk berpikir paradoksal. Ia melihat bahwa kekuatan manusia memiliki akar yang sama dengan kelemahannya. Dan justru di dalam kelemahannyalah manusia bisa sampai pada kekuatan puncaknya.

Secara historis Nietzsche sangat dipengaruhi oleh Herakleitos, seorang filsuf Yunani Kuno pada masa sebelum Sokrates. Dengan aphorisme Herakleitos ingin melepaskan diri dari cara berpikir yang dipenjara oleh logika dan rasionalitas. Inilah yang ingin dilakukan Nietzsche. Herakleitos sendiri pernah menulis, “Anak panah adalah hidup, namun kerja dari panah adalah kematian.”[5] Aphorisme ini bisa ditafsirkan sebagai sebuah pernyataan, bahwa kehidupan dan kematian saling terkait satu sama lain. Tidak ada hidup yang sempurna tanpa cacat sedikit pun. Bahkan bisa dibilang bahwa hidup adalah anak panah yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran.

Selain dari filsafat Herakleitos, Nietzsche juga dipengaruhi oleh Chamfort dan La Rochenfoucauld. Mereka adalah para pemikir Perancis. Dari La Rochenfoucauld ia belajar untuk mencintai paradoks. Sementara dari Chamfort ia belajar untuk menyampaikan argumen di dalam kalimat-kalimat pendek. Para filsuf Perancis juga mengajarkan Nietzsche untuk berpikir mengenai seni menjalani hidup (art of living). Di sisi lain Schopenhauer, filsuf Jerman di abad ke 19, juga sangat mempengaruhi Niezstsche, terutama di dalam konsepnya tentang kehendak untuk berkuasa.

Di dalam filsafat yang cenderung didominasi oleh cara berpikir argumentatif, gaya filsafat dengan menggunakan aphorisme yang digunakan Nietzsche memang terdengar asing. Walaupun juga digunakan untuk mempersuasi pembaca supaya setuju dengannya, gaya aphorisme seringkali menciptakan ambiguitas dan bahkan kesalahpahaman dari pembacanya. Dengan ungkapan-ungkapan singkat, aphorisme bisa membuat pembacanya kaget dan bingung. Misalnya Nietzsche pernah menulis, “Jika anda melatih hati nurani anda, hati nurani itu akan mencium sekaligus menggigit anda.”[6]Manusia seringkali, kata Nietzsche, “gemetar akibat hasrat.” Itulah secuil aphorisme khas Nietzsche. Seringkali ungkapan aphoristik tersebut lebih mirip puisi daripada sebuah tulisan filsafat. Tidak hanya itu aphorisme juga seringkali berupa dialog. Misalnya Nietzsche pernah menulis tentang dialog seorang petualang dengan bayangannya sendiri.

Kesimpulan

Aphorisme tidak bisa dibaca dengan cara seperti anda membaca buku teks. Di dalam buku teks, anda akan diminta mengikuti argumen demi argumen yang sifatnya sistematis secara sabar. Sementara ketika membaca aphorisme Nietzsche, anda perlu melakukan lompatan logika untuk memahaminya. Untuk membaca Nietzsche orang perlu melepaskan diri dari rasionalitas tradisional, dan mencoba memahami semangat pemberontakan yang dikobarkan olehnya. Aphorisme mengajak setiap pembacanya untuk peka pada kalimat-kalimat kecil yang seolah tanpa makna. Aphorisme juga mengajak pembacanya untuk peka pada misteri di balik makna yang tersirat di dalam tulisan.

Tidak ada argumen inti yang eksplisit di dalam aphorisme. Orang perlu menggunakan imajinasi untuk menebak maksud di balik aphorisme yang dibacanya. Aphorisme mengajak kita untuk berpetualang ke ranah-ranah pemikiran baru yang belum terjamah sebelumnya. Kita tidak diajak untuk memahami teks semata, tetapi juga untuk membuka kemungkinan bagi sejuta penafsiran baru, ketika mulai membaca teks. Ketika mencoba membaca langsung teks-teks Nietzsche, orang akan merasa menemukan sesuatu, walaupun ia belum bisa merumuskannya secara tepat.[7]

Jika anda percaya bahwa filsafat haruslah bersifat sistematis dan rasional secara mutlak, maka anda pasti akan menganggap, bahwa aphorisme adalah suatu bentuk irasionalitas, atau bahkan pengkhianatan. Namun jika anda mencoba membaca aphorisme karya Nietzsche, anda akan ditantang untuk menggoyang nilai-nilai yang selama ini anda yakini. Dengan aphorismenya Niezsche mencoba untuk menerjang batas-batas pemikiran yang ada. Aphorisme adalah simbol ledakan untuk menghasilkan suatu pemikiran baru.***



[1] Pada bab ini saya mengacu pada kedua tulisan tersebut. Kedua tulisan itu dapat dilihat di Keith Ansell Pearson, A Companion to Nietzsche, MA, Blackwell, 2006.

[2] Lihat, ibid, hal. 22.

[3] Lihat, ibid, hal. 23.

[4] Bdk, ibid, hal. 24.

[5] Dikutip oleh Marsden, ibid, hal. 25.

[6] Ibid, hal. 26.

[7] Lihat, ibid, hal. 35.


Hegel dan Dialektika

Metode di dalam Filsafat Hegel

Pada bab sebelumnya saya sudah menjabarkan garis besar proyek filsafat kritis Immanuel Kant. Inti dari metode berpikir yang diajarkan Kant adalah pencarian kondisi-kondisi kemungkinan dari pengetahuan manusia, dan pencarian dasar rasional dari fenomena yang hendak diteliti. Filsafat Kant sangat mempengaruhi para filsuf setelahnya. Salah satu filsuf yang sangat dipengaruhi oleh Kant, namun juga melakukan kritik tajam terhadap Kant, adalah Hegel. Pada bab ini saya ingin mengajak anda mencecap sedikit gaya berpikir Hegel, terutama yang terkait dengan metodenya untuk memahami realitas. Sebagai pendasaran saya menggunakan teks tulisan Larry Krasnoff yang berjudul Hegel’s Phenomenology of Spirit.[1] Pertanyaan pertama yang layak diajukan adalah, apa sebenarnya latar belakang filsafat Hegel?

Latar Belakang

Dunia kita sekarang ini sangat dipengaruhi oleh peradaban Eropa utara yang berkembang sejak 4 abad yang lalu. Pada tahun-tahun itu, Eropa telah berubah dari sebuah peradaban yang sangat bernuansa religius menjadi peradaban yang mengedepankan ilmu pengetahuan, militer, dan filsafat. Tiga hal itu mendorong terciptanya sebuah peradaban terbesar sepanjang sejarah manusia, yang kini pengaruhnya bisa dirasakan di seluruh dunia. Para filsuf menamakan gejala perkembangan pesat itu sebagai modernitas (modernity). Mengapa modernitas bisa terjadi, dan bagaimana prosesnya?

Sampai sekarang para filsuf dan sejarahwan masih mencari jawaban yang paling tepat atas pertanyaan itu. Namun menurut penelitian Krasnoff, penelitian para ahli biasanya terpusat pada peristiwa-peristiwa khusus tertentu, seperti Reformasi Protestan, perkembangan fisika modern melalui penemuan Galileo dan Newton, penemuan dan penaklukan benua Amerika, perdagangan bebas, kapitalisme, serta Revolusi Amerika dan Perancis. Apa sebenarnya dampak langsung dari peristiwa-peristiwa itu, sehingga pada akhirnya bisa mendorong terjadinya proses modernisasi?

Menurut Krasnoff jawaban atas pertanyaan itu terletak pada perubahan paradigma (paradigm change) di dalam memandang realitas. Alam dipandang sebagai alam obyektif yang bisa dipelajari dan digunakan untuk sepenuhnya kepentingan manusia. Agama dipandang bukan lagi sebagai urusan bersama, tetapi sebagai urusan privat. Agama dipisahkan dari urusan negara, dan didorong ke pinggir kehidupan politik.

Politik pun tidak lagi didefinisikan sebagai upaya meraih kekuasaan sebesar mungkin untuk memperkaya diri, melainkan sebagai alat untuk menjaga dan mengembangkan hak-hak asasi manusia serta hak politik untuk memilih siapa yang berkuasa secara demokratis. Tiga pandangan itu kini sudah menyebar ke seluruh dunia, dan menjadi paradigma yang dominan. Namun sekarang ini banyak pemikir yang mempertanyakan, apakah modernitas adalah satu-satunya paradigma kehidupan yang bisa digunakan? Apakah tidak ada alternatif?[2]

Ada beberapa alternatif yang kiranya mungkin terjadi, seperti pemerintahan totaliter, baik atas nama agama ataupun ras dominan, masyarakat mistik yang menghormati alam namun lupa memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, serta masyarakat tertutup yang menutup kesamaan mutlak, tanpa menghormati perbedaan maupun hak-hak asasi manusia sedikitpun. Dalam arti ini seperti yang pernah ditulis Magnis-Suseno, demokrasi, yang merupakan esensi politik modernitas, adalah pilihan terbaik di antara semua alternatif yang ada. Tidak hanya itu menurut Winston Churchill, perdana menteri Inggris pada saat perang dunia kedua, demokrasi adalah bentuk politik terbaik dibanding bentuk-bentuk politik lainnya yang pernah dicoba di dalam sejarah manusia.

Apakah modernitas adalah sesuatu yang baik secara moral? Bagi Krasnoff pertanyaan itu tidaklah relevan. Itu seperti bertanya apakah oksigen itu baik untuk manusia atau tidak? Tentu saja setiap orang membutuhkannya. Dan orang tidak memiliki kemungkinan untuk memilih yang lain. Tidak hanya itu menurut Krasnoff, pertanyaan tentang apakah modernitas baik secara moral adalah pertanyaan yang problematis, karena modernitas telah merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat jaman sekarang sebegitu mendalam dan meluas. Setiap orang terpengaruh dengan caranya masing-masing. Setiap orang juga memaknainya dengan caranya sendiri-sendiri. Efek dari modernitas tidak bisa direduksi hanya dalam satu hal saja.[3]

Lalu apakah modernitas memiliki sisi buruk? Menurut Krasnoff sisi negatif dari modernitas terletak pada sisi ekonomi dan teknologinya. Yang pertama adalah kecenderungan modernitas untuk menerapkan paham kapitalisme secara berlebihan. Akibatnya adalah manusia dikorbankan dan dieksploitasi atas nama pengumpulan keuntungan dan modal yang lebih tinggi lagi. Teknologi membuat manusia menjadi tidak manusiawi. Hubungan manusia tidak lagi dilandasi ketulusan, melainkan melulu hubungan kebutuhan yang sifatnya instrumental, material, dan dangkal. Teknologi juga menghasilkan limbah yang pada akhirnya merusak ekosistem. Krisis global warming yang kita alami secara global sekarang ini adalah hasil dari penggunaan teknologi yang kelewat batas, dan akhirnya menghancurkan alam. Secara kultural modernitas juga seringkali meremehkan budaya-budaya lokal partikular yang memiliki cara berpikir berbeda. Hal ini tampak jelas di dalam arogansi negara-negara Eropa dan Amerika, ketika berhadapan dengan negara-negara Asia dan Afrika.

Lalu apa sisi positif dari modernitas? Menurut Krasnoff sisi positif modernitas paling tampak pada aspek moral dan politik. Secara khusus modernitas mengedepankan dan mengembangkan kebebasan manusia sebagai individu. Pada masa sebelumnya cara berpikir dan pilihan manusia dibatasi oleh kelas sosial, tradisi, dan agama. Namun dengan berkembangnya modernitas, manusia mulai menemukan dan berani mengedepankan kebebasannya. Dalam soal agama setiap orang berhak memutuskan agama apa yang mereka peluk. Tidak hanya itu setiap orang juga berhak mengekspresikan keyakinan agamanya, sejauh itu tidak melanggar kebebasan orang lain. Dalam hal politik setiap orang bebas untuk memilih penguasa manakah yang layak memerintah di sebuah negara. Dalam hal ekonomi setiap orang bebas untuk mengumpulkan harta kekayaan, sejauh dalam batas-batas hukum. Dan dalam hal budaya, setiap orang berhak hidup dengan caranya masing-masing, sejauh itu masih berada dalam batas-batas hukum dan tidak melanggar kebebasan orang lain.[4]

Apakah sisi-sisi positif tersebut sungguh terwujud nyata di dalam realitas? Tentu saja di dalam kenyataan, tidak ada satupun dari cita-cita ideal tersebut terwujud secara sempurna. Kebebasan manusia masih saja dikungkung oleh kekuatan-kekuatan budaya, ekonomi, dan politik yang tak terbendung oleh aspirasinya terhadap kebebasan. Namun seperti yang berulang kali ditulis oleh B. Herry Priyono di dalam berbagai tulisannya, cita-cita tidak akan lenyap hanya karena belum terwujud di dalam realitas, begitu pula cita-cita modernitas tentang kebebasan harus menjadi tujuan utama dari semua praktek politik, ekonomi, agama, dan budaya sekarang ini.

Lalu apa arti pembicaraan tentang modernitas tersebut dengan Hegel, tokoh kita pada bab ini? Pada hemat Krasnoff cita-cita modernitas tentang kebebasan terasa paling kental merasuk di dalam seluruh tubuh filsafat Hegel.[5] Tulisan-tulisan Hegel menggambarkan bagaimana roh absolut bergerak di dalam sejarah untuk sampai pada kebebasan. Namun mengapa Hegel menjadikan tema kebebasan, yang merupakan esensi modernitas, di dalam filsafatnya? Menurut penelitian yang dilakukan Krasnoff, Hegel memilih kebebasan sebagai tema utama filsafatnya, karena ia pertama-tama terpesona oleh revolusi Perancis. Sebagai seorang pemuda yang lahir pada 1770, ia terpana oleh gelora kebebasan yang mewujud secara nyata di dalam revolusi Perancis.

Mengapa ia begitu terpesona dengan cita-cita kebebasan? Untuk menjawab ini kita perlu sedikit mengetahui latar belakang historis Hegel sebagai seorang pribadi. Ia adalah seorang anak pegawai negeri sipil rendahan dari Stuttgart. Walaupun miskin namun Hegel sangat cerdas. Pada 1788 ia masuk seminari (sekolah pendidikan calon imam di dalam Agama Katolik) di Universitas Tuebingen. Di sana ia bertemu dengan Friedrich Schelling (juga seorang filsuf Idealis Jerman yang cukup ternama) dan menjalin persahabatan dengannya. Schelling dan Hegel kini dikenal sebagai para filsuf Idealisme Jerman. Secara singkat Idealisme Jerman adala paham filsafat yang berpendapat, bahwa realitas bukanlah material secara hakiki, melainkan bentukan dari konsep-konsep rasional yang terletak di dalam pikiran manusia. Konsep-konsep tersebut seperti aku murni, roh absolut, non-aku, dan sebagainya. Idealisme Jerman berkembang pada abad ke-18 di Jerman, namun pengaruhnya masih sangat terasa hingga sekarang ini.

Masa Hegel hidup adalah masa yang penuh dengan tantangan. Revolusi Perancis dengan cita-cita kebebasan, persamaan, dan persaudaraan mengguncang tatanan monarki feodal sebelumnya. Walaupun pada masa itu Perancis adalah tempat yang penuh dengan gejolak, namun Jerman, tempat Hegel lahir dan tumbuh, tetap stabil seolah tidak terjadi apa-apa. Universitas Tübingen seolah tetap steril, jauh dari gejolak yang ditimbulkan oleh Revolusi Perancis dan gerakan filsafat Pencerahan. Memang pada waktu itu, Tübingen adalah universitas yang konservatif. Teks-teks filsafat Pencerahan yang kental dengan ide otonomi dan kebebasan individu dilarang untuk disebarkan. Tentu saja Hegel tidak mematuhi aturan yang aneh itu. Masalah yang langsung dihadapinya adalah, bagaimana menerapkan cara berpikir modern yang ditimbanya dari para filsuf Pencerahan di Jerman, yang pada masa itu relatif masih merupakan masyarakat tradisional?

Pada masa yang sama, Inggris dan Perancis sudah menjelma menjadi negara modern. Di negara-negara itu, kebebasan sudah mulai menjadi bagian dari kehidupan individu dan kehidupan sosial. Sebaliknya di Jerman orang berkumpul untuk berdiskusi soal filsafat Pencerahan pun kerap kali harus berbenturan dengan otoritas pemerintah. Dengan kata lain dapatlah dikatakan, bahwa pada masa itu, Jerman masih merupakan negara terbelakang. Namun Hegel akibat membaca secara intensif tulisan-tulisan Rousseau dan Kant berhasil menerobos keterbelakangan itu, dan akhirnya merumuskan filsafatnya sendiri secara kreatif.[6]

Menurut Krasnoff prinsip utama di dalam filsafat Hegel adalah subyektivitas (subjectivity). Hal ini menjadi jelas, jika orang berusaha membaca karya magnum opus Hegel yang berjudulPhenomenology of Spirit. Hegel sendiri mengatakan tujuan filsafatnya adalah untuk menggengam (grasp) dan mengekspresikan (express) subyektivitas.[7] Artinya adalah tujuan dari suatu refleksi filosofis adalah untuk memahami karakter dasariah dari subyektivitas manusia. Tidak hanya itu filsafat pun sebenarnya adalah ekspresi dari subyektivitas manusia itu sendiri. Namun bentuk ekspresi yang bagaimana? Apa sebenarnya hakekat (nature) dari subyektivitas, dan bagaimana filsafat bisa mengekspresikannya?[8]

Subyektivitas di dalam Filsafat Hegel

Di dalam filsafat tema subyektivitas adalah tema yang sudah berumur ratusan tahun, jauh sebelum masa hidup Hegel. Para filsuf modern seperti Kant dan Descartes merefleksikannya secara sistematis dan mendalam. Namun menurut Hegel refleksi filsafat tentang subyektivitas di dalam filsafat Kant maupun Descartes masih terjebak pada kesalahpahaman dan inkoherensi. Seperti yang ditulis oleh Krasnoff, bagi Descartes, subyektivitas adalah konsep yang bersifat kontemplatif. Fungsi konsep itu sendiri semata-mata hanya sebagai titik awal (starting point) untuk memberikan kepastian metodologis (methodological certainty). Tidak ada kepastian apakah pikiranku memiliki hubungan langsung dengan realitas. Yang pasti adalah bahwa aku sedang berpikir (I am thinking), dan pikiran itu selalu mengarah pada sesuatu. Aku tidak pernah berpikir kosong, karena aku selalu berpikir tentang sesuatu.

