Demokrasi dan Pendidikan Filsafat

metamorphosis 

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Roh dari demokrasi adalah argumentasi. Tanpa argumentasi tidak ada demokrasi. Argumentasi membutuhkan akal budi yang jernih. Tanpanya argumentasi sama saja dengan propaganda dan ucapan tanpa makna.

Akal budi yang jernih terbentuk melalui berfilsafat. Tanpa berfilsafat akal budi jatuh ke dalam pandangan umum yang jauh dari kreativitas. Tanpa berfilsafat akal budi akan kaku bagaikan es beku. Untuk memajukan demokrasi bangsa kita perlu membentuk tradisi pendidikan filsafat yang kokoh.

Roh Filsafat

Demokrasi di Indonesia masih dalam tahap prosedur. Mentalitas demokrasi yang otentik masih belum terbentuk. Kemampuan berargumentasi dan berdebat secara fair masih sekedar harapan tanpa kenyataan. Pembentukan mentalitas demokrasi adalah suatu hal yang mutlak, supaya demokrasi kita berkembang, dan mampu menciptakan keadilan dan kemakmuran yang merata.

Filsafat bisa memberikan sumbangan besar bagi perkembangan mentalitas demokrasi Indonesia. Filsafat pada intinya adalah soal menemukan dan mengembangkan Logos. Ada banyak makna untuk kata itu. Namun yang relevan untuk perkembangan demokrasi adalah logos sebagai akal budi.

Para filsuf awal memisahkan diri dari mitos. Mereka menggunakan akal budi untuk memahami dunia. Mereka juga menggunakan akal budi untuk hidup bersama. Roh dari filsafat adalah penemuan dan pengembangan akal budi di seluruh bidang kehidupan.

Demokrasi jelas membutuhkan tata kelola yang masuk akal. Itu hanya bisa dilakukan, jika warga masyarakat demokratis cukup memiliki logos. Tanpa logos tata kelola hanya menjadi semu. Roh dari demokrasi itu tidak tertangkap, karena masyarakatnya menjauhkan diri dari logos, dan tenggelam di dalam irasionalitas.

Filsafat bisa membantu orang menemukan dan membentuk logos. Oleh karena itu pendidikan filsafat sangat penting untuk perkembangan demokrasi. Sikap logos atau sikap masuk akal menjadi esensial di dalam pengambilan keputusan demokratis. Bangsa tanpa pendidikan filsafat yang kuat tidak akan bisa membentuk mentalitas dan tradisi demokrasi yang otentik.

Pembentukan Pola Pikir

Filsafat membantu orang membentuk pola berpikir. Berpikir adalah tindakan alamiah. Namun orang perlu berlatih untuk beripikir secara kritis, logis, sistematis, dan terbuka. Filsafat menawarkan itu.

Demokrasi jelas membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir kritis. Orang-orang itu tidak gampang percaya dengan segala bentuk pernyataan atau peristiwa, tanpa mengujinya secara mendalam terlebih dahulu. Orang-orang itu juga tidak terjebak mengambil kesimpulan yang tidak logis, yang pada akhirnya bermuara pada ketidakadilan. Para pembentuk masyarakat demokratis diminta mampu mengajukan pemikiran dalam bentuk lisan atau tulisan secara komunikatif; dapat dimengerti. Mereka perlu untuk berpikir sistematis.

Warga negara demokratis juga tidak boleh jatuh ke dalam fundamentalisme. Terlalu banyak kaum fundamentalis akan melemahkan masyarakat demokratis. Filsafat bisa mengajak orang berpikir dan bersikap terbuka pada dunia. Dalam konteks ini pendidikan filsafat yang mengajarkan keterbukaan berpikir itu sangat esensial untuk perkembangan demokrasi.

Dialektik

Filsafat mengajarkan orang untuk berpikir dialektik. Artinya orang diajarkan untuk berani mengambil posisi secara kritis dan rasional, kemudian berbeda pendapat dengan orang lain, tanpa jatuh ke dalam konflik yang merusak. Demokrasi adalah soal menjembatani kepentingan. Maka negosiasi dan dialog adalah instrumen utama pencegah konflik.

Dengan memperkuat tradisi pendidikan filsafat, orang bisa mengajukan pemikiran mereka secara jelas dan tegas, serta berdialog secara jujur dan kritis, tanpa perlu menyakiti atau tersakiti oleh perbedaan. Ini adalah mentalitas yang sangat penting untuk terlaksananya demokrasi. Tanpa mentalitas semacam ini, perbedaan kepentingan dan pemikiran bisa ditafsirkan sebagai permusuhan. Jika sudah begitu konflik pun tidak dapat dihindarkan.

Yang harus dilakukan adalah melenyapkan segala bentuk salah paham tentang filsafat. Filsafat itu tidak merusak, melainkan membebaskan kita dari kebodohan yang kita ciptakan sendiri. Filsafat itu hanya menakutkan untuk para pengejar kepentingan diri sejati yang menolak untuk hidup bersama dalam perbedaan. Untuk mereka yang merindukan kehidupan demokrasi yang sehat, yang bisa mengantarkan bangsa kita menuju keadilan dan kemakmuran yang merata, filsafat bagaikan air pemuas dahaga.

Tanpa filsafat argumentasi menjadi lemah. Tanpa argumentasi yang rasional, kritis, dan sistematis, demokrasi menjadi lemah. Tanpa demokrasi pemerintahan menjadi lemah. Jika pemerintahan lemah maka bangsa akan menjadi lemah. Jika sudah begitu kita akan ditinggalkan oleh seluruh dunia.

Pemerintah perlu mengembangkan pendidikan filsafat murni, bukan filsafat yang membenarkan agama atau politik tertentu, ke seluruh Indonesia. Hanya dengan begitu mentalitas demokratis bisa terbentuk. Demokrasi kita tidak perlu lagi aturan yang absurd dan membingungkan. Demokrasi kita membutuhkan sentuhan lembut namun tegas dari filsafat. ***

Gambar dari http://www.intentblog.com/archives/metamorphosis.jpg

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Meratapi Matinya Pendidikan

Technorati Tags: ,,

alphabet

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Berbicara tentang pendidikan di Indonesia tidak akan ada habisnya. Sejuta kritik dilontarkan. Namun semua tampak tak berguna. Praktek pendidikan tetap lepas dari visi dan misi dasar pendidikan yang sejati.

Meminjam kosa kata Syafii Maarif, dunia pendidikan Indonesia perlu siuman. Caranya sederhana. Para praktisi pendidikan dan semua orang yang terkait di dalamnya, termasuk orang tua murid, harus kembali memahami makna dasar dari pendidikan itu sendiri. Pemahaman tersebut kemudian menjadi nyata di dalam tindakan.

Situasi Kita

Setidaknya ada dua penyakit akut pendidikan Indonesia. Yang pertama adalah tiadanya paradigma pendidikan yang kokoh. Yang bercokol adalah kelatahan dan mental konformis. Kesemuanya menandakan matinya integritas pendidikan.

Pendidikan diorientasikan untuk mencari keutungan finansial. Segala variabel pendidikan pun diukur dengan pola pikir bisnis. Kustomisasi gelar yang tidak perlu menjadi barang dagangan yang laku. Pembelinya adalah konsumen-konsumen dangkal yang tertipu pasar.

Pimpinan institusi pendidikan tak ubahnya pedagang kacang. Mereka menjajaki kacang-kacang pendidikan di pasar manusia. Manusia pun kini seperti kacang. Mereka adalah komoditi yang siap dihisap untuk memperoleh uang. Para praktisi pendidikan mengalami krisis identitas.

Si pedagang kacang berpikir, bahwa pendidikan harus mengabdi sepenuhnya pada dunia kerja. Tuan utama pendidikan adalah industri. Maka manusia harus dicetak sesuai dengan kebutuhan industri. Siswa didik tak ubahnya seperti obeng atau tang pertukangan.

Mental pengecut adalah dasar di balik cara berpikir ini. Para praktisi pendidikan takut, bahwa mereka kehilangan relevansi. Semua pikiran dan tindakan mereka dibayang-bayangi rasa takut kehilangan kehidupan. Irasionalitas adalah buah dari ketakutan semacam ini.

Ketakutan itu memperbodoh. Ketakutan itu membuat manusia menjadi dangkal. Kebijakan yang keluar dari ketakutan lebih akan menghancurkan, daripada menyelamatkan. Tidak ada kejernihan di dalamnya.

Dua penyakit akut ini telah membunuh pendidikan Indonesia. Neoliberalisme telah menghisap roh pendidikan dari semua institusi pendidikan formal Indonesia. Pola berpikir link and match dalam pendidikan telah melenyapkan esensi pendidikan itu sendiri. Keduanya seperti kanker yang menggerogoti pikiran para praktisi pendidikan.

Pendidikan Indonesia tak ubahnya seperti kuburan. Semuanya sudah mati. Ratapan matinya pendidikan diikuti dengan hancurnya semua dimensi-dimensi kehidupan bersama. Karakter yang kuat menjadi barang langka. Mental pengecut menjadi trend yang menggejala.

Mengapa?

Praktisi pendidikan tidak mengerti arti pendidikan yang sejati. Mereka mendidik tanpa sungguh tahu, apa arti mendidik tersebut. Akibatnya aktivitas pendidikan menjadi percuma. Tidak ada manusia sejati keluar dari institusi pendidikan semacam itu.

Praktisi pendidikan juga tidak memikirkan secara mendalam makna profesi mereka. Mereka nyaman dalam genangan sanjungan dan uang. Kedangkalan jiwa tercermin dari gaya dan isi pembicaraan. Berpikir semata menjadi kegiatan teknis. Mereka pun tak ubahnya seperti robot.

Mereka terjebak dalam pola pikir rasionalitas instrumental. Artinya mereka hanya mampu berpikir teknis. Kemampuan berpikir substansial sudah mati. Jika hanya berpikir teknis, komputer dapat melakukannya jauh lebih baik dari manusia.

Manusia menjadi unik karena ia mampu berpikir secara substansial. Manusia juga menjadi unik, karena ia mampu berpikir reflektif. Para praktisi pendidikan kehilangan dua pola pikir tersebut. Mereka bagaikan perahu yang ikut arus menuju jurang kehancuran peradaban.

Jika praktisi pendidikan menjadi contoh yang buruk, bagaimana dengan peserta didiknya? Pernahkah bertanya mengapa sumber daya manusia kita sungguh jelek? Jawabannya spontan jelas yakni pendidikan yang tidak bermutu. Praktisi pendidikan yang tidak bermutu, yang tidak memahami esensi pendidikan, sebaiknya berganti profesi. Yang keluar dari mulutnya hanya omong kosong. Tak lebih dan tak kurang.

Mau Apa?

Para praktisi pendidikan harus mendalami filsafat pendidikan. Proses pendalaman harus dilakukan dengan tempaan waktu dan proses. Tidak bisa gerak instan. Lalu pemahaman filsafat pendidikan tersebut diterapkan di dalam kebijakan pendidikan.

Para praktisi pendidikan juga perlu menunjukkan integritas. Mereka tidak perlu latah diterpa arus jaman. Mereka tidak perlu takut mempertahankan nilai dan mutu manajemen mereka. Institusi pendidikan bukanlah bisnis. Maka tidak pernah boleh dikelola dengan pola pikir bisnis yang haus kapital.

Pendidikan adalah hak setiap orang. Menjadi praktisi pendidikan adalah berkah yang sangat terhormat. Pendidikan bukan barang dagangan. Seperti pula manusia bukan barang dagangan. ***

Gambar dari http://www.sde.ct.gov/sde/lib/sde/images/deps/alphabet.jpg

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya


Kota Tanpa Cita-cita

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Sebuah kota adalah fakta sekaligus cita-cita. Ia melibatkan kondisi nyata. Tetapi ia juga melibatkan harapan para warganya. Surabaya pun juga sama.

Mau kemana arah pembangunan kota Surabaya? Tujuan kota adalah kepentingan warganya. Yang dimaksud warga disini bukanlah sekelompok orang yang memiliki modal kuat atau otoritas politik yang gagah, melainkan seluruh warga, lepas status sosial, ekonomi, politik, suku, ras, maupun agamanya. Pemda harus memiliki totalitas untuk membangun Surabaya.

Kota Tanpa Cita-cita

Apa jadinya kota tanpa cita-cita? Yang terjadi adalah kota sebagai sarang kompromi bisnis semata. Kota menjadi sesak. Masyarakat tidak punya ruang publik dalam arti spasial. Masyarakat juga tidak punya ruang publik dalam arti sosial-politik.

Apartemen mewah yang tak terjangkau rakyat dan mall-mall mewah bertebaran di penjuru kota. Orang miskin tersingkir ke pojok untuk hidup dalam daerah-daerah kumuh. Inilah yang terjadi pada kota yang tanpa cita-cita. Retorika pejabat politis bertentangan dengan apa yang dilakukannya. Akibatnya kota pun kehilangan makna.

Kota menjadi ruang ekspresi kerakusan untuk semata mengeruk kekayaan dan mendaki gunung status sosial. Tidak ada solidaritas. Yang ada adalah kompetisi murni. Saingan adalah musuh yang mesti dilindas.

Kota menjadi kerajaan kerakusan. Kemegahan kota tidak didasarkan pada nilai-nilai luhur kehidupan, melainkan pada arogansi yang berbalut kehendak untuk mengeruk harta dan kuasa. Inilah kota yang tanpa cita-cita. Kota yang tak lebih dari sekedar ruang untuk merebut tanpa memberi, merengkuh tanpa mencintai.

Udara kota menjadi sesak. Udara fisik dipenuhi asap kendaraan dan pabrik. Udara mental dipenuhi asap dengki dan kerakusan. Orang tidak betah tinggal di dalamnya.

Secara fisik kota yang tanpa cita-cita tidak enak dilihat. Gedung mewah bersanding dengan perumahan kumuh tanpa ada bela rasa. Pemandangan ini tidak hanya mengganggu mata, tetapi juga membuat jiwa menjadi sesak. Kota tanpa cita-cita tidak sehat untuk penghuninya.

Kota yang tanpa cita-cita juga membuat penghuninya mengalami proses dehumanisasi. Ia kehilangan ciri kemanusiaannya. Ia kehilangan kebaikan hatinya. Yang tersisa adalah keganasan untuk meraup dan mengalahkan musuh.

Gas motor ditarik tanpa pikir. Pedal gas mobil diinjak untuk melibas sesama pengandara yang dianggap sebagai saingan. Orang bertingkah seperti binatang. Bahkan binatang pun lebih beradab dibanding penduduk kota tanpa cita-cita yang telah kehilangan sisi manusianya.

Kota tanpa cita-cita adalah ruang diskriminasi. Mobil mewah berkeliaran. Orang miskin susah cari makan. Semua itu menjadi kondisi biasa yang membutakan nurani.

Orang kaya berlomba memberi properti untuk memperkaya diri. Orang miskin kesulitan untuk mencari sesuap nasi. Yang tampak adalah ironi dalam bentuk diskriminasi. Para penghuni kota tanpa cita-cita sudah cacat nurani.

Totalitas pada Cita-cita

Pemda harus mencegah Surabaya menjadi kota yang tanpa cita-cita. Warga harus berperan serta secara aktif dan kritis untuk memberi kota yang tercinta ini makna yang sepatutnya. Diperlukan pendekatan yang holistik untuk mencipta sebuah kota. Paradigma holistik tersebut meliputi semua aspek kehidupan manusia yang menjadi ciri khas kemanusiaannya, termasuk di dalamnya budaya, politik, sosial, ekonomi, seni, dan agama.

Bidang-bidang tersebut harus menjadi fokus pemda dan warga untuk merangkai kota. Tidak boleh ada bidang yang dianaktirikan. Tidak boleh ada bidang yang dianak emaskan. Hanya dengan begitu kota (Surabaya) bisa bermakna bagi warganya.

Pemda dan warga perlu untuk total pada komitmen awal penciptaan kota, yakni untuk kesejahteraan semua penghuninya dalam arti yang menyeluruh, dan bukan bidang-bidang tertentu semata. Tidak lebih dan tidak kurang. Totalitas tersebut perlu dihayati. Totalitas tersebut perlu untuk mendarah daging di sanubari pemda dan warga.

Kita semua harus ingat untuk apa kita disini. Kita semua harus ingat untuk apa ini semua dibangun. Hanya dengan begitu kita bisa setia pada visi awal yang luhur. Hanya dengan begitu kita bisa membuat Surabaya sungguh bermakna. Yang juga berarti hidup kita semua menjadi bermakna. ***

Gambar dari http://skincitysl.com/sin_city_city.jpg

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Demokrasi dan Kesunyian Hati

silence use main

Demokrasi Indonesia terlalu ribut. Ribuan kata terucap. Namun sedikit yang menjadi nyata. Buih janji tersisa tinggal mimpi.

Ribuan argumentasi diajukan. Tiada yang meyakinkan. Yang tampak hanya arogansi. Hasilnya adalah kejenuhan demokrasi.

Demokrasi memang membutuhkan argumentasi. Namun argumentasi membutuhkan spiritualitas. Spiritualitas hanya bisa hidup di dalam refleksivitas. Dan refleksivitas terpelihara dengan baik di dalam kesunyian diri.

Demokrasi kita butuh diam sebentar. Bukan diam tanpa makna, melainkan diam untuk bercengkrama dengan kesunyian. Di dalam kesunyian kebenaran menjadi transparan. Kebenaran itulah yang membuat argumentasi menjadi bermakna.

Demokrasi dan Argumentasi

Nyawa demokrasi adalah argumentasi. Segala sesuatu menjadi tema pembicaraan. Beragam kepentingan yang berseberangan dijembatani dengan argumentasi. Kita berbicara maka kita ada, itulah diktum demokrasi.

Namun argumentasi berbeda dengan omong kosong. Argumentasi jelas berbeda dengan gosip. Argumentasi harus punya data. Argumentasi harus runut supaya bermakna.

Terlebih argumentasi harus berpijak pada permenungan. Di dalam permenungan refleksivitas terasah. Kemampuan untuk melihat diri dan orang lain secara kritis berkembang. Itu hanya bisa didapatkan, jika orang terbiasa di dalam kesunyian. Di dalam kesunyian cahaya kebenaran akan tampak.

Di Indonesia sekarang ini, kesunyian itu mahal. Orang berbicara tanpa makna. Kata-kata bertukar menciptakan kebingungan. Demokrasi terlalu ribut dengan kata.

Janji yang terluka adalah kisah demokrasi Indonesia. Politisi berbicara dengan mulut manis. Tapi itu pun hanya kata tanpa makna. Kejenuhan demokrasi terbaca di seluruh Indonesia.

Gosip lebih laku daripada argumentasi. Banyak keputusan politis didasarkan pada gosip, dan bukan pada nalar. Gosip membuat kata menjadi senjata yang menghancurkan.

Di indonesia permenungan adalah sesuatu yang langka. Orang melarikan diri dari permenungan. Mereka tidak tahan melihat diri mereka sendiri di dalam permenungan. Orang merindukan suara walaupun suara yang didengar hanyalah omong kosong.

Orang menenggelamkan diri pada rutinitas. Hari libur adalah musibah. Maka mereka keluar rumah untuk menghindari permenungan. Kedangkalan hidup adalah buah dari kemiskinan permenungan.

Tanpa permenungan tidak akan refleksivitas. Orang takut melihat diri mereka sendiri. Pikiran pun semata menjadi teknis dan birokratis. Tidak ada kreativitas. Yang ada hanyalah bussiness as usual.

Tak heran kita selalu ketinggalan. Tak heran kita selalu menjadi budak teknologi. Tak heran pula kita hanya menjadi pengikut, dan tak pernah menjadi pelopor. Inilah kutukan bangsa yang semata berpikir teknis. Bangsa yang tak mampu melihat dirinya sendiri. Bangsa yang tidak reflektif.

Melampaui Kata

Tidak adanya refleksivitas adalah akibat dari tidak adanya kesunyian hati. Seolah bangsa ini alergi dengan kesunyian. Televisi dinyalakan dengan volume tinggi. Radio berteriak untuk mengusir sepi. Orang berjoget untuk mengusir kegelisahan diri.

Politisi berkoar tanpa henti untuk mengusir ketidakberdayaan diri. Pemuka agama berkhotbah meyakinkan diri akan surga yang terus dinanti. Kesunyian hati dianggap sebagai perversi.

Tanpa kesunyian hati tidak ada refleksivitas. Tanpa refleksivitas tidak ada permenungan. Dan tanpa permenungan tidak akan ada argumentasi yang berarti. Tanpa ada argumentasi yang berarti tidak akan ada demokrasi. Tanpa itu semua kita berpotensi untuk kembali jatuh ke dalam tirani situasi.

Demokrasi kita perlu kesunyian hati. ***

Gambar dari

http://www.uni.illinois.edu//og/media/photos/d/35158-1/silence+use+main.jpg

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala, Surabaya

Ruang Publik: Melacak Jejak Partisipasi Demokratis

Image0447 Oleh: Para pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Universitas Parahyangan, dan Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya.

Buku ini mengajak Anda untuk melacak pemikiran tentang “kepublikan” (publicity) dan “masyarakat warga” (civil society) yang membentang mulai dari Plato pada zaman Yunani Kuno, melalui Abad Pertengahan sampai pada gagasan para filsuf modern. Konsep “ruang publik” kemudian dibahas dalam kaitannya dengan kapitalisme, pluralisme, feminisme, dan kebudayaan yang menjadi keprihatinan para filsuf kontemporer.

Sejak dibukanya kran demokrasi pasca kajatuhan Orde Baru, gerakan protes, gelombang demonstrasi, protes para facebookers di cyberspace maupun berbagai penyuaraan rakyat atas realitas sosial dan politik di negeri ini menyeruak secara bebas di ruang-ruang publik.  Lihat saja misalnya deretan kasus cicak-buaya KPK versus POLRI, skandal Bank Century, kasus dugaan malpraktek atas Prita Mulyasari kontra Omni Internasional maupun fenomena-fenomena lainnya. Peristiwa-peristiwa tersebut bisa kita dapati di berbagai media cetak dan elektronik, hadir menjadi lanskap sehari-hari dalam kehidupan politik Indonesia pasca reformasi.  Pada kenyataannya, suara publik (baca: rakyat) yang disuarakan itu, meskipun tidak selalu berhasil mempengaruhi jalannya pemerintahan, namun terbukti tidak jarang mampu mendesak para pemegang otoritas untuk merevisi kebijakan-kebijakan yang dipandang dalam “ruang publik” sebagai keputusan kontroversial.

Meskipun sangat lemah untuk menghadapi kekuatan-kekuatan birokrasi negara dan kepentingan-kepentingan industri media, kemunculan “publik” yang memberikan peran pengawasan terhadap pemerintah seperti yang terjadi dalam era reformasi ini menjadi begitu strategis. Di dalam era  yang menjunjung tinggi demokratisasi ini, pemerintahan tidak lagi bisa “bermain” sendirian di atas panggung kekuasaan. Pemerintah mau tidak mau harus memperhitungkan publik dan aspirasinya justru demi legitimatas atas setiap kebijakan yang dikeluarkan. Intinya, jika sebuah negara benar-benar ingin hidup dalam alam demokrasi, pemerintahnya harus membangun kanal-kanal komunikasi dengan publik.

Partisipasi rakyat disuarakan melalui corong demokrasi kebebasan berbicara itulah yang disebut sebagai ruang publik (public shpere) dalam literatur filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Keterlibatan rakyat secara luas dan bebas dalam panggung komunikasi politik dan partisipasi demokratis dalam konteks tersebut yang coba dijelaskan buku berjudul Ruang Publik; Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace ini.  Buku ini mencoba menawarkan jawaban berbagai dinamika persolan demokrasi dengan melacak persoalan partisipasi demokratis itu mulai dari zaman Yunani kuno, ketika demokrasi berlangsung dalam polis (negara kota), sampai pada masa cyberspace seperti saat ini. Secara sederhana, konsep “ruang publik” bertujuan mendorong partisipasi seluruh warga-negara untuk mengubah praktek-praktek sosial dan politik mereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif.  Sayangnya, seringkali opini umum yang dihasilkan lewat komunikasi dalam ruang publik  justru dikebiri oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.

Selama kekuasaan Orde Baru, komunikasi politik di Indonesia hampir tidak pernah memperlihatkan wujudnya yang utuh. Di antara gejalanya yang dapat kita lihat adalah adanya kenyataan terbelenggunya kebebasan berpendapat, termasuk keleluasaan berekspresi politik, sehingga tidak memberikan jalan yang memadai bagi tumbuhnya partisipasi politik secara bebas dan konstruktif. Bahkan, kekuatan sosial politik pun tidak mampu menembus kebekuan komunikasi politik. Partai politik yang ada lebih dari sekadar rerpresentasi alat kekuasaan ketimbang sebagai alat demokrasi bagi upaya menyalurkan aspirasi yang tumbuh dari bawah. Demikian pula kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya, cenderung menjadi subordinasi dari proses kekuasaan yang tengah berlangsung.

Image0449 Di Eropa abad ke-18, surat kabar memiliki peranan penting dalam membangun opini umum itu. Jika rezim komunis dan fasis yang menguasai suatu negara, mereka berkepentingan menunggangi media tersebut untuk melanggengkan kekuasaanya. Dengan menguasai opini dan ruang publik, pemilik pasar kapitalistik mengubahnya menjadi barang dagangan yang tunduk pada logika keuntungan semata. Ekspansi pasar kapitalis pada muaranya akan mencabik-cabik ruang publik itu dan menghapus ruang kritisnya dalam demokrasi dikarenakan komersialisasi opini publik (bab 7, hlm. 185). Habermas bahkan menyebut penguatan peran  penguasa dalam mengawasi ruang publik itu sebagai “refeodalisasi” ruang publik, kenyataan yang benar-benar berlangsung dalam rezim-rezim otoriter seperti Nazi Jerman, Komunisme Uni Soviet dan Orde Baru.

Bagi masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan, pengertian ruang publik sebagai arena komunikasi sejatinya bukanlah barang asing, karena dalam sejarah kebangkitan nasioanl yang dirintis oleh Boedi Oetomo, kita dapat menemukan berbagai asosiasi warga yang telah berhasil membangun solidaritas nasional yang melampaui suku-suku bangsa dan agama-agama di Nusantara. Surat-surat kabar, pos, forum-forum — berperan menjadi media yang efektif membangun opini umum yang pada gilirannya ikut mendorong solidaritas sebaga suatu bangsa.

‘Soempah Pemoeda’ pada 28 Oktober 1928 adalah bukti nyata buah embrio ruang publik dalam sejarah masyarakat Indonesia. Bangsa adalah – seperti dikatakan Ben Anderson – merupakan imagined community, komunitas rekaan. Rekaan tersebut tidak akan berdaya untuk merekatkan suku-suku yang terpisah-pisah jika tidak berasal dari opini umum yang terbangun di antara anggota komunitas itu.

Dengan gaya penulisan yang tajam, kuat, dan mengalir, tema-tema penting seputar dinamika ruang publik dalam alam demokrasi tersebut digali, diolah, direfleksikan, dan dipaparkan dengan sangat baik oleh para penulisnya. Selain menggunakan pendekatan filsafat dalam sebagai pisau analisisnya, pendekatan sejarah, teologi, seni, arsitektur dan sosiologi turut digunakan untuk memperkaya perspektif pembaca. Dengan berbagai pendekatan itulah di berbagai bagian buku ini, pembaca akan mendapatkan pemahaman bahwa ruang publik tidak hanya menjadi dominasi elit penguasa, pasar dan media massa-elektronik pun mengambil peran dominasi yang menggantikan peran“publik” itu sendiri (hlm. 269).

Dalam penyajianya, tulisan demi tulisan dalam buku ini meniscayakan bahwa demokrasi merupakan salah satu sistem yang dipilih karena mengakomodasi aspirasi politik yang menuntut keterlibatan sebanyak mungkin warga negara di satu sisi. Sementara di sisi lain, proses untuk bisa menyentuh partisipasi seluruh warga itu, akan bergantung pada fasilitas informasi dan komunikasi yang memungkinkan satu sama lain dapat berinteraksi. Buku ini tidak hanya membongkar secara komprehensif dan lengkap mengenai persoalan konseptual “ruang publik”, melainkan juga menyarankan jalan keluar yang diyakini dapat memberi “nyawa” kembali dalam memerdekakan ruang publik dari  himpitan pasar dan tirani kekuasaan. Selamat membaca!

*) Peresensi adalah Humaidy AS, Pustakawan Pada MTs Ali Maksum PP. Krapyak Yogyakarta dan Aktivis Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS).

Sumber dari http://oase.kompas.com/read/2010/06/17/04415722/Memerdekakan.Ruang.Publik

Filsafat Sebagai Jalan Hidup

Technorati Tags: ,,

buskers2
Google Images

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Indonesia adalah bangsa yang penuh dengan masalah. Masalah sosial mulai dari korupsi, kedangkalan ruang publik, sampai ketidakpatuhan hukum merajalela. Warga negaranya juga ditimbun dengan masalah pribadi, mulai dari krisis ekonomi sampai krisis identitas. Segala upaya dicoba tanpa terasa hasilnya.

Ada yang lenyap dari semua analisis masalah, yakni cara memaknai kehidupan. Problematik bangsa terlalu rumit untuk diselesaikan dengan pendekatan satu dimensi. Akar masalahnya bukan ketiadaan uang. Bangsa kita punya banyak sekali harta yang bisa dimanfaatkan.

Akar masalahnya adalah cara berpikir, dan cara memaknai hidup. Masalah material di Indonesia, mulai dari kemiskinan sampai korupsi, bisa lenyap dengan mengubah persepsi warganya tentang hidup. Filsafat bisa memberikan sumbangan besar dalam hal ini.

Klarifikasi

Filsafat bukanlah sesuatu yang abstrak. Ini adalah pendapat yang salah. Filsafat berangkat dari pergulatan hidup manusia di dunia. Maka refleksinya terkait erat dengan darah dan usaha manusia nyata.

Filsafat juga bukan soal ateisme. Filsafat mengajak orang beriman untuk memahami imannya secara tepat dan mendalam. Untuk itu kedangkalan hidup beriman harus dibongkar. Filsafat bisa menjadi palu yang efektif untuk tujuan itu.

Dengan filsafat orang beriman bisa menjalankan imannya secara otentik. Dengan filsafat orang beragama akan menjadi terbuka dan bijaksana. Dengan filsafat orang beriman bisa menemukan Tuhannya sebagai simbol kasih dan persaudaraan. Dengan filsafat agama menjadi hidup dan relevan untuk memaknai kehidupan.

Filsafat tidak hadir untuk menyesatkan. Filsafat mengajak orang untuk berpikir secara mendalam tentang hidup mereka. Hasil dari filsafat adalah cara berpikir yang mendalam dan tepat tentang kehidupan. Filsafat mencerahkan orang melalui pikiran dan tindakan, apapun profesi yang digelutinya.

Filsafat juga bukan hanya milik orang Eropa. Filsafat adalah dorongan dasar manusia untuk memahami dunia secara rasional dan sistematik. Filsafat hadir di sanubari setiap orang tanpa kecuali. Filsafat membuat hidup menjadi menggairahkan, bagaikan petualangan intelektual yang membahagiakan.

Jalan Hidup

Filsafat tidak melulu soal bergelut dengan buku-buku sulit. Filsafat bisa menjadi jalan kehidupan yang membahagiakan. Filsafat dimulai dengan pertanyaan yang mendasar tentang kehidupan, lalu dilanjutkan dengan penggalian yang seru dan menegangkan. Jalan hidup filsafat adalah jalan hidup yang penuh dengan petualangan.

Dimulai dengan pertanyaan, dilanjutkan dengan penggalian, itulah kiranya cara hidup orang yang berfilsafat, apapun profesi resminya, bisa tukang sayur, tukang buah, manajer, direktur, guru, akuntan, dosen, atau apapun. Orang yang berfilsafat akan berpikir rasional. Ia tidak mudah percaya mistik, ataupun pendapat-pendapat umum yang menyesatkan dan menggelisahkan. Ia tidak terjebak pada gosip ataupun rumor yang berkeliaran.

Orang yang berfilsafat menyampaikan pemikirannya secara sistematis. Tulisan dan pembicaraannya mudah untuk dimengerti. Ia runtut dalam berpikir. Ia runtut di dalam membuat keputusan. Ia akan menjadi orang yang komunikatif dan terbuka. Ia akan menjadi pemimpin yang bijaksana.

Orang yang berfilsafat tidak pernah puas pada kedangkalan. Ia selalu mencari yang lebih dalam di balik segala sesuatu, apapun profesi hidupnya, entah itu manajer, akuntan, guru, tukang sayur, dan sebagainya. Ia akan menjadi seorang wirausahawan yang cemerlang. Ia akan menjadi manusia yang berkualitas.

Orang yang berfilsafat percaya akan proses. Mereka bertekun dalam hening dan kesulitan untuk mencapai hidup yang dewasa, apapun profesinya. Orang yang berfilsafat percaya, bahwa kebaikan adalah suatu proses yang lambat dan berliku. Di dalam proses tersebut, ia akan bahagia.

Beragam masalah di Indonesia tidak akan bisa selesai dengan pendekatan-pendekatan teknis, seperti pendekatan ekonomi teknis, pendekatan politik teknis, pendekatan teknologi teknis, ataupun pendekatan budaya teknis. Beragam masalah tersebut bisa selesai dengan sendirinya, jika setiap orang Indonesia mau berfilsafat, yakni menjadikan filsafat sebagai jalan hidup, apapun profesi sehari-hari mereka. Jalan hidup filsafat menawarkan pencerahan yang menggairahkan.

Apakah anda siap merengkuhnya? ***

Gambar dari http://moreintelligentlife.com/files/buskers2.jpg

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala, Surabaya


Takut akan Kebebasan

fear

Oleh: Reza A.A Wattimena

Sejarah manusia dimulai dengan perjuangan untuk memperoleh kebebasan. Alam adalah musuh utama bagi para leluhur kita. Segala upaya dilakukan untuk menjadi mandiri terhadap alam. Peradaban pun tercipta.

Peradaban adalah sikap berjarak manusia pada alam. Ia adalah simbol kebebasan. Namun di dalam peradaban, manusia justru terjebak pada kecemasan. Ia menjadi takut akan ketidakpastian yang keluar dari rahim kebebasan.

Kelemahan Jiwa

Manusia-manusia kerdil selalu merindukan kebenaran absolut. Mereka tidak tahan pada ketidakpastian. Obsesi pada kebenaran absolut mengaburkan kerendahatian mereka. Yang lahir dari situ adalah arogansi semu.

Padahal kebenaran itu ada. Namun dia berproses di dalam lika liku sejarah. Kebenaran itu selalu historis. Ia tertanam dalam konteks pergulatan hidup manusia dan dunia.

Kerinduan akan kebenaran absolut merupakan simbol kelemahan jiwa. Jiwa yang lemah selalu mencari fondasi mutlak. Jiwa yang lemah tidak kuat bertahan di tengah badai. Padahal hidup itu sendiri adalah badai. Fondasi adalah kontruksi pikiran manusia yang begitu mudah lenyap diterpa peristiwa.

Yang bijaksana adalah kemampuan membangun fondasi secara cair. Fondasi hidup manusia haruslah fleksibel. Kemampuan hidup secara cair dan fleksibel adalah simbol kekuatan jiwa manusia. Sikap fleksibel membuat manusia mampu bertahan di tengah badai kehidupan yang paling keras sekalipun.

Maka yang dibutuhkan adalah kemampuan menerima dunia apa adanya. Dunia yang penuh ketidakpastian. Dunia yang penuh dengan badai. Dunia yang selalu berubah dan selalu meloloskan diri dari genggaman pikiran dan kepastian.

Tradisi Kebebasan

Manusia juga perlu yakin, bahwa kebebasan akan melahirkan tradisinya sendiri. Kebebasan tidak perlu ditakuti. Ia justru harus dirawat dengan penuh dedikasi dan kesabaran. Kebebasan akan merangkul keragaman, dan membuat peradaban menjadi bersinar.

Hanya orang pengecut dan lemah yang takut pada kebebasan. Hanya kaum medioker-dangkal yang tidak tahan pada badai ketidakpastian. Penghormatan pada kebebasan akan menciptakan kedewasaan. Proses yang ditempuh memang lama. Namun buahnya akan sangat mengagumkan.

Kebebasan akan melahirkan dialektika. Yang perlu dilakukan hanyalah memberi ruang bagi tegangan dan dialektika. Perencanaan harus memberi tempat bagi penyimpangan. Begitu pula pemikiran harus memberi ruang pada anomali.

Sikap menghormati kebebasan adalah bukti kebijaksanaan. Sikap menghormati ketidakpastian adalah tanda kearifan. Sikap cair menghadapi kehidupan adalah tanda kedewasaan. Sikap menjauh dari kemutlakan adalah tanda kerendahan hati.

Mungkin yang diperlukan adalah kebaikan hati, dan bukan kebenaran. Seperti yang ditulis Ayu Utami di dalam novelnya Bilangan Fu, kebenaran itu terlalu berat untuk manusia yang fana ini. Yang cukup bisa kita tanggung adalah kelembutan. Mungkin pada akhirnya kelembutan dan kebaikan hati jauh lebih penting dari pada kebenaran itu sendiri.

Hanya di dalam kelembutan, kebebasan bisa bermukim, dan membentuk tradisinya yang gemerlap. Karena hanya di dalam kelembutanlah, kekuatan yang sejati bisa tampak.***

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Gambar dari http://www.freeuni.edu.ge/shortprograms/blog/wp-content/uploads/2008/12/fear.gif

Jika ada Tuhan, Mengapa ada Kejahatan dan Penderitaan?

Dark-Evil-41164

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

“…Dihadapan penderitaan yang sejak berabad-abad melimpah diatas dunia ini,

ajaran agama Kristiani tentang Allah yang mahakuasa dan maha baik

tidaklah meyakinkan…”[1]

Max Horkheimer

Bentuk ateisme yang paling sering ditemukan dewasa ini adalah penolakan adanya Tuhan berdasarkan fakta adanya penderitaan yang dialami manusia. Penolakan itu mendasarkan diri pada satu titik, yakni jika Allah, dengan segala kualitasnya yang serba Maha-, sungguh ada, mengapa ada penderitaan yang dialami oleh manusia? Penderitaan tersebut bukan hanya dialami oleh manusia karena kesalahan mereka sendiri, tetapi oleh manusia-manusia yang notabene tidak bersalah, seperti anak-anak kecil, dan sebagainya. Tulisan ini mau memaknai pemahaman filosofis macam itu dengan pendekatan yang lebih bersifat eksistensialis. Artinya, eksistensi Tuhan tidak dipahami sebagai sebuah entitas yang ikut campur secara langsung di dalam pergulatan dunia manusia, melainkan Tuhan sebagai entitas yang membantu manusia untuk mengintegrasikan penderitaannya ke dalam keseluruhan pengalaman hidupnya sebagai manusia, sehingga penderitaan tersebut tidak membuat manusia menjadi runtuh, melainkan semakin matang sebagai manusia yang dewasa. Tesis ini mungkin masih mengundang pertanyaan lebih jauh. Akan tetapi, tesis ini, pada hemat saya, bisa memberikan kontribusi pada diskursus tentang eksistensi Tuhan dan penderitaan manusia. Selamat mengikuti.

“…Saya tidak akan berpanjang-panjang, tetapi saya akan berbicara sekeras dan segigih mungkin. Kejahatan ada. Ini adalah sebuah fakta. Dengan membabi buta ia membabat baik yang tak bersalah maupun yang bersalah. Ia menimpa anak-anak. Itu saja. Itu cukup. Masalahnya telah beres. Tak ada apapun atau seorang pun yang akan membebaskan Allah dari derita anak kecil, si buyung yang tidak bersalah; betul, tidak ada, selain fakta bahwa ia tidak ada…”[2]

Ingatan kita masih segar atas bencana tsunami yang menelan begitu banyak korban, baik itu materi maupun jiwa, di Aceh Desember 2004 lalu. “…Diantara segala kepiluan, kebalauan, dan kepanikan melakukan apa saja yang mungkin dalam menghadapi katastrofi dasyat, sebagaimana gempa dan tsunami di Aceh Desember 2004 lalu, biasanya selalu mendekam pertanyaan besar; apa mau Tuhan dengan semua ini…” tulis Haidar Bagir dalam salah satu artikel di Kompas.

Jauh sebelum itu, tahun 1940-1945, di Jerman, sekitar 6 juta orang Yahudi tewas di dalam kamar gas atas perintah Hitler. Begitu banyak tragedi di masa silam, yang terjadi menimpa manusia. Pengalaman-pengalaman negatif tersebut sungguh membekas dalam benak kolektif kita sebagai manusia.

Menyimak begitu banyak fakta negatif penderitaan dalam hidup manusia, kita mungkin bertanya-tanya, dimana Tuhan, yang diyakini Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Kasih, ketika penderitaan berdarah tersebut terjadi? Pertanyaan itulah yang merangsang keheranan saya ketika pertama kali menulis paper ini. Berbagai argumen dan kontra argumen telah diajukan. Tapi, itu semua tidak dapat memuaskan keheranan dan rasa ingin tahu yang ada di dalam diri saya. Rasa heran, terkejut, sedih atas nasib manusia yang serba tidak jelas, atas fakta adanya manusia yang mampu melakukan kejahatan yang begitu besar, sehingga menciptakan penderitaan yang juga begitu besar bagi manusia lainnya. Keheranan dan keterkejutan akan melimpahnya kejahatan dan penderitaan yang ada di muka bumi ini mendorong saya untuk mempertanyakan kemahakuasaan Allah, kemaharahiman Allah. Mungkinkah ada Tuhan yang membiarkan adanya penderitaan di dunia ini? Jika kita menempatkan seluruh pertanyaan tersebut dalam konteks filsafat, pertanyaan tersebut menyangkut masalah teodisea, yakni masalah bagaimana memahami sifat keadilan Allah berhadapan dengan fakta adanya penderitaan.

Di sisi lain, kita dapat saja berpendapat bahwa penderitaan bukanlah sesuatu yang cukup penting untuk direfleksikan, apalagi kalau dikaitkan dengan pertanyaan tentang Tuhan. Setidaknya begitulah yang dikatakan oleh Rabbi E. Davidovic ketika ia di Auschwitz diajukan pertanyaan mengapa. Ia berkata, “…tidak. tidak. Saya sama sekali tidak berpikir tentang apa pun. Disana kami tidak berfilsafat. Kami hanya berupaya: bagaimana kami masing-masing dapat bertahan dari hari ke hari…”[3] Bagi dia, satu-satunya reaksi yang dapat dianggap sah ketika manusia berhadapan dengan penderitaan adalah berjuang memeranginya. Ketika tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, sang penderita haruslah bertahan dalam solidaritas dengan mereka yang menderita, itu tentunya kalau dia mau bertahan terus dalam penderitaannya. Walaupun begitu, peran refleksi dalam konteks ini tetaplah penting. Refleksi filosofis tentang penderitaan sama sekali tidak mau menggantikan peran praksis. Refleksi memiliki sumbangannya sendiri. Hal itu tentunya juga demi praksis yang lebih manusiawi dan konsisten. Peran refleksi tidaklah tergantikan, terutama ketika orang berhadapan dengan fakta adanya penderitaan.

Dari sudut teologi, persoalan teodisea sudah dibuka ketika kita membaca penderitaan yang dialami oleh seorang yang saleh. Orang itu adalah Ayub. Ayub berseru, “…Aku telah bosan hidup,…Aku berseru minta tolong kepadaMu, tetapi Engkau tidak menjawab; aku berdiri menanti, tetapi Engkau tidak menghiraukan aku… Anak panah dari Yang Mahakuasa tertancap dalam tubuhku… semuanya itu sama saja, itulah sebabnya aku berkata: Yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-duanya dibinasakanNya…”[4]

Epikuros merumuskan problem ini dengan, pada hemat saya, baik sekali. Dia menulis, “…Atau Allah mau meniadakan kejahatan tetapi Ia tidak dapat, atau Ia dapat tetapi tidak mau, atau IA tidak mau dan tidak dapat, atau Ia mau dan dapat melakukannya. Jika Ia mau, tetapi tidak melakukannya, berarti Ia lemah, tetapi itu tidak sesuai dengan hakekat Allah. Jika Ia dapat melakukannya, tetapi tidak mau, berarti Ia buruk hati; tetapi ini pun tidak sesuai dengan hakekat Allah. Jika Ia tidak mau dan tidak dapat, berarti Ia sekaligus buruk hati dan lemah; tetapi kalau begitu Ia bukan Allah. Bila ia mau dan dapat – memang begitulah seharusnya Allah- maka dari manakah asalnya kejahatan, dan mengapa Ia tidak menghapuskannya?”[5] Dengan ini, fakta bahwa penderitaan merupakan batu sandungan paling berat bagi mereka yang mau percaya kepada Allah tidak dapat diragukan lagi.

Filsafat sudah sejak lama bergulat dengan masalah ini. Dalam bukunya, Leahy berpendapat bahwa fakta bahwa dalam dunia ada kejahatan dan penderitaan merupakan sebab utama orang menjadi ragu-ragu apakah memang ada Allah yang baik, yang menciptakan dan memelihara alam raya dengan manusia yang ada didalamnya.[6] Seluruh masalah eksistensi Allah dan penderitaan manusia ini dapat dirangkum dalam satu pertanyaan, apakah sebab yang mendorong Allah untuk membiarkan adanya kejahatan dan penderitaan merajalela dalam dunia, yang kita percayai diciptakanNya?[7]

Leibniz menyebut masalah ini sebagai masalah teodisea. Kata teodisea ini berasal dari kata theos yang artinya Allah, dan dike yang artinya keadilan. Secara singkat dapat dirangkum sebagai, masalah pembenaran keadilan Allah. Mengapa kita mempersoalkan keadilan Allah dihadapan sidang manusia? Karena Allah dipahami sebagai pencipta alam raya bersama dengan manusia dan seluruh isinya, serta bertanggung jawab penuh akan dinamika dan keselamatan ciptaanNya. Pemahaman seperti itu tentunya bertabrakan dengan fakta bahwa ada begitu banyak kejahatan, keburukan, penderitaan yang berlangsung di dalam alam ciptaanNya itu, terutama yang dialami oleh mereka-mereka yang tak bersalah. Hal inilah yang sesungguhnya menjadi masalah utama. Apakah fakta seperti itu adil? Apakah Allah bisa dibilang maha adil jika Ia membiarkan kejadian-kejadian negatif tersebut terjadi?

Inti masalah penderitaan sebenarnya sudah sangat sempurna dirumuskan oleh Epikuros dalam kutipan diatas. Solusi atas masalah penderitaan juga tidak bisa begitu saja dilemparkan kepada manusia. Manusia tidak pernah dapat sempurna dalam melakukan suatu tindakan yang positif, selalu ada pamrih, ada kelemahan, ada kekurangan di berbagai celah. Manusia terbatas dalam kemampuan fisik, dalam kejernihan berpikir, dalam kedewasaan emosional, dan sebagainya. Oleh karena itu, manusia tidak akan pernah menjadi sempurna dalam semua tindakan yang dilakukannya. Hal itu tentunya berbeda dengan hakekat Allah. Allah, kalau dia memang ada, tidak terbatas sedikit pun. Dalam konteks inilah para filsuf, dalam kesepakatan dengan para teolog agama-agama teistik, sejak semula sudah menyetujui bahwa Allah itu adalah maha-tahu, maha-kuasa, maha-adil, maha-kasih, dan sebagainya.[8]

Dari titik inilah lahir pertanyaan, mengapa ada penderitaan? Apakah Allah tidak dapat mencipta dan mengembangkan manusia tanpa menyiksa manusia itu sendiri? Apakah Allah tidak dapat menciptakan alam semesta tanpa penderitaan? Apakah IA tidak dapat, atau tidak mau? Keduanya tidak dapat dibenarkan. Jack Miles merumuskan masalahnya begini, adanya penderitaan di dunia ciptaanNya merupakan masalah Allah yang paling besar.[9]

Persoalan tersebut semakin mendesak dengan nyatanya fakta bahwa begitu melimpahnya penderitaan yang ada di dalam dunia.[10] Hal itu juga bisa berarti, mengapa ada orang atau kelompok tertentu yang tertimpa penderitaan tanpa dapat mengalami hal positif sama sekali. Artinya, terlalu banyak penderitaan yang terjadi pada orang-orang yang tidak bersalah, terlalu banyak darah yang dicurahkan secara sia-sia oleh penderitaan. Fakta tersebut semakin mempersulit untuk menjelaskan mengapa Allah, yang diyakini maha-kuasa dan maha-kasih, membiarkan kejahatan dan penderitaan seperti itu berlangsung.

Yang harus diperhatikan adalah, bahwa masalah pembenaran keadilan Allah ini tidaklah muncul di lingkungan semua agama. Bagi masyarakat yang menganut pandangan dualisme, kita dapat melihat adanya prinsip baik dan prinsip buruk, sehingga penderitaa memang harus diandaikan ada. Masalah teodisea hanya muncul jika Allah dipahami sebagai realitas personal-dialogal, dan bila setiap orang secara personal memiliki nilai pada dirinya sendiri di hadapan Allah maupun manusia lainnya. Eksistensi penderitaan menjadi masalah ketika Allah dipahami sebagai realitas yang peduli pada manusia, yang adil, yang berbelas kasih, yang membebaskan, yang suka mengampuni, yang menyembuhkan. Atas dasar penghayatan Allah sebagai realitas yang menyelamatkan dan menyembuhkan inilah penderitaan atas manusia-manusia yang tak bersalah semakin tidak dapat dimengerti.

Berbagai Argumentasi yang Menolak Eksistensi Allah

Kalau kita mau menyimpulkan, perjalanan teodisea pada jaman modern akan bermuara pada penolakan secara radikal eksistensi Allah. Penolakan itu dilakukan lebih atas dasar kepantasan moral dari sudut pandang manusia. Bertitik tolak dari itu, Emmanuel Levinas mengatakan, “…kelemahan dan ketidakmahakuasaan Tuhan disini memiliki korban manusia yang sangat banyak. Pantaskan kita mengatakannya demikian?…Tahukah anda, saya tidak mengerti perihal kemahakuasaan Allah, sekarang ini, setelah Auschwitz… kataku: harganya terlalu mahal, dan korban itu bukanlah Allah, melainkan kemanusiaan… kenosis dalam ketidakmahakuasaan ini memakan terlalu banyak korban manusia…”[11]

human_suffering_142 Argumentasi yang senada, menolak kepantasan moral Allah, juga dapat kita temukan pada tulisan Ernst Bloch. Bagi Bloch, kisah Ayub dalam kitab suci dapat dimengerti sebagai sebuah pesan bahwa seorang manusia melampaui Allahnya karena kesadaran moralnya bertahan di hadapan Allah, yang notabene adalah hakim yang meragukan. “…Dalam kitab Ayub mulailah sebuah pembalikan nilai yang luar biasa…: seorang manusia dapat lebih baik, dapat berperilaku lebih baik daripada Allahnya… Kesadaran moral Ayub bertahan dihadapan Yahwe, Hakim yang meragukan…seorang manusia melampaui, ya mengatasi Allahnya (dari kaca mata moral), itulah logika kitab Ayub…”[12] Bloch ingin menegaskan bahwa setelah Ayub, setiap bentuk argumentasi pembenaran atas keadilan Allah menjadi meragukan. “…Allah yang sungguh-sungguh mahakuasa dan mahabaik tidak akan berdiam diri dan nampak lelah dan lemah. Baik terhadap pendosa, apalagi, sebagaimana ditunjukkan oleh Ayub- terhadap mereka yang benar dan adil…”[13] Apakah Allah dapat disebut kudus dan suci kalau ia, secara moral, lemah? Dapatkah Allah yang secara moral lemah dan ragu-ragu, tidak cukup tegas memihak yang lemah dan menderita, menjadi Allah bagi manusia?

Jawaban atas berbagai argumentasi diatas cukup jelas, bahwa Allah telah kehilangan kepantasannya untuk dipercaya di mata manusia, karena Ia berdiam diri ketika penderitaan terjadi di depan mataNya. Hal itu bertentangan dengan hakekatNya yang mahakuasa, Ia ternyata tidak mampu atau tidak mau mencegah ketidakadilan terhadap mereka-mereka yang tak bersalah, tidak mampu menghapuskan penderitaan. “…penolakan untuk melakukan intervensi sungguh tidak bermoral. Kendati saya ini mahluk terbatas, namun saya lebih bermoral daripada Dia, karena saya berontak terhadap situasi semacam itu. Sama saja kalau dikatakan bahwa IA tidak ada, sebab Allah yang tidak bermoral itu sama dengan ketiadaan Allah…”[14] Di titik inilah Stendhal merumuskan sebuah diktum termasyur yang konon membuat Nietzsche iri, “…Satu-satunya alasan untuk memaafkan Allah adalah dengan menegaskan, bahwa Ia tidak ada…”[15] Odo Marquard juga bependapat searah dengan Stendhal, bahwa demi kemuliaan Allah, sebaiknya Ia tidak ada saja. Dalam konteks ini sebenarnya mau ditegaskan bahwa yang menjadi subyek sejarah bukanlah Allah, melainkan manusia. Ini adalah konsekuensi logis dari optimisme modernitas pencerahan atas konsep emansipasi dan otonomi manusia. Manusia modern dengan otonomi dan rasionyalah, dan bukan Allah, yang akan membawa sejarah manusia menuju kesempurnaannya, yakni penghapusan segala bentuk penderitaan. Leahy merangkum gerak teodisea modern itu dengan baik sekali, “…Rasa berontak terhadap kejahatan telah menyebabkan orang menyangkal Tuhan, justru karena mereka percaya akan kemutlakkan kebaikan moral itu sendiri…” Leahy juga menambahkan, “…sedemikian transendenlah nilai moral itu, sampai orang ateis lebih suka menyangkal Allah daripada menlihat nilai moral berkompromi dengan kejahatan…kewajiban itu sedemikian kuatnya, sehingga orang merasa perlu menyangkal Allah atas nama kewajiban itu…”, dengan kata lain, “…seseorang menyangkal Allah untuk tetap setia kepada kemutlakkan nilai moral tersebut…”[16] Begitulah problem pembenaran keadilan Allah dapat diatasi dengan menghilangkan salah satu premis dasarnya, yakni eksistensi Allah. Dengan demikian, Allah telah mati.

Pertanyaan menentukan berikutnya adalah, apa yang terjadi setelah Allah mati? Pertanyaan tersebut semakin mendesak ketika dihadapkan pada fakta bahwa penderitaan ternyata tetap ada, bahkan penderitaan tersebut tampil dalam bentuk yang baru dan lebih mengerikan? Dengan menyatakan bahwa Allah telah mati, permasalahan teodisea tidak otomatis terselesaikan, manusia tidak otomatis terbebaskan. Ketika Allah dinyatakan mati, manusia kehilangan tempat tujuannya untuk berkeluh kesah, manusia kehilangan tempat untuk mendapatkan penghiburan dalam menghadapi penderitaan yang terjadi di dalam hidupnya. Siapa kini yang bertanggung jawab, setelah Allah disingkirkan, atas segala penderitaan yang tetap melimpah dalam sejarah manusia ini? Pencerahan telah membawa manusia untuk menempati tahta yang dulunya dipegang oleh Allah. Dengan paham emansipasi dan kebebasan, manusia kini berdiri sebagai subyek dari sejarah, dialah yang bertanggung jawab atas segala penderitaan, dan juga kemajuan kualitas kehidupan manusia yang terjadi di muka bumi ini. “…dengan demikian situasinya menjadi cukup pelik, bahkan tidak menentu lagi. Kemutlakan yang ilahi diganti dengan kemutlakan yang manusiawi, tapi zat mutlak baru ini tidak berdaya berhadapan dengan kejahatan, karena kejahatan itu sedemikian menggunung sehingga menimbulkan kekagetan dan rasa berontak…”[17] Manusia, yang kini menduduki tahta Allah itu, ternyata, “…sama sekali tidak memadai untuk menghadapi masalah kejahatan yang merupakan skandal: sebab manusia sama sekali bukan korban kejahatan tetapi juga pelaku kejahatan…”[18] Mungkin benar kata Nietzsche, tindakan kita membunuh Allah adalah tindakan yang terlalu besar bagi kita.