Namun menurut Krasnoff jika pikiran adalah soal individu subyektif semata, maka tidak ada kemungkinan untuk menilai, apakah pikiran itu tepat atau tidak. Jika argumen ini benar, lalu bagaimana hubungan antara pikiran, konsep, dan dunia fisik eksternal? Ini adalah pertanyaan yang langsung menjatuhkan seluruh sistem Cartesian. Bagi Descartes hubungan pikiran dengan dunia luar terletak pada fakta, bahwa Tuhan itu ada, dan Ia tidak mungkin menipu kita. Tentu saja argumen ini sama sekali tidak kuat, dan bahkan terkesan sangat dogmatis. Yang ingin dicapai Descartes adalah keketatan berpikir metodis di dalam filsafat. Namun kekuatan pendekatan Descartes ternyata juga mencerminkan kelemahannya. Filsafatnya tidak memberikan argumen yang cukup memadai tentang hubungan antara pikiran dan realitas fisik di luarnya.

Seperti sudah disinggung pada bab sebelumnya tentang metode skeptisisme, Hume adalah filsuf yang dengan keras mengajukan kritik kepada Descartes. Hume menolak mengakui adanya relasi sebab akibat yang nyata di dalam realitas. Ia juga menolak argumen, bahwa kita bisa sungguh sampai pada pengetahuan yang benar tentang realitas. Kant kemudian mencoba mengajukan kritik terhadap Hume dengan berargumen, bahwa pengetahuan yang tepat tentang dunia fisik itu mungkin, karena struktur akal budi internal manusia memungkinkan itu terjadi. Struktur akal budi internal itu disebut juga sebagai subyektivitas (subjectivity). Walaupun begitu Kant tidak menjadikan subyektivitas hanya sebagai titik awal yang sifatnya kontemplatif, seperti pada filsafat Descartes. Sebaliknya pada Kant konsep subyektivitas lebih bersifat aktif di dalam membentuk pengetahuan tentang dunia luar. Dalam arti ini tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa dunia bisa ada karena diketahui oleh manusia. Tanpa manusia tidak ada dunia.[9]

Inilah yang disebut Krasnoff sebagai konsep subyektivitas yang bersifat idealistik (idealist conception of subjectivity). Konsep subyek di dalam Kant melampaui konsep subyek di dalam filsafat Descartes, yang cenderung bersifat kontemplatif dan pasif semata. Dalam arti ini konsep subyek Kant dapat juga disebut konsep subyek yang aktif (active subject), terutama jika diperlawankan dengan konsep subyek di dalam filsafat Descartes yang cenderung pasif. Bagi Kant akal budi adalah fakultas di dalam diri manusia yang berfungsi untuk membentuk ide. Ide itu sendiri berasal sekaligus melampaui pengalaman inderawi.

Salah satu yang menjadi acuan Kant adalah ide kebebasan (the idea of freedom). Ide kebebasan tidak pernah bisa dipahami secara empiris. Oleh karena itu pengetahuan manusia tentang kebebasan memiliki bentuk yang berbeda, jika dibandingkan dengan pengetahuan manusia mengetahui benda-benda fisik, seperti meja, kursi, mobil, dan sebagainya. “Akan tetapi dengan alasan ini,” demikian Krasnoff, “kita tidak dapat mengatakan bahwa ide kebebasan tidak mempunyai kenyataan..”[10] Artinya adalah walaupun tidak memiliki dasar empiris-fisik, dan tidak bisa menjadi obyek pengetahuan langsung manusia, ide kebebasan tetap dapat dipahami oleh manusia, walaupun dengan cara lain. Bagi Kant ide kebebasan sudah selalu diandaikan di dalam tindakan moral manusia sebagai mahluk yang rasional. Jika tidak diandaikan maka tindakan moral menjadi tidak mungkin. Sementara faktanya tindakan moral, seperti berbuat baik, itu mungkin, maka kebebasan pun tidak bisa dibantah keberadaannya.

Filsafat Hegel dapat dianggap sebagai suatu upaya untuk melampaui konsep subyek di dalam filsafat Kant maupun Descartes. Seperti sudah disinggung sebelumnya, Hegel sangat mengagumi Revolusi Perancis. Filsafatnya sendiri tidak bisa dilepaskan dari momen bersejarah tersebut. Di dalamnya ia melihat dorongan kekuatan kebebasan dari subyek untuk melawan semua bentuk kekuatan yang mengekangnya.

Tentu saja banyak filsuf berharap supaya kekuatan kebebasan ini dapat diarahkan pada sesuatu yang sifatnya positif, seperti untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan moralitas misalnya. Akan tetapi seperti ditegaskan oleh Krasnoff, subyek yang bebas berarti ia tidak bisa ditentukan tindakan ataupun pilihannya ke depan. Jika ia bisa ditentukan, maka ia tidaklah bebas. Konsep subyek pada filsafat Descartes terjebak pada dirinya sendiri. Subyek menjadi koheren secara konseptual, namun tidak bisa diterapkan dalam konteks kehidupan nyata. Sementara subyek moral Kantian, yang menempatkan kebebasan sebagai pengandaian, tidak bisa dipastikan akan melulu bertindak secara moral.

Hegel sendiri sebenarnya banyak sependapat dengan Kant. Namun begitu Hegel ingin menyelamatkan konsep subyek dari isolasi, seperti yang dialami konsep subyek di dalam filsafat Descartes. Hegel setuju bahwa subyektivitas manusia itu sifatnya aktif dan kreatif, serta mampu menolak semua tekanan dari luar. Setelah subyek melampaui semua kekangan yang menghambatnya, ia kemudian menjadi sadar diri (self-conscious), yakni sadar akan kesalahan dari tindakan ataupun pilihannya. Di dalam proses menyadari dirinya sendiri ini, subyek kemudian semakin mengetahui dan memahami dirinya sendiri (self-knowledge).

Proses subyek untuk mengenali dirinya sendiri ini, menurut Hegel, mirip seperti pertarungan melawan dan bersama kematian itu sendiri (struggle with and against death). Kebebasan manusia sebagai subyek paling tampak di dalam kebebasannya menghadapi kematian. Selain itu kebebasan subyek paling tampak di dalam penegasan dirinya menghadapi tekanan sosial (social pressure). Namun begitu pernyataan terakhir tampak mengandung setitik kontradiksi. Bukankah lingkungan sosial yang memberikan arti dan makna bagi kehidupan seseorang? Dan bukankah seperti yang dikatakan oleh Heidegger dengan lugas, bahwa kematianlah yang memberikan makna bagi kehidupan manusia? Dalam arti ini subyek selalu berada dalam tegangan untuk menjadi bebas di satu sisi, dan untuk mengikat dirinya pada komunitas sosialnya.[11] Ia juga selalu berada dalam tegangan antara dorongan untuk memaknai hidup yang ada, dan kecemasan di dalam menghadapi kematian. Di dalam tegangan itulah subyek menyadari dirinya sendiri (self-realizing).

Hegel dan Dialektika[12]

Metode dialektik Hegel terdiri dari tiga tahap. Yang pertama adalah tesis, yakni membangun suatu pernyataan tertentu. Yang kedua adalah antitesis, yakni suatu pernyataan argumentatif yang menolak tesis. Dan yang ketiga adalah sintesis, yakni upaya untuk mendamaikan tegangan antara tesis dan antitesis. Biasanya para ahli mengaitkan konsep dialektika ini dengan filsafat Hegel, walaupun Hegel sendiri tidak pernah secara eksplisit menyatakan argumennya melalui konsep tesis, antitesis, dan sintesis. Sebaliknya Hegel justru menyatakan, bahwa ia mendapatkan argumen itu dari filsafat Kant. Lepas dari itu metode dialektik memang nantinya menjadi sangat populer di tangan para filsuf Idealisme Jerman, terutama di dalam pemikiran Hegel.

Di dalam tulisan-tulisannya, Hegel memang tidak secara langsung menggunakan konsep tesis-antitesis-sintesis. Namun ia menggunakan logika yang kurang lebih sama di dalam tulisan-tulisannya. Ia kerap kali menggunakan konsep abstrak-negatif-konkret (abstract-negative-concrete) untuk melukiskan cara berpikir dialektisnya tentang realitas. Beberapa kali ia menggunakan kata langsung-tidak langsung-konkret (immediate-mediated-conrete). Hegel memang menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menegaskan metode berpikir dialektis yang digunakannya di dalam seluruh sistem filsafatnya. Coba kita bedah hal ini secara lebih mendalam.

Di dalam rumusan tesis-antitesis-sintesis, kita tidak bisa mengerti secara logis mengapa tesis terkait dengan antitesis. Yang dikatakan oleh para komentator Hegel hanyalah di dalam tesis sudah langsung termuat antitesis. Namun apa sesungguhnya arti dari argumen itu? Coba kita lihat rumusan Hegel abstrak-negatif-konkret. Di dalam rumusan itu sudah diandaikan, bahwa tesis, yakni abstrak, memiliki kelemahan, yakni bahwa ia belum diuji di dalam realitas. Konsep abstrak belum memiliki aspek pengalaman, dan belum teruji di dalam kerasnya realitas. Di dalam tahap negatif, yang merupakan level antitesis, apa yang abstrak tadi diceburkan ke dalam realitas, dan berinteraksi dengan negativitas yang seringkali muncul di dalam pengalaman. Baru setelah itu abstrak dan negatif mengelami sintesis, dan menjadi konkret. Level konkret baru bisa dicapai, jika level negatif dan abstrak sudah dilampaui. Inilah esensi dari metode dialektis yang dapat ditemukan di dalam seluruh filsafat Hegel.

Untuk menggambarkan konsep pelampauan negatif dan abstrak itu, Hegel menggunakan konsep Aufhebung, yang berarti ‘melampaui’ (overcoming). Secara kasar konsep melampaui itu bisa dianggap sebagai suatu upaya untuk menerjang batas-batas konsep yang ada sebelumnya, sambil tetap mengambil sisi positifnya yang tertinggal. Di dalam bukunya yang berjudul Ilmu Logika (Science of Logic), Hegel mencoba melukiskan proses dialektika untuk memahami keberadaan manusia. Keberadaan manusia pada awalnya adalah Ada (Being). Namun ada-murni (pure being) ternyata tidak dapat dibedakan dengan ketiadaan (Nothing). Sesuatu yang keberadaanya bersifat murni, yakni tidak tergantung pada realitas inderawi, juga secara logis dapat disamakan dengan tidak ada. Di dalam proses ada-murni, yang juga berarti ketiadaan, akan melampaui batas-batasnya sendiri, dan kemudian bersatu di dalam ‘menjadi’ (becoming). Di dalam kosa kata teori dialektika Hegel, ada-murni adalah tesis. Ketiadaan adalah antitesis dari ada-murni. Dan menjadi (becoming) adalah sintesis dari ada-murni dan ketiadaan.

Metode dialektika Hegel juga memiliki unsur kontradiksi yang sangat kuat. Baginya setiap tahap perkembangan realitas, mulai dari tesis, antitesis, dan sintesis, muncul dari kontradiksi yang kuat di dalam tahap sebelumnya. Seluruh sejarah dunia adalah sejarah dialektika dan kontradiksi. Dahulu kala pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan monarki absolut dengan menjadikan satu raja sebagai acuan utama politik. Monarki absolut tersebut didasarkan pada dua asumsi, yakni legalitas perbudakan untuk memperoleh tenaga kerja manusia murah, dan asumsi bahwa rakyat adalah orang bodoh yang tidak mampu memimpin ataupun membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Cara pandang itu mengalami kontradiksi, karena jika asumsi itu terwujud, maka negara justru tidak akan berkembang. Sekarang ini bentuk pemerintahan ideal adalah demokrasi dengan mengacu pada warga negara yang bebas dan cerdas.

Dari contoh di atas dapatlah disimpulkan, bahwa kontradiksi tidaklah muncul dari luar tesis, melainkan justru dari dalamnya. Di dalam konsep monarki absolut sebagai acuan filsafat politik, sudah ada ‘anti’ dari monarki absolut itu sendiri. Antitesis sudah selalu terkandung di dalam tesis. Dan sintesis sudah selalu terkandung di dalam tesis dan antitesis. Dalam bahasa Hegel di dalam Ilmu Logika, di dalam Ada dan Ketiadaan sudah selalu terkandung ‘menjadi’. Lalu apa sebenarnya tujuan dari metode dialektika ini?

Tujuan dasar dari dialektika adalah untuk menganalisis realitas pada dirinya sendiri, seturut geraknya sendiri, dan untuk memahami itu semua dalam terang akal budi. Konsep inti di dalam metode dialektika Hegel adalah negasi atas negasi (negation of the negation), atau yang ia sebut juga sebagai Aufhebung. Konsep ini diawali dengan sebuah premis sederhana, bahwa segala sesuatu menjadi apa adanya, karena selalu berada di dalam relasi dengan yang lainnya, yang bukan sesuatu itu. Meja bisa ada dan diketahui oleh manusia, karena ada segala sesuatu yang bukan meja,. Meja menegasi segala sesuatu yang bukan meja, sehingga ia menjadi dirinya sendiri.

Hegel mau mengajarkan kita untuk melihat realitas sebagai suatu proses. Proses tersebut melewati tahap-tahap tertentu yang kelihatannya penuh dengan negativitas. Namun negativitas itu sebenarnya merupakan antitesis yang nantinya akan ‘melampaui’ tesis dan antitesis sebelumnya. Seluruh realitas menurut Hegel bergerak dengan pola itu. Dan pada akhir sejarah, realitas akan mengalami sintesis absolut. Itulah akhir sejarah menurut Hegel. Seluruh proses ini disebutnya sebagai dialektika, dan unsur penting dari dialektika itu adalah kontradiksi dan negasi. Kontradiksi dan negasi itu memiliki unsur negativitas yang kuat, namun diperlukan untuk perkembangan realitas menuju sintesis absolut.***


[1] Pada bab ini saya mengacu pada Larry Krasnoff, Hegel’s Phenomenology of Spirit, Cambridge, Cambridge University Press, 2008.

[2] Bdk, ibid, hal. 1.

[3] Lihat, ibid.

[4] Bdk, ibid, hal. 2.

[5] Lihat, ibid, hal. 3.

[6] Lihat, ibid, hal. 4.

[7] Seperti dikutip Krasnoff, ibid, hal. 62.

[8] Lihat, ibid.

[9] Bdk, ibid, hal. 63.

[10] Ibid, hal. 64.

[11] Lihat, ibid, hal. 66.

Filsafat Kritis Kant

Filsafat Kritis Kant

Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya saya sudah membahas mengenai metode skeptik yang kental di dalam filsafat modern. Filsuf yang secara khusus menggunakan metode ini adalah Rene Descartes dan David Hume. Inti dari skeptisisme adalah kecurigaan terhadap semua bentuk klaim pengetahuan tertentu. Dengan metode skeptisismenya filsafat modern mengajarkan kita untuk berani berpikir kritis untuk menantang semua klaim kebenaran dan pengetahuan yang muncul. Tujuannya adalah supaya kita bisa hidup dengan berpegang pada kebenaran yang otentik, dan bukan pada keyakinan-keyakinan tanpa dasar.

Melanjutkan ‘seni untuk memahami realitas’ di dalam filsafat modern, saya ingin mengajak anda mencecap metode berpikir yang digunakan oleh Immanuel Kant di dalam filsafatnya. Sebagai teks pembantu saya menggunakan dua teks, yakni tulisan Jill Vince Buroker yang berjudul Kant’s Critique of Pure Reason dan tulisan saya sendiri dalam bentuk tesis S2 yang berjudul Pengandaian-pengandaian Metafisis di dalam Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika: Mempertimbangkan Kritik Karl Ameriks atas Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika.[1]

Proyek Kritik Kant

Tujuan utama dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia. Kant menentang empirisme dan rasionalisme. Empirisme adalah paham yang berpendapat, bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata. Sementara rasionalisme berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan bukan pengalaman inderawi. Bagi Kant kedua pandangan tersebut haruslah dikombinasikan dalam satu bentuk sintesis filosofis yang sistematis.[2]

Kant juga berpendapat bahwa moralitas memiliki dasar pengetahuan yang berbeda dengan ilmu pengetahuan (science). Oleh karena itu ia kemudian menulis Groundwork of the Metaphysics of Morals pada 1785, dan Critique of Practical Reason pada 1788. Pada 1790 Kant menulis Critiqe of the Power of Judgment. Di dalamnya ia menyentuh bidang estetika. Namun pada hemat saya, metode di dalam filsafat kritis Kant lebih nyata di dalam bukunya yang pertama, yakni Critique of Pure Reason yang saya terjemahkan menjadi Kritik atas Rasio Murni. Buku inilah yang kemudian menjadi acuan saya dan Buroker pada bab ini.

Di dalam bagian pengantar dari Kritik atas Rasio Murni, Kant menyatakan bahwa “walaupun metafisika banyak dimaksudkan sebagai ratu dari ilmu-ilmu,[3] tetapi rasionalitas metafisis kini dihadapkan pada sebuah pengadilan.”[4] Sekali lagi, “kita harus menelusuri kembali langkah-langkah yang telah kita rumuskan.”[5] Perdebatan di dalam refleksi metafisika telah membuat metafisika itu sendiri menjadi semacam medan pertempuran, di mana setiap pihak yang berperang tidak berhasil mendapatkan satu inci pun dari ‘teritori’ yang ada.[6] Konsekuensinya metafisika kini ‘terombang ambing’ di antara dogmatisme dan skeptisisme. Metafisika telah menjadi pemikiran spekulatif yang meraba-raba secara acak.[7]

Melawan kecenderungan perdebatan metafisika pada jamannya itu, Kant merumuskan semacam Revolusi Copernican di dalam filsafat.

“Selama ini telah diasumsikan bahwa semua pengetahuan kita harus menyesuaikan dirinya dengan obyek. Akan tetapi, sejak asumsi ini telah gagal menghasilkan pengetahuan metafisis, kita harus melakukan semacam penilaian apakah kita tidak akan lebih berhasil di dalam metafisika, …. Jika kita mengasumsikan bahwa obyeklah yang harus menyesuaikan diri dengan kesadaran kita…. Kita harus memulai tepat pada garis di mana hipotesis utama Copernicus bermula, yakni hipotesis tentang heliosentrisme…”[8]

Untuk menjelaskan latar belakang pemikiran Kant, pada sub bab ini, saya hendak memaparkan latar belakang historis dan epistemologis sebagai konteks kritiknya terhadap metafisika tradisional.[9] Kerangka tulisan di dalam sub bab ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap tulisan Sebastian Gardner.