“…kemana sekarang dunia ini bergerak? Kemana kita bergerak? …Masih adakah atas dan bawah? Tidakkah kita menjadi tersesat dalam ketiadaan yang tanpa batas? Tidakkah kita terjerat di dalam ruang yang kosong? Tidakkah dunia kita menjadi lebih dingin? Tidakkah malam-malam kita menjadi lebih gelap?…bagaimana kita sang pembunuh Allah menghibur diri kita sendiri? Yang mahasuci dan mahakuasa yang sampai kini dimiiki dunia, telah berlumuran darah karena pisau kita…tidakkah perbuatan ini terlalu besar untuk kita? Tidak ada perbuatan yang lebih besar?…” demikian tulis Nietzche.[19]

Filsuf yang banyak membicarakan tema ini adalah Albert Camus. Bagi dia, hidup di dunia ini sangatlah terbatas, bahkan bisa dikatakan bahwa hidup ini absurd. Akan tetapi, absurditas hidup itu sama sekali tidak boleh dihadapi dengan keputusasaan, sebaliknya hidup harus dihadapi dengan sikap heroik. Harus diakui, kita bisa saja mengatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah mitos-mitos dimana begitu banyak kenyataan pahit yang menimbulkan penderitaan disembunyikan. Sejak abad ke-18, hilangnya mitos-mitos itu telah membawa perubahan besar pada seluruh cara manusia memandang dunianya, karena kematian kini menjadi tanpa harapan, tanpa makna. Di titik itulah Camus mengajak kita untuk menerima kematian yang tanpa harapan dan tanpa makna itu dengan lapang dada, menerima keterbatasan kita tanpa jatuh ke dalam keputusasaan.[20]

Dalam novelnya yang berjudul Sampar, Camus melukiskan salah seorang tokohnya, yakni Dr. Rieux, sebagai seorang dokter yang terus berjuang sekuat tenaga untuk mengatasi wabah sampar, walaupun dia tahu bahwa pada akhirnya semua usahanya akan sia-sia juga. Dengan kata lain, walaupun dia tahu bahwa dia akan kalah, Dr. Rieux tetap saja terus melakukan apapun yang dapat dilakukan untuk mengatasi wabah sampar tersebut.

Dalam kaca matanya, sampar bukanlah hanya sekedar penyakit, atau wabah. Hidup ini sendiri adalah sampar! “…satu kegagalan yang terus menerus…”[21] itulah makna sampar bagi Dr. Rieux. Hidup ini memang absurd, tapi idealisme moral untuk terus berjuang tetaplah harus dipertahankan. Oleh karena itu, Dr. Rieux tetap bertahan dalam upayanya memerangi sampar, walaupun ditinggalkan oleh teman-temannya. Ketika salah seorang sahabatnya mengingatkan bahwa perjuangan melawan “…akan selalu bersifat sementara saja, begitu saja…”[22] Dr. Rieux menyetujuinya sambil menambahkan, “…tetapi itu bukan alasan untuk menghentikkan perjuangan…”[23] Nilai-nilai moral harus tetap diperjuangkan, walaupun dunia ini sebagai keseluruhan adalah absurd dan tanpa makna. Inilah inti dari nilai heroik yang dithawarkan Camus.

Heroisme seperti itu memang sangat mengagumkan. Akan tetapi, dapat dipastikan akan segera muncul pertanyaan seperti ini di dalam benak kita, berhadapan dengan absuditas hidup manusia, dengan fakta bahwa satu-satunya yang pasti adalah fakta bahwa kita akan terus gagal, akankah klaim etis dengan perjuangan nilai-nilai moralnya layak untuk dihayati dan dihidupi? Mampukah kita mempertahankan solidaritas kita dengan mereka yang menderita, terutama ketika kita mengetahui bahwa solidaritas itu pun pada akhirnya akan sia-sia saja? Masihkan kita memiliki kekuatan untuk berjuang, ketika absurditas eksistensi manusia ternyata begitu definitif? Jawaban yang mungkin muncul mungkin adalah tidak, manusia tidak akan mampu bertahan. Tanpa harapan dan makna akan Allah, yang akan menyempurnakan segalanya, ia tidak akan mampu bertahan menghadapi begitu melimpahnya penderitaan. Solidaritas terhadap mereka yang menderita rupanya menuntut suatu harapan dan makna yang tidak dapat diperolehnya sendiri, melainkan hanya didapatkan dari Allah.

Jawaban Teodisea Klasik dan Keterbatasannya

Ada yang berpendapat bahwa penderitaan haruslah ditempatkan di dalam keseluruhan realitas. Dengan demikian akan kelihatan, bahwa ia memang perlu ada, antara lain demi kebaikan dan terang yang lebih besar. Ibaratnya sebuah lukisan, keindahan justru didapatkan kalau kita memasukkan warna gelap ke dalam lukisan itu. Filsuf Perancis Rene Descartes pernah berkata, “…sesuatu itu bisa tampak sangat tidak sempurna bila berdiri sendiri. Tetapi hal yang sama akan kelihatan sangat sempurna bila dilihat sebagai bagian dari alam semesta…”[24] Atau, kita bisa melihat argumentasi yang dirumuskan oleh Leahy, “…kejahatan kehilangan sifat jahatnya bila diletakkan dalam perspektif perkembangan total: penderitaan tidak lain selain krisis pertumbuhan: peperangan adalah benih lahirnya sejarah; pengorbanan yang dilakukan generasi sekarang memungkinkan kelanjutan eksistensi masyarakat di masa datang…”[25] Dengan kata lain, disini penderitaan dan kejahatan dilihat sebagai sesuatu yang positif karena ditempatkan di dalam keseluruhan realitas. Akan tetapi, kita akan segera melihat bahwa, argumentasi tersebut tidaklah mencukupi karena dangkal dan tidak sesuai dengan kesadaran moral kita jika berhadapan dengan paham yang menempatkan manusia sebagai subyek, yang tidak pernah boleh dijadikan sebagai alat untuk mencapai sesuatu di luar dirinya, serta juga gagasan tentang Allah yang mencintai setiap pribadi manusia.

suffer Kita akan menemukan argumentasi yang senada dalam pemikiran Leibniz. Bagi Leibniz, dalam segala kebijaksanaanNya yang tak terhingga, Allah tentu saja tahu berbagai macam kemungkinan dunia yang dapat diciptakan. Nah, karena Ia sekaligus mahakuasa dan mahabaik, maka dunia yang sudah diciptakan ini adalah dunia paling baik yang mungkin diciptakan, sebuah dunia yang paling baik yang mungkin. Maka dari itu, setiap penderitaan haruslah diintegrasikan dalam keseluruhan dunia yang baik itu. Kritik pun masih tetap dapat dilontarkan, yakni manusia saja masih dapat membayangkan dunia yang lebih sempurna, terutama dunia dimana sama sekali tidak ada kejahatan dan penderitaan, serta segala sesuatu yang negatif. Menanggapi hal itu, Leibniz dengan baik sekali menulis, “…memang, orang dapat membayangkan adanya dunia tanpa kejahatan dan tanpa penderitaan…, sebagaimana dilukiskan dalam roman-roman utopis… tetapi dunia seperti itupun tidak lebih baik dari dunia kita. Saya tidak akan membuktikannya secara rinci. Bagaimana saya dapat melukiskan yang tak terbatas serta mengenalinya dan membandingkannya? Tetapi, kita harus setuju, bahwa Allah telah memilih menciptakan dunia ini sebagaimana ia ada. Kita tahu juga, bahwa seringkali sebuah kejahatan menghasilkan kebaikan yang tidak akan ada tanpa adanya kejahatan itu…”[26]

Dengan demikian, ada kebaikan yang dihasilkan keburukan-keburukan itu. Ada yang positif dari sesuatu yang negatif. Oleh karena itu, dunia yang memiliki hal-hal negatif didalamnya mempunyai hal-hal positif lebih banyak daripada dunia yang sama sekali tidak memiliki unsur-unsur negatif. Sayangnya, menurut saya, argumentasi seperti ini tidak akan banyak berbunyi di telinga orang yang menderita. Bahkan juga dapat ditafsirkan bahwa Leibniz mendorong orang untuk berpaling dari kenyataan keras penderitaan, atau untuk menutupi ciri-ciri skandal dari penderitaan. Selain itu, kita juga tidak akan menemukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih mendetail dari persoalan mengapa orang harus menderita.

Masih ada argumentasi lain yang cukup layak untuk dipertimbangkan, yakni rasa sakit dan penderitaan fisik pun dapat berguna bagi perkembangan biologis kemudian. Pengalaman pahit pun dapat memurnikan hati orang dan membuatnya semakin dewasa. Tentu saja harus diakui bahwa pengalaman sakit dapat menimbulkan keberanian untuk bangkit. Kesalahan sekarang dapat menjadi peringatan untuk terus menjadi lebih baik di kemudian hari. Sejarah pun sudah menunjukkan, banyak orang justru mengalami perkembangan rohani karena ia terlebih dahulu telah mengalami penderitaan. Jawaban tersebut memang menarik untuk ditanggapi. Akan tetapi, kita juga masih dapat mengajukan pertanyaan. Mengapa peringatan tersebut harulah bersifat negatif dan menyakitkan? Bukankah penderitaan seringkali juga dapat meremukkan seseorang? Pertanyaan mengapa tidak semua orang mengalami penderitaan yang sama beratnya pun tidak akan terjawab.

Masih ada argumentasi lain, yakni bahwa Allah sebenarnya tidak menghendaki kejahatan dan penderitaan. Ia hanya mengizinkannya. Dalam beberapa segi, argumen ini mengandung kebenaran tertentu. Tetapi kita juga dapat bertanya, faktor apa yang begitu penting sehingga Allah terpaksa mengizinkan sesuatu yang notabene tidak dikehendakiNya? “…sesuatu yang tidak sesuai dengan tuntutan suara hati atau rasa moral manusia mau diperbolehkan agar Tuhan melaksakannya… Bukankah semua ini agak berlebihan? Dan si ateis akan mengatakan, seseorang yang menolak kejahatan karena dia bermoral lebih superior daripada Tuhan yang malah mentolerir kejahatan itu…”[27]

Demikianlah kiranya sejumlah bentuk argumentasi teodisea klasik yang mau memecahkan problem penderitaan dalam relasinya dengan Allah. Dalam beberapa sisi, argumen-argumen tersebut mengandung kebenaran-kebenaran tertentu. Akan tetapi, masalah sesungguhnya tetap tak terpecahkan. Penderitaan dan kejahatan yang begitu melimpah tetaplah fakta realitas manusia yang tak masuk akal, absurd. “…ada terlalu tindakan biadab yang dilakukan manusia dan tidak dapat dijelaskan oleh siapapun dalam sejarah umat manusia. Ada terlalu banyak orang yang tidak bersalah menderita, penderitaan yang tidak bermakna, sehingga kita tidak dapat lagi secara etis, hermeneutis, ataupun ontologis membuat rasionalisasi atas penderitaan itu…sejarah adalah suatu ekumene penderitaan…”[28] Jika fakta melimpahnya penderitaan dipahami sebagai bentuk untuk menyinkronkan kebaikan, keadilan, dan kemahakuasaan Allah, maka teodisea akan berakhir dalam kegagalan. Immanuel Kant pun berpendapat bahwa akal budi kita pun tidaklah mampu memahami relasi-relasi antara dunia yang kita kenal melalui pengalaman dengan kebijaksanaan tertinggi. Setelah ini semua, apakah argumentasi untuk mendamaikan penderitaan manusia dan eksistensi Allah telah terhenti?

Menuju Pendekatan yang Integral atas Penderitaan

Sebenarnya tidak perlu bencana besar untuk menggoncangkan kepercayaan orang pada adanya Tuhan. Kadang kala, kegagalan pekerjaan, penyakit, rasa kehilangan, pengkhianatan, atau kematian orang yang dikasihi dapat menjadi cukup untuk menjadikan orang ateis. Salah contoh yang paling jelas adalah ketika Harold Kushner, seorang rabi Yahudi, menulis buku yang terkenal setelah ia mengalami kematian anaknya. Judul buku itu adalah, When Bad Things Happen to Good People. Dalam buku itu, ia mengusulkan agar paham tentang kemahakkuasaan Tuhan sebaiknya dihilangkan saja. Akan tetapi, kita bisa membayangkan sebaliknya: When Good Things Happen to Bad People, ia barangkali akan mengusulkan agar pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan Allah sebaiknya ditolak saja. Di pihak lain, kita dapat menemukan berbagai upaya, baik itu filosofis maupun teologis, untuk merasionalisasikan penderitaan. Akan tetapi, pemaknaan mengenai penderitaan dan eksistensi Allah tidak bisa melulu dipahami secara teoritis, melainkan dengan pendekatan praktis.

Tidak ada penjelasan teoritis yang memuaskan untuk menyingkapi pelbagai penderitaan dan kejahatan yang begitu melimpah di dunia ini. Penderitaan sebagai realitas negatif adalah fenomena manusia yang tidak terselami, betapapun kita mencoba menerangkannya dengan pelbagai teori religius ataupun non-religius yang ada pada kita. Masalah eksistensi Allah dan penderitaan absurd yang dialami manusia tetap tersembunyi, kalau tidak mau diabaikan, baik bagi orang beriman ataupun orang ateis.

Maka, ketika kita berhadapan dengan penderitaan, harus diterima bahwa ia adalah fakta hidup yang kini painada, pernah ada, dan akan selalu ada, terlepas dari apakah orang mau menerima eksistensi Allah atau tidak. Jika berhadapan dengan penderitaan sebagai fakta hidup, kaum beriman ataupun ateis selalu bertanding remis. Artinya, masalah mengapa penderitaan ada, tidak bisa dipecahkan dengan menerimanya adanya Allah (pihak teis, atau kaum beriman), maupun dengan menolak adanya Dia, dimana mereka, kaum ateis, tidak bisa menjelaskan mengapa dunia dengan penderitaan tidak menjadi lebih baik dengan hanya mencoret Tuhan. Penderitaan pun tetap menjadi teka-teki bagi kehidupan manusia, terlepas apakah dia seorang beriman atau tidak.

Dengan memahami penderitaan sebagai fakta hidup yang penuh misteri, ia juga perlu dihadapi dengan realistis, dan dengan sikap respek terhadap hidup. Artinya, penderitaan tidak perlu dicari-cari, melainkan diterima dengan lapang dada ketika ia datang menimpa. Sebagai sebuah fakta hidup, penderitaan pada dirinya sendiri tidaklah bernilai, maka sikap mencari-cari penderitaan adalah perversi hidup. Penderitaan tidak hanya ditanggung atau diterima, melainkan juga diperangi dan diatasi dengan sekuat tenaga yang ada pada kita. Panggilan dalam menanggapi penderitaan adalah panggilan manusia untuk berpraksis. Praksis tersebut dapat terwujud dalam upaya untuk mencari akar dan sumber dari penderitaan tersebut, baik pada level individual maupun level struktural, yang lalu ditangani secara konkret. Dengan kata lain, “…yang tertindas dibebaskan, yang lapar dikenyangkan, yang sakit disembuhkan, yang miskin dijadikan sejahtera, yang bersedih hati dihibur dan didampingi dengan rasa keterlibatan…”[29]

Pada satu titik, perjuangan menentang penderitaan dan ketidakadilan kerap menemui jalan buntu. Di titik inilah penderitaan dan ketidakadilan tidak hanya perlu diatasi atau diperangi, melainkan juga diolah dan diintegrasikan. Artinya, penderitaan tersebut dilihat dan dirangkum sebagai satu kesatuan menyeluruh menyangkut seluruh dimensiku. Dengan kata lain, “…penderitaan kuterima dan kuakui sebagai bagian faktual dari caraku menghayati hidup dengan segala misterinya, caraku melihat dunia, bekerja dan bertindak, entah sebagai syarat, entah sebagai konsekuensi dari, misalnya, perjuanganku demi sesuatu yang bersifat mutlak…”[30]

Manusia memerlukan kesabaran dan ketabahan hati untuk menerima dan menanggung penderitaan. Jika sudah seperti itu, ia akan tumbuh dan berkembang melalui penderitaan itu. Manusia yang selalu beruntung dalam hidupnya tidak akan pernah ditempa menjadi manusia yang kuat dan utuh. Tanpa tempaan, ia akan menjadi dangkal dan tidak bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Bersama Karl Jaspers, penderitaan dilihat dan dimaknai sebagai situasi batas, yang membawa manusia kepada transendensi Tuhan. Dengan demikian, orang yang mengalami penderitaan bisa berkata, “…penderitaanku tidak lagi secara kebetulan merupakan nasib buruk belaka, melainkan mulai munculnya eksistensi melalui dasein…”[31]

Kiranya jelas pada tahap terakhir ini, bahwa pengalaman akan Tuhan, akan yang Transenden, memberikan sumbangan besar bagi manusia untuk memahami penderitaan dan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan hidupnya. Suatu kepercayaan bahwa penderitaan bukanlah akhir dari segala-galanya, bahwa masih ada harapan akan kebahagiaan dan kehidupan yang lebih baik, juga bahwa “…kerinduan akan yang serba lain…”, seperti ditulis oleh Max Horkheimer, akan menemukan kepenuhannya.

Kesimpulan dan Penutup

Penderitaan manusia dan eksistensi Allah bukanlah sesuatu yang selayaknya dipertentangkan. Dalam penderitaan, manusia membukan dimensi terhadap yang transenden, ia membuka pintu bagi transendensi. Kendati mengalami penderitaan, banyak orang, meskipun tidak selalu, tetap memiliki kepercayaan dan harapan kepada Allah. Dengan demikian, eksistensi Allah tidaklah dapat dipahami sebagai entitas yang mengintervensi kehidupan manusia dan serta-merta mencegahnya mengalami penderitaan, melainkan sebagai sebuah kekuatan dengan kemahakuasaan dan belaskasihNya untuk membantu manusia memahami dan mengintegrasikan penderitaan dalam hidup ke dalam keseluruhan eksistensinya. Argumentasi ini tidak dapat sepenuhnya memuaskan kerinduan intelektual kita untuk memahami eksistensi Allah di tengah melimpahnya penderitaan di dunia. Akan tetapi, sebagai sebuah usaha filosofis, argumen tersebut bisa ditempatkan sebagai sebuah kontribusi dalam debat teodisea yang sampai sekarang masih berlangsung. Seperti semua pertanyaan menuntut jawaban, yang notabene jawaban tersebut akan membuka pertanyaan yang lebih banyak lagi, tulisan ini diharapkan akan membuka pertanyaan lebih jauh tentang teodisea. Terima kasih.

Daftar Pustaka

A. Sunarko, “ Teodisea, Antropodisea, Anti-Teodisea? Allah, Manusia, dan Penderitaan”, Diskursus, Vol.4, no. 3, Jakarta, STF Driyarkara, 2005, hal. 215.

L. Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta, Kanisius, 1994, hal. 272.

F. Magnis Suseno, “Mendakwa Allah? Catatan Tentang Teodisea”, Diskursus

Jack Miles, Christ. A Crisis in the Life of God, New York, Alfred A. Knopf, 2001.

L. Leahy, Esai Filsafat untuk Masa Kini. Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1991.

F. Nietzsche, “Ecce Homo,” dalam Friedrich Nietzsche. Studienausgabe, Band 4, Frankfurt, Fischer Bücherei,

A. Camus, Sampar, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1985

S.P. Lilik Tjahjadi, Atheisme Modern, Jakarta, STF Driyarkara, 2005, (tidak dipublikasikan),

Gambar dari Google Pictures

Sudah dipublikasikan di www.dapunta.com

Penulis adalah Pengajar Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya


[1] Max Horkheimer, Die Sehnsucht nach dem ganz Anderen, Hamburg, Furche-Verlag, 1971, S.60, seperti dikutip oleh A. Sunarko, “ Teodisea, Antropodisea, Anti-Teodisea? Allah, Manusia, dan Penderitaan”, Diskursus, Vol.4, no. 3, Jakarta, STF Driyarkara, 2005, hal. 215.

[2] Roger Ikor dalam pekan cendekiawan Katolik 1965, seperti dikutip oleh L. Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta, Kanisius, 1994, hal. 272.

[3] J. –H. Tück, Christologie und Theodizee bei Johann Baptist Metz. Ambivalenz der Neuzeit im Licht der Gottesfrage, München, Schoeningh, 1999, S. 262. seperti dikutip oleh A. Sunarko, op.cit, hal. 208.

[4] Ayub 10, 1; 30, 28; 6, 4; 9, 22.

[5] Epikuros, Brief an Menoeikeus (Surat Kepada Menoeikeus), fragmen no. 106, dalam: Griechische Atomisten, diterjemahkan oleh F. Jürss, R Müller, Leipzig, 1977, hal. 334. seperti dikutip oleh S. Lilik Tjahjadi, Diktat Ateisme Modern (tidak dipublikasikan), STF Driyarkara, 2005. hal. 2.

[6] L. Leahy, op.cit, hal. 269.

[7] F. Magnis Suseno, “Mendakwa Allah? Catatan Tentang Teodisea”, Diskursus, op.cit, hal. 233.

[8] Ibid, hal. 234.

[9] Jack Miles, Christ. A Crisis in the Life of God, New York, Alfred A. Knopf, 2001, seperti dikutip oleh F. Magnis Suseno, op.cit, hal. 234.

[10] L.Leahy, op.cit, hal. 276.

[11] M. Striet, “ Versuch über die Auflehnung. Philosophisch-theologische Überlegungen zur Theodizeefrage”, pada H. Wagner, Mit Gott streiten. Neue Zugaenge zum Theodizeeproblem, Freiburg, Herder, 1998, S. 51. seperti dikutip oleh A. Sunarko, op.cit, hal. 214.

[12] E. Bloch, Atheismus im Christentum. Zur Religion des Exodus und des Reichs, Hamburg, Rowohlt Verlag, 1970, S. 106-107. seperti dikutip A. Sunarko, ibid.

[13] Ibid, S. 116.

[14] L. Leahy, Esai Filsafat untuk Masa Kini. Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal. 133-134

[15] Bagi Nietzsche, ini adalah lelucon terbaik para ateis. “…Vielleicht bin ich selbst auf Stendhal neidisch? Er hat mir den besten Atheisten-Witz weggenommen, den grade ich hätte machen können: die einzige Entschuldigung Gottes ist, dass er nich existiert… Ich selbst habe irgendwo gesagt: was war de größte Einwand gegen das Dasein bisher? Gott…” F. Nietzsche, “Ecce Homo,” dalam Friedrich Nietzsche. Studienausgabe, Band 4, Frankfurt, Fischer Bücherei, S. 143-218; 162.

[16] L. Leahy, Esai Filsafat untuk Masa Kini, op.cit, hal. 126,131,133.

[17] Ibid, hal. 136.

[18] Ibid, hal. 138.

[19] F. Nietzsche, Die Fröchliche Wissenschaft, Leipzig, Reclam-Verlag, 1990, S. 130. seperti dikutip oleh A. Sunarko, op.cit, hal. 217.

[20] M. Striet, Der Neue Mensch, Unzeitgemäβe Betrachtungen zu Sloterdijk und Nietzche, Frankfurt, Verlag Josef Knecht, 2000, S.103. seperti dikutip A. Sunarko, op.cit, hal. 218.

[21] A. Camus, Sampar, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1985, hal. 111.

[22] Ibid.

[23] Ibid.

[24] L.Leahy, Esei Filsafat untuk Masa Kini, op.cit, hal. 116.

[25] Ibid.

[26] J. Schmidt SJ, “Das Philosophieeimmanente Theodizeeproblem und seine theologische Radikalisierung”, Theologie und Philosophie 72 (1997), S. 250.

[27] L. Leahy, op.cit, hal. 18.

[28] E. Schillebeeckx, Christus und die Christen. Die Geschichte einer neuen Lebenpraxis, Freiburg, Herder, 1977, S. 706. seperti dikutip dari A. Sunarko, op.cit, hal. 213.

[29] S.P. Lilik Tjahjadi, Atheisme Modern, Jakarta, STF Driyarkara, 2005, (tidak dipublikasikan), hal. 52.

[30] Ibid.

[31] Ibid.

Beriman Tanpa Berpikir, Bagaimana Mungkin?

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

faith Beginilah pengalaman Gary Gutting, seorang professor filsafat di University of Notre Dame, Amerika Serikat. Dia sedang mengajar mahasiswa di universitasnya. Mayoritas beragama Katolik. Dia bertugas mengajarkan filsafat. Salah satu tugas utamanya sebagai professor filsafat agama (philosophy of religion) adalah untuk mengajak mahasiswa berpikir tentang alasan mereka beragama.

Ada banyak metode yang ia terapkan. Salah satunya adalah mengajak mahasiswa membaca koran, dan kemudian bertanya, “Dapatkah kamu melihat begitu banyak berita buruk di koran, sambil tetap mempertahankan iman kepada Tuhanmu?” Juga Gutting suka mengajukan pertanyaan, “Bukankah agama itu tergantung pada tempat di mana kamu lahir? Jika kamu lahir di India, maka kemungkinan besar kamu akan beragama Hindu, bukankah begitu?”

Diskusi berjalan lancar dan menegangkan. Namun tiba-tiba seorang murid mengangkat tangan dan bertanya, “Bukankah agama itu soal iman, dan iman itu soal kepercayaan?” Jawaban itu seolah menuntaskan semua masalah yang muncul dalam perdebatan. Semua pihak puas terutama yang merasa nyaman dengan imannya. Percaya bagi mereka berarti tidak perlu menjelaskan mengapa mereka memeluk imannya.

Pengalaman Gutting itu rupanya tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Di UNIKA Widya Mandala, saya pun mengalaminya. Setiap menyinggung soal iman dan agama, mahasiswa menutup diri dengan berkata, “Kami sudah percaya kok.” Padahal seturut dengan tradisi skolastik abad pertengahan, jawaban itu sama sekali tidak bisa dianggap tepat. Iman memerlukan dasar yang masuk akal.

Iman yang Diuji

Kembali ke cerita Gutting. Menanggapi ini ia biasanya berpendapat, “Bagaimana mungkin kamu puas dengan argumen itu? Bukankah kamu tidak akan membeli sebuah barang, hanya dengan mempercayai orang yang menjualnya? Bukankah kamu akan menguji barang tersebut, sampai kamu merasa layak membelinya?” Mengapa kita tidak menerapkan hal yang sama dalam soal iman? Bukankah lebih baik jika kita menguji dan mendalami iman kita tersebut, sebelum kita menganutnya, dan hidup dengannya?

body_sm_ratios Oke! Marilah kita menguji iman kita dengan argumen dan bukti-bukti ilmiah! Argumen pertama yang biasanya muncul adalah, “Jika Tuhan tidak ada, bagaimana mungkin menjelaskan keberadaan semua hal, dan bahwa dunia diatur dengan hukum-hukum alam yang begitu pas?” Perdebatan memanas lagi dengan argumen tersebut. Mahasiswa tampak merindukan argumen tajam yang bisa memperkuat iman mereka. Hmm..

Tak beberapa lama kemudian, mahasiswa mulai lelah. Mereka merasa tidak mampu memahami argumen abstrak yang mereka harapkan bisa memperkuat iman mereka. Mereka berhadapan dengan sebuah rahasia besar di dalam filsafat ketuhanan, bahwa tidak ada filsuf yang sungguh-sungguh bisa membuktikan atau menolak adanya Tuhan secara rasional! Kata “iman”, “percaya begitu saja”, kembali terngiang di telinga mahasiswa. Filsafat memang bisa menjadi alat untuk meningkatkan kemampuan intelektual. Namun sayangnya filsafat pun tidak bisa memberikan kontribusi nyata untuk pengembangan iman. Hmmm.. apakah begitu?

Sewaktu saya kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta bersama Magnis-Suseno, kami sampai pada kesimpulan yang sama. Tidak ada satu pun argumen filosofis rasional yang bisa menolak atau memperkuat keberadaaan Tuhan secara total. Kiranya tak berlebihan jika dikatakan, perdebatan dimenangkan oleh kaum agnostik, yakni mereka yang berpendapat, bahwa manusia tidak pernah sungguh tahu perihal keberadaan Tuhan, apalagi menolak keberadaanNya.

Walaupun begitu kita tidak boleh beriman begitu saja, sama seperti kita tidak boleh percaya saja kata-kata orang jualan, tanpa sungguh memahami apa yang dijualnya. Dengan kata lain kita harus kritis. Jangan naif. Jangan gampang percaya. Orang yang gampang percaya, gampang juga ditipu. Anda mau ditipu? Tentu tidak kan. Saya juga. Mereka juga. Siapa yang mau ditipu? Saya pikir tidak ada. Maka kita perlu berpikir. Kita perlu bertanya soal iman kita, sampai kita memahaminya secara mendalam.

Filsafat dan Iman

Bagaimana cara memperkuat iman secara rasional? Gutting menyarankan agar kita membaca tulisan-tulisan para filsuf besar, seperti David Hume, Ludwig Wittgenstein, dan Alvin Platinga. Mereka sependapat bahwa kita hidup selalu dengan memegang kepercayaan yang tidak bisa kita jelaskan sepenuhnya secara rasional. Salah satu contohnya adalah, mengapa kita ngupil dengan tangan kanan? Hayooo… Juga apakah ingatan kita sungguh tepat? Atau yang lebih berat, apakah orang lain punya jiwa? Hmm.. berat bukan?

Kepercayaan naif tersebut datang dari pengalaman kita sehari-hari. Bagi Platinga kepercayaan naif ini mirip dengan kepercayaan kita pada Tuhan. Artinya kita tidak pernah bisa sungguh menjelaskannya. Kita hanya tahu bahwa itu benar. Titik. Tidak ada koma. Kita juga selalu tahu, bahwa suatu perbuatan itu baik, walaupun kita tidak bisa sungguh menjelaskannya. Kita juga selalu tahu, bahwa lukisan itu indah, tanpa pernah sungguh bisa menjelaskannya. Kita tahu cara mencintai, walaupun kita pernah bisa merumuskan apa itu cinta. Kita tahu bahwa kita bahagia, jika dicintai, walaupun kita tidak tahu sebabnya. Kita juga selalu tahu, bahwa ada sesuatu yang luar biasa besar dan agung di atas kita semua, walaupun kita tidak bisa sungguh menjelaskannya secara jernih.