Latar Belakang Historis: Refleksi Filsafat di Abad Pencerahan

Filsafat Kant dirumuskan dalam perdebatan dua pandangan besar pada waktu itu, yakni rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme G.W. Leibniz (1646-1716), dan empirisme David Hume (1711-1776). Kant dipengaruhi oleh mereka, tetapi mengkritik kedua pemikiran filsuf ini untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan mereka, serta kemudian merumuskan pandangannya sendiri sebagai sintesis kritis dari keduanya, yakni filsafat transendental (transcendental philosophy). Dalam arti yang lebih luas, ia mau ‘melampaui’ posisi epistemologis dua paradigma yang saling beroposisi tersebut. Ini adalah intensi utama dari filsafat Kant, yakni sebuah tanggapan terhadap problem epistemologis yang terkait dengan proyek pencerahan yang mendominasi panggung filsafat abad ke delapan belas.

Seperti lazimnya di dalam perumusan sejarah pemikiran, kesatuan ide pada Abad Pencerahan, atau yang banyak dikenal sebagai abad rasionalitas, hanya dapat dilihat tesis-tesis utamanya yang paling mendasar saja. Tentu saja masa itu penuh dengan ide-ide yang saling bertentangan yang tidak dapat begitu saja dirumuskan dalam satu tesis yang mau mencakup semuanya. Atas dasar itu dapat juga dikatakan, bahwa Pencerahan mengambil inspirasi utamanya dari kesuksesan revolusi sains pada abad XVI-XVII, serta untuk memperjuangkan apa yang sekarang ini telah dianggap ‘biasa’, yakni hak setiap orang untuk berpikir sendiri tentang hal-hal praktis maupun teoretis lepas dari tradisi atau otoritas eksternal tertentu. Rasionalitas sudah ada inheren di dalam diri manusia, dan tinggal digunakan untuk mencerahkan kehidupan sehari-hari mereka. Para pemikir Pencerahan hendak mempromosikan institusi sosial politik yang menghormati otonomi setiap orang, mendorong penelitian-penelitian saintifik, dan menunjang peningkatan pengetahuan pada umumnya. Asumsi mereka dari emansipasi intelektual, maka emansipasi politik akan terjadi. Pencerahan adalah seperti yang dirumuskan dalam sebuah esei untuk mendefinisikan hal tersebut, kemunculan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Semboyan utamanya adalah ‘Sapere Aude’ (Beranilah Berpikir Sendiri!). Seperti dikutip oleh Gardner, Kant menulis,

“Masa dimana kita hidup adalah, dalam arti khusus, masa kritisme, dan untuk mengkritik apapun yang ada. Termasuk diantaranya adalah agama dengan kesuciannya, hukum yang telah terberi dengan kemuliaannya… haruslah mampu bertahan di hadapan ujian akal budi yang bebas dan terbuka.”[10]

Lebih jauh lagi para pemikir Pencerahan sangatlah yakin bahwa kemajuan sudah merupakan bagian inheren di dalam karakter manusia itu sendiri, terutama kemajuan di dalam memahami dunianya melalui sains dan teknologi, seperti pada pencapaian luar biasa yang dirumuskan oleh Isaac Newton (1642-1727). Lambang kemajuan lainnya adalah semakin berkembangnya toleransi di dalam maupun maupun di antara agama-agama, semakin lenyapnya otoritas mutlak Gereja, perubahan tatanan sosial-politik yang berjalan paralel dengan perkembangan kaum borjuis, dan semakin runtuhnya tirani cara berpikir metafisis-religius yang banyak dikembangkan pada Abad Pertengahan. Semua hal ini menunjukkan bahwa sejarah telah bergerak ke arah kemajuan total yang tidak bisa lagi dihentikan oleh apapun atau siapapun.

Secara umum Jerman tempat Kant lahir dan tinggal seumur hidupnya tidak berpartisipasi secara aktif di dalam proses Pencerahan. Proses pencerahan itu sendiri lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran John Locke (1632-1704) dan Newton. Para pemikir yang juga cukup berpengaruh pada masa itu adalah David Hume dan Adam Smith (1723-1790). Pada pertengahan abad ke-18, pusat gerakan pencerahan ini adalah Perancis, terutama di kalangan para pemikir Encyclopedie, di mana Denis Diderot dan Jean d’Alembert menjadi tokohnya. Banyak pemikir lain juga yang memberikan sumbangan besar bagi perkembangan mazhab tersebut. Mereka disebut The Philosophes. Di antaranya adalah Montesquieu(1689-1755), Voltaire (1694-1778), E. de Condillac (1715-1780), P. d’ Holbach (1723-1789), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), dan Condorcet (1743-1794). Di Jerman Pencerahan berjalan lambat. Hal ini terjadi karena kondisi masyarakat dan politiknya yang masih feodal pada masa itu, serta pemikiran rasionalisme yang sangat kuat pengaruhnya pada dunia akademik. Aliran yang dominan di Jerman pada waktu itu adalah rasionalisme Leibniz yang disebarluaskan oleh Christian Wolff (1679-1750) serta para pengikutnya. Wolff menafsirkan pemikiran Leibniz dengan cara yang sangat sistematis. Pada abad ke 18, filsafat Leibniz-Wolffian menjadi kurikulum standar di seluruh universitas Jerman. Tentu saja kritik dari berbagai pemikiran lainnya terhadap sistem pemikiran tersebut juga ada. Salah satunya adalah C. A Crussius (1715-1775). Ia menulis buku yang berjudul Popularphilosophie, yang merupakan kritik tajam terhadap rasionalitas Leibniz-Wolffian. Buku Popularphilosphie, tulis Kant dalam Kritik Atas Rasio Murni, secara megah menggambarkan bagaimana orang bisa berpikir secara bebas.[11] Akan tetapi kritik tersebut masih tidak mampu membendung dominasi rasionalisme di Jerman pada waktu itu. Dengan kata lain rasionalisme Leibniz sama sekali tidak menemukan lawan tanding pemikiran yang seimbang sampai Kant menuliskan Kritik Atas Rasio Murni pada akhir abad ke 18. Pada waktu Kant menulis buku tersebut,, semangat Pencerahan mulai menurun. Setelah abad ke 18, para filsuf mulai berpikir bahwa humanisme universal, yang menjadi tesis dasar para pemikir Pencerahan, juga mempunyai sisi negatif, dan sisi negatifnya itu ternyata sangat besar. Humanisme universal di sini adalah paham yang menekankan bahwa semua manusia itu memiliki harkat dan martabat yang setara, serta mampu untuk menentukan sikap dan pendapat mereka secara otonom dengan mengacu pada kapasitas rasio manusia yang bersifat universal.[12]

Di dalam kerangka pemikiran skolastisisme, pengetahuan tentang Tuhan dan pengetahuan tentang Kosmos saling melengkapi satu sama lain, dan tidak bisa dipisahkan. Thomisme menggabungkan teologi Kristen dengan filsafat alam Aristoteles dalam satu kesatuan wacana. Pada sains hal ini tidak lagi berlaku. Para saintis memandang alam secara mekanis, matematis, dan sama sekali bertolak belakang dari filsafat alam Aristoteles yang melihat alam secara metafisis sebagai kesatuan antara forma dan materi. Sains modern pada waktu itu mulai memberi peran yang berbeda pada Tuhan di dalam analisis mereka atas alam. Tuhan tidak lagi dipahami sebagai Tuhan yang berpartisipasi membentuk kehidupan dan sejarah manusia, tetapi Tuhan yang menciptakan dunia berdasarkan hukum-hukumnya, dan kemudian tidak lagi berpartisipasi di dalam dunia. Inilah yang disebut sebagai Deisme. Konsekuensinya agama pun mulai kehilangan legitimasinya, dan ditinggalkan. Akan tetapi beberapa pemikir Pencerahan tidak siap untuk menganut ateisme, dan lebih memilih untuk bersikap kritis terhadap Gereja Katolik dan Protestan pada waktu itu. Jadi para pemikir Pencerahan juga memiliki kecenderungan untuk memberikan landasan rasional terhadap agama. Hal inilah yang terjadi di Jerman, di mana tanda-tanda penolakan terhadap agama hampir tidak terlihat. Di Perancis para philosophes melakukan kritik tajam terhadap agama, dan kemudian menganut ateisme. Lepas dari perbedaan di antara mereka, para pemikir Pencerahan mengajukan satu pertanyaan yang sama, bagaimana pengetahuan akan alam dan pengetahuan akan Tuhan dapat disintesiskan? Salah satu jawaban yang dirumuskan adalah tanda bahwa alam ini memiliki keteraturan sudah merupakan bukti bagi eksistensi Tuhan. Tatanan alam yang sudah begitu teratur ini merupakan bukti nyata bagi eksistensi Tuhan. Akan tetapi penjelasan ini sama sekali tidak memuaskan, terutama bagi kalangan teolog, karena tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Sementara itu Deisme yang berpendapat bahwa Tuhan telah menciptakan alam dengan hukum-hukumnya, dan kemudian Ia tidak berperan serta lagi, terlalu kering bagi iman Kristiani yang meyakini Tuhan berperan langsung di dalam sejarah manusia. Di samping itu deisme juga menolak wahyu yang justru menjadi sentral di dalam teologi Kristiani. Konflik antara sains dan agama pun tidak terelakkan lagi. Metafisika yang tadinya dianggap sebagai penjaga rasionalitas dan pengetahuan manusia secara keseluruhan kini mengalami keterpecahan dan kritik tajam dari berbagai penjuru.

Tegangan antara para pemikir yang masih mempertahankan agama di satu sisi dan para ilmuwan sains di sisi lain mengkristal di dalam salah satu korespondensi yang ditulis oleh Leibniz pada 1717. Memang Leibniz dan Newton sama-sama mewakili kedua belah pihak yang saling berdebat. Mereka banyak berdebat di sekitar problematika bagaimana tepatnya manusia bisa mengetahui dunianya. Leibniz lebih memilih menggunakan metode deduktif. Metode ini terinspirasi dari Rene Descartes (1596-1650) yang menggunakan model matematika. Model ini dimulai dengan prinsip-prinsip abstrak dan kemudian bergerak ke perumusan konkret. Kontras dengan itu Newton menggunakan metode induktif yang dimulai dari pengukuran kuantitatif dari fenomena yang ingin diselidiki, dan kemudian sampai pada prinsip-prinsip umum.[13] Di dalam korespondensinya Leibniz berpendapat, bahwa model yang dikembangkan Newton tidaklah sesuai dengan prinsip rasionalitas yang mampu mengabstraksikan alam ke dalam prinsip-prinsip utama. Sementara Newton sendiri berpendapat, bahwa model yang digunakannya adalah model saintifik yang sah secara ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian kedua pendekatan ini sangatlah berbeda, dan bahkan bertentangan. Metafisika, yang dirumuskan oleh Leibniz, dan sains, yang dirumuskan oleh Newton, tampak saling berkontradiksi satu sama lain. Sekali lagi metafisika tampak kembali dipertanyakan kredibilitasnya.

Di sisi lain tesis yang paling ‘mengguncang’ filsafat, terutama epistemologi dan metafisika, pada waktu itu adalah skeptisisme empiris yang dirumuskan oleh David Hume. Keyakinan bahwa rasio manusia telah secara langsung memiliki kesesuaian dengan alam telah menjadi suatu anggapan banyak diterima oleh para pemikir Pencerahan. Humelah yang menolak tesis tersebut. Menurutnya ‘kepercayaan’ kita tentang adanya hukum-hukum di dalam alam tidak memiliki landasan rasional yang cukup memadai, sehingga pemahaman kita selama ini didasarkan tidak lebih hanya kepada ‘kebiasaan-kebiasaan’ semata. Hukum alam dengan demikian tidak lebih dari sekedar ‘kebiasaan’ yang telah sering kita lihat sebelumnya. Lebih dari itu Hume berpendapat, bahwa apa yang disediakan alam dan kemudian kita percayai sebagai suatu ‘kebiasaan’ hanya dapat diketahui melalui pengalaman. Dengan demikian kepercayaan religius sama sekali tidak mempunyai tempat. Metafisika spekulatif pun juga tidak mendapatkan tempat. “Setiap bentuk refleksi filsafat metafisis”, demikian tulis Hume, “haruslah kita buang ke dalam api! Karena itu mengandung tidak lebih dari sekedar ilusi.”[14] Kesimpulan yang dirumuskan oleh Hume tersebut bisa kita cap sebagai paradoks, karena ia mengkritik metafisika dengan merumuskan metafisika baru, yakni metafisika yang didasarkan pada pengalaman. Yang jelas pada saat itu, Hume segera membutuhkan sebuah tanggapan dari para pemikir di jamannya.

Secara khusus dalam bidang refleksi epistemologi, Kant hendak merumuskan sebuah jembatan raksasa untuk membuat sintesis antara rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio saja. Pengalaman empiris hanya menegaskan apa yang telah sebelumnya telah diketahui oleh rasio. Empirisme persis berpendapat sebaliknya: hanya segala sesuatu yang merupakan pengalaman inderawi sajalah yang bisa dijadikan sebagai dasar pengetahuan manusia. David Hume berdasarkan pandangan ini berpendapat bahwa semua hal yang tidak dapat diketahui secara inderawi manusia adalah suatu bentuk kepercayaan saja, dan tidak bisa dijadikan pengetahuan yang sahih. Prinsip kausalitas misalnya bukanlah merupakan suatu kepastian, tetapi kemungkinan, yang didapatkan dari kebiasaan manusia saja.[15] Di samping Hume para pemikir empirisme lainnya adalah Locke dan Berkeley. Mereka berargumentasi bahwa pengetahuan manusia berasal sepenuhnya dari pengalaman inderawi. Locke misalnya sangat menekankan pentingnya pengalaman inderawi untuk menginformasikan kepada apa yang sesungguhnya menjadi obyek pada dirinya sendiri. Ia juga berpendapat bahwa pikiran manusia adalah suatu kertas kosong, sebuah tabula rasa, yang diisi oleh ide melalui interaksinya dengan dunia. Pengalaman inderawi akan dunia mengajarkan semuanya, termasuk konsep identitas, sebab akibat, dan sebagainya. Kant sendiri nantinya berpendapat bahwa tesis tentang pikiran sebagai tabula rasa ini tidaklah cukup untuk menjelaskan tentang kemampuan kita mengetahui obyek pengetahuan. Artinya ada suatu komponen di dalam pikiran kita yang memungkinkan kita mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman inderawi.

Di sisi lain Berkeley merumuskan fenomenalisme (phenomenalism). Berlawanan dari pemikiran Locke, ia mengajukan semacam tanggapan kritis terhadap paham yang berpendapat bahwa indera kita mampu mengetahui obyek yang berada independen dari pikiran kita. Karena pikiran manusia hanya dapat mengetahui obyek yang dapat ditangkap oleh inderanya, demikian argumentasi Berkeley, maka manusia tidak dapat mengetahui obyek yang berada independen dari pikiran mereka. Lebih dari itu ia bahkan berpendapat bahwa obyek yang bersifat independen dari pikiran manusia sama sekali tidak dapat diketahui. Dari perspektif filsafat Kant, pemikiran Berkeley disebut juga sebagai idealisme material, yakni pandangan bahwa kita tidak dapat mengetahui obyek material yang ada di luar diri kita. Bagi Berkeley obyek material yang bersifat independen terhadap pikiran tidaklah dapat diketahui. Pengalaman inderawi hanya mampu menangkap gambaran-gambaran mental, dan bukan benda pada dirinya sendiri. Ia berpendapat bahwa penilaian kita akan suatu obyek adalah sungguh-sungguh hanya merupakan penilaian terhadap gambaran-gambaran mental (mental images) ini, dan bukan subtansi yang memungkinkan gambaran-gambaran mental itu untuk ada.

David Hume menegaskan apa yang sebelumnya telah dirumuskan oleh Berkeley dengan mempertanyakan seluruh kepercayaan-kepercayaan akal sehat kita tentang sumber pengetahuan manusia. Ia berpendapat bahwa kita tidak dapat mengandaikan adanya justifikasi apriori ataupun aposteriori tentang beberapa kepercayaan fundamental akal sehat kita, seperti prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa semua kejadian pasti memiliki sebab. Dengan tesis Hume tersebut, maka semakin jelaslah bahwa empirisme tidak dapat memberikan kita justifikasi epistemologis (epistemological justification) untuk semua klaim kausalitas yang selama ini dianggap tepat dan andaikan begitu saja.[16]

Kant sangat tidak setuju dengan semua pemikiran yang bersifat skeptis di atas. Di dalam bukunya yang berjudul Kritik atas Rasio Murni, ia mengajukan argumentasi-argumentasi untuk menunjukkan ketidaktepatan argumentasi para pemikir empiris, seperti Locke, Berkeley, dan Hume, karena semua refleksi dan analisis mereka mengandaikan hal-hal yang dalam pemikiran mereka justru ditolak. Bahkan setiap bentuk pengetahuan yang dapat kita ketahui haruslah mengandaikan klaim-klaim tersebut, dan tidak bisa tidak. Meskipun menaruh simpati besar terhadap refleksi para pemikir empirisme, ia tetap tidak puas dengan argumentasi mereka yang menyatakan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman inderawi.

Para pemikir rasionalis seperti Descartes, Spinoza, dan Leibniz, mendekati problematika yang sama dengan sudut pandang yang berbeda. Bagi mereka pengetahuan tentang dunia luar, tentang jiwa, tentang diri, tentang Tuhan, etika, serta sains adalah ide yang sudah pasti berada inheren di dalam pikiran. Leibniz berpendapat bahwa dunia sudah dapat diketahui secara apriori melalui analisis ide-ide dan turunan atasnya secara logis. Pengetahuan dapat diperoleh cukup dengan menggunakan rasio saja. Pernyataan Descartes “aku berpikir maka aku ada” jelas menggambarkan kebenaran yang sangat diyakini oleh para pemikir rasionalis ini. Dengan berbekal pengetahuan yang pasti tentang keberadaan dirinya sendiri, Descartes berharap mampu membangun sebuah dasar yang kokoh bagi semua bentuk pengetahuan manusia. Baginya pengetahuan tentang obyek yang berada di luar dirinya adalah kombinasi antara kesadaran akan keberadaan dirinya sendiri (res cogitans dan res extensa) dan argumen bahwa Tuhan itu ada, serta tidak menipunya dengan semua bentuk pengetahuan yang masuk melalui indera.