Siapa yang dengan sok tahu bilang, bahwa semua kepercayaan kita itu hanya ilusi? Tentu saja argumen di atas masih terbuka untuk perdebatan. Semua yang keluar dari mulut manusia tidak pernah mutlak. Ini akan menjadi tema perdebatan yang menarik. Tentu juga argumen ini bisa menjelaskan, mengapa kita tidak pernah bisa secara jernih menjelaskan keberadaan Tuhan.

Namun itu kan soal Tuhan. Bagaimana soal agama dengan ajaran mutlak dan ritualnya yang suci? Bagaimana soal Tuhan yang sangat memperhatikan, apakah manusia menjalankan ritual religiusnya secara tepat, atau tidak? Tanpa ritual dan ajaran yang mutlak, agama tidak memiliki daya ikat. Tanpa daya ikat agama tidak akan bisa menjadi kekuatan sosial yang demikian besar. Jadi bukankah ritual juga penting?

philosophy shirt Sulit untuk memberikan jawaban secara kritis dan rasional atas pertanyaan-pertanyaan itu. Teologi bisa memberikan jawaban. Namun teologi tanpa filsafat sama seperti sup tanpa garam. Ia kehilangan daya kekuatannya untuk mengubah. Ia hanya akan menjadi buih dogma yang ketat dan kejam, tanpa ada pendasaran yang masuk akal dan mengundang orang untuk memahami, bahkan mencintai.

Lalu bisakah kita beriman tanpa berpikir? Jawabannya tidak. Agama dan teologi menyediakan iman. Filsafat menyediakan kemampuan berpikir yang kritis dan mendalam. Filsafat, agama, dan teologi adalah teman seperjalanan yang tidak selalu cocok. Namun percakapan di antara ketiganya tidak boleh berhenti. Orang yang mengaku beriman dan beragama juga harus memikirkan dan menguji secara mendalam iman dan agamanya. Filsafat bisa menjadi alat uji dan alat berpikir yang tajam dan mencerahkan. Ini rupanya yang menjadi komitmen Gutting, ketika mengajar. Komitmen yang juga akan saya ikuti dengan kesungguhan. ***

Pustaka Acuan:

Gary Gutting, Philosophy and Faith, New York Times on line 1 Agustus 2010.

Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

gambar dari berbagai sumber di google pictures.

Dari www.dapunta.com

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala, Surabaya

Manusia, Ideologi, dan Korupsi

koruptor

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Di dalam hidup selalu ada jarak antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Jarak itu tak terhindarkan. Tidak ada satu pun manusia yang sungguh hidup sesuai dengan yang dikatakan. Juga tidak ada satu pun hal yang diciptakan sesuai dengan apa yang direncanakan.

Jarak itu rupanya adalah suatu keniscayaan. Sekali lagi ia tak terhindarkan. Ia keluar dari kerapuhan jiwa manusia yang selalu dirundung pertanyaan. Namun ia juga bisa merupakan tanda kekuatan manusia yang justru terbentuk di dalam ketidaksempurnaan.

Jarak itu disebut sebagai ideologi. (Žižek) Ideologi adalah segala sesuatu yang beroperasi di bawah kesadaran diri. Termasuk di dalamnya adalah aturan-aturan yang tak terkatakan, dan praktek-praktek yang tidak direncanakan, namun berjalan. Ideologi adalah suatu misteri yang tak diakui, karena ia memang tersembunyi di balik kesadaran diri.

Ragam Ideologi

Di dalam salah satu presentasinya, Žižek memberikan beberapa contoh ideologi yang beroperasi di masyarakat. Pertama, masyarakat global adalah masyarakat yang permisif. Segala sesuatu diperbolehkan atas nama otonomi individu. Ini adalah yang terkatakan di dalam kehidupan sehari-hari, dan tercantum rapi di dalam susunan hukum.

Namun ada jarak yang tak terhindarkan antara apa yang terkatakan dan apa yang terlaksana. Masyarakat global justru dikepung oleh beragam aturan, dari hal besar sampai hal yang paling tak masuk akal. Aturan tersebut dirumuskan justru untuk menjamin kebebasan. Inilah paradoks ideologi yakni ketika kebebasan justru ingin dijunjung di dalam kepungan aturan dan hukum yang mencekik.

Dua, Žižek juga berbicara soal toilet. Perilaku orang di toilet dapat menentukan pola pikir dan pandangan dunianya. Orang Jerman memiliki tradisi untuk berkontemplasi di hadapan fesesnya. Ciri ini menandakan karakter kontemplatif yang memang menjadi ciri dasar bangsa Jerman.

Orang Perancis cenderung menolak menghadapi feses. Feses haruslah dilenyapkan. Feses haruslah segera hilang dari pandangan. Ini menunjukkan karakter revolusioner dan gemar berubah yang memang menjadi ciri dasar dari orang-orang Perancis. (Žižek)

Orang Amerika dan Inggris menenggelamkan feses mereka di dalam air. Mereka tidak sudi mencium bau feses mereka sendiri. Mereka ingin segala sesuatu cepat dan tepat dikerjakan. Ini menandakan karakter pragmatis yang menjadi ciri dasar orang Amerika dan Inggris.

Perilaku orang di toilet mencerminkan sesuatu yang berada di balik kesadarannya. Inilah yang disebut Žižek sebagai ideologi. Teknologi dan modernitas tidak menumpulkan ideologi, tetapi hanya menyelubunginya dengan peralatan. Ideologi terkait erat dengan unsur ketidaksadaran manusia yang terwujud nyata dalam jarak antara kata dan fakta.

Ideologi dan Korupsi

Kerumitan segala ilmu akan berujung pada satu pertanyaan dasar, siapakah itu manusia? Dalam pandangan Žižek manusia adalah subyek yang memiliki ekses. Dia adalah subyek yang selalu memiliki sampah yang tersisa dari perilaku maupun pikirannya. Sampah sisa itu yang melahirkan ketidaksadaran, dan ketidaksadaran adalah awal dari ideologi.

Korupsi adalah suatu bentuk ideologi di Indonesia. Korupsi menjaga jarak dari kesadaran, dan berubah menjadi perilaku tak sadar yang berada di remang-remang hukum maupun aturan. Korupsi bermain di sela-sela buih moralitas dan legalitas hukum. Itu yang membuatnya selalu lolos dari keduanya.

Banalitas muncul dari kebiasaan. Kebiasaan identik dengan ketidaksadaran. Maka banalitas adalah suatu ideologi. Ia membentuk jurang antara kata dan fakta, antara tindakan dan pikiran, serta antara yang terkatakan dan yang terlaksana.

Ideologi bisa disadari walaupun tidak sepenuhnya. Radikalitas adalah obat untuk menyadarkan ideologi. Radikalitas terbentuk dalam pikir dan tindakan yang membongkar sampai ke akar semua fenomena yang ada. Radikalitas menolak ritual dan formalitas yang mewarnai masyarakat kita.

Namun harus terus disadari, manusia adalah mahluk yang bersisa. Ia memiliki sampah baik material maupun eksistensial. Sampah eksistensial tersebut adalah ideologi yang beroperasi di remang-remang kesadaran, di sela-sela tata normatif. Maka ideologi tak pernah sepenuhnya disadari.

Dalam kosa kata Žižek, ideologi akan menggiring manusia pada the real itu sendiri. The real yang tanpa ragu memutus manusia dari rantai rutinitas. The real yang traumatis dan menyedihkan, namun sekaligus menyadarkan kita dari keterlenaan. Ideologi adalah keterlenaan. Korupsi pun adalah keterlenaan. Sudah saatnya kita bangun.***

Gambar dari http://maulanusantara.files.wordpress.com/2009/12/koruptor.jpg

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala, Surabaya


Agama yang Lupa

earth7

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Indonesia bukanlah gejala fisik semata, melainkan suatu ruang virtual yang melingkupi pulau-pulau bekas jajahan kolonialisme Belanda, dan beberapa pulau lainnya. Ruang virtual tersebut terbentuk tidak melalui sentuhan inderawi semata, tetapi terlebih karena peran imajinasi. Indonesia adalah produk dari imajinasi. Dalam arti ini proses pembentukan Indonesia sebagai imajinasi yang memiliki kaki-kaki politis tidak pernah bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia.

Mulai dari animisme dan dinamisme sebagai aliran kepercayaan kuno nusantara, berkembangnya peradaban Hindu dan Buddha, masuk dan menyebarnya Islam, serta menyebarnya agama Kristen bersama dengan masuknya Portugis, Belanda, dan Inggris adalah bukti jelas bahwa sejarah Indonesia tidak pernah bisa dilepaskan dari agama. Kini di era reformasi demokrasi, relasi antar agama dan posisi agama di dalam ruang publik politis di Indonesia masih menjadi tema penelitian dan diskusi yang kontroversial.

Agama yang Lupa

“Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama. Tidak ada perdamaian antara agama, tanpa dialog antaragama. Dan tidak ada dialog antaragama, jika masing-masing agama tidak menggali fondasinya masing-masing”, demikian berulang kali dikatakan oleh Hans Küng, seorang filsuf dan teolog yang mengembangkan pemikiran etika global. Jelas di dalam pernyataan tersebut, bahwa peran agama di dalam proses perkembangan peradaban sangatlah besar. Peradaban tidaklah bisa dilepaskan dari agama.

Agama lahir dalam konteks kekacauan peradaban, perang dan kekerasan berlangsung dimana-mana, namun kini agama justru menjadi pembenaran bagi tindak perang dan kekerasan dengan skala yang lebih besar. Di dalam sejarah pemikiran manusia, kita mengenal sebuah jaman yang disebut sebagai jaman Pencerahan kuno. Pada masa itu beberapa nabi besar Yahudi lahir dan mengembangkan ajarannya, para filsuf Yunani kuno mengembangkan dan berkeliling untuk menyebarkan filsafat, dan Taoisme serta Konfusianisme berkembang di Cina. Hampir pada saat yang bersamaan, para nabi dan pemikir besar melahirkan agama dan berbagai ajaran hidup yang mengajarkan kedamaian dan cinta kasih.

Namun dalam perjalanan roh perdamaian dan cinta kasih itu lenyap di telan jaman dan peristiwa. Agama menjadi ajaran yang mengajarkan intoleransi, yakni kebencian terhadap yang berbeda. Perang antar agama menghancurkan peradaban, dan menorehkan luka kolektif yang kemudian berkembang menjadi trauma sosial yang efek negatifnya terasa lintas generasi. Agama berubah menjadi alat yang bisa digunakan untuk tujuan apapun, termasuk pembenaran bagi tindak penghancuran. Agama telah lupa pada alasan keberadaannya sendiri.

Berpijak pada fakta historis tersebut, muncul para pemikir yang hendak meminggirkan agama dari ruang publik. Ruang publik adalah ruang netral. Tidak boleh ada ajaran agama manapun yang mencampurinya. Agama hanya melahirkan fanatisme, intoleransi, dan kebodohan berpikir, maka harus dipinggirkan dari debat publik. Agama adalah urusan personal, maka tempatkanlah di kamar-kamar pribadi, dan jangan pernah dibawa ke dalam debat publik. Inilah pandangan pertama tentang hubungan antar agama dengan ruang publik politis masyarakat demokratis.

Argumen di atas begitu tajam, dan langsung melahirkan tanggapan dari banyak pemikir dari berbagai displin ilmu. Agama telah terjatuh ke dalam kontradiksi, yakni telah menjadi apa yang sebenarnya ingin dikritiknya, yakni legitimator kekerasan. Agama lahir untuk membebaskan dunia dari kebiadaban. Namun banyak pemikir modern yang justru menempatkan agama sebagai simbol kebiadaban, mengingat begitu banyak darah tercecer di dalam sejarahnya.

Dari argumen ini lahirlah ateisme. Ateisme lahir tidak sebagai simbol kebiadaban, melainkan sebagai simbol keinginan manusia untuk hidup lebih baik, yakni lepas dari intoleransi, perang, dan kekerasan dalam bentuk apapun. Ateisme merupakan pemurnian atas agama. Ateisme adalah panggilan bagi para penganut agama untuk kembali ke esensi atau fondasi agamanya masing-masing.

Esensi Agama

Ateisme janganlah ditempatkan sebagai musuh agama, melainkan sebagai teman yang berkata jujur dan tajam, dan itu sebenarnya baik bagi perkembangan agama sendiri. Ateisme bukanlah titik akhir, melainkan titik awal untuk bersikap kritis terhadap perilaku hidup beragama manusia, dan kemudian beranjak untuk memulai membangun jembatan yang manusiawi di antara agama-agama. Seperti yang dikatakan oleh Hans Küng, dialog antar agama hanya bisa terjadi, jika setiap agama mau kembali menggali fondasinya masing-masing. Dalam tafsiran saya agama diajak untuk kembali ke esensinya masing-masing.

Apa sesungguhnya yang menjadi esensi dari agama? Esensi dari agama adalah pengalaman mistik yang menggetarkan jiwa, dan memaksa untuk mencintai yang berbeda. Semua agama lahir di atas fondasi pengalaman paradoksal semacam itu. Agama adalah jalan yang memaksa orang untuk mencinta apa yang bertentangan dengan keyakinannya sendiri. Jika proses penggalian fondasi sudah sampai menyentuh esensi tersebut, maka jembatan dialog akan dapat dibangun dengan kokoh dan indah. Mungkin surga tidak jauh di atas sana setelah kita tiada, tetapi bisa juga dihadirkan di atas dunia, jika agama tidak lupa. ***

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala, Surabaya

Kota yang Serba Salah

city_of_ember_4 Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Pada awalnya adalah kegelapan. Peradaban manusia berkembang di dalam remang-remang gua dan cahaya lilin yang menemani malam-malam mereka. Namun ada paradoks di sini. Di dalam malam-malam gelap tersebut, pencerahan justru muncul melalui tulisan yang penuh dengan permenungan mendalam soal kehidupan.

Malam hari adalah berkah. Udara dingin diikuti dengan pencahayaan remang. Malam hari adalah waktunya pencerahan. Di tengah dinginnya udara dan gelapnya dunia, pikiran manusia menari di atas kata, dan menerobos batas-batas kebodohan. Itulah malam hari manusia, sebelum dunia diterangi gemerlapnya cahaya, sebelum listrik ada, sebelum lampu menyala.

Di tengah gemerlap kota-kota modern, kegelapan pemikiran justru lebih terasa. Hati bertanya mengapa jarang ditemukan pemikir yang sungguh mencerahkan sekarang ini? Semuanya terjebak pada popularitas. Semuanya terjebak pada motivasi yang tanpa pernah secara kritis dimurnikan.

Inilah paradoks kota dan pemikiran modern. Di tengah gemerlap lampu, justru pikiran menjadi gelap dan dangkal. Listrik melahirkan perubahan besar pada cara manusia hidup, dan cara manusia berpikir. Perubahan yang tidak selalu ke arah pencerahan, tetapi lebih ke arah penggelapan. Teknologi dan listrik melahirkan kebodohan dan kedangkalan berpikir.

Kota dan Mental

Kedangkalan berpikir lahir bukan karena tidak adanya pendidikan, melainkan karena terlalu banyak pendidikan. Kedangkalan berpikir lahir bukan karena tidak adanya teknologi, melainkan karena terlalu banyak teknologi bertebaran. Paradoks masyarakat modern adalah, ketika dunia justru semakin rumit, manusia justru semakin sederhana di dalam kedangkalannya. Kedangkalan berpikir ini lahir dari miskinnya refleksi kritis di dalam berlimpahnya materi yang tersebar di kota-kota modern.

Teknologi menawarkan sejuta informasi. Namun gemerlapnya informasi itu justru membutakan orang-orang yang melihatnya. Kota-kota modern menawarkan rumah mewah yang justru memiskinkan mental penghuninya dalam isolasi satu sama lain. Kota besar yang dihuni oleh para manusia berpikiran kecil.

Kota-kota modern menawarkan jalan raya yang mulus dan besar. Namun jalan yang sama indahnya dilewati oleh orang-orang berniat jahat, rakus kuasa, dan penuh prasangka. Jalan raya dilewati mobil-mobil mewah yang semakin membuat semuanya tampak kumuh dilumuri kemunafikan dan arogansi. Jalan tol adalah jalan pintas, mirip seperti jalan pintas yang ditempuh para koruptor untuk mengangkangi birokrasi.

Kota modern menawarkan sekolah dengan banyak ragam dan gemerlap. Namun penghuni kota tersebut tidak tambah cerdas. Yang bertambah adalah ukuran kepala yang mencerminkan arogansi dan feodalisme ijazah. Anda bisa mencium bau feodalisme dan arogansi di sekolah-sekolah besar yang bertebaran di kota-kota modern.

Kota-kota modern adalah rumah bagi agama-agama besar dunia. Namun penghuni kota-kota modern jauh lebih tidak beradab dibandingkan dengan penghuni desa-desa di pinggir peradaban. Agama tidak menjadi garam yang mencerahkan, melainkan jadi pembenaran bagi tindak biadab dan penghancuran atas nama Tuhan. Di kota-kota modern, agama menjadi gincu yang menghiasi wajah ganas modernitas.

Kota-kota modern menawarkan trotoar besar bagi para pejalan kaki. Namun sarana transportasi justru tidak mendekatkan manusia, melainkan membuat orang semakin menjauh. Kota-kota modern menawarkan sarana transportasi tercanggih yang pernah ada di dalam sejarah manusia. Namun itu semua tidak berguna, karena kita semakin menjauh di dalam dekatnya ruang yang kita tempati. Kedekatan itu menjauhkan.

Kota-kota modern diisi banyak monumen untuk mengingat. Namun penghuninya justru mudah lupa. Warga kota adalah warga pelupa. Ingatannya pendek. Yang ada adalah pikiran jangka pendek, ke depan maupun ke belakang, tanpa ada mentalitas kritis reflektif yang menjadi pemicu lahirnya peradaban.

Kota-kota modern adalah ruang-ruang ekonomi. Pasar bertebaran. Namun kemiskinan dan kesenjangan sosial berkembang semakin besar. Bertambahnya pasar dan ruang-ruang ekonomi masyarakat justru mempermiskin rakyat kebanyakan yang sudah kalah bersaing, bahkan sebelum mereka mulai bertarung.

Paradoks

Paradoks menjadi udara dari kota-kota modern. Kota modern menandai ciri mendasar manusia yang ingin dilenyapkan oleh stabilitas, yakni dialektika abadi. Usaha untuk mencapai tujuan tumbang menghasilkan banyak hal yang berlawanan dengan tujuan itu sendiri. Kota modern adalah kota yang serba salah.

Yang serba salah dan paradoks itu bukan hanya kota, melainkan penghuninya, yakni manusia. Manusia adalah mahluk yang serba salah. Upaya menciptakan surga di dunia berakhir dengan terciptanya neraka yang lebih kejam. Upaya menghadirkan stabilitas justru melahirkan anarki yang bermuara pada kehancuran. Hidup ini memang serba salah.

Yang perlu dijaga adalah kesadaran akan keserbasalahan manusia ini. Hegel menyebutnya dialektika. Giddens menyebutnya kesadaran kritis untuk terus mempertanyakan praktek-praktek sosial. Saya menyebutnya keberanian untuk menerima ketidaksempurnaan hidup.  ***

Gambar dari http://thepasswordisswordfish.files.wordpress.com/2008/10/city_of_ember_4.jpg

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Democracy and Contradiction

tony-blairxx REZA A.A WATTIMENA

The day is Friday 29th January 2010. Tony Blair, ex prime minister of United Kingdom, has been interrogated by the Iraq War Commission in London, England. For six hours, Blair has to testify in hearing concerning the British military support to attack Iraq in 2003.

On 2003, most of the people in England were against his war policy. However, Blair insisted to attack Iraq by giving military support for US army at that time. And now, he has to take responsible for his controversial political decision. (Kompas, 30th January 2010)

Contradiction

We can learn at least two things from this event. First, law is for all, especially for the political elites. Law is the main measure to make a political decision. When someone broke it, he has to face legal charges. This also applies for president and other political leaders.

The society at large has a sacred duty to uphold this notion, namely that every people are a subject to the same just law, no matter what status he or she has. There will be many challenges. However, like the old saying, even though the world destroys, justice has to be upheld. This is the eternal and the most important principle in life.

contradiction Second, the true political authority in democratic society is the people. The people choose the parliament as the representation of the people’s interest. The parliament then assemble together to legislate law for the sake of people’s interest. The relation between the people and parliament is a sacred political relationship, and play role as the essence of democracy itself.

Contradiction of political power will happen, when parliament and the government take different path from their reason of existence, namely to represent the people. If this political contradiction happens, then the political stability will shake. Therefore, the political elites, the government and parliament, have to control their political decision in line with the general public interest.

In Indonesia, the people have the evil assumption that the political elites don’t have to obey the laws. The real political authority is not the people, is never the people, but the political and economic elites who make decisions in their cozy chair and table. It’s hard to imagine that this thing happens to a country who proclaimed itself as democratic nation. In this sense, the essence of democracy in Indonesia is contradiction. It means that democracy in Indonesia is destroying its own basic principles.

The Essence of Power

When lost, a person needs to find the reason of his existence. He or she needs to start from scratch. If the essence of democracy in Indonesia is contradiction, namely the democratic practices that destroy its basic principles, then we need to start from the scratch in our effort to create democratic society. Furthermore, we need to ask the very fundamental question in politics, namely what is the essence of power?

The political philosophers have tried to answer that question. In totalitarian society, the essence of power is the fulfillment of the leader’s needs and personal ambitions. In return, the political leader will try to make its citizens prosperous. The people’s welfare is not the main purpose of government, but only its side effect.

FuturePower In theocratic society, the essence of power is the effort to worship God that refers to a certain religious tradition. The state is ruled with constant control based on religious doctrines. In theocratic society, the prosperity of the people also not the main purpose of government. It is only the side effect, nothing more, nothing less.

These two forms of political power already been left by many countries. Powerful critics against those two forms of power give rise to the new form of political power, namely the democratic power. In democratic society, power is in the hand of the people. They will choose parliament as their political representation.

The parliament will legislate law that in parallel with the interest of the people. At this point, the highest authority is in the law which is the embodiment of the people’s interest. In Indonesia, this ideal is still far from reality. Democracy destroys its own principles.

Political elites in Indonesia stand above the law. As a consequence, when they act not in according to law, they can walk away without any legal sanction. They forget about their reason of existence as the representation of the people. Democracy in Indonesia has its full self-contradiction.

When we’re lost, we have to find the way to track our main and starting purpose. We have to this in the context of Indonesia. The democratic contradiction cannot develop to some kind of anarchy or social revolution which will have monstrous cost, socially and politically. On the contrary, as in the dialectic logic, democratic contradiction has to be change to democratic synthesis.

And maybe one day, we can have enough courage to deal with our corrupt political leader in front of just and legitimate law, as the British society stand up to their former prime minister.***

Picture is taken from the various sources in the Google Pictures

Writer is lecturer from Faculty of Philosophy, Widya Mandala Catholic University, Surabaya, Indonesia

Slavoj Žižek dan Fenomena “Kesurupan Otak”

slavoj_zizek Oleh: REZA A.A WATTIMENA

“Lihat teman saya Peter Sloterdijk. Saya sangat menyukai dia. Tapi jelas ia harus dikirim ke kamp kerja paksa. Ia akan memperoleh posisi lebih bagus disana. Mungkin ia bisa bekerja sebagai koki,” demikian kata Žižek.

Waktu masih menunjukkan jam 5 pagi. Žižek sudah siap menuju ke Konferensi Komunis di Berlin. Ia tinggal di Ljubljana, Slovenia, dan bekerja sebagai professor filsafat disana. Ia sebal karena harus mendengarkan pidato Alan Badiou di acara pembukaan.

Yang juga menarik adalah, bahwa Antonio Negri, yang merupakan musuh besar teoritis Alan Badiou, juga akan datang. Apa yang kiranya akan menjadi tema pembicaraan Negri? Hmm..

Tentu saja Žižek tidak bisa menghabiskan waktunya berpikir seperti ini. Ini menggelisahkan. Ia pun mengambil catatan kecilnya, dan mulai berpikir untuk berbicara apa di dalam presentasi yang akan ia lakukan selama lebih dari satu jam nanti. Mungkin.. ia akan berbicara soal Marx. Juga soal Hegel, dan tentu saja ia akan mengajukan kritik tajam pada pemikiran Badiou maupun Negri.

Ternyata catatan kecilnya hilang. Ia sulit menemukannya kembali. Tapi tenang saja, Žižek penuh dengan ide yang siap untuk dilontarkan. Di dalam tasnya ia hanya membawa satu kaos. Cuaca panas. Žižek sudah berkeringat. Sebentar lagi konferensi komunis internasional akan segera dimulai.

Tiga Raja

Tiga filsuf besar dari aliran kiri baru akan menjadi pembicara di acara tersebut. Konferensi akan diselenggarakan di Teater Berlin Volkbühne pada akhir Juni 2010. Yang pertama adalah Antonio Negri. Ia adalah orang Italia. Usianya sudah lebih dari 70 tahun. Ia pernah menjadi tahanan politik. Ia menulis buku yang berjudul Empire. Buku itu menjadi buku Neo Marxis paling laku terjual sepuluh tahun terakhir ini.

Yang kedua adalah Alan Badiou, seorang filsuf Perancis. Umurnya sekitar 70 tahun. Pemikirannya sangat abstrak. Ia sangat dipengaruhi pemikiran Mao Tse Tung, dan seorang filsuf universalis, yakni filsuf yang mencari prinsip-prinsip universal di dalam sejarah. Ia memiliki hipotesis tentang komunisme, dan terobsesi untuk mengembangkannya terus menerus.

Yang terakhir adalah Slavoj Žižek. Ia banyak dikenal sebagai seorang psikoanalis, dan berasal dari Slovania. Usianya sekitar 60 tahun, dan mengajar filsafat di Ljubljana. Selain itu ia juga mengajar di London dan Swiss. Žižek mendapatkan julukan dari salah seorang musuh teoritisnya, yakni sebagai filsuf yang paling berbahaya di Barat sekarang ini. Lucunya Žižek sangat menyukai julukan itu.

Mereka adalah dosen dan intelektual publik. Namun lebih dari itu, mereka adalah selebritis, seperti layaknya Albert Camus, Jean-Paul Sartre, dan Michel Foucault pada era 1960-an. Posisi selebritis-filsuf ini sudah kosong cukup lama. Sebenarnya ada satu filsuf yang sempat menempatinya, yakni Bernard Henri-Levy. Žižek tidak suka pada orang ini. Baginya Henri-Levy terlalu banyak menunjukkan bulu dadanya di muka umum.

Sosialisme sempat sekarat. Negri yang membangkitkannya kembali, sekitar 10 tahun yang lalu. Sosialisme di negara-negara Eropa Timur telah gagal. Francis Fukuyama bahkan menyatakan berakhirnya sejarah dengan kemenangan kapitalisme. Negri menantangnya. Negri tidak hanya seorang intelektual, tetapi juga seorang pejuang kelas sosial yang revolusioner. Ia pernah dipenjara karena dituduh menjadi bagian dari kelompok teroris brigade merah.

slavoj_zizek1 Di dalam merumuskan pemikirannya yang revolusioner, Negri banyak dibantu oleh Michael Hardt, seorang professor literatur asal Amerika Serikat. Tiga buku pun lahir. Semuanya menjadi best-seller global. Yang paling sukses adalah buku yang berjudul Empire. Buku itu menjadi kitab suci bagi kaum simpatisan Mao, dan orang-orang yang menantang dominasi negara-negara G8 (sekarang G-20).

Mereka bertiga yakni Badio, Negri, dan Žižek adalah teman lama. Untuk beberapa waktu mereka bekerja sama. Ketiganya saling memperhatikan sepak terjang satu sama lain. Negri terlalu revolusioner dan praktis untuk Badiou. Dan sebaliknya Badio terlalu abstrak untuk Negri. Žižek menulis begitu banyak buku, bahkan ia sendiri pun tidak punya kesempatan untuk membaca semuanya.

Perdebatan

Hari sudah siang. Žižek duduk di baris depan di teater di Berlin. Ini membuat dia tidak bisa banyak berkutik selama kurang lebih satu jam. Žižek memiliki banyak bakat terpendam. Namun sayangnya diam dan menunggu bukan salah satunya. Di kursi sebelahnya terdapat tas plastik. Isinya adalah segala sesuatu yang menjadi keperluannya selama seminar yang akan berlangsung tiga hari.