Kant juga banyak menyanggah argumentasi para pemikir rasionalis di dalam salah satu bagian Kritik atas Rasio Murni, yakni bagian antinomi-antinomi. Salah satu antinomi adalah tentang dunia. “Dunia memiliki awal di dalam waktu dan terbatas di dalam ruang” yang dihadapkan dengan argumen “Dunia tidak memiliki awal dan tidak terbatas di dalam ruang.”[17] Ia berpendapat bahwa kedua argumen ini melambangkan kesalahpahaman metafisis di dalam seluruh pemikiran rasionalisme. Kedua argumen di atas tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena keduanya beranggapan bahwa benda-pada-dirinya-sendiri dapat diketahui, yakni dunia sebagai benda-pada-dirinya-sendiri. Menurut Kant antinomi dapat dihilangkan, jika kita sungguh mengerti fungsi dan kapasitas sesungguhnya dari fakultas rasio kita yang berperan dalam menciptakan pengetahuan. Kita harus menyadari bahwa kita tidak dapat mengetahui benda-pada-dirinya-sendiri, dan bahwa pengetahuan kita terbatas pada obyek yang dapat dialami secara inderawi. Proyek filsafat rasionalisme gagal, karena para pemikirnya tidak mempertimbangkan peran pengalaman empiris di dalam mengkonstruksi pengetahuan. Memang refleksi filosofis mereka tentang pengetahuan dapat menjelaskan beberapa aspek tentang isi dari pengetahuan kita. Akan tetapi mereka tidak akan mampu memberikan argumentasi yang koheren tentang klaim-klaim metafisis yang mereka rumuskan, baik itu tentang Tuhan, tentang Dunia, ataupun tentang Jiwa. Metafisika yang dibangun mereka inilah yang menjadi obyek kritik Kant nantinya. Walaupun ia sendiri nantinya akan terjebak pada pemikiran yang bersifat metafisis juga.[18]

Kant memilih menggunakan kata Kritik (critique) untuk buku-buku yang ditulisnya. ‘Kritik’ disini tidak melulu dimaksudkan sebagai evaluasi negatif akan suatu obyek tertentu, tetapi sebagai suatu refleksi kritis, dan hasilnya bisa saja positif, tetapi juga bisa negatif.[19] Kata ‘murni’ (pure) adalah term teknis yang digunakan oleh Kant, dan berarti bahwa sesuatu itu tidak mengandung apapun yang berasal dari pengalaman inderawi. ‘Rasio’ disini juga dikatakan dalam arti teknis, yakni sebagai fakultas konseptual di dalam dimensi kognitif kita yang membantu kita memaknai pengalaman, namun tidak didapatkan dari pengalaman inderawi. Dalam bahasa Kant elemen konseptual tersebut bersifat apriori. Dengan demikian Kritik atas Rasio Murni adalah suatu penyelidikan filosofis (philosophical enquiry) terhadap fakultas kognitif kita untuk mengetahui realitas. Cara yang ditempuh yakni dengan pertama-tama membedakan antara rasio murni (pure reason) dengan pengalaman inderawi (sense experience), dan kemudian melihat sejauh mana rasio kita mampu mengetahui hal-hal yang berada di luar pengalaman inderawi, seperti Tuhan dan Jiwa.[20] Penilaian apakah kita dapat mengetahui obyek-obyek yang berada di luar pengalaman inderawi dilakukan oleh Kant pada setengah bagian kedua buku Kritik atas Rasio Murni, yakni setelah ia memberikan argumentasi yang mendetil tentang kondisi-kondisi apriori yang memungkinkan terjadinya pengetahuan.

Argumentasi Kant memang tampak membingungkan, karena ia seolah menggunakan argumentasi yang lebih mengutamakan peran unsur apriori daripada kapasitas kognitif manusia. Memang klaim semacam itu tidak dapat dari ruang hampa, tetapi sudah selalu didukung oleh beberapa argumentasi yang cukup memadai. Ia menghabiskan banyak halaman di dalam buku Kritik atas Rasio Murni untuk membuktikan bahwa aspek kognitif manusia hanya mampu memproduki pengetahuan, jika ada pengandaian-pengandaian apriori yang sudah dipegang terlebih dahulu. Jika pengandaian apriori itu tidak ada, maka pengetahuan menjadi tidak mungkin.

Di dalam bagian preface buku itu, Kant sangat yakin bahwa proses ‘pengadilan’ terhadap rasio itu akan mampu menyelesaikan berbagai problem metafisika yang ada sebelumnya.[21] Hasil dari proses itu akan membuktikan, bahwa rasio manusia mampu mengetahui obyek yang berasal dari pengalaman inderawi, tetapi bukan obyek yang di luar pengalaman inderawi. Inilah inti kritik atas metafisika yang dirumuskannya. Salah satu cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan problem metafisis adalah dengan merumuskan semacam dasar guna membedakan antara penggunaan kapasitas rasio manusia yang legitim, dan penggunaannya yang tidak legitim. Dasar ini adalah pengalaman inderawi. Artinya penggunaan rasio manusia menjadi sah, ketika diterapkan pada obyek yang dapat diketahui melalui pengalaman inderawi. Sebaliknya penggunaan rasio manusia menjadi tidak sah, ketika diterapkan untuk mengetahui obyek yang tidak dapat dialami secara inderawi. Batas-batas pengetahuan manusia, dengan demikian, adalah batas-batas pengalamannya. Apa yang dapat diketahui adalah apa yang dapat dialami secara inderawi, dan apa yang tidak dapat dialami secara inderawi tidaklah dapat diketahui. Akan tetapi disinilah letak ambiguitas argumentasi Kant, ia ingin membela metafisika dengan berpendapat bahwa metafisika diperlukan untuk memberikan kerangka pada pengetahuan. Dengan kata lain pengalaman inderawi dapat menjadi pengetahuan, karena adanya prinsip-prinsip apriori yang bersifat metafisis, yakni yang tidak dapat dialami. Bahkan rasio manusia selalu memiliki kecenderungan untuk bertanya tentang hal-hal yang tak terkondisikan, yakni kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan metafisis. Akan tetapi ia kemudian menolak penggunaan rasio manusia untuk merefleksikan entitas-entitas yang berada di luar pengalaman inderawi, seperti refleksi tentang Tuhan, atau tentang Jiwa. Metafisika yang menjadi sasaran kritik Kant adalah metafisika tradisional, yakni pemikiran spekulatif yang bersifat transenden (trancendent experience metaphysics).[22] Ia justru membela metafisika yang bersifat imanen yang memungkinkan pengalaman diolah menjadi pengetahuan, yakni metafisika pengalaman (metaphysics of experience).[23] Dengan demikian, metafisika pengalaman mungkin, tetapi metafisika transenden tidaklah mungkin.

Struktur dari Kritik atas Rasio Murni

Jika kita sekilas melihat susunan buku Kritik atas Rasio Murni, kita akan mendapat kesan bahwa buku itu adalah buku yang sangat kompleks, pengaturannya tidak transparan, dan setiap judul dari bab-bab yang ada di dalamnya tidak banyak menggambarkan isi dari bab. Memang arsitektur buku tersebut sungguh menggambarkan kerumitan pemikiran filsafatnya.

Tiga ‘pilar’ utama dari buku itu adalah Transcendental Aesthetic, Transcendental Analytic, dan Transcendental Dialectic. Setiap bagian mengacu pada kapasitas rasio manusia yang berbeda dimensi dengan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda pula. Bagian Aesthetic berkaitan dengan sensibilitas (kemampuan memperoleh pengalaman inderawi melalui intuisi, atau pengetahuan langsung), matematika, dan dengan geometri. Bagian ini mencakup pula analisis Kant tentang ruang dan waktu. Sementara itu bagian Analytic lebih banyak menganalisis tentang problem pemahaman (understanding), metafisika pengalaman (metaphysics of experience), dan ilmu-ilmu alam (natural science). Bagian Dialectic menganalisis kapasitas maksimal dari rasio manusia dan metafisika transenden (trancendent metaphysics). Bab ini terdiri dari tiga bagian, yakni metafisika tentang jiwa yang disebut Kant sebagai psikologi rasional (rational psychology), metafisika tentang dunia sebagai keseluruhan yang disebutnya sebagai kosmologi rasional (rational cosmology), dan tentang Tuhan yang disebutnya sebagai teologi rasional (rational theology).

Baik Analytic, Aesthetic, dan Dialectic berada pada bagian besar Trancendental Doctrine of Elements, karena masing-masing mengacu pada ‘elemen’ rasio yang berbeda. Aesthetic pada apa yang disebut Kant sebagai intuisi, Analytic pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang mendasarinya, dan Dialectic dengan apa yang disebutnya sebagai ide-ide regulatif (regulative ideas). Apa yang biasa dimengerti sebagai intelek kini dipisahkan olehnya menjadi pemahaman (understanding) dan rasio (reason). Bagian yang lebih pendek, yakni Trancendental Doctrine of Method, menyediakan pendasaran epistemologi dan metafisis bagi Kritik atas Rasio Murni dengan refleksi atas metode pendekatannya. Di dalamnya ada bagian The Canon of Pure Reason yang memberikan penegasan terhadap seluruh sistem filsafat kritis di dalam buku tersebut.

Pengaturan bab-bab di dalam buku Kritik atas Rasio Murni dapat dimengerti lebih jelas, jika kita mengerti kesimpulan yang ditarik Kant tentang seluruh buku tersebut. Ada dua kesimpulan besar. Di satu sisi Aesthetic dan Analytic selalu berkaitan dengan obyek yang dapat diketahui. Dan di sisi lain, Dialectic berkaitan dengan obyek yang tidak dapat diketahui. Aesthetic dan Analytic lebih bersifat positif, karena lebih bertujuan untuk membuktikan bahwa kita dapat mengetahui obyek yang dapat dialami secara inderawi. Aesthetic banyak menganalisis pengalaman inderawi, terutama tentang kemungkinan pengetahuan akan obyek-obyek yang berada di dalam ruang dan waktu. Analytic lebih berada di level konseptual, termasuk tentang kategori subtansi dan kausalitas yang memungkinkan pengalaman diolah menjadi pengetahuan konseptual. Kedua bagian ini disebut juga sebagai metafisika pengalaman (metaphysics of experience). Sementara itu bagian Dialectic lebih bersifat negatif, karena lebih bertujuan untuk membuktikan bahwa kita tidak dapat mengetahui obyek-obyek yang berada di luar pengalaman inderawi kita. Bagian ini mau menolak legitimasi metafisika, terutama metafisika transenden (trancendent metaphysics). Dari dua tipe metafisika ini, kita dapat mengenali ambiguitas kritik atas metafisika yang dirumuskan Kant. Ia menolak metafisika transenden, tetapi mengafirmasi metafisika pengalaman. Metafisika pengalaman ini paling jelas terdapat pada bagian Analytic.

Dari pemaparan pada bab ini, kita dapat menarik setidaknya dua kesimpulan terkait dengan metode yang digunakan oleh Kant di dalam berfilsafat. Yang pertama adalah metode kritis untuk mencari kondisi-kondisi kemungkinan dari pengetahuan manusia. Kant tidak percaya begitu saja, bahwa manusia bisa mengetahui dunia luar. Maka itu ia menyelidiki terlebih dahulu, kondisi-kondisi macam apakah yang diperlukan, supaya manusia bisa sampai pada pengetahuan konseptual. Di dalam proses pencarian, ia menemukan setidaknya dua faktor, yakni kondisi-kondisi a priori di dalam pikiran manusia, dan benda-benda obyektif. Yang penting bagi kita adalah cara berpikir untuk mencari kondisi-kondisi kemungkinan dari keberadaan obyek yang kita pikirkan.

Yang kedua adalah upaya Kant untuk menempatkan persoalan moralitas pada akal budi. Kant tidak melulu melompat ke dalam penjelasan-penjelasan teologis-agamis untuk menjelaskan fenomena moral manusia, melainkan berusaha menemukan pendasaran rasional atasnya. Metode pencarian dasar rasional itulah yang bisa dijadikan contoh untuk penyelidikan obyek-obyek lainnya, terutama yang terkait langsung dengan dimensi hakiki manusia. Dua metode yang diajarkan Kant, yakni metode pencarian kondisi-kondisi kemungkinan dan metode pencarian dasar rasional atas fenomena yang ingin diteliti, akan menjadi dasar bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan selanjutnya.***


[1] Lihat Jill Vince Buroker, Kant’s Critique of Pure Reason, Cambridge, Cambridge University Press, 2006, dan Reza A.A Wattimena, Pengandaian-pengandaian Metafisis di dalam Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika: Mempertimbangkan Kritik Karl Ameriks atas Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika, Jakarta, STF Driyarkara, 2009 (Tidak dipublikasikan).

[2] Lihat, Buroker, 2006, hal. 6.

[3] Kant, Critique of Pure Reason, 1998, Aviii, hal. xxiii. Seluruh kerangka sub bab ini diinspirasikan dari pembacaan saya atas tulisan Sebastian Gardner, 1999, hal. 1-26. Kutipan dari tulisan Kant juga diambil dari tulisan Gardner ini.

[4] Ibid “…metaphysics is perpetually brought to a stand…”

[5] Ibid, dan lihat Gardner, 1999, hal. 1. “Ever and again, we have to retrace our steps…”

[6] Kant, Bxv. “The degree and quality of disagreement in metaphysics makes it a ‘battle ground, a site of ‘mock-combats’ in which ‘no participant has ever yet succeeded in gaining even so much as an inch of territory…”

[7] Bdk, Ibid. “…The peculiar instability of metaphysics stands in stark contrast to the security of mathematics and natural science, and leaves us with no choice but to conclude that metaphysics ‘has hitherto been a merely random grouping..”

[8] Ibid, Bxvi “…Hitherto it has been assumed that all our knowledge must conform to objects’, but since this assumption has conspicuously failed to yield any metaphysical knowledge, we ‘must therefore make trial whether we may not have more success in the tasks of metaphysics, if we suppose that objects must conform to our knowledge…we should than proceeding on the lines Copernicus primary hypothesis’, this being the hypothesis of heliocentrism…”

[9] Lihat, Gardner, 1999, hal. 2. “…this chapter traces the route which Kant arrived at his view that metaphysics constitutes a problem, and his view of what exactly the problem of metaphysics consist in..”

[10] Kant, Axi[n], dalam Gardner, ibid, “our age is, en special degree, the age of criticism, and to criticism everything must submit. Religion through its sanctity, and law-giving through its majesty, may seek to exempt themselves from it. But they then awaken just suspicion, and cannot claim the sincere respect which reason accords only to that which has been able to sustain the test of free and open examination.”

[11] Ibid, Bxiii, hal. xxxi., “…C.A Crucius… submitted the wolffian school to sharp criticism, and it later lost ground to popularphilosophie, an eclectic, intellectually flaccid movement hostile to its esotericism (dismissed…as a pretentiously free manner of thinking…)”

[12] Lihat, http://en.wikipedia.org/wiki/Humanism

[13] Lihat, Gardner, 1999, hal. 5. “Leibniz employed a deductive method, derived from Rene Descartes… and modeled on mathematics, which began with abstract general notions and worked down to concrete nature; Newton by contrast ascended from quantitative measurement of the phenomena of the first principles.”

[14] Lihat, Gardner, 1999, hal. 6. “…Every… school of metaphysics…should commit to the flames…”

[15] Bdk, Tjahjadi, 2004, hal. 281. “Adanya sebuah prinsip kausalitas, misalnya, tidak bisa diterima sebagai sebuah prinsip karena tidak bisa diindra. Dengan demikian, filsafat dan ilmu pengetahuan alam yang cara kerjanya mengandalkan prinsi-prinsip yang tidak bisa mencapai kepastian, namun hanya kemungkinan.”

[16] Lihat, Tjahjadi, hal. 281. “Adapun empirisme berpendapat sebaliknya. Sumber pengalaman hanyalah pengalaman inderawi sehingga hanya yang bisa diindra saja yang bisa dijadikan dasar pengetahuan. Berdasarkan pandangan ini, Hume, misalnya, mengatakan bahwa semua hal yang tidak bersifat inderawi hanya bisa diperkirakan atau diterima sebagai kepercayaan saja, tetapi tidak bisa dipastikan.”

[17] Kant, 1998, A426/B 454 dalam http://www.iep.utm.edu/k/kantmeta.htm, “The First Antinomy argues both that the world has a beginning in time and space, and no beginning in time and space. The Second Antinomy’s arguments are that every composite substance is made of simple parts and that nothing is composed of simple parts. The Third Antinomy’s thesis is that agents like ourselves have freedom and its antithesis is that they do not. The Fourth Antinomy contains arguments both for and against the existence of a necessary being in the world. The seemingly irreconcilable claims of the Antinomies can only be resolved by seeing them as the product of the conflict of the faculties and by recognizing the proper sphere of our knowledge in each case. In each of them, the idea of "absolute totality, which holds only as a condition of things in themselves, has been applied to appearances"

[18] Uraian ini didasarkan pada pembacaan saya atas http://www.iep.utm.edu/k/kantmeta.htm

[19] Lihat, Ibid, Bxxv-xxvi, dalam Gardner, 1999, hal. 23. “Critique does not for Kant imply a negative evaluation of its object: it means simply a critical enquiry, the results of which may equally be positive.”

[20] Lihat, Ibid, Axii. Dalam Gardner, ibid, “So a critique of pure reason is a critical enquiry into our capacity to know anything by emplying our reason in isolation, i.e, without conjoining reason with sense experience; more specifically, it enquires into our capacity to know things lying beyond the bounds of sense experience, such as God and the Soul…”

[21] Lihat, Ibid, “…Kant gives firm indications in the Preface of the results that the tribunal will reach, and of the means by which the problem of metaphysics will be solved…”

[22] Lihat, Gardner, 1999, hal. 24. “The metaphysics that Kant attacks, charateristic of rationalism, is speculative or transcendent…, and that which he defends is immanent…., or the metaphysics of experience….”