Ruangan sudah penuh. Ada sekitar 1000 peserta datang untuk mengikuti seminar. Mayoritas peserta adalah anak muda berumur di bawah 30 tahun. Mereka menamakan diri mereka sebagai kaum kiri. Mereka adalah kelompok sub kultur yang spesial. Beberapa di antaranya berdandan seperti Sartre. Lainnya seperti Brecht. Dan beberapa lainnya berdandan begitu unik, seolah mereka hendak pergi ke Asia dan mulai bermain sirkus. Ketika duduk mereka semua mengenakan headphone, supaya bisa mendengar terjemahan dari presentasi Badiou, Negri, dan Žižek. Hanya Žižek yang tidak mengenakan headphone. Ia fasih dalam enam bahasa, termasuk Jerman.

Mayoritas presentasi sangatlah sulit untuk dimengerti. Namun konferensi ini memang tidak untuk memberikan jawaban pasti tentang semua persoalan. Jika ingin jawaban pasti, orang bisa langsung bertanya ke partai buruh, atau partai kiri lainnya. Konferensi itu tidak ingin melihat kembali ke masa lalu, yakni ke masa di mana komunisme di tangan Stalin dan Pol Pot membunuh lebih dari 30 juta orang. Konferensi ini soal teori, tepatnya soal membuat terobosan teoritis. Konferensi ini soal merumuskan ulang hipotesis komunisme (Badiou), tentang mencari prinsip-prinsip universal, tentang merumuskan manusia sebagai subyek sejarah, tentang momen-momen kebenaran, tentang Hegel, Lacan, dan juga tentang psikoanalisis.

Pada waktu yang sama, Piala Dunia di Afrika Selatan dimulai. Mengapa mereka tidak duduk santai dan menikmati pertandingan bola saja? Apa sebenarnya yang mereka cari?

Filsafat yang Mendunia

Setelah resesi dunia 2008 lalu, banyak orang mulai berpikir ulang soal status kapitalisme. Muncul kerinduan untuk merumuskan ulang teori-teori kiri sebagai alternatif. Masalah ekonomi semakin rumit. Demokrasi kehilangan pesonanya. Pemerintahan berbagai negara kehilangan legitimasinya. Bank-bank bermanuver tanpa kontrol. Filsafat di sisi lain justru semakin abstrak, dan tercabut dari persoalan dunia.

Slavoj_Zizek_in_Liverpool_2 Filsafat tidak lagi menggerakkan dunia, sebagaimana pernah terjadi pada dekade 1960-an. Filsafat telah berubah. Sekarang filsafat lebih dekat ke studi-studi budaya. Filsafat menjadi cenderung mirip dengan sastra, terutama di tangan Deleuze, Roland Barthes, dan Peter Sloterdijk.

Filsafat telah menjadi sesuatu yang seksi. Filsafat bisa menghibur seperti layaknya musik dan film-film komedi. Žižek melakukan semua ini. Bahkan banyak orang berkata, Žižek merumuskan ulang tentang peran filsuf bagi dunia. Namun bagi beberapa orang, Žižek justru merusak peran luhur para filsuf.

Badiou sudah memulai pidatonya. Žižek duduk dengan gelisah di barisan paling depan. Bibirnya bergerak-gerak. Badiou tampak rapi dan berwibawa. Ia tidak tampak seperti seorang revolusioner. Ia justru lebih mirip pegawai negeri yang rapi dan patriotik. Di sisi lain Negri tampak sangat berkebalikan dengan Badiou. Ia seperti baru saja dilepaskan dari penjara.

Di awal pidato Badiou mengutip perkataan Mao, “Bersikaplah tegas, jangan takut berkorban dan melampaui semua kesulitan untuk mencapai kemenangan.” Žižek mengajukan interupsi. Ia kemudian mengutip pernyataan Samuel Beckett, “Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik.” Ia kemudian tertawa. Ia menoleh ke belakangan untuk melihat, apakah ada orang yang tertawa bersamanya.

Žižek adalah orang yang sangat unik. Ia bisa berbicara jauh lebih cepat dari pikirannya. Ia seperti palu beton. Ia telah menulis lebih dari 50 buku. Semuanya telah diterjemahkan lebih dari 20 bahasa. Buku terakhirnya berjudul Living in the End Times. Tebalnya 400 halaman. Isinya tentang hancurnya demokrasi liberal.

Ia memberi kuliah lebih dari 200 kali dalam setahun. Ia juga bekerja sebagai professor terbang di berbagai universitas bergengsi di Amerika Serikat. Baru-baru ini ia berbicara di depan 2000 orang di Buenos Aires. Sudah ada dua film dokumenter tentangnya. Ada pula jurnal ilmiah yang secara khusus membahas pemikiran-pemikirannya. Ada kaos Žižek. Ada studio rekaman Žižek. Ada klub Žižek.

Argumennya dibangun dari persilangan antara idealisme Hegel dan psikoanalisis Jacques Lacan. Hasilnya adalah kritik film, kritik atas demokzizek1rasi, kritik atas kapitalisme, kritik atas ideologi, dan beberapa kali kritik terhadap rutinitas kehidupan sehari-hari. Ia bahkan bisa menjelaskan esensi orang Amerika, Jerman, dan Perancis dengan berpijak pada perilaku mereka di kamar mandi. Ia tak ragu mengeluarkan kata-kata kasar di depan publik. Bahkan jika ia berkuasa, ia akan mengirim para musuh teoritisnya ke kamp kerja paksa.

“Lihat teman saya Peter Sloterdijk. Saya sangat menyukai dia. Tapi jelas ia harus dikirim ke kamp kerja paksa. Ia akan memperoleh posisi lebih bagus disana. Mungkin ia bisa bekerja sebagai koki,” demikian kata Žižek.

Ia berbicara dengan kesan berlebihan yang sangat tampak. Itu yang membuat pendengarnya tertawa. “Tahukah anda?,” demikian katanya sekali waktu, “film terbaik tentang holocaust adalah komedi.”

Kamar Žižek

Žižek gemar mengajukan argumen yang bertentangan secara diametral dengan lawan bicaranya. Ia pun bisa membuktikan kebenaran argumennya. Ia menyebut kemampuan ini sebagai kontra intuisi observasi. Bentuk argumen favoritnya adalah paradoks. Dengan keahliannya di bidang psikoanalisis, ia menunjukkan bagaimana demokrasi liberal telah menipu begitu banyak orang.

Demokrasi liberal itu seperti orang yang memencet tombol tutup pintu pada lift. Tidak ada gunanya. Pintu lift tidak akan menutup lebih cepat. Inilah yang disebutnya sebagai ilusi tentang kontrol. Tampaknya kita mengontrol sesuatu (pintu tertutup lebih cepat), padahal tidak. Dengan memilih di dalam pemilu, orang mendapat kesan, bahwa mereka mengontrol sesuatu, padahal tidak. Kontrol pada pemerintah adalah ilusi, kata Žižek.

Žižek dituduh untuk mengembalikan pemerintahan otoriter khas Stalin. Ia juga dianggap sangat berbahaya, karena berupaya menyembunyikan sikap otoriternya itu dengan selubung akademis dan budaya populer. Penerbit Suhrkamp bahkan menyingkirkan beberapa paragraf di dalam buku Žižek yang berbau totalitarianisme.

Di kamarnya terdapat dua poster Joseph Stalin. “Gambar itu tidak berarti apa-apa. Itu semua hanya lelucon,” kata Žižek. Jika ada orang yang terganggu, ia tidak akan ragu-ragu untuk melepas poster tersebut. Terus terang ia lelah dituduh sebagai pendukung Stalin. Di berbagai majalah, Žižek dituduh melupakan sejarah gelap komunisme. Pikiran-pikirannya dianggap fasis. Di tempat lain ia dituduh sebagai seorang anti Yahudi. Bagi Žižek orang-orang yang mengkritiknya dengan cara ini sesungguhnya tidak sungguh mengerti pemikirannya.

Baginya filsafat adalah upaya berpikir melampaui batas-batas. Filsafat adalah cara berpikir yang melampaui hal-hal praktis.

zizekshitting Žižek tinggal di apartemen di Ljubljana. Ia sudah tinggal di situ sejak lama, bahkan sejak Tito masih berkuasa secara politis. Ada tiga kamar di apartemennya. Semuanya kurang tertata dengan rapih. Ada rak buku, tempat DVD, dan baju-baju kotor yang belum dicuci.

Ia tinggal disana sendirian. Beberapa kali anak laki-laki dari pernikahan keduanya akan datang untuk menginap. Dia baru saja kembali dari perjalanan ke Cina dan Los Angeles. Dia berbicara soal Mao di Cina. Pemerintah Cina mengundangnya karena ia dikenal sebagai pionir pemikiran komunisme dewasa ini. Namun Žižek yakin bahwa mereka tidak sungguh mengerti pemikirannya.

Ketika berbicara di muka umum, Žižek seperti kombinasi ganjil antara pelawak dan filsuf. Tapi ketika berbicara tentang Hegel, aura pelawak itu lenyap. Ia sedang menulis buku tentang Hegel. Tebalnya sudah 700 halaman. Itupun belum selesai. Bagi orang-orang normal, menulis buku adalah pekerjaan yang melelahkan. Dibutuhkan kurang lebih 10 tahun untuk menulis setebal 700 halaman tentang salah satu filsuf yang pemikirannya paling sulit sepanjang sejarah ini. Ajaibnya Žižek menulis 700 halaman ini hanya dalam beberapa bulan. Itu pun dilakukannya dalam perjalanan di pesawat.

Žižek juga terobsesi dengan pemikiran Lacan. Salah satu konsep yang sering dikutipnya adalah konsep the real. The real adalah ketidakmungkinan, yakni negasi dari semua simbol maupun imaji yang mengepung rutinitas kehidupan manusia. Negasi ini adalah penolakan, anti tesis, dari peristiwa. Sifatnya menyentuh ketidakmungkinan sehingga pasti mengguncang orang yang mengalaminya.

Aspek ketidakmungkinan ini juga tidak dapat sepenuhnya dirasakan, walaupun ada dan terjadi pada setiap orang. Ini seperti konsep benda pada dirinya sendiri di filsafat Kant. Kita tahu tapi kita tidak pernah sungguh memahaminya. The real itu seperti keajaiban, atau yang disebut Žižek sebagai keajaiban Lacanian. The real adalah ketidakmungkinan yang tidak dapat digambarkan atau disimbolisasikan, karena ia begitu unik dan mengguncang, seperti orgasme ketika berhubungan seks.

Cobalah anda melakukan hal gila yang bertentangan dengan semua kebiasaan anda. Itulah the real. Anda tidak bisa membenarkan atau menjelaskannya. The real bisa adalah perjumpaan yang tak terjelaskan yang membangunkan kita dari rutinitas kehidupan.

Kant pernah berkata bahwa kita tidak bisa sungguh tahu, apakah perbuatan kita itu sungguh dilandasi kehendak baik, atau sudah tercampur dengan kehendak lainnya. Žižek ingin membalik pandangan itu. Baginya kita bisa bertindak baik dan bebas. Namun kita terlalu takut untuk menerimanya. Maka tindakan itu masuk ke area simbol dan gambar, dan tidak pernah menjadi the real itu sendiri. The real itu traumatis, kata Žižek.

Manusia itu muak dengan dirinya sampai dia mati, kata Žižek sembari mengutip Kierkegaard. Fakta ini begitu traumatis, sehingga manusia menolaknya. Fakta ini adalah the real. Ia bisa dijumpai tetapi terlalu takut untuk diakui. Sama halnya dengan kebebasan. Kebebasan itu mencemaskan dan membuat trauma. Kebebasan adalah kodrat manusia yang paling sulit untuk diterima. Kebebasan adalah the real itu sendiri. Ketakutan terbesar manusia adalah, bahwa keajaiban itu ada. Keajaiban itu bernama kebebasan.

Akhir Juni 2010

black.14190637_std Konferensi sudah memasuki hari kedua. Žižek berkeringat. Ia menginterupsi presentasi Negri yang telah menuduhnya melupakan konsep perjuangan kelas. Bagi Negri yang terpenting adalah merumuskan kesamaan di antara berbagai individu yang berbeda, dan ini kemudian menjadi sumber perubahan yang luar biasa besar. Tentu saja argumen ini terlalu sederhana untuk Žižek. Baginya untuk membuat perubahan radikal, orang harus berada di luar sistem. Selama orang masih hidup dalam sistem yang sama, tidak mungkin ia bisa membuat perubahan yang radikal di sistem tersebut.

Bagi Negri filsafat Žižek telah mengosong subyek dari karakter terpentingnya, yakni karakter revolusioner. Tanpa konsep subyek revolusioner, tidak akan pernah ada perubahan. Badiou diam saja mendengar perdebatan tersebut. Moderator memberikan kesempatan bagi Badiou untuk menanggapi. Tapi ia diam saja. Mungkin besok, katanya.

“Revolusi itu mirip wanita,” kata Žižek. “Kita tidak mungkin hidup bersamanya, tetapi lebih tidak mungkin lagi hidup tanpanya. Oh… lupakan saja.” Mungkin Žižek sedang kesurupan otak.

Acuan:

Disadur secara bebas dari Phillip Oehmke, The Most Dangerous Philosopher in the West. Welcome to the Slavoj Žižek Show, dalam Der Spiegel On Line 8 Juli 2010. Konsep “kesurupan otak” saya peroleh dari diskusi bersama F. Budi Hardiman di Yahoo Messenger. Saya juga mengacu pada Slavoj Žižek dan Glyn Daly, Conversations with Žižek, Cambridge: Blackburn, 2004. Gambar diolah dari berbagai sumber di google pictures.

Penulis adalah Pengajar di Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Mitos, Makna, dan Kita

 

 

myth

Reza A.A Wattimena

Kerinduan akan makna mendorong manusia mencipta kata. Bahasa lahir dari upaya untuk menggambarkan maksud diri, dan memahami kerumitan semesta. Bahasa kemudian berkembang menjadi cerita yang memberikan makna, serta menjelaskan asal usul peristiwa. Lahirlah mitos di dalam kehidupan manusia.

Selama beribu-ribu tahun, mitos menjadi alat penjelas bagi manusia akan misteri dunia sekitarnya. Hujan turun. Panen gagal. Semuanya dijelaskan dalam kerangka bermakna yang disebut sebagai cerita.

Modernitas lahir dengan rasionalitasnya. Mitos ditantang dan dipandang sebagai mimpi belaka. Cerita lenyap digantikan penjelasan mekanistik tentang semesta. Yang hilang bukan hanya cerita, tetapi makna yang sebelumnya melingkupi dunia dengan kata.

Kelahiran Mitos

Mengapa mitos ada? Mitos lahir dari rasa terpesona. Hujan turun. Matahari terbit. Angin bertiup. Semuanya itu mempesona para pendahulu kita.

Keterpesonaan melahirkan pertanyaan sederhana, mengapa dan dari mana semua ini ada? Dari pertanyaan lahirlah pemikiran dan perdebatan yang bermuara pada penjelasan. Manusia adalah mahluk yang bertanya, namun dia juga mahluk yang rindu akan penjelasan. Mitos adalah penjelasan atas berbagai gejala dunia.

md167the-meaning-of-life-james-frey-posters Mengapa penjelasan itu perlu? Mengapa gejala dunia perlu untuk disibak? Ini semua soal eksistensi manusia, yakni dari mana dan kemana manusia itu akan berada. Mitos lahir dari rasa terpesona, berkembang menjadi cerita yang menjelaskan, dan bermuara untuk memberi makna pada eksistensi kita, manusia.

Mitos itu mulia. Ia membantu kita menentukan sikap di hadapan semesta yang tak berhingga. Ia menjelaskan dari mana dan hendak kemana eksistensi kita, manusia, menuju. Ia menjelaskan kita tentang asal muasal peristiwa dan fenomena dunia yang menggetarkan jiwa. Ia memandu kehidupan kita, manusia.

Segala sesuatu tidak pernah berjalan semulus yang direncanakan. Tampaknya begitulah kodrat manusia dan dunia. Mitos pun kehilangan kemuliaannya, dan berubah menjadi semata untuk membuat rakyatnya jinak. Otoritas politis dibenarkan dengan mitos, sehingga menutup kemungkinan kritik dari rakyat. Mitos pun menjadi alat penguasa untuk melestarikan kekuasaannya secara tidak sah, memperbudak rakyat dengan kebodohan, dan menciptakan manusia-manusia jinak.

Modernitas lahir menantang mitos yang telah diselewengkan. Dengan sains dan rasionalitas, modernitas hendak membersihkan dunia dari mitos. Semula tampak mulia karena modernitas mengubah cara berpikir manusia ke arah yang lebih masuk akal. Namun bersama dengan terkikisnya mitos, bersama itu pula eksistensi manusia menjadi tak terjelaskan, dan rasa terpesona akan dunia digantikan niat untuk menundukkan dunia di bawah kaki manusia.

Modernitas

Apakah modernitas masih memberikan tempat bagi mitos? Modernitas menyudutkan pola berpikir mitologis, dan menggantikannya dengan pola berpikir saintifik yang rindu akan penjelasan sebab akibat yang materialistik dan mekanistik. Modernitas itu kering. Ia mencabut manusia dari keberagamannya, dan mengganti cerita yang indah menjadi penjelasan yang menjemukan.

Di dalam kekeringannya modernitas membutuhkan mitos. Bahkan modernitas perlu menjadi mitos baru, sehingga terus bisa ditanggapi secara kritis. Mitos memberikan sentuhan personal dan estetik pada sains dan modernitas.

we Lebih jauh mitos mengajak manusia untuk kembali ke akar, yakni menemukan penjelasan akan keberadaannya. Mitos menjelaskan asal usul manusia, tidak dengan menjemukan, tetapi dengan narasi indah yang menggetarkan jiwa. Mitos menjelaskan kemana manusia menuju, tidak dengan pesimisme dan ancaman neraka, namun dengan cerita yang mengubah paradigma.

Mitos menegaskan eksistensi manusia, tidak dengan rumus yang membosankan, tetapi dengan tuturan yang mengundang pesona. Apakah itu kebohongan? Siapa yang sungguh tahu mana yang bohong dan mana yang tidak, ketika itu terkait dengan eksistensi dan asal usul manusia? Kita hanya bisa menebak, dan lebih baik hidup dengan cerita yang indah, bermakna, dan menggetarkan jiwa, daripada hidup dengan penjelasan kering yang menumpulkan imajinasi.

Mitos membantu manusia memahami relasinya dengan entitas lain. Salah satu fungsi mitos adalah menjaga harmoni alam dan manusia. Alam adalah luhur dan manusia hidup dalam relasi yang saling membutuhkan dengannya. Harmoni adalah tujuan dan alasan keberadaan mitos. Hilangnya mitos akan bermuara pada hilangnya harmoni manusia dengan alam, seperti yang kita alami sekarang ini.

Mitos membuat hidup manusia bermakna, dan apa yang lebih benar daripada makna? Kebermaknaan hidup adalah kebenaran tertinggi, dan itu melampaui retorika verifikasi ilmiah, atau penelitian saintifik. Mitos menegaskan eksistensi kita, manusia, dengan cara yang indah. Modernitas dengan sains dan rasionalitasnya perlu memeluk mitos untuk sungguh membuat eksistensi kita, manusia, yang singkat ini menjadi layak untuk dijalani. ***

Dipublikasikan di www.dapunta.com

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala, Surabaya

Aku Rakus Maka Aku Ada. Cerita tentang Kapitalisme

Technorati Tags: ,

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

“Silahkan sebar berita buruk tentang saya. Saya tidak peduli selama saya masih tetap kaya”, begitulah tanggapan seorang direktur perusahaan asuransi besar asal Amerika Serikat, ketika dikonfrontasi soal pelanggaran yang dilakukan perusahaannya. Ini dialog di dalam salah satu film yang diputar di stasiun televisi asing. Tentu saja dialog ini fiksi. Akan tetapi cara berpikir yang ada di belakang sang direktur tersebut identik dengan cara berpikir para konglomerat di seluruh dunia; tidak peduli dengan dunia, selama ia masih tetap kaya.

Saya menduga sang direktur tidak sendirian. Ratusan ribu direktur lainnya dari seluruh dunia hidup dan bertindak dengan pola berpikir serupa. Kerakusan adalah sifat yang inheren di dalam diri manusia. Sifat itu tidak akan berkembang, selama struktur sosial tidak mendukung perkembangannya.

Kapitalisme dalam segala bentuknya adalah sistem sosial yang secara langsung mendorong dan melestarikan kerakusan, baik di level individu maupun sosial. Kapitalisme adalah pelembagaan kerakusan. Yang lenyap di dalam kapitalisme adalah relasi yang manusiawi dan solidaritas sebagai komunitas. Relasi digantikan menjadi transaksi.

Seberapapun kita mengutuknya sulit untuk memikirkan dunia tanpa kapitalisme sekarang ini. Kapitalisme sebagai sistem yang mendorong dan melestarikan penumpukan modal sebesar-besarnya sudah berurat akar pada peradaban dunia. Yang bisa dilakukan adalah menggoyang pengandaian-pengandaian yang menjadi dasar dari sistem kapitalisme, yakni tentang apa artinya menjadi komunitas. Komunitas dibentuk melalui solidaritas, dan solidaritas dibentuk di dalam upaya tanpa lelah untuk melampaui kerakusan.

Esensi Kerakusan

Kerakusan itu inheren di dalam diri manusia. Ia tertanam jauh di dalam kemanusiaan setiap orang, dan menunggu untuk keluar serta merangsek yang ada di sekitarnya.  Ada dua kondisi hakiki manusia yang menjadi rahim bagi kerakusan, yakni hasrat untuk berkuasa dan rasa kurang yang tertanam di dalam diri setiap orang. Aku rakus maka aku ada, itulah diktum yang menjadi dasar dari sistem kapitalisme.

Lebih dari seratus tahun lalu, Nietzsche mengingatkan kita, bahwa peradaban didorong oleh suatu kekuatan purba yang tersembunyi, yakni kehendak untuk berkuasa. Moralitas dan agama adalah simbol luhur yang menutupi fakta mengerikan di baliknya, yakni kehendak untuk berkuasa. Atas nama moralitas orang menguasai dan menindas. Atas nama agama perang dan penghancuran dilakukan.

Sains dan teknologi adalah hasil ciptaan manusia yang bertujuan untuk menguasai dan mengontrol alam demi kepentingannya sendiri. Retorika kebaikan yang ada di dalam penciptaan dan penerapan teknologi sebenarnya menyembunyikan fakta penghancuran alam yang berkelanjutan. Sains dan teknologi adalah simbol kerakusan manusia yang terselubung, namun sangat ganas. Kedokteran adalah simbol kehendak manusia untuk menguasai kematian.

Kehendak untuk berkuasa tidak hanya tertanam sebagai kekuatan purba pembentuk peradaban, tetapi juga di dalam diri setiap individu. Kehendak untuk berkuasa inilah yang menjadi kondisi-kondisi yang melahirkan tindak rakus di dalam aktivitas sosial manusia. Kehendak untuk berkuasa itu membutakan. Ia membuat manusia melupakan nilai-nilai yang membuat kehidupan itu berarti.

Seorang filsuf asal Perancis, Jacques Lacan, pernah berpendapat, bahwa manusia adalah subyek yang selalu merasa kurang (lack). Jauh di dalam dirinya, manusia terus mencari tanpa pernah sungguh menemukan. Hidupnya bagaikan perjalanan yang tak mengenal kata akhir. Fakta ini mendorong orang untuk menaklukkan, dan menjadi tanah yang subur bagi tumbuhnya kerakusan.

Kapitalisme hidup dan berkembang di dalam pola berpikir penguasaan dan adanya rasa kurang yang tertanam di dalam diri manusia. Kehendak untuk berkuasa dan rasa kurang tersebut menciptakan kecemasan yang sangat mendasar, yakni kecemasan tentang keberadaan dirinya. Dengan pesona materialnya kapitalisme berusaha menenangkan kecemasan tersebut, walaupun selalu jatuh di dalam kegagalan. Inilah awal lahirnya berbagai bentuk kelainan jiwa di dalam masyarakat modern. Kegilaan (madness) lahir dan bertumbuh bersama dengan kapitalisme.

Melampaui Kerakusan

Sejuta kebijakan tidak akan bisa mengubah kerakusan yang bercokol pada diri individu dan masyarakat. Yang sungguh diperlukan adalah perubahan persepsi tentang dunia. Konsep aku (I) tidak bisa lagi dipandang sebagai aku yang terpisah dari kamu dan kalian, melainkan aku sebagai bagian dari kami. Konsep aku adalah konsep sesat yang segera harus direvisi.

Pada level kolektif konsep kita (we) harus diubah menjadi kami (us). Kita itu mengikat yang sama, dan memisahkan yang berbeda. Kekitaan adalah awal dari prasangka, dan prasangka adalah pemicu konflik yang paling efektif. Sementara kami itu ingin memeluk semua. Kami tidak memisahkan melainkan ingin menyatukan diri secara harmonis dengan yang berbeda.

Kekamian lahir dari kesadaran penuh, bahwa manusia saling membutuhkan, lepas dari segala perbedaan yang sudah ada, maupun yang akan ada. Kerakusan mengancam kekamian maka harus dilenyapkan. Masyarakat yang hidup dengan paradigma kekitaan perlahan namun pasti akan lenyap ditelan perubahan jaman. Aku rakus maka aku ada adalah diktum yang mengarah pada perpecahan dan kehancuran. Diktum baru yang menunggu untuk lahir adalah; aku menjadi kami, maka aku ada. Kami ada. ***

Gambar dari http://www.onepennysheet.com/wp-content/uploads/2010/03/Greedy2.jpg

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya


Indonesia and the Politics of Escapism

trapped-white-shadow-400a061807

By: Reza A.A Wattimena

 

During one of his speech, Susilo Bambang Yudhoyono, President of the Republic of Indonesia, stated that democracy have to pay attention to decency. He said that we, as a nation, have to learn from the prophet Mohammad about justice and wisdom concerning political leadership.

About the same time, but in different place, the vice president, Boediono, said that life is full of risk. He wanted to avoid legal accusation that take in place about his act concerning Century bailout. He also said that in his late life, he will use his strength for the interest of his country. Why later and not now, during his vice presidency? (Kompas, 27 Februari 2010)

What can we learn and analyze from these two nation’s leaders statements? On the one side, SBY mixed the political argumentation with religious argumentation. On the other side, his vice president Boediono mixed the political argumentation with existential argumentation, namely his personal reflection concerning his late life.

Both of our nation’s leaders showed the symptoms of escapism, namely the tendencies to avoid the main problems, and move to holy but somewhat illogical rhetoric which don’t have any direct connection with the pressing problems. In other words, both of them try to avoid dealing with the source of the social and political problems.

Escapism

In Indonesia, the tendencies of escapism are quite common. In one of his articles in Kompas Daily, Ignas Kleden already gave his perspective concerning this matter. He wrote that many politicians in Indonesia refuse to use argumentum ad rem pattern of communication, and use the contrary, namely the argumentation which the sole purpose is to make the audience confuse, and therefore do not attack the core of the problems. Many politicians used this pattern of communication during the general election in 2009.

Actually, why people using the escapism pattern of communication? I can answer this question with three arguments. First, the escapism pattern of communication is a sign of weakness. It is a sign of the one’s inability to really analyze and solve the problems. However, this inability hides behind the moral and holy rhetorical argumentation. We can easily find this tendency in the argumentation of many politicians in Indonesia.

Second, the escapism pattern of communication is the effort to misguide people from the main problems. The purpose is to cover the political mistake made by certain politician so the people turn blind on it. The logic behind this second reason of escapism pattern of communication is the camouflage mechanism, namely the mechanism to change the public discourse to take people’s attention in the wrong direction. If this mechanism work, than the related political will not get punish or face any responsibilities for his or her act.

This second reason of escapism pattern of communication is not a sign of weakness. On the contrary, it is a sign of strength. Politicians and many other people use it to control the public discourse and the public opinion, so he or she doesn’t have to responsible for their act.

Third, the escapism pattern of communication is an effort to maintain the image and reputation of certain in person in public. The root of the problems never becomes part of deep and serious discussion. Holy argumentation and morality becomes the main subject of rhetoric. The purpose is clear, so the person will be connected with the morality that came out of his or her speech.

In the matter of politics, Indonesian politicians are more concern with image than with essence. This kind of thinking drives the politician and other public figures to avoid serious discussion concerning pressing social problems. The reason is simple, they cannot do it, and so they avoid it.

The Effects

What are the effects of escapism political style? The effects are obvious. Various pressing problems in society will never be solved. It will never be a part of serious and critical discussion or intense public debate. The mother of all problems in Indonesia, namely corruption, will never end.

Corruption will be a cancer in Indonesian social and political life, because it never seriously faced with clear thinking and courageous act. On the other hand, political leadership will never achieve effectiveness and acceptable legitimacy over the people. It all happens because there are no critical and deep discussions concerning social life. Public debate is filled with political ceremony full of holy and morality rhetoric, but so far from the main problems.

In the long term, people will give up with politics. The political life will surrounded by apathy. Extreme and shallow individualism will become society’s paradigm. The social solidarity will become merely imagination without reality.

These are the signs of political and cultural shallowness. All the sectors of public life don’t have strong roots, because it never becomes a part of critical debates among citizens. Education becomes merely the servants of business and industry. Health insurance becomes merely business to maximize profit. Politics is a matter of power struggle without the awareness to serve the public.

To steer clear of all those social problems, we need to change the pattern of our political communication. The escapism political style has to be abandoned. The morality and religious argumentation must be use after the strategic and sharp political decision already been discussed in critical public debates. The result of these debates is several practical principles and points, and will be applied with the political legitimacy of all the relevant citizens. **

Writer is the Lecturer in the Faculty of Philosophy Widya Mandala Catholic University, Surabaya

Etika Taoisme, Memperkenalkan Filsafat Taoisme

Google Images

Technorati Tags: ,,,i

Reza A.A Wattimena

Apakah anda mengetahui salah satu bela diri asal Jepang yang disebut sebagai Aikido? Nah, Aikido adalah bentuk ilustrasi hidup dari konsep etika wu-wei. Di dalam aikido, orang bergerak mengikuti keinginan dan arah gerakan lawannya, dan sama sekali tidak melakukan perlawanan. Teknik mengalahkan lawan bukan dengan menyerangnya dengan kekerasan, tetapi dengan secara pasif menggunakan kekuatannya untuk menjatuhkannya sendiri. Wu-wei, yang secara literer biasanya diterjemahkan sebagai non-tindakan (non-action), atau tidak bertindak apapun (doing nothing), adalah konsep terpenting di dalam etika Taoisme. Di dalam filsafat Tao, non tindakan berarti orang bertindak seturut dengan hukum-hukum langit (heaven). Jika dikaitkan dengan kehidupan manusia, non-tindakan mengacu pada sikap untuk tidak memaksakan hal-hal yang berjalan secara alami di dalam realitas. “Dengan demikian”, demikian tulis Alan Watts dalam bukunya tentang Taoisme, “non tindakan adalah suatu gaya hidup dari seseorang yang mengikuti Tao, dan harus dimengerti pertama-tama sebagai suatu bentuk kecerdasan.”[1] Jadi, non-tindakan adalah suatu bentuk kecerdasan tertentu, dan sekaligus tuntutan bagi orang untuk hidup berdasarkan Tao. Dua hal ini saling berkaitan, yakni seseorang mengikuti Tao karena ia memiliki kecerdasan untuk melakukan itu, atau karena ia memiliki kecerdasan tertentu, maka ia dapat mengikuti jalan Tao.

Pesan mendasar dari Taoisme adalah bahwa kehidupan ini terdiri keseluruhan yang bersifat organik dan saling terhubung (organic and interconnected whole), yang terus berubah secara konstan. Gerak perubahan yang bersifat tetap ini merupakan bagian dari tatanan alamiah alam semesta. Manusia berubah bersama alam yang terus berubah secara alami. Dengan menyadari adanya kesatuan antara alam dan manusia, dan belajar untuk hidup menyesuaikan diri dengan gerak alamiah alam, orang akan sampai pada keadaan yang sepenuhnya bebas dan merdeka, sekaligus secara langsung terhubung dengan gerak kehidupan dari alam semesta. Pada tahap ini, orang hidup bersama dan melalui Tao. Orang hidup dalam kesatuan dengan Tao. Ini adalah tingkat tertinggi di dalam kehidupan manusia.[2]

Secara literal, kata Taoisme mengacu pada suatu aliran pemikiran yang berfokus pada arti penting dari Tao, atau apa yang disebut sebagai “Jalan” (The Way). Definisi ini memang bernada terlalu umum. Akibatnya, banyak orang yang mengklaim sebagai seorang Taois memiliki definisi yang berbeda-beda tentang apa yang sesungguhnya dimaksud dengan Tao. Jadi, bahkan setiap individu yang mengklaim mengikuti “Jalan Tao” pun memiliki arti yang berbeda-beda tentang apa itu Tao sebenarnya. Walaupun tidak ada pengertian yang cukup umum diterima tentang apa itu Tao sebenarnya, tetapi di dalam Taoisme, kata Tao memiliki tempat yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan aliran-aliran lain yang juga menggunakan kata tersebut, seperti pada Konfusianisme misalnya.[3] Tao adalah konsep utama di dalam aliran pemikiran yang dirumuskan pertama kali oleh Lao Tzu dan Chuang Tzu. Di dalam aliran pemikiran ini, Tao dipandang sebagai sebuah konsep sentral yang bersifat metafisis yang memberi dasar bagi keseluruhan kehidupan.

Tao adalah sebuah konsep yang dirumuskan untuk secara langsung memahami berbagai peristiwa yang ada di dunia, baik peristiwa yang sederhana maupun peristiwa yang kompleks. Di dalam literatur-literatur klasik Cina, kata Taoisme pertama kali ditemukan di dalam tulisan-tulisan Shi Chi (Historical Records) yang ditulis oleh Ssu-ma Ch’ien (145-867 BC), yakni empat ratus tahun setelah kematian Lao Tzu. Menurut Ssu-ma Ch’ien, Taoisme memiliki tradisi yang sangat dipengaruhi oleh aliran Huang Lao. Huang Lao adalah aliran pemikiran yang didirikan oleh Kaisar Kuning (Yellow Emperor) yang dianggap sebagai salah satu nenek moyang orang-orang Cina. Aliran Huang Lao muncul pada sekitar abad ke-3 atau keempat sebelum Masehi, tepatnya pada masa Warring (Warring Period), dan menjadi semakin terkenal pada abad kedua sebelum Masehi, tepatnya pada masa pemerintahan Dinasti Han. Sejak saat itulah arti kata Tao menjadi semakin beragam dan rumit. Pada abad ketiga setelah Masehi, Taoisme tidak lagi diidentikan dengan aliran Huang Lao, tetapi dengan ajaran-ajaran Lao Tzu dan Chuang Tzu. Di titik inilah Taoisme tidak lagi berperan sebagai ajaran tentang kehidupan bersama dan tentang politik, tetapi lebih sebagai ajaran spiritual dan ajaran mistik (mystical learning). Taoisme pun menjadi suatu gerakan religius yang ditandai dengan upaya manusia untuk mencapai keabadian (immortality) dengan Lao Tzu sebagai tokoh utamanya.

Para ahli di Cina sekarang ini membedakan antara Taoisme sebagai filsafat, dan Taoisme sebagai agama. Taoisme sebagai filsafat disebut juga sebagai Tao Chia, sementara Taoisme sebagai agama disebut juga sebagai Tao Chiao. Sebagai sebuah ajaran filsafat, Taoisme bersama dengan Konfusianisme dan Buddhisme mendominasi kehidupan masyarakat Cina pada abad ketiga setelah Masehi. Ketiga aliran ini disebut juga sebagai “Ketiga Ajaran” (three teachings). Di dalam masyarakat Cina kontemporer, Konfusianisme memang memiliki pengaruh yang masih besar, tetapi tidak pernah menjadi sebuah ajaran yang memiliki institusi resmi, seperti misalnya yang terdapat di dalam Taoisme.[4]

Filsafat Taoisme

Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme didirikan oleh Lao Tzu pada abad keenam sebelum Masehi. Ajaran ini terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.”[5] Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.

Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang melakukan penelitian mendalam di bidang ini.

Memang, ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya beberapa julukan, seperti „Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“,[6] dan „Yang memiliki status sebagai Dewa“ (The Divine) itu sendiri.[7]

Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak pemahaman tentang tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf Taois berpendapat bahwa tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi spiritual. Oleh sebab itu, mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka agama Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang dapat dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang. Pada titik ini, kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam memaknai hidup.”[8] Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan, “Orang-orang Benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang mencintai kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun tentang membenci kematian.”[9] Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh… manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya.”[10] Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, demikian tulis Xiaogan, “…..adalah mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alamiah”.[11] Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip utama.

Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang tulus kepada orang tua mereka… sebagai prinsip dasar.”[12] K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia. Agama Taoisme memang memberikan perhatian besar pada kepentingan-kepentingan praktis yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat individualistik dan kritis, maka agama Taoisme dapat dipandang sebagai ajaran yang lebih bersifat sosial dan praktis.[13] Dalam arti ini, para filsuf Taoisme memiliki pengertian-pengertian yang agak berbeda tentang konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan te, jika dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.

Metafisika Taoisme

Lao Tzu dapatlah dipandang sebagai perumus sistem pemikiran metafisis pertama di dalam sejarah intelektual Cina. Fokus dari metafisikanya adalah konsep Tao itu sendiri. Secara literer, seperti sudah disinggung sebelumnya, Tao berarti “Jalan”. Definisi yang sangat umum membuat banyak aliran di dalam Taoisme mendefinisikan implikasi Tao bagi kehidupan bermasyarakat secara amat beragam. Menurut Lao Tzu, Tao adalah “sumber umum bagi seluruh alam semesta.”[14] Tao, dengan demikian, adalah suatu konsep metafisis. Tidaklah mungkin mencari padanan kata yang tepat untuk menggambarkan secara akurat arti dari kata Tao, bahkan di dalam bahasa Cina.

Akan tetapi, ada beberapa deskripsi yang kiranya bisa memberi gambaran yang cukup memadai tentang Tao. Tao adalah “asal usul yang unik tentang dunia.”[15] Lao Tzu secara eksplisit menulis, “Tao menghasilkan Yang Satu. Yang Satu menghasilkan yang Dua. Yang Dua menghasilkan yang Tiga, dan yang Tiga menghasilkan sepuluh ribu hal lainnya.”[16] Tao adalah sumber utama. Yang Satu (the One) adalah ada yang bersifat primordial (primordial being), atau Chaos itu sendiri. Yang Dua disebut juga sebagai yin, atau sisi feminin, sekaligus yang, atau sisi maskulin. Yin juga dikenal sebagai sisi negatif, dan Yang adalah sisi positif. Yang Tiga adalah kesatuan antara yin dan yang. Selain menjadi ajaran metafisis di dalam Taoisme, konsep-konsep seperti Tao, yang Satu, yang Dua, dan yang Tiga ini juga menjadi asal usul dari alam semesta itu sendiri. Ini adalah kisah penciptaan versi Taoisme.[17]

Tao menentukan segala sesuatu, dan segala sesuatu bergantung pada Tao. Lao Tzu sangat yakin, bahwa Tao bersifat universal. Segala sesuatu berasal dari Tao, dan merupakan pengembangan dari Tao itu sendiri. Tao, dengan demikian, juga merupakan proses yang bersifat universal dan prinsip tertinggi. Ini adalah ontologi yang paling mendasar dari Taoisme.

Tao juga memiliki sifat yang misterius. “Kita memandang Tao”, demikian tulis Lao Tzu, “tetapi tidak melihatnya… kita mendengar Tao tetapi tidak mendengarkannya…Kita menyentuhnya tetapi tidak menemukannya… Bergerak ke atas, tetapi tidak terang, dan bergerak rendah ke bawah, tetapi tidak gelap. Tidak terbatas… dan tidak bisa diberikan nama apapun.“[18] Tao tidaklah bisa dimengerti dengan akal budi dan panca indera manusia, tetapi Tao itu adalah ada-yang-nyata (real being). Tao berada di level yang melampaui pengetahuan biasa yang diperoleh melalui intelek manusia. Akan tetapi, Tao dapatlah diketahui melalui intuisi. „Pengejaran dalam hal pembelajaran“, demikian tambah Lao Tzu, „bergerak maju dari hari ke hari. Pengejaran dalam hal Tao menurun dari hari ke hari.“[19]Untuk menyadari keberadaan Tao, orang haruslah bergerak melampaui kemampuan kognitif mereka. Pengenalan atas Tao membutuhkan lebih dari sekedar „ketrampilan kognitif biasa yang dimiliki oleh orang pada umumnya.“[20] „Orang“, demikian Lao Tzu, „dapat melihat Tao Surga tanpa perlu melihat melalui jendela.“[21]

Tao bergerak secara alami dan spontan. Tao tidak memiliki kehendak ataupun tujuan. “Manusia”, demikian Lao Tzu, “mendapatkan modelnya dari bumi, bumi dari surga, surga dari Tao, dan Tao dari spontanitas.”[22] Tao “menyelesaikan tugasnya, tetapi tidak mengklaim kredit darinya. Tao memberikan pakaian dan makanan kepada semua hal tetapi tidak mengklaim menjadi penguasa atasnya. Tao selalu bergerak tanpa keinginan… segala sesuatu datang kepadanya dan Tao tidak menguasainya;”[23] Jadi, Tao bergerak secara alami. Akan tetapi, Tao bukanlah seperti Tuhan yang menciptakan dunia dengan tujuan tertentu. Di dalam Konfusianisme, Tao adalah prinsip umum yang mengatur moralitas dan politik, sementara Te adalah keutamaan individual. Akan tetapi, bagi Lao Tzu, Tao adalah realitas yang paling ultim sekaligus prinsip umum dari alam semesta. Sementara, Te adalah partikularisasi dari Tao yang terwujud dalam diri seseorang, ketika ia hidup sesuai dengan Tao.

Etika wu-wei

Seperti sudah disinggung sebelumnya, filsafat Lao Tzu sangat kritis terhadap tradisi. Metode yang ia pakai di dalam berfilsafat pun terkesan tidak umum. Misalnya, ia menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mengandung dua unsur yang saling berlawanan, dan setiap unsur yang berlawanan tersebut saling tergantung satu sama lain. “Ada dan Non-Ada”, demikian tulisnya, “menghasilkan satu sama lain, hal yang susah dan hal yang mudah menyempurnakan satu sama lain; panjang dan pendek saling berlawanan satu sama lain… depan dan belakang mengikuti satu sama lain. Dengan begitu, pesan agung yang ingin disampaikan adalah ketiadaan tindakan, dan menyebarkan doktrin tanpa kata-kata.”[24] Teori bahwa segala sesuatu yang bertentangan selalu mengandaikan dan mengubah satu sama lain merupakan dasar dari metafisika Taoisme, sekaligus fondasi bagi etika wu-wei, yang merupakan inti dari ajaran etika Taoisme. Aforisme Cina berikut ini menggambarkan dengan jelas pengandaian dasar etika Taoisme, “Malapetaka adalah sesuatu yang menjadi dasar bagi kebahagiaan; kebahagiaan adalah ketika malapetaka menjadi tersembunyi.”[25]

Di dalam tulisan-tulisannya, Lao Tzu membagi menjadi sekitar tujuh puluh konsep yang saling bertentangan, namun mengandaikan satu sama lain. Sebagian besar diantaranya dapat diringkas ke dalam perbedaan antara pasivitas dan aktivitas, antara kelembutan dan kekerasan, dan antara kompetisi dan kesabaran. Ia kemudian berpendapat, bahwa pasitivitas itu lebih menguntungkan daripada aktivitas. Kelembutan lebih berguna daripada kekerasan, dan kesabaran lebih berguna daripada kompetisi. “Memahami kemuliaan”, demikian tulisnya, “tetapi sekaligus menjaga kerendahatian, … memahami yang putih tetapi juga menjaga yang hitam.”[26] Karena orang mudah sekali jatuh ke dalam hal-hal yang berlawanan dari yang diinginkannya, maka adalah lebih baik bagi setiap orang, jika ia mulai dengan hal-hal yang tidak diinginkannya, lalu bergerak ke hal-hal yang diinginkannya. “Untuk memperoleh sesuatu”, demikian Lao Tzu, “adalah perlu bagi orang untuk pertama-tama memberi.”[27] Jadi, untuk mencapai sesuatu, orang harus pertama-tama memulai dengan yang berlawanan dari yang ingin dia capai. Dengan demikian, esensi dari pendekatan Lao Tzu adalah “dengan mulai mengejar tujuan dari titik yang secara diametral bertentangan dengan tujuan itu.”[28]

Dari kesimpulan di atas, kita bisa menarik poin bahwa inti dari etika Taoisme yang ditawarkan oleh Lao Tzu adalah wu-wei, yang dalam bahasa Cina secara literer berarti tidak adanya tindakan, atau tidak melakukan apa-apa. Hal ini tidak berarti bahwa orang murni tidak melakukan apapun secara mutlak. “Wu-wei”, demikian tulis Xiaogan dalam tulisannya tentang Taoisme, “adalah suatu konsep atau ide yang digunakan untuk menegasi atau mengurangi tindakan manusia.”[29] Dengan kata lain, wu-weiberarti pembatalan dan sekaligus pembatasan tingkah laku manusia, terutama tingkah laku di dalam dunia sosial. Ada beberapa tingkatan wu-wei di dalam Taoisme, mulai dari wu-wei sebagai tidak melakukan apapun, wu-wei sebagai melakukan tindakan seminimal mungkin, wu-wei sebagai tindakan pasif ke dalam dunia sosial, wu-wei sebagai sikap menunggu perubahan alami dari hal-hal yang ada, dan wu-wei sebagai bertindak seturut kondisi obyektif yang hakekat dari permasalahan yang ada. Yang terakhir ini sering juga disebut sebagai bertindak alami (acting naturally). Semua hal ini, menurut Xiaogan, bisa dipahami dalam satu konsep, yakni konsep non-tindakan (non-action).[30]Etika wu-wei adalah etika non-tindakan.

Lao Tzu sendiri sangat yakin, bahwa wu-wei akan dapat menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan damai. “Semakin besar hukum dan tatanan diberlakukan”, demikian tulisnya, “maka semakin banyak pencuri dan perampok.. oleh karena itu seorang bijak akan berkata: saya tidak bertindak apa-apa dan orang itu sendiri akan berubah.”[31] Lawan dari sikap wu-wei adalah yu-wei, atau apa yang disebut sebagai bertindak. Yu-wei ini menciptakan hukum dan tatanan, serta dengan itu juga menciptakan para pencuri dan orang-orang yang melanggar tatanan. Sementara kontras dengan itu, wu-wei menciptakan kemakmuran bersama, harmoni, dan kedamaian. “Sebuah kerajaan”, demikian tulis Lao Tzu, “seringkali diberikan kepada orang yang tidak melakukan tindakan. Jika orang melakukan tindakan, maka ia tidak cukup memadai untuk memenangkan sebuah kerajaan.”[32]Kehidupan yang ideal hanya dapat dicapai, jika orang menerapkan etika wu-wei ini di dalam hidupnya.

Wu-wei sangat menekankan nilai-nilai spesifik, seperti pasivitas, sikap mengalah, dan ketenangan. Menurut Lao Tzu, nilai-nilai ini sangatlah penting, terutama bagi orang-orang yang lemah dan tidak beruntung di dalam hidupnya. Dengan menerapkan wu-wei di dalam hidupnya, orang-orang yang lemah bisa menaklukan orang-orang yang kuat dengan kelembutannya. Inilah keuntungan dari sikapwu-wei. “Hal yang paling lembut di dunia”, demikian Lao Tzu, “dapat melampaui hal yang paling keras di dunia… melalui inilah saya mengetahui keuntungan untuk tidak mengambil tindakan apapun.”[33] Di dalam dunia manusia, menurutnya, negara-negara yang kuat dapat dengan mudah mendeklarasikan sebuah perang. Akan tetapi pada akhirnya, negara-negara yang lebih lemahlah yang akan menang. Ini adalah kebenaran yang nyata, bahwa kelemahlembutan dapat melampaui kekerasan. Walaupun begitu nyata, tetapi orang begitu cepat lupa dengan hal ini, sekaligus begitu sulit untuk mempertahankan kesadaran semacam ini.

Konsep lainnya yang sangat penting di dalam etika Taoisme adalah tzu-jan, atau apa yang disebut sebagai spontanitas. Tzu-jan juga bisa berarti “menjadi alami” (being natural). Karena Tao adalah sesuatu yang alami, dan segala sesuatu berasal dari Tao, maka segala sesuatu di dunia ini juga bersifat alami. Dan segala sesuatu yang bersifat alami selalu berjalan dengan spontanitas. Suatu sikap yang didasarkan pada sesuatu yang tidak natural biasanya akan berakhir dengan kegagalan. “Kepercayaan bahwa alam semesta dan kehidupan sosial akan berkembang secara spontan”, demikian tulis Xiaogan, “adalah fondasi dari teori etika wu-wei, sekaligus fondasi dari filsafat Tao.”[34] Di dalam penafsiran-penafsiran kontemporer, tzu-jan juga dipahami sebagai suatu kesadaran bahwa realitas ini akan berubah tanpa keterputusan total, dan perubahan itu sendiri akan datang tanpa konflik dan tanpa kekerasan.

Taoisme tentang Politik dan Masyarakat

Pemikiran Taoisme Lao Tzu juga bisa diterapkan dalam konteks kehidupan sosial. Masyarakat ideal Taoisme adalah masyarakat primitif dengan tata kehidupan yang alami, harmonis, sederhana, dan berjalan tanpa kompetisi ataupun perang.

“Biarlah ada sebuah negara kecil dengan populasi yang kecil… biarlah orang memberi nilai tinggi bagi kehidupan mereka dan tidak bermigrasi ke tempat yang jauh… biarlah mereka makan dengan senang, menikmati pakaian mereka, nyaman dengan rumah mereka, dan puas dengan budaya mereka.”[35]

Ini adalah gambaran indah tentang masyarakat yang dicita-citakan oleh Lao Tzu, yakni masyarakat agraris primitif yang hidup dengan kedamaian, kebahagiaan, dan kepuasan.

Gambaran ini juga sekaligus merupakan kritik terhadap masyarakat kontemporer. Lao Tzu secara tegas mengutuk para penguasa. “Warga kelaparan”, demikian tulisnya, “karena para penguasa mengambil terlalu banyak pajak gandum… warga memandang kematian dengan begitu mudah dan begitu gampang karena penguasa memelihara kehidupan mereka secara berlebihan.”[36] Di dalam pandangan filsafat Taoisme, kekuasaan adalah sumber dari segala ketidakberuntungan dan kekacauan.

Filsafat Taoisme telah mempengaruhi budaya Cina secara mendalam. Akan tetapi, arti penting Taoisme justru baru bisa dimengerti, jika kita mengontraskan ajaran ini dengan Konfusianisme. Konfusianisme menekankan bahwa setiap orang haruslah menerima kewajiban dan tanggung jawab sosial mereka. Bahkan seringkali dikatakan, bahwa Konfusius adalah orang yang akan melakukan kewajibannya, walaupun hal itu tampak tidak mungkin untuk dilakukan. Manusia yang ideal adalah manusia adalah manusia yang rela mengorbankan dirinya untuk melakukan kewajiban dan tugasnya kepada negara.

Akan tetapi, tidak semua orang yang bisa hidup dengan cara seperti itu. Manusia membutuhkan suatu cara untuk mengembangkan dirinya sendiri, walaupun hal itu dilakukan bertentangan dengan kewajiban dan tanggung jawab sosialnya. Inilah yang ingin ditawarkan oleh Taoisme. “Taoisme”, demikian tulis Xiaogan, “mengajarkan orang untuk melihat konflik manusia dari perspektif seluruh alam semesta.”[37] Di dalam Taoisme, perbedaan antara keberuntungan dan ketidakberuntungan, antara kemuliaan dan penghinaan, antara kesuksesan dan kegagalan, tidaklah boleh dipikirkan terlalu serius. Jika dilihat dari sudut pandang keseluruhan alam semesta, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan di muka bumi ini. Dengan menjadikan filsafat Tao sebagai panduan hidupnya, orang akan bisa melepaskan diri dari perjuangan tanpa henti, dan menenangkan dirinya, ketika ia sedang menderita secara spiritual.

Beberapa ahli mengkritik sikap semacam ini sebagai suatu bentuk penipuan diri. Misalnya di masa revolusi kebudayaan Cina, banyak orang mengalami penderitaan berat. Ada seseorang yang sedang dipenjara. Ia dipenjara selama 10 tahun tanpa alasan yang jelas. Jika ada seorang Taois di sana, ia akan berkata pada orang yang dipenjara tersebut, “Memang, kau mengalami kehilangan besar di dalam hidupmu. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan mantan presiden Liu-Shao-ch’i yang mati karena dipenjara secara ilegal, apa yang kau derita sekarang ini bukanlah apa-apa. Cobalah berpikir betapa beruntungnya dirimu karena kamu masih hidup dan memiliki keluarga.”[38] Karena selalu masih ada orang yang lebih menderita di dunia ini, maka penderitaan yang kamu alami sekarang tidaklah berarti. Kesadaran semacam ini memang memberikan rasa nyaman tersendiri. Filsafat Tao mengajak orang untuk membuka pikiran dan melebarkan perspektif mereka, sehingga mereka bisa merasa tenang di dalam penderitaan. Orang yang menghayati filsafat Tao di dalam hidupnya akan menjalankan hidup yang sehat, walaupun banyak krisis dan penderitaan yang dihadapi.

Di dalam seluruh tulisan ini, mengikuti Liu Xiaogan, saya memfokuskan filsafat Tao pada konsep etikawu-wei. Apa relevansinya bagi kehidupan kita? Xiaogan memberikan contoh tentang mobil. Setiap mobil pasti memiliki mesin dan rem. Tidak ada orang yang mau mengendarai mobil yang tidak memiliki rem. Bahkan, setiap benda bergerak di muka bumi ini selalu membutuhkan semacam rem. Bagaimana dengan motivasi dan aktivitas sosial manusia, apakah ini juga membutuhkan semacam rem? Dapatkah orang mengejar apa yang mereka inginkan secara tanpa batas? Dapatkah suatu gerakan sosial, walaupun memiliki cita-cita yang sangat luhur, dapat bergerak cepat langsung mewujudkan tujuan mereka? Jawabannya jelas, tidak! “Motivasi manusia dan gerakan sosial”, demikian Xiaogan, “juga membutuhkan sesuatu yang bekerja sebagai rem, yang dapat mengatur dan membatasi tindakan manusia untuk melindungi masyarakat manusia.”[39] Jadi, apa yang kiranya dapat menjadi rem untuk masyarakat? Salah satu jawaban yang mungkin adalah konsep etika wu-wei, yang merupakan inti dari seluruh etika yang diajarkan oleh Lao Tzu. Tampaknya, berhenti sejenak bersama etika wu-wei memang mudah diucapkan, tetapi sangat sulit dilakukan. Salah satu hal yang paling sulit yang bisa dilakukan manusia sekarang ini adalah… diam.

Daftar Rujukan

Liu Xiaogan, “Taoism”, dalam Our Religions, Arvind Sharma (ed), New York: HarperCollins, 1993, hal. 231-287.

http://www.taopage.org/nondoing.html

http://www.jadedragon.com/archives/june98/tao.html


[1] Alan Watts, Tao: The Watercourse Way, Pantheon Books, 1973, dalamhttp://www.taopage.org/nondoing.html

[2] http://www.jadedragon.com/archives/june98/tao.html

[3] Untuk bagian kedua dan ketiga tulisan ini, saya menggunakan tulisan Liu Xiaogan, “Taoism”, dalam Our Religions, Arvind Sharma (ed), New York: HarperCollins, 1993, hal. 231-287.

[4] Lihat, Ibid, hal. 232.

[5] Ibid.

[6] Liu Xiaogan, 1993, hal. 238.

[7] Ibid.

[8] Seperti dikutip Ibid, hal. 239.

[9] Dikutip Xiaogan dari Lao Tzu, chap. 14, dengan berdasar pada terjemahan dari D.C. Lau, Chinese Classics: Tao Te Ching, Hongkong: Chinese University Press, 1982.

[10] Dikutip Xiaogan dari Burton Watson, The Complete Works of Chuang Tzu, New York and London: Columbia University Press, 1968, hal. 78-80.

[11] Xiaogan, 1993, hal. 239.

[12] Dikutip oleh Xiaogan dari Pao Pu Tzu Nei-P’ien Chiao-Shih. Peking: Chung-hua Shu-chü, 1985, chap. 3, hal. 53.

[13] Xiaogan, 1993, hal. 240.

[14] Ibid, hal. 241.

[15] Ibid.

[16] Dikutip Xiaogan dari chapter 42, dalam D.C Lau, Chinese Classics, 1982.

[17] Lihat, Xiaogan, 1993, hal. 241.

[18] Dikutip Xiaogan dari D.C Lau, 1982, chapter 14.

[19] Ibid, chapter 48.

[20] Xiaogan, 1993, hal. 241.

[21] Dikutip Xiaogan dari Lau, 1982, chapter. 48.

[22] Ibid, chapter. 25.