[23] Lihat pemaparan menarik tentang proyek kritik Kant terhadap metafisika tradisional di dalam http://plato.stanford.edu/entries/kant-metaphysics/, How are synthetic a priori propositions possible? This question is often times understood to frame the investigations at issue in Kant’s Critique of Pure Reason. In answer to it, Kant saw fit to divide the question into three: 1) How are the synthetic a priori propositions of mathematics possible? 2) How are the synthetic a priori propositions of natural science possible? Finally, 3) how are the synthetic a priori propositions of metaphysics possible? In systematic fashion, Kant responds to each of these questions. The answer to question one is broadly found in the Transcendental Aesthetic, and the doctrine of the transcendental ideality of space and time. The answer to question two is found in the Transcendental Analytic, where Kant seeks to demonstrate the essential role played by the categories in grounding the possibility of knowledge and experience. The answer to question three is found in the Transcendental Dialectic, and it is a resoundingly blunt conclusion: The synthetic a priori propositions that characterize metaphysics are not “really” possible at all. Metaphysics, that is, is inherently dialectical. Kant’s Critique of Pure Reason is thus as well known for what it rejects as for what it defends. Thus, in the Dialectic, Kant turns his attention to the central disciplines of traditional, rationalist, metaphysics — rational psychology, rational cosmology, and rational theology. Kant aims to reveal the errors that plague each of these fields.”

Metode Skeptisisme di dalam Filsafat Modern


Metode Skeptisisme di dalam Filsafat Modern

Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya kita sudah melihat bagaimana para filsuf abad pertengahan menggunakan logika sebagai metode berpikir mereka. Logika nantinya akan menjadi fondasi kuat bagi perkembangan pemikiran di dalam ilmu pengetahuan. Pada bab ini dengan mengacu pada Stewart Cohen di dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, saya ingin memperkenalkan anda pada metode skeptisisme yang dominan pada awal filsafat modern.[1]

Secara umum skeptisisme adalah pandangan, bahwa orang tidak mungkin bisa sampai pada pengetahuan. Di dalam pandangan para pemikir skeptis yang lebih moderat, manusia masih bisa sampai pada pengetahuan, namun tidak akan pernah sampai pada kepastian. Di dalam pandangan yang lebih radikal, pengetahuan manusia tidak pernah bisa didasarkan pada argumen yang masuk akal. Dengan kata lain pengetahuan manusia itu irasional. Argumentasi adalah sekumpulan kata-kata kosong untuk membuktikan sesuatu yang memang tidak bisa dibuktikan.

Pada level yang lebih luas, skeptisisme adalah suatu bentuk ketidakpercayaan pada cara mengetahui manusia. Misalnya ketidakpercayaan pada ingatan sebagai sumber ingatan, karena ingatan sifatnya sangat rapuh dan subyektif.[2] Ada juga para pemikir skeptis yang tidak percaya pada kepastian pengetahuan manusia tentang dunia di luar dirinya. Bagi mereka pengetahuan tentang dunia di luar diri manusia (external world) hanya sebentuk sensasi-sensasi saraf otak semata, dan bukan pengetahuan yang asli. Ada satu bentuk skeptisisme lainnya yang disebut sebagai solipsisme. Paham ini berpendapat bahwa yang ada hanyalah diri manusia dan keyakinan-keyakinan subyektifnya. Segala sesuatu di luar diri manusia tidak ada. Misalnya dunia di luar diri manusia itu sungguh ada, namun itu pun tetap tidak bisa diketahui.

Skeptisisme di dalam Sejarah

Menurut Richard H. Popkin di dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, skeptisisme memiliki akar yang panjang dalam sejarah. Pada jaman Romawi Kuno, teks-teks Cicero, Sextus Empiricus, dan Diogenes sudah memuat argumen-argumen skeptisisme. Setidaknya ada dua bentuk skeptisisme, yakni ketidakpercayaan pada pada persepsi inderawi (sense perception) manusia untuk memperoleh pengetahuan, dan ketidakpercayaan pada kemampuan akal budi (reason) manusia untuk mencapai pengetahuan yang universal.[3]

Jika akal budi dan persepsi inderawi tidak bisa membawa manusia pada pengetahuan, maka manusia tidak memiliki lagi alat untuk bisa mengetahui sesuatu. Pengetahuan pun menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Cara pandang ini memiliki implikasi moral tertentu. Jika manusia tidak bisa sampai pada pengetahuan, maka satu-satunya harapan adalah menyandarkan diri pada cara hidup dan aturan yang sudah mapan di dalam masyarakat. Daya dorong untuk mencapai kebenaran absolut menghilang, dan orang pun ‘dipaksa’ untuk hidup dalam harmoni dengan lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan penelitian Popkin kelahiran skeptisisme sebagai metode di abad pertengahan disebabkan oleh ditemukannya kembali teks-teks kuno. Teks-teks tersebut pertama kali ditemukan dan dikembangkan oleh para pemikir Humanis di Italia. Kemudian teks-teks tersebut tersebar dan semakin berkembang di Eropa Barat dan Eropa Utara. Seperti sudah disinggung sebelumnya, teks-teks yang berpengaruh adalah tulisan Cicero, Diogenes, dan, yang terpenting, adalah tulisan Sextus Empiricus.

Pada awalnya teks-teks tulisan Empiricus lebih dikenal sebagai teks-teks sejarah dan literatur biasa. Namun setelah terbit dua teks terjemahan milik Empiricus, yakni Outlines of Pyrrhonism dan Against the Professors, para filsuf pada waktu itu mulai menempatkan teks-teks itu sebagai teks yang memiliki problem filosofis. Dari penelitian Popkin ini dapatlah disimpulkan, bahwa konsep skeptisisme berkembang dari ditemukannya teks-teks kuno, yang kemudian membuka problem-problem filosofis baru pada abad ke 14 dan 15.

Konsep skeptisisme juga berkembang dalam konteks tegangan dengan agama pada abad ke-14. Tokoh yang terkait adalah Girolamo Savonarola dan muridnya yang bernama Pico della Mirandola. Savonarola sendiri adalah seorang biarawan Dominikan sekaligus seorang guru filsafat di Florence. Ia menyarankan dilakukannya reformasi besar-besaran terhadap Gereja Katolik Roma pada waktu itu. Ia bahkan menyarankan orang membaca tulisan Sextus Empiricus sebagai perkenalan kepada iman Kristiani. Ia juga meminta teman-teman biarawannya untuk menerjemahkan teks-teks Empiricus, sehingga bisa dibaca oleh banyak orang.

Akan tetapi tulisan-tulisan Empiricus, berlawanan dengan cita-cita Savonarola, tidak pernah dijadikan salah satu teks Kristiani. Bahkan ia kemudian dituduh bidaah, dan dibakar pada 1498. Menurut penelitian Popkin cita-cita Savonarola sebenarnya sesuai dengan ajaran Kristiani. Dia dan muridnya yang bernama Pico sebenarnya hendak menyerang semua bentuk pengetahuan yang ada dengan teori skeptisisme, supaya orang tidak lagi menyandarkan diri pada akal budinya, melainkan bersandar hanya sepenuhnya pada iman. Hal ini nantinya juga dipergunakan oleh para Rabi Yahudi untuk menjadikan Torah sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Melanjutkan cita-cita gurunya, Pico menyerang Filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Aristoteles. Argumen Pico memiliki pengaruh sangat besar para para pemikir Renaissance nantinya.

Pada masa reformasi Erasmus pernah melakukan debat keras melawan Martin Luther. Masa itu adalah masa yang penuh gejolak, akibat gelombang reformasi yang deras melada Eropa. Pada 1511 dalam salah satu tulisannya yang berjudul In Praise of Folly, Erasmus menyerang semua bentuk pandangan skeptik. Baginya skeptisisme adalah sikap dogmatik untuk tidak mengatakan apapun tentang apapun juga. Artinya skeptisisme adalah ajaran yang kosong belaka. Pada bukunya yang berjudul Philosophia Christi, Erasmus menyetujui sepenuhnya ajaran Kristus sebagai satu-satunya kebenaran. Walaupun begitu ia tidak membangun sistem pemikiran apapun untuk mendasari argumennya itu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Popkin, Erasmus awalnya setuju dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh Luther pada Gereja Katolik. Namun dalam perjalanan Erasmus melihat sikap yang semakin lama semakin keras pada argumen dan tindakan Luther. Ia pun menarik dukungannya, dan tetap memilih untuk menjadi bagian dari Gereja Katolik. Ia kini berada pada posisi yang bertentangan Luther. Yang menarik adalah menurut Popkin, Erasmus justru menggunakan argumen skeptik untuk melawan Luther. Ia berpendapat bahwa tema perdebatannya dengan Luther terlalu sulit untuk dipahami oleh akal budi manusia. Kitab suci pun tidak bisa dijadikan acuan mutlak untuk soal-soal iman dan teologi yang mereka perdebatkan. Berdasar pada argumen skeptik, bahwa manusia tidak mungkin bisa memahami sepenuhnya misteri Tuhan dan iman, Erasmus mengajak Luther untuk kembali pada pandangan tradisional, yakni pandangan Gereja Katolik, dengan penuh keterbukaan hati.[4]

Terlihat bahwa Erasmus menerapkan metode skeptisisme untuk membela pendiriannya. Popkin bahkan menyebutnya sebagai skeptisisme lembut (gentle scepticism). Namun Luther sama sekali tidak bisa menerima argumen itu. Baginya seorang Kristen tidak bisa sekaligus adalah seorang skeptik. Orang yang beragama Kristen, atau agama apapun, haruslah meyakini kebenaran yang terdapat di dalam agamanya. Jika tidak maka mereka akan terancam hukuman Tuhan, seperti yang dipercaya di dalam agamanya. “Iman dan skeptisisme sama sekali tidak cocok,” demikian tulis Popkin, “karena seorang Kristen haruslah bahagia di dalam ketegasannya.”[5] Luther bahkan mengatakan bahwa Roh Kudus sama sekali tidak skeptik (Spiritus Sanctus non est scepticus). Di hari pengadilan akhir (judgment day), Erasmus harus mempertanggungjawabkan keraguannya di hadapan Tuhan.

Menurut Popkin perdebatan antara Luther dan Erasmus meninggalkan kita satu pertanyaan filosofis yang penting, bagaimana menciptakan kriteria untuk menentukan kebenaran dalam konteks kebenaran religius? Di dalam sejarah Luther menantang kebenaran tradisi yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Ia menolak mengakui otoritas iman dari Paus dan tradisi Gereja Katolik yang sudah berusia ratusan tahun. Sebagai gantinya ia ingin kembali mengacu pada Kitab Suci. Akan tetapi menurut Popkin, bukankah setiap orang membaca Kitab Suci dengan tafsiran dan gayanya masing-masing? Menjawab ini Luther mengatakan, bahwa tafsirannya langsung didasarkan dari inspirasi roh kudus. Akan tetapi bagaimana memastikan itu? Pada akhirnya Luther hanya mengacu pada keyakinan subyektifnya semata. Keyakinan subyektif yang dipercayainya sebagai bisikan roh kudus.

Dari kisah di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa skeptisisme seringkali berperan besar di dalam perdebatan religius. Argumen yang ditawarkan biasanya begini, jika tidak ada yang dapat diketahui sepenuhnya oleh manusia, maka ia hanya perlu mempercayainya. Para pemikir reformis Protestan menggunakan argumen ini untuk melawan tradisi Gereja Katolik. Dan Gereja Katolik menggunakan argumen yang kurang lebih serupa melawan Calvinisme. Semua pihak kemudian menganjurkan fideisme, yakni iman merupakan sumber utama dari pengetahuan manusia. “Jika sikap skeptis terhadap pengetahuan tidak bisa diselesaikan dengan akal budi”, demikian Popkin, “maka ajaran agama haruslah diterima hanya dengan berdasar pada iman semata.”[6]

Tentu saja pandangan ini memiliki banyak kelemahan. Bagaimana mungkin orang bisa beriman tanpa menggunakan akal budinya? Jika itu terjadi bukankah agama lebih menjadi ilusi irasionil semata yang justru memperbodoh manusia? Bukankah orang akan begitu mudah menjadi fanatik terhadap agamanya sendiri, dan menutup mata atau bahkan menindas perbedaan yang ada? Pada hemat saya skeptisisme mengajarkan orang untuk bersikap kritis terhadap semua bentuk pengetahuan. Sikap kritis itu tidak bertujuan untuk membawa orang pada kebingungan, melainkan justru untuk menjernihkan pengetahuan orang tersebut. Inilah yang menjadi inti dari skeptisisme di dalam filsafat modern, yakni mengajarkan orang untuk berpikir kritis, sehingga ia bisa menemukan kebenaran yang sesungguhnya, dan tidak berpuas diri dengan kebenaran-kebenaran palsu.

Skeptisisme sebagai Metode[7]

Bapak dari filsafat modern adalah Rene Descartes. Ciri utama filsafatnya adalah refleksi yang mendalam dan berkelanjutan tentang tema kesadaran. Para filsuf setelah Descartes juga pada akhirnya menjadikan tema kesadaran sebagai tema refleksi filosofis mereka. Berdasarkan penelitian Budi Hardiman, Descartes memberikan suatu bentuk metode baru di dalam berfilsafat, yakni yang disebutnya sebagai metode skeptisisme, atau bisa juga disebut sebagai skeptisisme metodis. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh. Inilah tujuan utama filsafat menurut Descartes.[8]

Untuk mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh itu, Descartes mulai dengan meragukan segala sesuatu. Ia meragukan kepastian benda-benda material yang ada di sekitarnya, dan bahkan sampai meragukan keberadaan dirinya sendiri. Jika semua hal di dunia ini bisa diragukan, lalu apakah yang bisa dijadikan sebagai pegangan kokoh? Pada hemat Descartes satu hal setidaknya yang tidak bisa diragukan, yakni fakta bahwa saya sedang meragukan. Jadi walaupun seluruh dunia adalah hasil penipuan, namun fakta bahwa aku sedang meragukan seluruh dunia bukanlah sebuah penipuan. Inti dari sikap meragukan adalah berpikir, maka berpikir juga adalah sebuah kepastian dasariah yang tidak terbantahkan. Jelaslah bahwa keraguan Descartes tidak mengantarkannya pada kekosongan, melainkan justru membawanya pada kepastian yang tidak terbantahkan. Skeptisisme Descartes bisa juga disebut sebagai skeptisisme yang konstruktif.

Cara berpikir skeptik yang lebih radikal dapat ditemukan pada seorang filsuf Inggris yang bernama David Hume. Dengan membaca tulisan-tulisan Hume, orang akan mendapatkan kesan, bahwa ia hendak menghancurkan filsafat. Namun menurut Budi Hardiman, tujuan dasar Hume bukanlah menghancurkan filsafat, melainkan mau melengkapi filsafat dengan sebuah metode berpikir yang ketat dan sistematis. Untuk itu Hume kemudian menggunakan cara berpikir skeptisisme.[9] Yang menjadi obyek utama kritik Hume adalah metafisika tradisional. Baginya metafisika bersifat sangat tidak pasti, dan melebih-lebihkan kemampuan akal budi manusia. Dalam arti ini metafisika bukan lagi sekedar merupakan penyelidikan terhadap realitas dengan menggunakan akal budi manusia, tetapi sudah menjadi mirip dengan mitos dan takhayul.

Berdasarkan penelitian Budi Hardiman dapatlah disimpulkan, bahwa Huma ingin melakukan kritik tajam terhadap tiga bentuk pemikiran, yakni pandangan rasionalisme bahwa seluruh realitas terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan, pemikiran-pemikiran religius, konsep sebab akibat yang berada di dalam ilmu pengetahuan, dan konsep substansi yang dianut oleh para pemikir empiris (meyakini bahwa sumber utama pengetahuan adalah pengalaman inderawi).[10] Coba kita bahas tiga bentuk kritik ini satu per satu.

Yang pertama, para pemikir rasionalis yakin bahwa realitas itu adalah suatu substansi. Artinya realitas adalah satu kesatuan yang bersifat utuh dan mutlak. Ide kesatuan itu biasanya muncul dari pengamatan. Jadi kesatuan adalah kesan yang muncul, ketika orang mulai secara detil mengamati sesuatu. Karena hanya didasarkan pada kesan, maka kesatuan, atau substansi, tidak lebih dari sekedar khayalan manusia semata. Substansi adalah kumpulan persepsi semata. Jadi seluruh realitas adalah kumpulan persepsi (a bundle of perceptions) manusia semata.

Kritik kedua Hume yang sampai sekarang masih relevan adalah kritiknya terhadap kausalitas (sebab akibat). Konsep kausalitas mengandaikan bahwa jika peristiwa B terjadi tepat setelah peristiwa A, maka A pasti yang menyebabkan terjadinya B. Bagi Hume konsep sebab akibat di dalam kasus itu sama sekali tidak bisa dipastikan. Konsep kausalitas lebih didasarkan pada kebingungan daripada kejernihan. Hume sendiri mengakui bahwa setiap peristiwa memiliki hubungan yang satu dengan yang lainnya. Namun hubungan itu tidak langsung bisa disimpulkan sebagai kausalitas. Yang bisa dilihat oleh manusia adalah urutan dari peristiwa, dan bukan kausalitas itu sendiri. Sedangkan konsep kausalitas tidak bisa dipastikan, terutama karena tidak bisa diamati secara langsung. Ungkapan terkenal Hume untuk kepercayaan manusia terhadap kausalitas adalah kausalitas sebagai kepercayaan naif (animal faith).

Kritik ketiga Hume difokuskan pada agama. Baginya orang beragama haruslah menggunakan cara berpikir skeptisisme sehat, yakni cara berpikir yang meragukan berbagai aspek mitologis dan takhayul dari agama. Agama harus dikembalikan kepada karakternya yang rasional dan empiris. Di sisi lain Hume juga bersikap sangat kritis terhadap mukjizat. Ada beberapa argumen yang ditawarkannya. Yang pertama adalah bahwa mukjizat tidak pernah disaksikan oleh sekelompok orang-orang cerdas. Yang kedua, Hume meyakini bahwa orang memang suka pada peristiwa-peristiwa yang sensasional. Mukjizat adalah salah satunya. Namun hal itu sama sekali tidak membuktikan, bahwa mukjizat itu ada.

Yang ketiga bagi Hume, mayoritas mukjizat terjadi, ketika ilmu pengetahuan belum berkembang. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa mukjizat hanya menjadi obyek pikiran orang-orang yang sempit dan picik. Yang keempat bagi Hume, mukjizat terdapat di setiap agama, dan setiap agama mengklaim bahwa mukjizat merekalah yang paling benar. Hal ini sulitnya menemukan titik temu yang obyektif tentang konsep mukjizat. Dan yang kelima bagi Hume, banyak sejarahwan yang meragukan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah yang dianggap mukjizat. Semakin mereka terlibat dalam penelitian yang semakin intensif, maka keraguan itu semakin besar. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa mukjizat lebih merupakan tafsiran subyektif dari orang-orang yang ingin memperkenalkan ajaran agama baru.[11]

Hume mengajak orang untuk kembali berpijak pada rasionalitas dan cara berpikir kritis. Kedua hal itu membuat orang tidak mudah percaya pada segala bentuk klaim-klaim kebenaran yang ada di masyarakat, termasuk klaim yang mengatasnamakan Tuhan. Metode skeptisisme yang ditawarkan Hume memang terdengar radikal. Namun niat dibaliknyalah yang harus kita hayati bersama, yakni pencarian kebenaran terus menerus, tanpa pernah terjebak pada klaim-klaim yang seringkali tidak memiliki dasar yang kuat.***


[1] Untuk bagian awal bab ini, saya mengacu pada Stewart Cohen dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy.