[23] Ibid, chapter. 34.

[24] Ibid, chapter. 2.

[25] Xiaogan, 1993, hal. 242.

[26] Dikutip Xiaogan dari Lau, 1982, chapter. 28.

[27] Ibid, chapter. 36.

[28] Xiaogan, 1993, hal. 242.

[29] Ibid, hal. 243.

[30] Lihat, ibid.

[31] Dikutip Xiaogan dari Lau, 1982, chapter. 57.

[32] Ibid, chapter. 48.

[33] Ibid, chapter. 43.

[34] Xiaogan, 1993, hal. 244.

[35] Ibid.

[36] Ibid.

[37] Ibid, hal. 281.

[38] Ibid, hal. 282.

[39] Ibid.

Sudah dipublikasikan di www.dapunta.com

Penulis:

Reza A. A Wattimena

Pengajar di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, Anggota Komunitas Diskusi Lintas Ilmu COGITO, dan peneliti di Forum Kajian Multikulturalisme (FORKAM), Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya


Friedrich Nietzsche dan Peter Drucker Berdiskusi tentang Bisnis dan Kreativitas

Oleh: Reza A.A Wattimena

“Keberhasilan dan kegagalan yang tak terduga adalah

sebuah kekuatan produktif inovasi bisnis,

karena banyak orang mengabaikannya.. dan bahkan membencinya.”

Peter Drucker

Mort Rainey adalah seorang penulis novel. Bisa dibilang, hidupnya sudah sempurna. Ia memiliki seorang istri yang cantik. Rumahnya besar. Mort bahkan punya rumah pribadi di daerah pegunungan, tempat ia mengasingkan diri dan fokus untuk menulis. Namun, semua itu berubah, ketika ia dan istrinya kehilangan bayi yang tengah mereka nantikan. Rumah tangga menjadi dingin. Mereka pun akhirnya berpisah, karena tidak sanggup menanggung penderitaan tersebut. Mort kehilangan istrinya. Rumahnya hilang sebagai bagian dari perjanjian cerai dengan istrinya. Istrinya menjalin kasih dengan pria lain.

Di dalam penderitaannya, Mort justru menjadi aktif menulis. Ide-ide liar dan kreatif berkeliaran di dalam pikirannya. Tulisannya pun lancar, walaupun nuansanya adalah pembunuhan dan kekerasan. Ya, Mort membayangkan membunuh istri dan kekasihnya. Ia juga membayangkan mengubur mereka di kebun belakang rumah pribadinya. Kesedihan dan penderitaannya berubah menjadi kreativitas yang nakal dan imajinatif. Di bawah bayang-bayang penderitaan, alkohol, dan rasa dendam, kreativitas mengalir deras di dalam kepalanya, dan siap untuk dituangkan ke dalam tulisan.

Anda mungkin ingat adegan film ini. Ini adalah cuplikan adegan dari film yang berjudul Secret Window, yang diadaptasi dari salah satu novel tulisan Stephen King. Ada satu hal yang diajarkan film tersebut kepada kita tentang kreativitas, yakni bahwa kreativitas haruslah muncul dari penderitaan, alkohol, anarkisme, dendam, dan emosi-emosi negatif lainnya. Kreatif identik dengan seniman, dan seniman identik dengan anarkisme. Selama anda belum anarkis, seperti para seniman, maka anda tidak mungkin menjadi orang kreatif. Apakah harus seperti itu? Bagaimana supaya kita menjadi orang yang kreatif? Bagaimana supaya kita kaya akan inovasi-inovasi di dalam hidup kita, tanpa harus menjadi ganas dan liar seperti Mort Rainey?

Biasanya, orang akan menjawab, kreativitas muncul dari inspirasi. Inspirasi muncul, karena orang banyak melakukan refleksi pada peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya juga relevan di dalam dunia bisnis. Inovasi dan kreativitas adalah dua kata kunci yang menentukan maju tidaknya sebuah organisasi. Menurut Peter Drucker, inovasi tidak hanya muncul dari inspirasi, tetapi juga dari kerja keras.[1]Namun, yang mana yang lebih prioritas di antara keduanya?

“Di dalam bisnis”, demikian tulis Drucker, “inovasi jarang ditemukan dalam munculnya inspirasi. Inovasi muncul dari analisis bermata dingin dari tujuh macam kesempatan yang ada.”[2] Dengan kata lain, kunci kesuksesan yang utama bukanlah sekedar inspirasi, tetapi praktek inovasi yang tersistematisir di dalam perusahaan. Selain strategi yang tepat, kunci kesuksesan sebuah bisnis terletak pada bentuk aktivitas tertentu, yakni aktivitas inovasi. Aktivitas inovasi adalah “suatu upaya untuk menciptakan perubahan yang terarah terhadap potensi ekonomi maupun sosial perusahaan.”[3]Tentu saja, ada beberapa inovasi yang muncul dari kinerja orang-orang jenius. Akan tetapi, ini hanya perkecualian saja.

Inovasi yang otentik muncul dari pencarian yang disengaja, tersistematisasi, dan fokus pada tujuh bidang. Tujuh bidang itu, menurut Drucker, adalah peristiwa-peristiwa yang tak terduga, inkongruensi, proses-proses pemenuhan kebutuhan, perubahan pasar, perubahan kondisi demografis, perubahan persepsi masyarakat, dan kemungkinan diciptakannya pengetahuan baru.[4] Ketujuh faktor ini memang seringkali tumpang tindih. Tidak hanya itu, ketujuh faktor ini masing-masing berbeda tingkat kompleksitas maupun kesulitannya. Beberapa faktor lebih kompleks maupun sulit dibandingkan faktor lainnya. Jika suatu perusahaan hendak secara kreatif membuat inovasi di hadapan kesempatan-kesempatan yang ada, maka mereka harus berfokus pada tujuh faktor ini.

Sementara itu, Nietzsche memang tidak berbicara tentang praktek bisnis. Namun dengan pemikiran filsafatnya, ia menawarkan suatu cara berpikir tentang kreativitas yang, pada hemat saya, cukup menarik. Menurutnya, manusia secara hakiki memiliki dorongan-dorongan hasrat dan nafsu di dalam dirinya. Dorongan tersebut begitu kuat. Jika manusia tidak mampu mengendalikannya, maka ia akan dijajah oleh hasratnya sendiri. Untuk menjadi kreatif, orang harus mampu mengendalikan hasratnya, sehingga ia bisa fokus pada tujuan spesifik. Tujuan itulah yang menjadi arah bagi hasrat. Orang yang tidak mampu mengendalikan hasratnya disebut Nietzsche sebagai orang yang lemah kehendak. Ia dijajah oleh hasratnya sendiri. Orang yang kreatif adalah orang yang mampu mengatur dan mengarahkan hasratnya pada tujuan yang produktif.

Akan tetapi, pengaturan hasrat tersebut tidak boleh jatuh pada sikap dogmatis. Orang yang dogmatis adalah orang yang menjadikan suatu prinsip sebagai fondasi yang tidak bisa diubah lagi. Hidupnya menjadi statis. Hal ini terjadi, karena orang terlalu kuat mengatur hasratnya, sehingga hasrat tersebut tidak bisa menjadi sumber kreativitas. Kreativitasnya menjadi beku. Untuk menjadi kreatif, orang perlu menjaga jarak dari sikap dogmatis semacam ini. Nietzsche sendiri memberi contoh, bahwa para agamawan dan metafisikus adalah orang-orang dogmatis yang sudah cacat kreativitasnya. Tindakan dan cara berpikir dogmatis membuat manusia menjadi robot, yang tidak lagi bisa melakukan inovasi yang kreatif. Dengan demikian, sikap dogmatis haruslah dihindari, supaya orang bisa menjadi kreatif.

Pada tulisan ini, berdasarkan pemikiran Drucker dan Nietzsche, saya akan mengajukan argumen, bahwa fokus merupakan esensi dari kreativitas. Tanpa fokus yang tepat, kreativitas hanya menjadi dorongan anarkis tanpa arah. Akan tetapi, fokus yang terlalu kuat juga akan membunuh kreativitas itu sendiri. Memang, tidak ada bukti pasti, apakah Drucker pernah membaca Nietzsche atau tidak. Yang pasti, dua pemikir ini menunjukkan kesamaan mendasar di dalam refleksinya tentang kreativitas. Untuk menjelaskan argumen itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam empat bagian. Awalnya, supaya pembaca lebih familiar, saya akan memperkenalkan sosok Peter Drucker dan Friedrich Nietzsche. Perkenalan lebih kepada latar belakang historis dan intelektual kedua tokoh tersebut (1). Lalu, saya akan membahas tujuh faktor sumber inovasi dan kreativitas menurut Drucker (2). Pada bagian berikutnya, saya akan menjabarkan teori kreativitas menurut Nietzsche (3). Pada bagian akhir, saya akan memberikan beberapa kesimpulan, sekaligus mengajukan pandangan saya sendiri (4).

1.Peter Drucker dan Friedrich Nietzsche

Peter Drucker lahir di Wina, Austria pada 1909. Kemudian, ia dididik di Inggris dan Austria.[5] Ia meraih gelar doktor di bidang hukum masyarakat dan hukum internasional di Universitas Frankfurt, Jerman. Kemudian, dia bekerja sebagai social ecologist, penulis, konsultan, dan sebagai professor di universitas. Selama itu, ia telah menulis 41 buku tentang ekonomi, politik, masyarakat, dan manajemen. Tulisannya telah diterjemahkan ke dalam 37 bahasa.

Di samping menulis buku, Drucker juga membuat program pelatihan di bidang manajemen dan bisnis. Ia juga menulis kolom rutin di Wall Street Journal selama lebih dari 20 tahun. Ia sering menulis esei ilmiah di The Economist, Harvard Business Review, The Atlantic Monthly, Financial Times, Foreign Affairs, Fortune, dan sebagainya. Dan sebagai konsultan, ia sering menyumbangkan pemikirannya dalam pembuatan kebijakan bagi pemerintah, perusahaan-perusahaan bisnis, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Fokus utama karya-karyanya kinerja manajemen puncak di dalam organisasi. Ia bekerja dengan banyak perusahaan besar maupun kecil. Beberapa tahun terakhir hidupnya, ia bekerja dengan banyak perusahaan non-profit, termasuk universitas, rumah sakit, dan gereja. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai konsultan bagi pemerintah Jepang dan Kanada.

Peter Drucker adalah seorang professor di bidang filsafat dan politik di Bennington College di Bennington.  Ia juga menjadi professor pada bidang manajemen di Graduate School of Management di New York University dari 1949 sampai 1971. Pada 1969, ia menerima penghargaan tertinggi, yakni NYU Presidential Citation. Dari 1971-2002, ia menjadi Clarke Professor di bidang ilmu sosial dan manajemen di Claremont Graduate University in Claremont, California. Sekarang, sekolah ini bernama Peter F. Drucker and Masatoshi Ito Graduate School of Management.

Pada 1993, Drucker mendirikan Peter Drucker Research Library and Archive di Internet. Ia juga menerima Presidential Medal of Freedom, yakni penghargaan tertinggi bagi warga sipil Amerika Serikat. Ia juga menerima penghargaan dari pemerintah Jepang dan Austria. Ia memperoleh penghargaan doktor kehormatan dari 25 universitas di Amerika, Belgia, Inggris, Spanyol, dan Swiss. Pada 1955 sampai 1960, ia menjabat sebagai pimpinan dari Society for the History of Technology. Pada awal karirnya, Drucker adalah seorang ekonom untuk International Bank di London, sekaligus menjadi koresponden bagi koran Inggris.

Pemikir kedua yang menjadi acuan saya dalam tulisan ini adalah Friedrich Nietzsche. Ia lahir 15 Oktober 1844 di Roecken.[6] Ayahnya adalah seorang Pastor Lutheran dan berharap, bahwa Nietzsche akan mengikuti jejaknya untuk menjadi pastor. Sewaktu kecil, Nietzsche juga dikenal sebagai si “pendeta kecil”. Ironisnya, si anak kecil polos dan halus ini nantinya akan menghasilkan pemikiran-pemikiran revolusioner yang mengguncang peradaban Barat.

Sewaktu kecil, Nietzsche sudah tertarik pada tulisan-tulisan pengarang besar, seperti Schiller, Hoelderlin, dan Byron. Ia juga sangat kagum pada filsafat dan peradaban Yunani Kuno, terutama pada filsafat Plato. Pada awal masa studinya, Nietzsche sering membeli buku di pasar loak. Pada suatu saat, ketika sedang berkeliling melihat-lihat buku, Nietzsche menemukan karya Schopenhauer yang terkenal, Die Welt als Wille und Vorstellung.[7] Sejak itu, ia meninggalkan agamanya.

Pada 1869, Nietzsche menjadi dosen di Universitas Basel. Ia berusia 24 tahun pada waktu itu, dan belum menjadi doktor. Pada masa ini, ia berjumpa dengan Richard Wagner. Mereka pun bersahabat. Persahabatan ini putus, karena mereka berbeda paham soal musik. Wagner, menurut Nietzsche, tidak lagi berpihak pada keagungan budaya Yunani Kuno, tetapi justru beralih ke Kristianitas. Setelah itu, Nietzsche tidak lagi menulis dan berpikir tentang musik, tetapi lebih fokus pada filsafat dan ilmu-ilmu. Ia pun mulai menemukan kemandiriannya dalam berfilsafat.[8]

Karena ketegangan mental maupun fisik yang sangat hebat, Nietzsche menjadi gila. Peristiwa itu terjadi pada Januari 1889. Tandanya adalah, bahwa ia sempat mengirim surat-surat aneh kepada temannya dengan menggunakan nama palsu, seperti dari Allah, ataupun dari Yang Tersalib. Rupanya, ia tidak sepenuhnya gila. Ia masih bisa berbicara dengan teman-temannya. Ia bahkan masih bisa memberikan apresiasi pada musik dan karya sastra. Pada masa ini pula namanya mulai terkenal. Buku-bukunya banyak dibaca dan didiskusikan orang. Pada 25 Agustus 1900, Nietzsche meninggal, karena menderita pneumonia.[9]

2. Tujuh Faktor Sumber Kreativitas Menurut Drucker

2.1 Peristiwa-peristiwa yang Tak Terduga

Menurut Drucker, salah satu sumber inovasi dan kreativitas yang utama adalah keberadaan dari “yang tak terduga” (the unexpected). Pada awal dekade 1930-an, IBM mengembangkan sebuah mesin penghitung uang modern untuk praktek fungsional bank. Akan tetapi, pada dekade itu, bank tidak membeli komputer untuk praktek finansial mereka. Pada saat yang sama, perpustakaan umum New York menyatakan, bahwa mereka membutuhkan mesin itu. Tidak seperti sekarang, pada masa itu, perpustakaan memiliki dana yang besar untuk pengembangan. Thomas Watson, Sr, CEO IBM pada masa itu, pun menjual ribuan mesin penghitung uang kepada banyak perpustakaan di Amerika.

Lima belas tahun setelah peristiwa ini, dunia bisnis mulai tertarik pada mesin penghitung uang. Komputer bukan hanya berurusan dengan dunia akademik saja, tetapi juga dengan dunia bisnis. Komputer penghitung uang digunakan sebagai penghitung gaji di perusahaan-perusahaan. UNIVAC, perusahaan komputer yang punya teknologi paling canggih pada masa itu, hendak mendominasi pasar. Akan tetapi, IBM segera memanfaatkan situasi, dan menginvestasikan dana untuk mengembangkan mesin penghitung uang mereka. Dalam lima tahun, IBM menjadi penguasa pasar penyedia komputer penghitung gaji. Kondisi ini bertahan sampai sekarang.

“Kegagalan yang tak terduga”, demikian Drucker, “mungkin sama pentingnya jika dianggap sebagai kesempatan yang bagus untuk melakukan inovasi.”[10] Kasus Ford-Edsel bisa dijadikan bahan pelajaran berharga. Banyak orang beranggapan, bahwa Ford-Edsel merupakan kasus kegagalan industri otomotif terbesar dalam sejarah. Akan tetapi, menurut Drucker, hanya beberapa orang yang sadar, bahwa kegagalan industri itu sebenarnya juga merupakan kunci keberhasilannya.[11] Edsel adalah tipe mobil yang diciptakan oleh Ford untuk menyaingi dominasi General Motors pada masa itu. Akan tetapi, secara tiba-tiba, Ford menyadari terjadinya perubahan paradigma di masyarakat Amerika. Masyarakat Amerika tidak lagi hanya berfokus pada harga mobil saja, tetapi pada “gaya hidup” (life styles) yang ditawarkan mobil tersebut. Ford menanggapi itu dengan menawarkan Mustang, yang pada akhirnya memang menjadi simbol gaya hidup modern Amerika. Pasar mobil pun kembali dikuasai oleh Ford.

“Keberhasilan dan kegagalan yang tak terduga adalah sebuah kekuatan produktif inovasi bisnis”, demikian Drucker ,”karena banyak orang mengabaikannya.. dan bahkan membencinya.”[12] Banyak orang takut dengan “yang tak terduga”. Hal yang sama terjadi pada para manajer-manajer bisnis yang tangguh. Mereka takut pada “yang tak terduga”. Mereka memalingkan perhatian mereka pada kesempatan yang muncul dari “peristiwa-peristiwa yang tak terduga” (unexpected occurences).

Seorang ilmuwan Jerman menemukan novocaine pada 1905. Novocaine adalah narkotik pertama yang tidak menimbulkan kecanduan, dan dapat digunakan di dalam praktek operasi bedah, seperti pada amputasi misalnya. Akan tetapi, banyak ahli bedah lebih memilih melakukan anesthesia penuh pada prosedur semacam itu. Hal ini masih terjadi sampai sekarang. Diam-diam, banyak dokter gigi tertarik dengan novocaine. Mereka menggunakannya di dalam praktek medis. Sang pencipta novocaine kaget dengan fakta itu. Ia pun berkeliling untuk menghimbau kepada para dokter gigi, supaya tidak menggunakan novocaine di dalam praktek mereka, karena memang novocaine tidak ditujukan untuk para dokter gigi. Jelas, sang pencipta novocaine tidak siap menghadapi fakta yang tidak terduga. Ia bersikap defensif dan reaksioner, sehingga tidak berhasil menjadikan produknya kompetitif.

Banyak perusahaan melaporkan kegagalan mereka mengantisipasi peristiwa yang tak terduga di dalam laporan bulanan mereka. Mereka menganggap peristiwa yang tak terduga sebagai kerugian. Tentu saja, informasi tersebut penting, supaya tidak terjadi kerugian dalam jumlah besar yang mengancam eksistensi perusahaan. Akan tetapi, stigma bahwa peristiwa tak terduga merupakan simbol kerugian, pada akhirnya, bisa menutup kemungkinan perusahaan untuk mengembangkan bisnis mereka secara kreatif. Manajer yang tangguh haruslah mampu melihat “yang tak terduga” sebagai peluang, dan bukan sebagai masalah.

2.2 Inkongruensi

Pada 1960, Alcon Laboratories berhasil mencetak sukses yang luar biasa. Bill Conner, salah seorang pendiri perusahaan, berhasil memanfaatkan inkongruensi di dalam praktek medis. Operasi katarak adalah salah satu operasi yang paling sering dilakukan di dunia. Para ahli biasanya lebih memilih menggunakan metode konvensional. Namun dalam perkembangan, banyak ahli yang lebih muda menemukan metode yang berbeda, namun dengan hasil yang sama. Metode baru ini dianggap inkongruen; tidak sesuai, dan tidak pantas. Alcon memilih untuk bersikap progresif. Mereka memperhatikan metode baru ini, dan bersedia menyediakan peralatan medis yang diperlukan. Dalam waktu singkat, Alcon mendominasi pasar penyediaan peralatan medis untuk operasi katarak. Lima belas tahun kemudian, Nestle membeli Alcon dengan harga yang luar biasa besar.[13]

Pada awalnya, inkongruensi semacam itu tampak tidak logis, maka tidak bisa dijadikan patokan. Akan tetapi, jika anda mau lebih teliti, inkongruensi semacam itu sebenarnya adalah kesempatan untuk menjadi kreatif. Realitas yang inkongruen bisa menjadi sumber kreativitas yang besar. Paling jelas adalah inkongruensi antara harapan (expectations) dan hasil (results) di dalam praktek bisnis.

Pada lima puluh tahun pertama abad kedua puluh, banyak pengusaha kapal berusaha menciptakan kapal yang memiliki kecepatan tinggi, namun irit dalam konsumsi bahan bakar. Akan tetapi, yang terjadi adalah: semakin berhasil mereka menciptakan kapal berkecepatan tinggi dengan konsumsi bahan bakar rendah, penjualan mereka justru semakin rendah. Pasar perkapalan menunjukkan penurunan yang drastis. Inilah yang disebut sebagai inkongruensi antara asumsi-asumsi pelaku bisnis dengan realitas yang terjadi. Pengeluaran terbesar para praktisi bisnis dalam penggunaan kapal bukanlah pada saat kapal berada di laut, tetapi pada saat kapal tersebut berlabuh. Setelah para pengusaha kapal memahami fakta ini, mereka mengubah arah produksi mereka. Solusi terhadap inkongruensi ini tidak membutuhkan teknologi baru, tetapi cara berpikir yang baru! Hasilnya, industri kapal mengalami kemajuan pesat selama hampir 30 tahun setelahnya.[14]

2.3 Proses-proses Pemenuhan Kebutuhan

Sampai 2002, Jepang belum memiliki sistem transportasi jalan tol modern. Jalan raya di Jepang masih mengikuti pola jalan yang sama, yang sudah diterapkan sejak abad ke sepuluh. Mobil bisa tetap berjalan tanpa banyak terjadi kecelakaan, karena pemerintah Jepang berhasil mengintegrasikan sistem reflektor kaca mobil. Akibatnya, para pengendara mobil bisa melihat arah mobil dari enam arah berlawanan. Teknologi reflektor ini sangatlah sederhana. Akan tetapi, kinerjanya sangatlah efektif. Pemerintah Jepang berhasil melangsungkan proses-proses pemenuhan kebutuhan para pengendara mobil di Jepang.

Apa yang disebut media massa sekarang ini, menurut Drucker, sebenarnya adalah suatu proses-proses pemenuhan kebutuhan juga. Kebutuhannya ada dua. Yang pertama adalah kebutuhan untuk mencetak ribuan koran untuk memenuhi kebutuhan berita masyarakat. Yang kedua adalah kebutuhan banyak perusahaan untuk memasarkan produknya melalui surat kabar. Ide yang kedua muncul dari Adolph Ochs dari New York Times, William Randolph Hearst, dan Joseph Pulitzer dari New York World. Pemasaran melalui surat kabar memungkinkan surat kabar tersebut dapat disebarkan secara gratis, karena pemasukan utama surat kabar adalah dari iklan.[15]

2.4 Perubahan Pasar

Menurut Drucker, “strategi bisnis dapat berubah hanya dalam semalam”.[16] Perubahan itu bisa ditafsirkan dengan dua cara, yakni sebagai masalah, atau sebagai kemungkinan untuk melakukan proses produksi yang kreatif. Banyak perusahaan besar hanya terpaku pada bisnis utama mereka. Mereka tidak memperhatikan perubahan dan perkembangan pasar. Mereka menutup mata dari segmen pasar yang mengalami perkembangan paling pesat. Jika bersikap seperti itu, maka pendatang baru akan merebut pasar yang sedang berkembang itu. Kemungkinannya ada dua, sang pendatang baru akan menjadi penguasa pasar di masa depan, atau perusahaan besar membuka peluang di segmen yang sedang berkembang, serta memperluas usaha mereka.

2.5 Perubahan Demografis

Perubahan demografis adalah data eksternal yang, bila digunakan, akan mendorong perusahaan ke arah perkembangan yang kreatif. Banyak orang tidak menyadari, bahwa angkatan kerja 2020 sudah dilahirkan pada masa sekarang. Data mengenai angkatan kerja masa depan itu bisa menjadi sumber kreativitas dan inovasi yang besar, jika digunakan semestinya.

Banyak perusahaan Jepang mengembangkan bisnis mereka dengan berbasis pada data perubahan demografis. Sekarang ini, Jepang sudah menjadi negara maju. Tingkat warga yang memiliki pendidikan tinggi terus meningkat dari tahun ke tahun. Akibatnya di masa depan nanti, banyak pekerjaan-pekerjaan kasar kerah biru akan kekurangan suplai tenaga kerja. Bagaimana mengisi kekosongan ini? Industri-industri di Jepang menanggapi dengan mengembangkan teknologi robot. Jadi, manusia akan berfokus pada pekerjaan-pekerjaan kerah putih yang memang membutuhkan daya analisis serta kemampuan membuat keputusan yang tinggi. Sementara, pekerjaan-pekerjaan kasar khas kerah biru akan diserahkan pada robot. Jepang menggunakan data perubahan demografis dengan tepat. Akibatnya, mereka kini memimpin pengembangan teknologi robot.

Di Eropa sejak dekade 1970-an, banyak perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata sudah menyadari, bahwa tingkat pendidikan pelanggan mereka sudah berkembang. Konsekuensinya, pola hiburan dan pariwisata yang lama tidak lagi bisa menyentuh hati dan selera mereka. Oleh karena itu, para pimpinan perusahaan pariwisata mulai mengembangkan paradigma industri hiburan dan pariwisata yang baru dengan menggabungkan berbagai kultur yang ada, sehingga tercipta industri hiburan yang eksotis dan memikat.

Menurut Drucker, banyak manajer sudah mengetahui arti penting dari data demografis. Akan tetapi, mereka masih berpendapat, bahwa perubahan demografis sangatlah lambat, sehingga hampir tidak memberikan pengaruh apapun. Hal ini tidak lagi berlaku. Perubahan data demografis pada abad ke-21 sangatlah cepat. Perubahan tingkat pendidikan, pekerjaan, dan selera masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan pasar secara sangat signifikan. Perubahan semacam itu juga merupakan peluang untuk mengembangkan bisnis secara kreatif.[17]

2.6 Perubahan Persepsi

Ingatkah anda akan perumpamaan “gelas setengah penuh” dan “gelas setengah kosong”? Menurut Drucker, perumpamaan ini menggambarkan dengan tepat pentingnya persepsi terhadap suatu fenomena. “Mengubah persepsi manajer dari setengah gelas penuh menjadi setengah gelas kosong”, demikian Drucker, “membuka kesempatan bagi perkembangan yang besar.”[18]

Drucker memberi contoh tentang kasus Amerika. Tiga atau empat dekade belakangan ini, dunia kesehatan Amerika Serikat mengalami kemajuan pesat. Angkat kematian bayi menurun tajam. Umur hidup rata-rata orang meningkat setiap tahunnya. Banyak penyakit kanker yang berhasil disembuhkan. Walaupun begitu, masyarakat Amerika mengalami paranoia kolektif tentang kesehatan mereka. Tiba-tiba, semua orang jadi sangat khawatir dengan kondisi kesehatan mereka. Mereka khawatir terkena kanker. Semua penyakit secara langsung dikaitkan dengan kanker. Jelaslah dalam hal ini, gelas dilihat setengah kosong.

Masyarakat Amerika tidak menikmati perkembangan teknologi kesehatan mereka. Mereka justru berpendapat, bahwa penyakit masih merupakan penyebab utama kematian. Menurut Drucker, situasi ini sangatlah tepat untuk memasarkan produk-produk kesehatan, seperti obat-obatan, alat-alat olahraga, dan program-program diet sehat. Pada 1983, perusahaan yang paling berkembang adalah perusahaan penjual alat-alat olahraga dalam ruangan.[19]

Perubahan persepsi tidak mengubah fakta, melainkan mengubah bagaimana fakta itu dimaknai. Perubahan makna atas fakta-fakta yang ada tersebut bisa berlangsung sangat cepat. Dulu, komputer dipandang sebagai ancaman bagi praktek bisnis. Tak sampai dua tahun, pandangan itu berubah. Komputer pun dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari praktek bisnis. Jelaslah, bahwa perubahan persepsi ini seringkali tidak bisa diukur dan ditebak. Inilah yang disebut sebagai mood pasar. “Akan tetapi”, tulis Drucker, “mood pasar bukanlah sesuatu yang misterius. Itu adalah sesuatu yang konkret, dapat dirasakan, dan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan kemajuan.”[20]

2.7 Penemuan Teknologi-teknologi Baru

Kreativitas dan inovasi terbesar di dalam sejarah muncul, karena penemuan teknologi-teknologi baru. Penemuan itu bisa berupa penemuan teknis, saintifik, ataupun penemuan sosial, seperti cara memasarkan gaya baru, dan sebagainya. Memang, tidak semua orang menganggap, bahwa inovasi dan kreativitas muncul dari penemuan teknologi baru. Akan tetapi inilah inovasi dan kreativitas yang sesungguhnya berada. Orang yang berhasil melakukan ini akan mendapatkan reputasi baik sekaligus kekayaan atas penemuannya itu.