[2] Saya membahas problem ini dalam Reza A.A Wattimena, “Ingatan Sosial, Trauma, dan Maaf”, Jurnal Respons, Mikhael Dua (ed), Jakarta, Atma Jaya, 2009.

[3] Untuk bagian ini dan berikutnya saya mengacu pada Richard H. Popkin dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy.

[4] Lihat, ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Untuk berikutnya saya mengacu pada F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta, Gramedia, 2004, hal. 37-93.

[8] Lihat, ibid, hal. 38.

[9] Lihat, ibid, hal. 87.

[10] Lihat, ibid, dst.

[11] Lihat, Budi Hardiman, 2004, hal. 92-93.

Logika sebagai metode di dalam Filsafat Abad Pertengahan


Logika Sebagai Metode

di dalam Filsafat Abad Pertengahan

Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya kita sudah melihat bagaimana para pemikir Yunani Kuno memahami realitas. Mereka menggunakan metode yang unik, yang nantinya akan terus mempengaruhi cara berpikir kita sampai sekarang ini, yakni pencarian archē dan elenchus. Pada bab ini saya akan mengajak anda mencicipi cara para filsuf abad pertengahan memahami realitas. Pada bab ini saya mengacu pada Routledge Encyclopedia of Philosophy dan tulisan Ashworth mengenai bahasa dan logika di dalam filsafat abad pertengahan.

Di dalam filsafat abad pertengahan, kita melihat berkembangnya suatu cara berpikir yang nantinya akan mempengaruhi perkembangan pengetahuan manusia secara signifikan, yakni metode berpikir deduktif. Secara literal metode deduktif, atau yang banyak juga dikenal sebagai prinsip deduktif (deductive principle), adalah kemampuan orang untuk mengembangkan pengetahuannya dengan menarik kesimpulan dari pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya telah ia ketahui.[1]

Misalnya A mengetahui bahwa B, dan C adalah kesimpulan yang bisa ditarik secara deduktif dari B. Maka A mengetahui C. Cara berpikir ini disebut juga prinsip tertutup (closure principle). Artinya kesimpulan yang bisa ditarik tertutup hanya pada implikasi logis, dan bukan yang lainnya. Contoh lainnya S mengenali P, dan S mengetahui bahwa Q adalah implikasi logis dari P. Maka S dapat mengenali Q.

Prinsip ini dapat memastikan, bahwa pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang sahih (valid knowledge). Prinsip semacam ini sangat berperan di dalam pembentukan pengetahuan melalui metode penelitian saintifik (scientific method). Cara berpikir deduktif ini mempengaruhi cara berpikir para filsuf abad pertengahan tentang konsep bahasa dan logika. Dua konsep inilah yang akan menjadi fokus pembahasan di dalam bab ini.

Logika dan Bahasa di dalam Filsafat Abad Pertengahan

Secara umum Filsafat Abad Pertengahan memiliki pemahaman yang menarik tentang konsep bahasa dan logika. Berdasarkan penelitian Ashworth pada masa itu, bahasa dan logika dianggap memiliki tujuan yang jelas.[2] Keduanya berfungsi untuk membentuk dan menyatakan kebenaran, sehingga orang bisa bergerak maju dalam membentuk pengetahuan baru. Kedua konsep ini menimbulkan perdebatan antara dua filsuf besar pada waktu itu, yakni Agustinus dan Thomas Aquinas. Agustinus tidak percaya akan kemampuan manusia untuk sampai pada pengetahuan yang tepat. Yang harus diingat adalah Agustinus adalah seorang ahli retorika. Ia sadar betul akan bahaya penggunaan bahasa untuk menyembunyikan atau justru melenyapkan kebenaran. Dan seperti yang dijelaskan oleh Ashworth, Agustinus pernah menulis bahwa orang harus melepaskan diri dari bahasa sehari-hari, dan kemudian belajar langsung dari sumber kebenaran itu sendiri, yakni Tuhan. Ia adalah kebenaran agung yang sesungguhnya.[3]

Pandangan Aquinas berbeda dari Agustinus. Bagi Aquinas seperti dijelaskan oleh Ashworth, fungsi utama dari bahasa adalah untuk mengetahui kebenaran melalui konsep-konsep yang dapat dirumuskan oleh akal budi manusia. Dalam aktivitas sehari-hari, bahasa juga memungkinkan terciptanya kehidupan sosial melalui komunikasi yang berguna antar manusia. Tidak hanya itu menurut Ashworth, masyarakat pun terbentuk di dalam bahasa melalui proses penuturan kebenaran (truth telling). Bahasa adalah perpanjangan tangan dari rasionalitas manusia. Dalam kerangka itu bahasa adalah sistem yang diatur oleh prinsip-prinsip tertentu, dan dapat dilepaskan dari konteks pembentukan bahasa, ataupun maksud dari penuturnya. Bahasa adalah kumpulan informasi yang dikumpulkan dan nantinya dirumuskan, guna membentuk suatu pengetahuan yang sistematis (scientia).

Di dalam filsafat abad pertengahan, menurut Ashworth, bahasa tidak dapat dilepaskan dari logika. Keduanya terkait dengan kebenaran, walaupun dengan cara yang berbeda. Seorang filsuf Islam yang bernama Ibn Sina pernah berpendapat, bahwa fungsi logika adalah untuk mengantarkan manusia dari apa yang diketahui (known) menuju ‘yang tidak diketahui’ (the unknown). Artinya logika mengantar manusia untuk membuka tabir-tabir pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui. Di dalam proses itu, logika dapat mengantar manusia pada kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran itu tidaklah diciptakan oleh manusia, melainkan sudah tertanam di dalam tata alam semesta yang rasional (permanently and divinely instituted in the reasonable orders of things).[4] Logika abad pertengahan difokuskan untuk membantu manusia melepaskan diri dari kesalahan berpikir (fallacies).

Logika di dalam filsafat abad pertengahan berbeda dengan logika Aristotelian, yang berkembang pada masa Yunani Kuno. Pada masa abad pertengahan, logika yang berkembang tidak mengacu pada struktur formal silogisme a la Aristoteles untuk bisa sampai pada kebenaran. Logika yang dirumuskan Agustinus, misalnya, lebih banyak mengacu pada pemikiran Neoplatonik, yang melihat bahwa alam semesta bisa dipahami seluruhnya dengan mengabstraksi konsep jiwa (soul) sampai levelnya yang paling tinggi. Dengan jiwanya manusia bisa melihat seluruh realitas sebagai obyek yang dapat dipahami oleh akal budi (intelligible). Jiwa adalah suatu entitas yang melampaui bahasa. Dengan argumen yang kurang lebih sama, Agustinus hendak membuktikan keberadaan Tuhan, yakni sebagai entitas yang melampaui bahasa.

Pada abad pertengahan ini jugalah berkembang suatu konsep yang dikenal juga sebagai dialektika (dialectica). Menurut Ashworth dalam arti umum, dialektika adalah logika (logica). Namun dalam arti sempit, setidaknya ada dua makna berbeda. Yang pertama adalah dialektika sebagai seni berdebat, seperti yang dipraktekkan kaum sofis. Dan yang kedua adalah dialektika sebagai seni untuk menemukan sintesis dari argumen-argumen yang berbeda. Marcus Iulius Cicero berpendapat bahwa dialektika adalah suatu metode berdebat yang baik. Agustinus pun berpendapat serupa.

Ashworth juga menjelaskan beragam arti kata logika (logica). Kata itu berasal dari bahasa Yunani logos, yang berarti kata-kata (word) atau akal budi (reason). Dalam arti ini logika bisa juga disebut sebagai ilmu pengetahuan rasional (rational science). Seorang filsuf abad pertengahan bernama Boethius berpendapat, bahwa filsafat dapat dibagi menjadi tiga, yakni filsafat natural (natural philosophy), filsafat moral (moral philosophy), dan filsafat rasional (rational philosophy). Logika terletak di dalam ranah filsafat rasional. Logika juga dapat dianggap sebagai alat untuk berfilsafat. Di sisi lain para filsuf Romawi berpendapat, bahwa logika dapat dikategorikan sebagai bagian dari seni liberal (liberal art). Logika juga dapat dikategorikan sebagai trivium bersama dengan retorika dan grammar. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa logika sekaligus bagian dari ilmu bahasa (dalam tradisi Romawi) dan filsafat rasional (dalam tradisi Boethius).[5]

Berdasarkan penelitian Ashworth pada abad ke 13 dan 14, logika mulai melulu dipahami sebagai filsafat rasional. Artinya logika haruslah dibedakan dengan filsafat natural, yang sibuk untuk memahami gejala alamiah (natural phenomena). Logika lebih berurusan dengan penarikan kesimpulan (inference) serta metode berpikir, dan bukan soal gejala alamiah. Dalam arti ini logika dapat dikelompokkan bersama dengan retorika dan grammar, yakni sebagai ilmu bahasa. Argumen lain mengatakan bahwa logika tidak dapat disamakan dengan filsafat natural (yang nantinya berkembang menjadi ilmu pengetahuan seperti kita ketahui sekarang ini). Logika tidak berurusan dengan alam, melainkan dengan prinsip-prinsip universal (universal principles) yang mengatur argumen dan cara berpikir. Jadi ranah penelitian logika bukanlah benda empiris, melainkan aktivitas pikiran manusia (human mind).

Logika Penarikan Kesimpulan

Menurut Ashworth penarikan kesimpulan adalah konsep terpenting di dalam logika. Penarikan kesimpulan ini bisa juga disebut sebagai consequentia, atau inference. Hal ini menjadi penting untuk mencegah orang mengambil kesimpulan yang salah (fallacies) juga dengan berdasarkan pada premis yang salah. Di dalam ilmu pengetahuan maupun di dalam filsafat moral, orang dilatih untuk bertindak seturut dengan implikasi logis (logical implications) dari kondisi-kondisi yang ada. Misalnya orang baru bisa mengambil kesimpulan yang tepat, jika salah satu premis yang membentuk kesimpulan itu juga universal, (Andi orang Jawa. Semua orang Jawa berambut hitam. Maka Andi juga berambut hitam). Dan jika orang menepati janji, maka ia harus menepatinya. Itulah tindakan-tindakan yang mengikuti implikasi logis dari tindakan sebelumnya.

Kesimpulan yang ditarik secara logis berarti kesimpulan yang sahih (valid). Kesimpulan sahih dalam arti ini adalah kesimpulan yang ditarik dari premis yang sudah terbukti benar. Maka kesimpulan tersebut tidak mungkin salah, karena premis yang mendasarinya juga sudah terbukti benar. Namun menurut Ashworth ada dua masalah terkait dengan argumen ini. Yang pertama adalah fakta di dalam logika, bahwa apa yang logis belum tentu benar. Apa yang merupakan kesimpulan logis dari premis-premis yang sudah terbukti benar tidak menjamin kebenaran dari penarikan kesimpulan itu, melainkan hanya kesahihan logikanya. Coba kita ambil contoh yang paling sederhana. Andi orang Jawa. Semua orang Jawa berambut hitam. Lalu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Andi berambut hitam. Hal ini memang logis namun apakah pasti benar?

Permasalahan di atas coba diatasi dengan menambahkan satu kalimat, yakni “jika dan hanya jika” (if and if only). Namun menurut Ashworth hal ini pun bermasalah. Konsep “jika dan hanya jika” menandakan suatu kondisi. Artinya suatu teori atau pernyataan baru terbukti benar, jika kondisi-kondisi yang memungkinkanya juga ada. Misalnya saya berkata bahwa hari ini pasti hujan, ‘jika dan hanya jika’ awan berat karena air, dan siap menuang hujan ke daratan. Jika awan tidak berat karena air, maka hujan tidak akan terjadi.

Ini adalah contoh yang sederhana. Permasalahan muncul ketika kita mencoba membahas teori yang lebih rumit. Misalnya pernyataan berikut; ekonomi pasar bebas hanya akan berjalan dengan baik, jika setiap orang bertindak dengan mengacu pada kepentingan diri yang tercerahkan (englighten self-interest). Masalahnya adalah cara berpikir dengan mengacu pada kepentingan diri yang tercerahkan hampir tidak mungkin terwujud secara murni di dalam realitas. Artinya pernyataan di atas sama sekali tidak bisa diterapkan pada realitas.

Cara berpikir dengan menggunakan logika sebagai metode ini juga banyak diterapkan pada teologi, yakni upaya rasional manusia untuk memahami Tuhan. Dalam arti ini logika bukan soal pencarian kebenaran, melainkan suatu teknik berpikir untuk menarik kesimpulan logis berdasarkan premis-premis yang bisa dipertanggungjawabkan. Memang dalam arti ini, seperti yang dikatakan oleh Agustinus, apa yang logis (logic) dan apa yang benar (truth) haruslah dibedakan. “Pengetahuan yang diperoleh dari penarikan kesimpulan logis, definisi, dan divisi”, demikian tulis Agustinus, “dapat memberikan bantuan besar di dalam proses pemahaman, selama orang tidak membuat kesalahan dengan berpikir bahwa dengan mempelajari itu sama dengan telah mempelajari kebenaran dari hidup yang suci.”[6] Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa logika adalah alat berpikir, dan bukan tujuan dari filsafat abad pertengahan.


[1] Untuk bagian ini saya mengacu pada Anthony Brueckner, Routledge Encyclopedia of Philosophy.

[2] Untuk bagian berikutnya saya mengacu pada E.J Ashworth, “Language and Logic”, dalam The Cambridge Companions to Medieval Philosophy, A.S McGrade (ed), Cambridge, Cambridge University Press, 2006, hal. 73-96.

[3] Lihat, ibid, hal. 77.

[4] Pendapat Agustinus seperti dikutip oleh Ashworth, ibid, hal. 78.

[5] Lihat, ibid, hal. 80.

[6] Seperti dikutip Ashworth, ibid, hal. 81.

Metode Berpikir Klasik


Pencarian Archē dan

Elenchus dalam Filsafat Yunani Kuno

Reza A.A Wattimena

Sulit sekali menemukan catatan otentik mengenai filsafat sebelum Sokrates. Yang dapat ditemukan adalah potongan tulisan yang seolah tidak memiliki hubungan satu sama lain. Satu-satunya sumber yang cukup bisa diandalkan adalah tulisan-tulisan Aristoteles mengenai para filsuf sebelumnya. Ia juga dikenal sebagai sejarahwan filsafat sistematis pertama di dalam sejarah. Maka dari itu halangan pertama kita untuk bisa memahami filsafat Yunani Kuno adalah halangan penafsiran, karena kita hanya bisa mengandalkan tulisan-tulisan para filsuf setelahnya. Kita hanya bisa mengandalkan sumber sekunder.

Yang kita miliki adalah kumpulan fragmen yang terobek dari naskah asli yang telah hilang. Akibatnya beragam penafsiran saling bertentangan tentang fragmen itu tidak didasarkan pada teks tulisan yang memadai, melainkan hanya copotan saja. Walaupun minimalis namun fragmen-fragmen tulisan para filsuf sebelum Sokrates tetaplah sangat berharga. Beberapa kutipan menyiratkan makna yang sangat mendalam untuk bisa dipelajari dan direfleksikan. Dari situ kita bisa memahami bagaimana tokoh-tokoh awal filsafat dan sains ini memahami realitas yang ada di hadapan mereka.

Berdasarkan teks-teks yang ada, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa setidaknya ada dua kelompok filsuf yang dominan di dalam Filsafat Yunani Kuno. Mereka adalah para filsuf pra-Sokratik dan kaum sofis. Kedua kelompok filsafat ini memiliki ajaran yang berbeda, namun keduanya penting untuk dipahami, karena dari merekalah filsafat dan sains selanjutnya berkembang. Aristoteles menyebut para filsuf pra-Sokratik pertama sebagai physiologoi (natural philosophers), atau para filsuf natural. Mereka hendak mencari prinsip terdasar (archē) dari seluruh realitas dengan menggunakan kosa kata naturalistik (naturalistic terms). Para filsuf natural ini berbeda dengan para pendahulunya yang lebih mengedepankan penjelasan-penjelasan mitologis (mythological explanations) dalam bentuk cerita dewa dan dewi.

Walaupun sama-sama mencari prinsip dasar dari realitas dengan menggunakan kosa kata natural, para filsuf prasokratik seringkali terlibat dalam perdebatan tulisan, karena perbedaan pendapat. Perdebatan itu muncul karena masing-masing filsuf saling bersikap kritis satu sama lain. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa filsafat adalah suatu displin berpikir yang selalu melakukan kritik diri (self-critique), bahkan dari awal mula berdirinya. Tidak hanya itu mereka bahkan melakukan kritik tajam terhadap cara berpikir mitologis yang dominan pada jamannya. Dengan kecenderungan untuk berpikir kritis seperti itu, muncullah para filsuf yang saling berdebat soal prinsip dasar yang menentukan seluruh realitas, yang juga bisa disebut sebagai archē.

Para filsuf natural itu, yang juga bisa kita sebut sebagai para filsuf prasokratik, menjadikan seluruh alam semesta sebagai obyek penelitian mereka. Mereka berusaha memahami alam semesta bukan dengan menggunakan penjelasan mitologis, melainkan denga penjelasan-penjelasan naturalistik, seperti prinsip air, udara, api, dan atom. Dalam arti ini mereka juga bisa disebut sebagai para ilmuwan (scientist) pertama di dalam sejarah. Proses mendekati realitas dengan tujuan mencari prinsip terdasar yang menyatukan keseluruhan ini nantinya akan mempengaruhi para filsuf dan ilmuwan selanjutnya.

Archē

Pada titik ini kita bisa mengajukan pertanyaan yang mendasar, apakah arti archē sebagai prinsip terdalam yang menyatukan seluruh realitas ini?[1] Dalam bahasa Yunani Kuno, Archē adalah prinsip. Archē juga dapat dimengerti sebagai sumber yang menciptakan (originating source), sebab (cause), prinsip pengetahuan (principle of knowledge), dan entitas dasar (basic entity). Konsep ini sangat penting di dalam metafisika, epistemologi, dan filsafat ilmu pengetahuan. Bahkan menurut Aristoteles setiap bentuk pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (science) (pengetahuan yang sudah tersistematisir) dirumuskan dan dikembangkan dengan berpegang pada prinsip (archai) yang terbatas pada bidangnya masing-masing.

Dalam filsafat politik archē juga dapat dimengerti peraturan (rule) dan awal (beginning). Konsep archē sebagai awal juga berakar pada konsep asal usul (origin), titik mula (starting point), dan prinsip pertama (first principle). Dalam bahasa Yunani kata archē sendiri berasal dari kata archō (to begin) yang berarti untuk memulai atau untuk mengatur (to rule). Kata itu muncul di dalam tulisan-tulisan Homer. Dalam konteks politik yang lebih spesifik, archē bisa berarti kekuasaan (sovereignity), ruang (realm), dan otoritas (authority). Menurut McKirahan konsep archē secara definitif digunakan pertama kali oleh Anaximandros. Anaximandros menggunakan kata itu untuk menjelaskan konsepnya yang disebut sebagai apeiron, yakni unsur-unsur yang membentuk keseluruhan realitas.

Di dalam bukunya yang berjudul Metaphysics, Aristoteles memperkenalkan enam penggunaan konsep archē. Saya hanya akan menjabarkan empat yang saya anggap penting. Yang pertama adalah sebagai suatu titik, di mana segala sesuatu yang lainnya, dalam arti benda-benda konkret lahiriah, muncul. Misalnya adalah fondasi dari rumah. Yang kedua adalah sebagai suatu titik, di mana segala sesuatu yang lainnya, dalam arti konseptual, muncul. Misalnya sebagai suatu titik, di mana gerakan berikutnya muncul. Yang ketiga adalah segala bentuk penyebab (cause) dan segala sifat-sifat dasar (nature) dari suatu benda, pikiran, tindakan, dan sebagainya. Dan yang keempat adalah archē sebagai benda yang bertujuan pada dirinya sendiri, seperti pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, dan bukan untuk tujuan lainnya.

Seluruh filsafat sebelum Sokrates kiranya ditandai dengan suatu bentuk metode yang unik, yakni metode pencarian archē. Dalam arti ini archē dapat dipandang sebagai satu titik tolak bagi pengetahuan manusia untuk berkembang. McKirahan menyebutnya sebagai hipotesis yang tidak tidak dapat dibuktikan (unprovable hypotheses), namun harus selalu diandaikan. Cara berpikir ini juga dapat digunakan untuk mengembangkan persamaan di dalam matematika, maupun sillogisme di dalam logika. Tanpa adanya hipotesis yang harus selalu diandaikan ini, pengetahuan tidak akan bisa mencapai level koherensi. Dan jika tidak koheren, maka itu tidak layak disebut pengetahuan.[2]

Dalam konteks filsafat prasokratik, archē berarti prinsip yang menyatukan keseluruhan realitas. Mereka berusaha mengabstraksi realitas sedemikian rupa, sehingga bisa terlihat unsur dasar pembentuk realitas tersebut. Inilah yang disebut sebagai metode pencaria archē. Dalam konteks pembelajaran metode ini bisa digunakan untuk memahami karakter dasar ataupun prinsip penyatu dari obyek yang ingin diteliti, seperti karakter dasar dari pikiran manusia, hasrat, masyarakat, alam, dan sebagainya. Pada hemat saya pencarian archē adalah suatu metode yang sangat radikal, yang hendak mengangkat akar-akar terdalam realitas, dan menegaskannya sebagai sebuah konsep yang dapat dipahami oleh akal budi (intelligible).

Elenchus sebagai Metode Sokratik[3]

Metode berfilsafat berikutnya yang dapat ditemukan pada filsafat Yunani Kuno adalah metode Sokratik (Socratic method). Menurut Nelson metode Sokratik adalah metode yang digunakan untuk mempelajari filsafat. Akan tetapi filsafat tidaklah sama seperti displin ilmu lainnya. Maka itu lebih tepat dikatakan, bahwa metode Sokratik bukanlah metode untuk belajar filsafat (learn philosophy), melainkan metode untuk berfilsafat (philosophizing). Apa sebenarnya perbedaan antara dua konsep itu? Yang pertama hendak mengajarkan kepada orang tentang apa itu filsafat. Sementara yang kedua adalah membuat orang mampu berfilsafat tentang tema-tema yang penting dalam hidupnya, sehingga ia bisa menjadi seorang filsuf.

Secara historis Sokrates banyak bergulat soal isu-isu yang terkait dengan kehidupan manusia. Ia mempertanyakan soal-soal yang terkait dengan kebaikan, moral, dan keadilan, serta menjadikan tema-tema itu bagian dari perdebatan yang menarik. Dalam konteks ini ia merumuskan semacam metode khusus yang disebut sebagai argumentasi dialektis (dialectical argument), atau secara khusus disebutnya sebagai elenchus yang berarti menguji (putting to test) atau pembuktian (refutation). Ia memberikan contoh metode itu, ketika ia berdebat dengan Meletus, salah seorang yang menuduh Sokrates melanggar hukum, dalam pengadilan Sokrates (the trial of Socrates).

Meletus mengajukan argumen A. Ia merasa benar karena ia adalah ahli di bidang itu. Sokrates menanggapi argumen itu, melakukan klarifikasi, dan memperluaas argumen yang diajukan Meletus. Setelah itu Sokrates meminta pendapat Meletus. Pada akhir argumen Sokrates berhasil membuktikan, bahwa argumen Meletus tidaklah konsisten. Sedangkan pengetahuan yang otentik haruslah konsisten. Pengetahuan yang otentik haruslah bebas dari kontradiksi diri (self-contradiction). Maka dari itu argumen Meletus sebenarnya tidak bisa diterima, karena tidak memiliki konsistensi dasar. Sokrates seringkali menggunakan gaya seperti ini untuk mengungkapkan kontradiksi di dalam argumen dari orang yang merasa dirinya paling ahli sekalipun, seperti para ahil agama, seorang jenderal, dan para guru retorika.

Kelihatannya Sokrates hanya suka mengungkapkan kesalahan dari argumentasi teman bicaranya. Akan tetapi itu tidak sepenuhnya benar. Memang ia ingin menunjukkan kelemahan argumen teman debatnya, tetapi juga ingin membantu teman debatnya untuk melakukan pencarian lebih jauh demi mendapatkan pengetahuan yang lebih tepat. Dengan kata lain Sokrates ingin mencegah teman debat atau bicaranya untuk puas dengan kebenaran palsu. Sokrates tidak ingin teman debatnya menipu diri dengan menganggap hal yang salah sebagai benar.

Tidak hanya dengan orang-orang yang merasa ahli, Sokrates juga banyak berdialog dengan orang-orang yang mencari kebenaran dalam segala bidangnya, terutama dengan anak muda. Ia membantu mereka merumuskan konsep secara tepat tentang hal-hal yang penting dalam kehidupan, seperti kebaikan, keberanian, dan kerendahatian. Sokrates yakin bahwa hidup yang baik didasarkan pada pengertian yang baik. Orang yang baik adalah orang yang sungguh mengerti apa artinya baik. Inilah yang disebut sebagai intelektualisme etis di dalam pemikiran Sokrates. Dan pengertian yang baik adalah pengertian yang bebas dari kontradiksi ataupun inkonsistensi. Orang bisa belajar banyak hal, jika ia mampu peka pada kemungkinan kontradiksi yang ada di dalam pikirannya.

Sokrates sangatlah tertarik berdiskusi soal keutamaan-keutamaan moral, seperti keberanian, kesetian, kejujuran, dan kualitas-kualitas yang memungkinkan persahabatan. Baginya sebelum orang masuk ke contoh, mereka harus dapat menjelaskan secara sistematis dan komprehensif tentang makna dari masing-masing keutamaan-keutamaan moral tersebut. Makna yang sistematis dan komprehensif tersebut dianggap Sokrates sebagai satu konsep yang mampu mencakup beragam tindakan yang didasarkan pada masing-masing keutamaan moral yang ada. Itulah yang disebutnya sebagai definisi universal (universal definitions) yang dapat digunakan untuk mengecek berbagai tindakan yang ada, apakah sudah sesuai dengan keutamaan moral atau tidak. Bahkan bisa juga dikatakan, bahwa Sokrates adalah pemikir pertama yang sangat tertarik pada definisi universal dari keutamaan-keutamaan moral manusia (universal definition of moral virtues). Metode pencarian definisi universal itulah yang kemudian dapat dianggap sebagai metode untuk memahami realitas khas Sokrates.

Yang juga menarik adalah, Sokrates tidak pernah merasa bahwa ia sudah mencapai pengertian yang universal dan terbaik tentang tema yang dibicarakannya. Sebaliknya pada akhir dialog, ia biasanya sampai pada kesimpulan, bahwa ia ternyata tidak akan dapat sampai pada kebenaran absolut. Pengetahuan yang absolut benar tidak pernah dapat didapatkan. Dan setiap dialog selalu diakhiri dengan pertanyaan lebih jauh. Walaupun merasa belum sampai pada kebenaran yang absolut, Sokrates mengakui, bahwa proses dialog telah membuat manusia lebih dekat pada kebenaran. Inilah inti dari metode elenchus di dalam pemikiran Sokrates.


[1] Untuk seterusnya saya mengacu pada Richard McKirahan, Routledge Encyclopedia of Philosophy, London, Routledge, 1998.

[2] Bdk, Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains, Jakarta, Grasindo, 2008.

[3] Untuk berikutnya saya mengacu pada Leonard Nelson, Socratic Method and Critical Philosophy, London, Yale University Press, 1949.

Mempersoalkan Kinerja Lembaga Publik

Mempersoalkan Kinerja Lembaga Publik

Reza A.A Wattimena

Salah satu pilar masyarakat demokratis adalah keberadaan institusi-institusi publik yang menggerakkan roda aktivitas masyarakat, seperti berbagai departemen, sekolah negeri, BUMN, dan lembaga-lembaga pelayanan milik pemerintah lainnya. Institusi-institusi itu mengatur lalu lintas perdagangan, pajak, kesehatan, pendidikan, keuangan, urusan luar negeri, dan sebagainya. Bahkan bisa dibilang masyarakat demokratis adalah masyarakat multi-institusi. Namun sekarang ini banyak pihak mengeluhkan kinerja lembaga publik yang cenderung birokratis, tidak efisien, dan korup.

Mengapa itu terjadi? Pandangan umum mengatakan bahwa ada tiga hal yang biasanya menjelaskan fenomena lemahnya kinerja lembaga publik. (Drucker, 1980) Yang pertama adalah bahwa para pimpinannya tidak bekerja sebagaimana layaknya para manajer bisnis. Cara berpikir mereka kurang businesslike.

Yang kedua adalah bahwa orang-orang yang bekerja pada lembaga publik adalah orang-orang yang tidak efisien. Mereka membutuhkan orang-orang baru yang bisa bekerja dengan cepat, efisien, serta tepat. Yang ketiga adalah karena tujuan dari lembaga publik seringkali sulit untuk diukur, sehingga sulit juga untuk memastikan, apakah lembaga publik itu sudah beroperasi secara tepat atau belum. Namun ketiga alasan itu adalah alasan semu yang lebih bersifat mitologis daripada faktual.

Lembaga Publik sebagai Lembaga Bisnis?

Pada hakekatnya lembaga publik bukanlah praktek bisnis. Praktek bisnis dicirikan oleh mekanisme kontrol atas pengeluaran. Dan tolok ukur pencapaian bisnis adalah kinerja dan hasil, yang kemudian dapat dikuantifikasikan dalam bentuk keuntungan (profit). Namun lembaga publik tidak bergerak dengan logika seperti itu. Menilai kinerja lembaga publik dengan tolok ukur praktek bisnis adalah kesalahan besar.

Yang dibutuhkan lembaga publik adalah fokus yang tepat atas kinerja mereka, sekaligus tolok ukur evaluasinya sendiri, yang tidak bisa disamakan begitu saja dengan praktek bisnis pada perusahaan-perusahaan swasta. Dalam arti ini lembaga publik memerlukan efektifitas. Efektifitas adalah kemampuan lembaga untuk bekerja secara tepat, sesuai dengan tujuan dasar berdirinya lembaga tersebut.

Fokus lembaga publik adalah pelayanan publik, dan bukan mencari keuntungan sebesar-besarnya, seperti yang menjadi tujuan dasar dari banyak praktek bisnis swasta di masyarakat. Mencampurkan keduanya hanya akan bermuara pada masalah yang lebih besar, yakni terbengkalainya pelayanan publik yang terkait dengan kehidupan orang banyak.

Kurangnya Orang Jenius?

Satu hal yang pasti, bahwa organisasi, apapun bentuknya, tidak boleh tergantung pada keberadaan satu orang jenius yang menjadi acuan dari semuanya. Lagi pula siapakah orang jenius itu? Apakah definisi dari jenius? Faktanya adalah banyak orang yang sebelumnya dianggap jenius, dan kemudian menduduki jabatan publik, pada akhirnya berakhir menjadi birokrat yang tidak berbeda dengan birokrat-birokrat sebelumnya.

Orang-orang cerdas yang memimpin banyak organisasi non pemerintah seolah kehilangan kecerdasannya, setelah menjadi salah satu pejabat publik. Dari sini seperti yang ditulis oleh Drucker, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa akar masalah bukanlah kurangnya orang hebat di dalam lembaga publik, melainkan sistem tata kelola lembaga publik itu yang bermasalah, yang menghabisi kreativitas maupun kecerdasan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Akan tetapi bukankah sistem juga dibentuk oleh manusia-manusia? Pada titik ini kita masuk perdebatan abadi mengenai agensi dan struktur. Saya tidak akan masuk lebih jauh.

Hasil yang Sulit Diukur?

Alasan ketiga adalah tujuan dan hasil lembaga publik sulit diukur. Pada titik ini patutlah diajukan pertanyaan, apakah ada tujuan dari praktek bisnis yang bisa diukur secara akurat? Perusahaan Sonny misalnya berkata, bahwa tujuan bisnis mereka adalah menciptakan perangkat elektronik untuk masyarakat luas. Perangkat elektronik macam apa? Masyarakat luas yang mana? Dibutuhkan usaha lebih untuk mengukur suatu tujuan perusahan bisnis tertentu.

Sekolah misalnya ingin mengembangkan kepribadian anak didiknya. Bagaimana mengukurnya secara akurat? Setiap organisasi apapun bentuknya harus menciptakan tujuan-tujuan yang jelas dan abstrak, supaya bisa menjangkau semua pihak yang ada, sekaligus melingkupi masa depan maupun masa lalu yang membentuk identitas organisasi tersebut. Yang konkret adalah strategi untuk mewujudkan tujuan tersebut. Hal ini berlaku baik untuk lembaga publik maupun praktek-praktek bisnis swasta lainnya.

Langkah pertama untuk meningkatkan kinerja lembaga publik adalah dengan membersihkan cara berpikir kita yang cenderung ingin menilai kinerja lembaga publik dengan tolok ukur penilaian praktek bisnis perusahaan-perusahaan swasta. Kita juga harus mulai berpikir, bahwa masalah utama bukan tidak adanya orang ‘jenius’ di dalam pejabat publik, tetapi sistem yang kacau yang membuat orang-orang yang bekerja di dalamnya tidak dapat berkembang. Dengan dua hal itu, para pejabat di dalam lembaga publik haruslah mulai bekerja secara tepat dengan mengacu pada tujuan lembaga itu didirikan pada awalnya. Masyarakat luas bisa terus membantu dengan melakukan kontrol dan memberi kritik yang membangun.***


Profesional

Reza A.A Wattimena*

Ciri mendasar masyarakat modern adalah kehadiran orang-orang yang memiliki keahlian mendalam pada satu bidang tertentu. Mereka disebut para ahli (experts). Bentuknya beragam mulai dari profesi guru, sekretaris, tukang listrik, tukang AC, pengacara, dokter, akuntan, manajer, apoteker, mekanik mesin mobil, dan sebagainya. Di dalam profesi-profesi tersebut terselip sebuah gelar yang mulia, yakni para profesional.

Apa konsekuensi menjadi seorang profesional di satu bidang? Pertanyaan itu semakin penting untuk diajukan, mengingat begitu banyak pekerja profesional di segala bidang sekarang ini yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) terkait profesi mereka. Misalnya seorang akuntan yang memalsukan pembukuan, seorang dokter atau perawat yang tidak mau bertanggungjawab atas kesalahan perawatan yang mereka berikan, seorang pengacara yang menggunakan argumen-argumen hukum untuk membebaskan orang yang terbukti bersalah, seorang dosen yang menggunakan statusnya untuk memeras mahasiswa, dan sebagainya.

Makna Profesi

Profesi adalah sebuah panggilan. Profesi tidak hanya sekedar seseorang belajar sampai level tertentu, lalu bisa disebut profesional, melainkan suatu panggilan untuk mengabdi pada kepentingan masyarakat secara keseluruhan, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Dari kata Inggris profess yang berarti menyatakan, seorang profesional juga menyatakan diri mau dan mampu untuk bekerja demi kepentingan orang banyak, dan bukan hanya berfokus pada kepentingan pribadinya sendiri. Ia adalah manusia-untuk-sesamanya (woman/man for others).

Apa artinya menjadi seorang profesional dalam bidang teknik sipil? Artinya adalah anda adalah orang yang memiliki kemampuan teknis dalam bidang teknik sipil, dan bersedia bekerja demi memajukan kehidupan bersama. Apa artinya seorang disebut profesional dalam bidang kedokteran? Artinya adalah anda memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk bekerja di bidang medis, serta siap untuk mengabdikan diri untuk mengembangkan kehidupan bersama.

Dua arti itu yakni keterampilan teknis dan pengabdian diri tidaklah boleh dipisahkan! Yang sekarang banyak terjadi adalah, dua hal itu dipisahkan, supaya si profesional, apapun bidangnya, bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, jika perlu dengan merugikan kepentingan bersama. Si profesional menjadi arogan karena keterampilannya, lalu melupakan tujuan awal dari profesionalitasnya, yakni pengabdian diri. Dalam konteks itu pengabdian dirikepada masyarakat digantikan menjadi pengabdian diri untuk mengembangkan diri sendiri.

Apa salahnya mengembangkan diri sendiri? Bukankah seperti yang pernah diajukan secara tegas oleh Adam Smith, filsuf moral dan bapak ekonomi, pengejaran kepentingan diri sendiri adalah bentuk naluri dasariah manusia yang tidak bisa dihindarkan? Tidak ada salahnya mengembangkan diri sendiri. Bahkan sebaliknya orang yang malas atau tidak mau mengembangkan diri sendiri justru akan berakibat negatif untuk dirinya sendiri dan orang lain.

Yang menjadi masalah adalah, ketika pengembangan diri itu menjadi tujuan utama, dan menghalalkan cara apapun untuk mencapainya, bahkan dengan merugikan orang lain. Pada titik ini kita perlu membedakan dua hal, tujuan (end) dan cara (means). Cara berpikir yang tepat adalah, bahwa pengembangan diri merupakan alat (means), dan pengembangan hidup bersama adalah tujuan (end). Dengan kata lain orang boleh mengembangkan diri sendiri semaksimal mungkin, sejauh pengembangan diri itu bisa memberikan kontribusi nyata bagi kebaikan masyarakat. Inilah esensi dari tanggung jawab seorang profesional, apapun bidangnya!

Krisis Profesionalitas

Apa yang saya jabarkan di atas adalah konsep normatif, yakni apa yang seharusnya terjadi (Das Soellen). Konsep di atas bisa digunakan untuk melihat situasi dunia profesional kita di Indonesia. Bagi saya pribadi situasi kehidupan para pekerja profesional di Indonesia tengah mengalami krisis, mungkin ini juga disebabkan krisis multidimensional yang masih menimpa kita sekarang ini. Saya menyebutnya sebagai krisis profesionalitas.

Apa tanda dari krisis tersebut? Dan mengapa krisis itu terjadi? Ada dua tanda yang jelas menandai krisis profesionalitas di negara kita. Yang pertama adalah semakin kurangnya keterampilan teknis maupun pengetahuan komprehensif pada ahli kita di bidangnya masing-masing. Hal ini menciptakan ketergantungan pada para ahli dari negara lain, sekaligus mengurangi kepercayaan diri pada ahli dalam negeri untuk berani bersaing di level internasional.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Setidaknya ada dua akar masalah. Yang pertama adalah banyak pemuda maupun pemudi yang menjalani pendidikan tidak memilih langsung bidang keahlian yang mereka tekuni. Mereka ditekan oleh lingkungan sosial untuk menekuni satu bidang yang sebenarnya tidak mereka sukai. Jamak ditemukan seorang anak yang sebenarnya tidak mau mengambil kuliah kedokteran, namun karena paksaan orang tua, ia kemudian terpaksa melakukannya. Akibatnya ia belajar tidak sepenuh hati, dan keterampilan maupun pengetahuannya sebagai dokter pun akhirnya juga tidak maksimal. Kasus yang serupa juga dapat ditemukan pada bidang keahlian lainnya.

Yang kedua adalah bangsa kita masih terpesona oleh segala sesuatu yang berbau Amerika Serikat dan Eropa. Antonio Gramsci menyebut keterpesonaan ini sebagai hegemoni, yakni penjajahan halus yang lebih mengutamakan rayuan daripada kekerasan. Akibatnya sebuah bangsa bisa tetap terjajah, walaupun mereka tidak menyadari, bahwa mereka sedang dijajah. Para ahli dalam negeri hampir tidak memperoleh kesempatan untuk membuktikan diri, karena mereka kalah bersaing dengan para ahli dari negara lain, terutama Eropa dan Amerika Serikat. Kedua sebab di atas, yakni keterpaksaan menekuni suatu profesi dan hegemoni Eropa maupun Amerika, saling berpaut tanpa bisa terpisahkan.

Tanda krisis profesionalitas kedua adalah, lemahnya integritas moral dan kesadaran akan pengabdian para pekerja profesional Indonesia hampir di semua bidang. Buktinya jelas yakni semakin banyaknya pelanggaran etika profesi yang dilakukan oleh para profesional, baik pelanggaran oleh dokter, akuntan, pengacara, dan sebagainya. Dan semakin banyaknya para pekerja profesional yang giat memperkaya diri sambil menipu dan merugikan kepentingan bersama. Tingkat korupsi yang tinggi, baik di perusahaan pemerintah ataupun swasta, adalah gejala permukaan dari semua masalah ini.

Mengapa begitu banyak pelanggaran etika profesi ini bisa terjadi? Setidaknya ada dua sebab yang bisa diajukan. Yang pertama terkait dengan kurangnya penghargaan terhadap para pekerja profesional di Indonesia. Penghargaan seringkali terjebak dalam retorika belaka, dan tidak menjadi bukti nyata. Pendapatan yang rendah adalah contoh nyata dari tidak adanya penghargaan terhadap para pekerja profesional. Orang yang paling baik di dunia pun bisa menjadi koruptor, jika untuk memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya pun ia tidak mampu.

Yang kedua adalah efek domino dari pelanggaran moral yang sudah seringkali terjadi. Apa yang dimaksud efek domino? Efek domino adalah efek menular. Biasanya argumen yang diajukan begini, “Karena semua orang melakukan korupsi, bahkan termasuk atasan saya, maka kenapa saya tidak melakukan korupsi juga?” Jadi orang melakukan penyalahgunaan jabatan bukan karena ia terjepit, tetapi karena ia terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya.

Orang sering lupa bahwa kejahatan adalah sesuatu yang menular, apalagi jika pelakunya adalah orang yang memiliki status terhormat. Orang menjadi tidak segan melakukan kejahatan, karena figur yang ia kagumi pun melakukannya pula. Tentu saja masalah mendasar disini adalah kurangnya integritas moral pelaku kejahatan, karena ia terpengaruh oleh lingkungan sosialnya. Namun faktanya adalah di Indonesia, para pelaku kejahatan menjadi tidak peduli pada tindakan mereka, karena tidak ada panduan dan figur yang bisa menggerakkan hati mereka untuk bertindak sebaliknya. Kejahatan pun menjadi tradisi.

Menegaskan Kembali Tanggung Jawab Profesional

Di hadapan rimba permasalahan di atas, teriakan untuk mengingatkan pentingnya tanggung jawab moral para pekerja profesional di Indonesia sangatlah masuk akal! Profesionalitas adalah panggilan untuk mengembangkan kehidupan bersama, dan bukan jalan pintas untuk memperkaya diri. Profesionalitas adalah panggilan untuk mengabdi, dan bukan untuk menipu! Profesionalitas adalah panggilan kemanusiaan, dan bukan panggilan untuk meraup uang ataupun kekuasaan sampai sepuas-puasnya!

Cara berpikir luhur di atas akan terjebak menjadi retorika belaka, jika tidak ditajamkan untuk menciptakan solusi nyata atas permasalahan yang ada. Setidaknya ada dua kemungkinan solusi yang bisa diajukan. Yang pertama berada di level konseptual, yakni soal penegasan makna etika di dalam kehidupan pekerja profesional. Yang kedua merupakan solusi praktis untuk memastikan para pekerja profesional tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan pengabdian di dalam pekerjaan mereka.

Yang pertama secara konseptual, etika adalah panggilan di dalam diri manusia untuk memahami apa yang baik dan apa yang buruk, serta kemudian hidup berdasarkan pengetahuan itu. Pada titik ini saya teringat apa yang dikatakan oleh seorang filsuf Jerman bernama Immanuel Kant sekitar 200 tahun yang lalu, bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan alat untuk tujuan lainnya. Tak berlebihan jika dikatakan, seluruh profesi manusia, apapun bentuknya, didasarkan pada pelayanan pada manusia lainnya sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat. Fokus dari profesi adalah manusia dengan segala kebutuhannya, dan bukan uang ataupun kekuasaan.

Saya ingin mengajak para profesional di berbagai bidang untuk mengingat kembali dasar profesi mereka, yakni sebagai pelayanan dan pengabdian untuk mengembangkan martabat manusia. Saya ingin mengajak para profesional untuk kembali ke dasar motivasi mereka untuk mengabdi, sebelum komersialisasi masuk menjadi cara berpikir yang dominan. Dan seperti yang sudah disinggung sebelumnya, alasan keberadaan para profesional adalah untuk mengembangkan hidup bersama. Sudah saatnya kita semua kembali ke tujuan awal profesionalitas itu.

Secara praktis pelanggaran etika profesi bisa dicegah, jika para konsumen, baik dalam bidang hukum, ekonomi, kedokteran, ataupun pendidikan, bersikap kritis terhadap para ahli. Dasar dari sikap kritis adalah keberanian untuk mengungkapkan kebenaran, terutama yang terkait dengan kehidupan bersama. Jika terjadi pemalsuan pembukuan dagang perusahaan, maka pegawai terkait harus berani mengadukannya ke wilayah hukum. Jika terjadi pelanggaran etis oleh dosen, maka mahasiswa harus berani menggugatnya.

Dalam satu satu seminar di Jakarta, F. Budi Hardiman menegaskan pentingnya keberanian sipil (civil courage) untuk memutus tali kejahatan yang ada. Keberanian sipil adalah keberanian kita semua untuk menggugat segala bentuk praktek profesional yang salah yang terjadi di Indonesia. Memang awalnya kebenaran itu menyakitkan. Akan tetapi kebenaran memiliki kekuatan yang membebaskan. Dalam konteks tanggung jawab profesional, pengungkapan kebenaran bisa mencegah kerusakan sistemik lebih jauh, yang dalam jangka panjang bisa merugikan banyak pihak yang tidak bersalah.

Sebagai lembaga pendidikan Universitas Widya Mandala, secara langsung maupun tidak, juga menjadi penyebab dari rendahnya kualitas para profesional di Indonesia. Namun UNIKA Widya Mandala masih bisa memilih, apakah akan tetap menjadi bagian dari masalah (part of problem), atau menjadi bagian dari solusi (part of solution)? Saya menyarankan agar kita semua mulai menjadi bagian dari solusi. Caranya sederhana yakni coba selipkan pendidikan etika menyangkut kesadaran moral di semua profesi yang terkait aktivitas pembelajaran di universitas. Tidak perlu menambah kuliah baru. Dosen cukup mengingatkan dua hal, yakni bahwa mahasiswa harus mencintai apa yang mereka pelajari, dan mengingatkan bahwa mereka nantinya akan menjadi abdi masyarakat, dan bukan semata pengejar harta ataupun kuasa.

Dua hal itu tidak hanya harus diajarkan di dalam ruang kuliah, tetapi juga menjadi praktek nyata di dalam manajemen universitas, sekaligus dalam perilaku para pegawai sehari-hari. Pendidikan juga adalah sebuah panggilan. Di dalamnya selalu terkait dua unsur, yakni pengetahuan yang mendalam, dan pengabdian diri. Mengutip apa yang dikatakan Bapak Uskup sewaktu berkhotbah pada misa ulang tahun Yayasan Widya Mandala Surabaya ke 51, “Jadikanlah kerja sebagai persembahan diri.” Jika sudah begitu uang dan kuasa akan mengalir dengan sendirinya, bukan dalam bentuk yang merugikan, melainkan dalam bentuk yang manusiawi. Marilah kita tetap bertekun dalam pengharapan dan pengabdian.***

*Pengajar di UNIKA Widya Mandala, Surabaya.

Catatan Pilpres Indonesia 2009: Mempersiapkan Politik Kebenaran

Mempersiapkan Politik Kebenaran

Reza A.A Wattimena

Pemilu adalah pesta demokrasi. Bahkan dapat pula dikatakan, bahwa pemilu adalah jantung demokrasi. Jika jantung tersebut rusak atau cacat, maka seluruh sistem lainnya juga akan rusak. Jika pemilu berlangsung dalam krisis dan cacat politik, maka dapat dipastikan situasi bangsa sekarang maupun di masa depan juga akan cacat secara politik.

Namun pada hemat saya, pemilu yang diselenggarakan 2009 ini sudah cacat bahkan jauh sebelum pelaksanaannya. Begitu banyak warga di Indonesia yang tidak memiliki identitas resmi, karena berbagai alasan, seperti tidak punya akte kelahiran, tidak punya orang tua sah, profesi yang tidak diakui secara sosial (pelacur misalnya), dan sebagainya. Akibatnya mereka tidak bisa memiilh, karena tidak punya hak legal untuk memilih. Retorika soal keadilan dan demokrasi radikal yang mencuat di televisi maupun media massa terasa hambar dihadapkan pada fakta sosial menyedihkan ini.

Di hadapan semua fakta dan keterbatasan demokrasi, saya menawarkan sebuah cara berpikir minimalis, yang disebut sebagai minus mallum. Cara berpikir juga banyak dikenal sebagai the doctrine of the lesser evil. Artinya pemilu di era demokrasi cacat di Indonesia adalah pilihan terbaik di antara beragam pilihan lainnya. Pilihan lainnya adalah menjadi negara otoriter berdasarkan agama, militer, gelar kebangsawanan. Namun semua itu tidak cocok dengan fakta keberagaman yang sudah inheren di dalam masyarakat Indonesia. Jadi demokrasi dengan berbagai cacatnya adalah jalan terbaik di antara ‘jalan-jalan’ lainnya yang tidak terlalu baik.

Berdasarkan cara bepikir minus mallum itu, saya berfokus pada tiga pertanyaan berikut, (1) apa yang membuat seseorang layak dipilih untuk memimpin bangsa Indonesia? (2) Apa arti kebenaran di dalam politik? (3) Apa yang perlu dipersiapkan oleh generasi muda untuk bisa mempersiapkan pemimpin masa depan yang bisa diterima oleh beragam kelompok yang ada di Indonesia?

Kebenaran di dalam Politik

Ada 3 pasang calon presiden dan wakil presiden yang sekarang ini bertarung di dalam pemilu presiden 2009 di Indonesia. Yang layak terpilih adalah mereka yang memegang kebenaran paling akurat di dalam dirinya. Akan tetapi apa itu kebenaran? Bagaimana memutuskan bahwa orang yang satu memiliki tingkat kebenaran lebih tinggi dari orang lainnya?

Ada berbagai cara untuk sampai pada kebenaran. Di dalam filsafat setidaknya ada tiga teori tentang kebenaran. Yang pertama adalah teori kebenaran korespondensi. Di dalam teori ini, kebenaran dipandang sebagai kesesuaian antara pikiran, perkataan, perasaan dan realitas yang sesungguhnya. Jika saya berpikir, berkata, dan merasa bahwa ada gelas di depan saya, maka gelas itu harus sungguh ada, dan dapat dibuktikan oleh orang lain.

Yang kedua adalah teori kebenaran koherensi. Artinya suatu pernyataan disebut benar, jika pernyataan itu masuk akal, dan memiliki keterkaitan logis dengan premis-premis yang membentuk pernyataan itu. Contoh teori kebenaran koherensi dapat dengan mudah ditemukan pada premis logika yang paling sederhana; jika Andi adalah orang Jawa, dan semua orang Jawa memiliki rambut hitam, maka Andi pasti memiliki rambut hitam.

Yang ketiga adalah teori kebenaran konsensus. Kebenaran adalah apa yang disepakati secara bersama sebagai kebenaran. Jika sekelompok orang duduk bersama dan sepakat bahwa mencuri itu tidak baik, maka pernyataan bahwa mencuri itu tidak baik adalah pernyataan yang benar. Kebenaran adalah apa yang disepakati sebagai benar oleh sekelompok orang tertentu, dan biasanya juga hanya berlaku bagi orang-orang yang berada di kelompok itu.

Pernyataan dan cara berpikir para capres dan cawapres juga bisa diukur dengan tiga teori ini. Apakah pikiran dan pernyataan mereka sudah sesuai dengan realitas yang ada? Apakah pikiran dan pernyataan mereka sudah masuk akal dan terkait dengan premis-premis yang membentuk pernyataan itu? Apakah pikiran dan pernyataan mereka sudah mencerminkan kesepakatan sosial yang sudah ada di dalam masyarakat? Jika tidak maka mereka tidak layak dipilih. Jika ya maka salah satu diantara mereka layak menjadi pemimpin. Atau gunakanlah cara berpikir minus mallum; carilah pemimpin yang paling baik di antara pemimpin lainnya yang tidak terlalu baik.

Kaderisasi Pemimpin Masa Depan

Jika ingin mempersiapkan pemimpin masa depan, maka kita sebagai bangsa haruslah secara sistematis menyingkirkan kecenderungan anti-kebenaran di dalam masyarakat. Pernyataan ini sejalan dengan argumen sebelumnya. Jika pemimpin yang layak dipilih adalah pemimpin yang memiliki tingkat kebenaran tinggi, maka para pemimpin masa depan haruslah dilatih dalam cara berpikir mendukung kebenaran, dan menghindari cara berpikir anti-kebenaran. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan cara berpikir anti-kebenaran?

Cara berpikir anti-kebenaran adalah cara berpikir yang menutupi kebenaran, tidak mengakui adanya kebenaran, dan menyalahpahami sesuatu yang tidak benar sebagai kebenaran. Setidaknya ada empat bentuk cara berpikir anti kebenaran, yakni korupsi-kebenaran, pragmatisme-ekstrem, etnosentrisme, dan konservatisme. Yang pertama adalah korupsi kebenaran, yakni tindakan yang secara jelas menutupi kebenaran demi mewujudkan kepentingan pribadi yang bersifat partikular. Dalam hal ini kebenaran dikorupsi menjadi sesuatu yang tidak bernilai, karena bisa digunakan untuk kepentingan apapun.

Yang kedua adalah pragmatisme-ekstrem. Pragmatisme adalah paham yang menyatakan, bahwa kebenaran adalah apa yang operasional di dalam realitas. Dalam hal ini kebenaran dipersempit menjadi semata-mata apa yang yang berguna. Jika sesuatu itu berguna, maka dianggap benar, dan sebaliknya. Yang ketiga adalah etnosentrisme, yakni paham yang berpendapat bahwa kebenaran hanya ada di dalam kelompok agama/ras-ku saja. Di luar itu tidak ada kebenaran. Yang terakhir ini bisa sangat merusak, ketika kelompok itu memaksakan pandangannya pada orang-orang yang memiliki pandangan berbeda.

Yang keempat adalah konservatisme, yakni cara berpikir yang memihak mutlak pada ‘tradisi’ yang sudah berjalan, dan menutup diri dari perubahan. Tradisi disini tidak harus tradisi suku ataupun agama, tetapi juga kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlangsung lama. Generasi muda haruslah dididik di dalam iklim pro-kebenaran, dan menghindari kecenderungan anti-kebenaran. Pemimpin masa depan adalah pemimpin bebas dari penyakit anti-kebenaran.***