Dalam konteks bisnis, Drucker berpendapat, bahwa kreativitas dan  inovasi terpenting muncul dan berbasis pada pengetahuan (knowledge based  creativity). Kreativitas semacam ini berbeda dari kreativitas lainnya. Jika suatu pengetahuan yang baru berhasil ditemukan, penemuan itu tidak otomatis bisa menghasilkan suatu teknologi yang siap pakai. Proses menciptakan teknologi yang praktis dari pengetahuan murni membutuhkan waktu yang lama. Bahkan, setelah teknologi praktis sudah ditemukan, proses pemasarannya, sehingga bisa dirasakan masyarakat luas, pun membutuhkan waktu lagi. Menurut Drucker, jarak antara penemuan pertama sampai bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas sekitar 50 sampai 60 tahun.[21]Itu pun mengandaikan teknologi pemasaran dan respons pemerintah yang cepat. Bayangkan, betapa lamanya penemuan pengetahuan murni sampai bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas di Indonesia.

Penemuan semacam ini membutuhkan pengetahuan yang beragam. Tidak ada satu ahli bidang pengetahuan tertentu yang bisa merumuskan semuanya. Drucker memberi contoh tentang penemuan sistem bank modern (modern banking). Konsep tentang sebuah institusi mandiri, yang tujuannya mengolah modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dirumuskan secara sistematis oleh Comte de Saint-Simon pada masa pemerintahan Napoleon di Prancis. Akan tetapi baru 30 tahun setelah kematiannyalah dua murdinya, yakni Pereire bersaudara, mendirikan bank mandiri pertama, yakni Credit Mobilier. Mereka adalah pelopor apa yang kita sebut sekarang ini sebagai kapitalisme finansial.[22]

Dalam usaha pertamanya tersebut, mereka tidak berhasil. Credit Mobilier pun ambruk. Beberapa tahun kemudian, dua anak muda,  yakni J.P Morgan dari Amerika Serikat dan Georg Siemens dari Jerman, menggabungkan teori bank mandiri dan teori bank komersil untuk mendirikan bank modern pertama. Mereka sukses. Hasilnya adalah J.P Morgan & Company di New York, dan Deutsche Bank di Berlin. Sepuluh tahun kemudian, seorang Jepang bernama Shibusawa Eiichi menggukan konsep bank modern yang ada, dan menerapkannya dalam konteks Jepang. Ia meletakkan dasar bagi ekonomi Jepang sekarang ini.

“Waktu yang lama dan kebutuhan untuk menggabungkan beragam bentuk pengetahuan yang ada”, demikian Drucker, “menjelaskan ritme yang tidak biasa dari inovasi berbasis pengetahuan, daya tarik, dan bahayanya.”[23] Memang, inovasi berbasis pengetahuan, seperti yang saya contohnya di atas, sangat sulit untuk diatur, tetapi bukannya tidak mungkin. Kesuksesan yang sesungguhnya terletak pada kemampuan seseorang untuk melakukananalisis mendalam tentang jenis-jenis pengetahuan yang diperlukan untuk menjadi kreatif dan menciptakan kemajuan. J.P Morgan dan Georg Siemens melakukan ini, ketika mereka mendirikan bank modern untuk pertama kalinya.

Drucker lebih jauh berpendapat, bahwa inovasi berbasis pengetahuan ini memiliki sifat paradoks. Elemen utamanya adalah pengetahuan, tetapi keberadaan inovasi dan kreativitas semacam ini sangatlah tergantung pada situasi konsumen. Percuma mengembangkan sebuah produk yang didasarkan pada pengetahuan yang canggih, tetapi buta pada kebutuhan utama konsumen. Bahkan bisa juga dikatakan, bahwa model inovasi berbasiskan pengetahuan adalah model yang paling tergantung terhadap kebutuhan konsumen. Fokus utamanya pengetahuan, tetapi keberadaannya sangat tergantung pada apa yang menjadi keinginan konsumen.

2.8 Kesimpulan Pandangan Drucker

Drucker mengajarkan kita, bahwa inovasi yang kreatif dan sistematis dimulai dengan analisis terhadap kemungkinan dan peluang-peluang yang baru.[24] Seorang inovator atau penemu yang baik siap untuk melihat dan menangkap berbagai kemungkinan yang ada secara mendalam, walaupun kemungkinan itu tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Inovasi dan kreativitas itu sekaligus menggunakan konsep dan persepsi. Oleh karena itu, orang perlu untuk melihat secara konseptual, dan merasakan secara perseptual. Ia harus keluar dari comfort zone dan melihat, bertanya, serta mendengarkan. Ia harus melakukan riset analitis tentang jenis pengetahuan apa yang diperlukan untuk menangkap suatu peluang. Ia juga harus terjun ke masyarakat untuk memahami kebutuhan, nilai-nilai, dan harapan mereka.

Suatu inovasi yang didasarkan pada kreativitas haruslah sederhana dan fokus pada tujuan tertentu. Tujuan tersebut harus tunggal. Jika tujuannya banyak, maka orang akan bingung. Inovasi yang didasarkan atas kreativitas biasanya dimulai dari sesuatu yang kecil. Inovasi semacam ini tidaklah dimulai secara gegap gempita. Ide tentang inovasi yang rumit, tidak fokus, dan kelihatan megah biasanya tidak akan berhasil.

Menurut Drucker, tidak ada kepastian, apakah suatu inovasi yang didasarkan pada kreativitas itu akan berkembang menjadi bisnis raksasa, atau hanya menjadi bisnis yang sederhana.[25] Apapun yang terjadi, suatu inovasi yang berbasiskan pada pengetahuan dan kreativitas akan menjadi pemimpin di bidangnya, dan ini sudah merupakan sebuah prestasi yang membanggakan. “Jika sebuah inovasi tidak bertujuan untuk memimpin sedari awal,” demikian Drucker, “maka inovasi itu tidak akan cukup inovatif.”[26]
Inovasi dan kreativitas lebih merupakan buah dari usaha keras, bukan hanya kecerdasan atau geniusitas. Inovasi memerlukan pengetahuan yang tepat dan fokus yang jelas. Jika anda ingin melakukan terobosan dalam bidang usaha perbankan, maka anda harus fokus disana. Fokus menentukan segalanya. Sangat jarang muncul seorang inovator brilian yang memiliki beragam pekerjaan dan usaha yang tidak terkait satu sama lain.

Inovasi dan kreativitas yang otentik membutuhkan bakat, kecerdasan, dan pengetahuan yang tepat. Akan tetapi, itu semua menjadi tidak berguna, jika tidak dibarengi dengan kerja keras yang fokus pada tujuan spesifik. Tanpa ketekunan, konsistensi, dan fokus yang jelas, kecerdasan, bakat, dan pengetahuan menjadi tidak relevan.

3. Nietzsche tentang Kreativitas dan Inovasi

Tentu saja, Nietzsche tidak menulis ataupun berbicara tentang bisnis. Akan tetapi, Nietzsche memiliki teori yang menarik tentang kreativitas.[27]Pandangan Nietzsche tentang kreativitas sebenarnya terletak pada teorinya mengenai perasaan (theory of affects). Dengan teori ini, ia mau menjelaskan kreativitas dari sudut psikologi dan fisiologi.[28] Tentu saja, pada jaman itu, fisiologi dan psikologi belum menjadi area tersendiri, seperti sekarang ini.

Di dalam bukunya yang berjudul Ecce Homo, Nietzsche melihat kreativitas dan inovasi sebagai sebuah momen peningkatan yang bertahap dari kondisi hening menjadi kondisi yang penuh dengan tegangan (full of tremendous tension). Momen ini merupakan hasil dari tafsiran kita atas realitas. Cara kita menafsir dan memahami realitas sangat dipengaruhi oleh perasaan. Bisa juga dikatakan, bahwa manusia adalah suatu “sistem mekanistis yang didorong oleh perasaan-perasaannya.”[29] Misalnya, anda ditipu orang dalam bisnis. Perasaan anda gundah, marah, dan sedih. Ketiga perasaan itu akan mempengaruhi cara anda menafsirkan, memaknai, dan memahami realitas. Makanan yang lezat akan terasa tidak enak. Udara yang segar tetap akan terasa mencekik. Dunia seolah menyesuaikan diri dengan gejolak perasaan yang ada.

Jelaslah, bahwa perasaan anda mempengaruhi cara anda melihat dunia. “Ciri melankolis, marah, senang, dan sebagainya bukan hanya kondisi emosional saja,” demikian tulis Tomasi tentang Nietzsche, “tetapi juga merupakan cara kita berelasi dengan dunia.”[30] Kreativitas pun juga dapat dipahami dengan cara ini. Jika perasaan kita sedang kaya dan puas, maka pikiran-pikiran kreatif juga bisa muncul. Kreatif tidaknya pikiran di dalam melihat realitas sangat tergantung dari situasi perasaan kita. Dalam hal ini, Nietzsche berpendapat, bahwa semua perasaan manusia itu berasal dan berkembang dari satu dorongan tunggal, yakni kehendak untuk berkuasa. Perasaan-perasaan manusia, walaupun berasal dari sumber yang sama, tetapi ekspresinya sangatlah berbeda satu sama lain.[31] Beragam ekspresi dari perasaan inilah yang nantinya bisa digunakan untuk mengembangkan kreativitas. Ambisi untuk berkuasa sangatlah cocok diterapkan dalam pekerjaan. Ambisi yang besar dipadukan dengan kerja keras akan menciptakan karir yang gemilang. Dorongan seksual sangatlah tepat diterapkan dalam hubungan percintaan dengan kekasih. Dalam arti ini, pada hemat saya, kreativitas adalah kemampuan manusia menggunakan dorongan perasaan dalam konteks yang tepat.

Tomasi membayangkan, bahwa orang yang kreatif itu mirip seperti orang yang memegang busur dengan tegangan yang kuat. Ia mampu mengatur arah anak panah, dan menentukan, kapan anak panah tersebut dilepaskan. Ia memiliki kekuasaan atas busur dan anak panah yang ia pegang. Misalnya, orang memiliki dorongan seksual yang kuat. Hampir pada saat yang sama, ia memiliki dorongan untuk menulis. Kedua dorongan itu bisa menghasilkan dua kemungkinan, yakni surat cinta yang menggetarkan atau novel erotis yang memukau. Yang penting, kedua dorongan perasaan tersebut harus memilikisatu tujuan yang spesifik. Kedua dorongan yang ada harus difokuskan untuk mencapai tujuan spesifik itu. Orang yang tidak mampu mengatur dorongan-dorongan hasrat di dalam dirinya, dan tidak mampu memberikan fokus pada dorongan hasrat tersebut tidak akan pernah mewujudkan apapun. Kehendak selalu merupakan “kehendak atas sesuatu”. Kehendak yang kuat fokus untuk mewujudkan suatu tujuan yang spesifik. Sementara, kehendak yang lemah lebih merupakan kumpulan dari berbagai dorongan yang sama sekali tidak tertata, dan membuat kacau semuanya. “Terlalu banyak goyangan dan terlalu sedikit arah”, demikian Tomasi, “menghasilkan gangguan di dalam aktivitas kreatif.”[32]

Manusia memiliki banyak dorongan di dalam dirinya, seperti dorongan untuk bekerja, untuk makan, untuk berhubungan seks, dan sebagainya. Dorongan yang satu mempengaruhi dorongan lainnya. Tidak ada satu dorongan yang mendominasi semuanya. Hasrat dan perasaan manusia adalah suatu sistem dinamis, di mana keseimbangan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis. Keseimbangan bukan berarti tidak ada perubahan, tetapi perubahan yang stabil. Menurut Tomasi, perbedaan antara keseimbangan yang statis dan keseimbangan yang stabil sangatlah penting untuk memahami pemikiran Nietzsche mengenai kreativitas.[33] Sistem yang statis adalah sistem yang tidak berubah. Tomasi memberikan beberapa contoh. Beberapa jenis mahluk hidup tidak pernah berubah selama keberadaannya di dunia.  Beberapa spesies lainnya berubah secara bertahap. Mereka berubah, tetapi perubahan tersebut bersifat stabil. Perubahan itu membantu mereka beradaptasi dengan iklim ataupun cuaca yang berubah-ubah. Mereka berubah tanpa kehilangan struktur dasarnya, yakni keseimbangan yang memungkinkan mereka hidup. Dalam arti ini, kreativitas dan inovasi tidak pernah bisa dipisahkan dari kebutuhan akan suatu sistem yang stabil. Kreativitas adalah kemampuan manusia untuk mengatur beragam dorongan dan perasaan yang ada, sehingga bisa berfungsi untuk mewujudkan suatu tujuan yang spesifik. Dalam arti ini, kreativitas merupakan sebuah proses yang memiliki beberapa tahap. Salah satu tahap tersulit adalah tahap destruktif. Misalnya, untuk menciptakan pemerintahan baru yang lebih baik, pemerintahan yang lama harus hancur terlebih dahulu. Walaupun begitu, tidak semua elemen pendukung pemerintahan yang lama harus dihancurkan. Mereka bisa ambil bagian dalam pemerintahan yang baru, walaupun dengan beberapa persyaratan. Pada titik ini, perubahan untuk mencapai inovasi yang diinginkan tetap berpijak pada keseimbangan. Perubahan ini tidak sepenuhnya anarkis.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, semua dorongan yang memungkinkan perubahan di dalam diri manusia berakar pada satu dorongan metafisis, yakni kehendak untuk berkuasa. Dorongan berkuasa memiliki dua bentuk, yakni dorongan naik (ascending) dan dorongan turun (descending). Dorongan naik memiliki kekuatan konstruktif dan manipulatif. Dorongan ini memberikan perintah untuk melakukan sesuatu. Sebaliknya, dorongan turun memiliki kekuatan destruktif. Dorongan ini memukul kita untuk kembali pada kondisi alamiah yang mencerminkan ketidakteraturan hakiki.

Nietzsche lebih jauh berpendapat, bahwa kreativitas manusia tidak bisa lenyap, tetapi bisa dibuat menjadi tidak berguna. Caranya adalah denganmenghilangkan fokus pada tujuan spesifik. Dorongan, hasrat, dan keinginan akan menjadi ketidakteraturan yang destruktif, jika tidak mempunyai arah yang jelas.[34] Inilah yang disebut sebagai akrasia, yakni kehendak yang lemah (weak will). Kehendak yang lemah ini tampak dalam ketidakmampuan manusia untuk menata dorongan perasaan maupun hasratnya. Lemahnya kehendak membuat dorongan-dorongan di dalam diri manusia menjadi kacau. Akibatnya, manusia bisa hancur, karena hasratnya sendiri. Manusia dibunuh oleh hasratnya sendiri. Jika sudah begitu, kreativitas pun hanya tinggal nama.

Dorongan hasrat manusia juga tampak dalam bidang seni. Seni dipandang sebagai suatu cara tertentu untuk menciptakan makna. Makna baru tercipta, jika seni merupakan penafsiran terhadap realtias yang berpijak pada stabilitas. Jadi, seni pun tidak boleh total chaos. Seni harus memiliki keseimbangan yang bersifat dinamis. Untuk bisa menciptakan seni semacam itu, orang perlu mengambil jarak terhadap realitas. Jarak itu membuat orang mampu menata berbagai ketidakteraturan yang ada di dalam realitas. “Tidak ada seni”, demikian Tomasi, “tanpa penataan ulang dari berbagai materi yang beragam, baik itu suara, warna, ataupun jenis-jenis batuan.”[35]

Di sisi lain, seorang seniman juga harus mampu melihat kembali bentuk orisinal dari realitas. Bentuk orisinal itu adalah bentuk purba dari realitas, yakni bentuk yang belum tersentuh oleh peradaban. Misalnya, seorang musisi haruslah membebaskan pikirannya dari pakem musik yang ada, supaya ia bisa menciptakan gaya musik yang baru. Dalam arti ini, menurut Tomasi, seorang seniman tidak hanya berfungsi sebagai penafsir realitas yang kemudian menuangkan tafsiran tersebut ke dalam bentuk-bentuk seni, tetapi juga sebagai penghancur teks realitas, sehingga bentuk asalinya bisa tampak. Bentuk asali dari realitas itu seringkali menjadi suatu karya seni yang bernilai tinggi. “Saya berkata kepadamu,” demikian tulis Nietzsche, “orang haruslah memiliki kekacauan di dalam dirinya untuk bisa melahirkan bintang yang menari.”[36] Bintang yang menari itulah seni yang sejati.

Jika orang memelihara tegangan chaos, maka ia memelihara potensi kreatif di dalam dirinya. Tegangan chaos itulah potensi kreatif manusia. Orang yang kreatif adalah orang yang bertarung dengan dorongan chaos di dalam dirinya. Orang yang bijaksana bukanlah orang yang berhasil memadamkan nafsu dan hasrat di dalam dirinya, tetapi orang yang mampu menemukan cara untuk menata beragam dorongan tersebut, sehingga bisa tetap fokus pada tujuan tertentu. Di sisi lain, orang juga tidak boleh terlalu kaya dengan dorongan-dorongan tersebut. Ia harus membatasi dirinya dari dorongan yang merupakan kekayaan kehidupan (the richness of life). Orang yang tidak bijaksana adalah orang yang tidak mampu menata dorongan-dorongan manusiawinya, sehingga ia menjadi korban atas hasratnya sendiri. Jika sudah begitu, ia akan buntu. Ia tidak mampu membuat keputusan apapun. Semua tujuannya tidak akan terwujud.[37]

Nietzsche memberikan contoh tentang orang yang memiliki chaos personality semacam itu, yakni Richard Wagner. Menurut Nietzsche, fungsi musik adalah menata hasrat, sehingga kumpulan hasrat yang ada di dalam diri manusia dapat diarahkan untuk mewujudkan suatu tujuan yang kreatif. Musik yang ditulis Wagner tidak berhasil memenuhi fungsi ini, melainkan lebih untuk menciptakan sensasi-sensasi kesenangan sesaat belaka. Inilah yang disebut Nietzsche sebagai infinite melody. Infinite melody bukanlah melodi yang sejati. Melodi yang sejati adalah ekspresi dari kehendak untuk berkuasa yang menghasilkan totalitas yang menyatu (unified whole). Menurut Nietzsche, musik Wagner tidaklah sempurna. Ini menampakkan dekadensi dari musiknya. Dekadensi yang ditandai dengan ketidakmampuan Wagner untuk menata chaos di dalam musiknya. Nietzsche juga berpendapat, bahwa musik Wagner tidaklah memiliki bentuk. Musiknya kacau. Ini menandakan ketidakmampuan Wagner juga untuk menata dorongan-dorongan di dalam dirinya.  Ketidakmampuan ini bisa menular. Orang yang mendengarkan musik Wagner juga akan mengalami ketidakmampuan untuk menata hasratnya. Dengan kata lain, musik Wagner itu “sakit”, sekaligus membuat orang yang mendengarnya menjadi “sakit”, karena mementingkan kesenangan belaka.

Musik yang ideal, menurut Nietzsche, adalah musik Dionisian, yakni musik yang memperkuat kehendak untuk memerintah. Musik yang berfokus pada kesenangan belaka adalah musik yang dekaden.[38] Memang, chaos merupakan sumber kreativitas. Akan tetapi, chaos juga dapat menjadi penghambatkreativitas, ketika ia menghambat tindak manusia menafsir realitas. Ketika perasaan manusia dilanda kekacauan, maka ia akan bersikap pasif. Pada titik itu, diri manusia didominasi oleh kekacauan, sehingga ia tidak mampu berpikir dan bertindak kreatif.

Di sisi lain, kreativitas juga bisa hilang, ketika manusia bertindak secara dogmatis. Sikap dan cara berpikir dogmatis membunuh kreativitas. Cara berpikir ini menutup semua kemungkinan baru, sehingga perubahan dan inovasi menjadi tampak tidak mungkin. Tentu saja, ini bukan berarti bahwa manusia tidak memerlukan kestabilan. Seperti disinggung sebelumnya, kekacauan total di dalam diri juga membunuh kreativitas. Sikap dogmatis berlebihan juga menghalangi tumbuhnya kreativitas. Cara berpikir dogmatis adalah suatu topeng yang memangsa kemanusiaan manusia. Cara berpikir ini dapat ditemukan dengan mudah sepanjang sejarah. Kaum religius menjadikan Tuhan sebagai dogma yang tidak bisa diganggu gugat. Hegel, dan para filsuf Idealisme Jerman, menjadikan ide dalam segala bentuknya sebagai dogma. Kant menjadikan benda-pada-dirinya-sendiri sebagai dogma. Merekalah para yang pemikir yang berpikir dogmatis di dalam memahami realitas. Cara berpikir semacam ini membekukan dimensi kreativitasmanusia.

Kreativitas manusia juga dapat dibagi dua, yakni kreativitas para budak yang dekaden, dan kreativitas kaum tuan (master) yang unggul.[39] Kreativitas kaum budak adalah kreativitas milik korban yang berhasil mengembangkan strategi untuk mati bersama pemangsanya. Jadi, dia mati. Akan tetapi, kematiannya tidak sia-sia, karena ia membawa pemangsanya mati bersamanya. Di sisi lain, kreativitas kaum tuan menunjukkan vitalitas hidup yang tinggi. Tuan menunjukkan rasa cinta dan gairah kepada kehidupan melalui tindakan dan cara berpikirnya. Dengan gairahnya tersebut, ia menciptakan nilai-nilai baru, dan menolak untuk tergabung dalam kultur massa yang rendah. Proses penciptaan nilai-nilai baru itulah yang disebut sebagai momen kreativitas. Kreativitas tuan adalah kreativitas yang otentik.

4. Kesimpulan dan Tanggapan

Setelah menelusuri seluruh tulisan ini, sampailah kita pada satu pertanyaan kunci, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kreativitas? Peter Drucker mengajukan jawaban. Baginya, kreativitas adalah kemampuan orang untuk menemukan peluang-peluang baru di dalam mengembangkan dirinya. Kemampuan tidak hanya bisa dimiliki oleh orang individual saja, tetapi juga bisa oleh organisasi, baik perusahaan maupun organisasi lainnya. Drucker juga secara tegas menyatakan, bahwa di dalam bisnis, kreativitas itu identik dengan praktek inovasi, yakni praktek membuka peluang-peluang baru.

Ada tujuh peluang, yakni peristiwa-peristiwa yang tak terduga, inkongruensi, proses-proses pemenuhan kebutuhan, perubahan pasar, perubahan kondisi demografis, perubahan persepsi masyarakat, dan kemungkinan diciptakannya pengetahuan baru. (Drucker, 2002, 96) Kreativitas yang terwujud dalam praktek inovasi ini dapat dilakukan, jika orang mau dan mampu melakukan praktek yang fokus, sistematis, dan rutin untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Kata kunci disini adalah fokus mewujudkan tujuan dengan mengambil peluang yang terbuka. Di titik ini dapatlah ditafsirkan, bahwa fokus merupakan hakekat dari kreativitas.

Di sisi lain, Nietzsche juga menegaskan, bahwa kreativitas adalah kemampuan manusia untuk memfokuskan dorongan-dorongan hasrat di dalam dirinya pada suatu tujuan yang produktif. Orang yang tidak mampu mengendalikan hasratnya adalah orang yang lemah secara kehendak. Ia tidak akan mampu melakukan inovasi-inovasi secara kreatif. Sebaliknya, orang yang terlalu kuat mengendalikan hasratnya akan jatuh ke dalam dogmatisme. Jika sudah seperti itu, maka kreativitasnya mati. Orang ini pun tidak mampu untuk menjadi kreatif. Dengan demikian, Nietzsche menegaskan, bahwa hakekat dari kreativitas adalah kemampuan orang untuk fokus pada tujuan yang spesifik. Fokus semacam itu akan membuat orang tidak lagi dijajah oleh hasrat-hasratnya. Akan tetapi, fokus juga tidak boleh menjadi dogma, karena ini juga akan menghambat kreativitas. Fokus berarti orang memiliki tujuan yang jelas, sekaligus terbuka pada peluang-peluang baru untuk mewujudkan tujuan itu.

Pada hemat saya, pandangan Drucker dan Nietzsche sangatlah tepat. Kreativitas bukanlah monopoli para seniman saja, tetapi milik setiap orang yang mau berusaha untuk fokus mewujukan tujuannya. Mereka melawan pandangan lama yang menyatakan, bahwa kreativitas identik dengan anarkisme, kebebasan, serta keliaran. Drucker dan Nietzsche dengan jelas menyatakan, bahwa kreativitas itu adalah praktek yang tersistematisir, fokus, dan rutin pada satu tujuan yang spesifik. Praktek semacam itu sama sekali tidak anarkis. Sebaliknya, praktek tersebut sangat terencana dan logis. Praktek ini pula yang dilakukan oleh banyak orang, sehingga mereka bisa secara kreatif menemukan hal-hal baru yang meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

Memang, Drucker dan Nietzsche menyatakan, bahwa esensi dari kreativitas adalah fokus pada tujuan yang spesifik. Akan tetapi, tujuan macam apakah yang seharusnya menjadi fokus? Dan, apa yang membuat tujuan tersebut menjadi sah? Sejauh saya membaca, Drucker tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung. Namun dalam tulisan-tulisannya ia menegaskan, bahwa tujuan dari kreativitas adalah menciptakan bisnis yang bermakna(meaningful business), baik secara material maupun secara spiritual. Secara material berarti, bahwa bisnis itu mampu menghasilkan keuntungan, dan memberi makan orang banyak. Secara spritual berarti, bisnis tersebut tidak hanya bertujuan mencari keuntungan, tetapi mengembangkan kebudayaan masyarakat, di mana bisnis itu tumbuh dan berkembang.

Yang sering terjadi adalah, bahwa tujuan utama kreativitas dan inovasi di dalam bisnis adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk memuaskan kerakusan beberapa pihak saja. Dalam arti ini, pemikiran Drucker diselewengkan dari tujuan awalnya menjadi pemikiran yang berguna sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan kapitalis murni, yakni menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya, dan membagikannya ke sesedikit mungkin orang. Dalam arti ini, kreativitas dan inovasi menjadi luntur maknanya. Bisnis pun tidak lagi berkembang sebagai bisnis yang bermakna, tetapi menjadi bisnis yang menghancurkan. Yang mau saya tegaskan adalah, bahwa kreativitas dan inovasi haruslah dibalut dengan tujuan-tujuan kemanusiaan, yakni mengembangkan kualitas hidup sebanyak mungkin orang. Kemanusiaan haruslah menjadi nilai esensial dari kreativitas dan inovasi di dalam bidang bisnis, maupun di dalam bidang-bidang kehidupan sosial lainnya. Cita-cita luhur dan kuno yang kini telah terlupakan di belantara dunia bisnis tanah air. ***


[1] Peter Drucker, “The Discipline of Innovation”, Harvard Business Review, Agustus, 2002. hal. 95-103

[2] Lihat, Ibid, hal. 95.

[3] Lihat, Ibid.

[4] Lihat, Ibid, hal. 96.

[5] Seluruh biografi singkat tentang Drucker diadaptasi dari http://www.druckerarchives.cgu.edu

[6] Saya adaptasi dari F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta, Gramedia, 2004, 257-261.

[7] Lihat, Ibid, hal. 159.

[8] Ibid, hal. 260.

[9] Lihat, ibid, hal. 261.

[10] Drucker, 2002, hal. 96.

[11] Lihat, ibid.

[12] Ibid.

[13] Lihat, ibid, hal. 97

[14] Lihat, ibid, hal. 98.

[15] Lihat, ibid.

[16] Ibid, hal. 98.

[17] Lihat, ibid, hal. 99.

[18] Ibid, hal. 100.

[19] Lihat, ibid.

[20] Ibid.

[21] Lihat, ibid, hal. 101.

[22] Lihat, Prasetantyoko, Bencana Finansial, Jakarta, Kompas, 2008.

[23] Drucker, 2002, hal. 102.

[24] Lihat, ibid.

[25] Lihat, ibid.

[26] Ibid.

[27] Bagian ini diinspirasikan dari Allesandro Tomasi, “Nihilism and Creativity in the Philosophy of Nietzsche” dalam Minerva: An Internet Journal of Philosophy, 11 (2007): hal. 153-183.

[28] Friedrich Nietzsche, The Will to Power, Walter Kaufmann dan R.J Hollingdale (terj), New York: Vintage Press, 1968 dalam Tomasi, 2007, hal. 155.

[29] Tomasi, 2007, hal. 153.

[30] Lihat, ibid, hal. 157.

[31] Lihat, Nietzsche, 1968, 677 dalam Tomasi, 2007, hal. 157.

[32] Lihat, Tomasi, 2007, hal. 158.

[33] Lihat, ibid.

[34] Lihat, Nietzsche, 1978 sec. 668, dalam Tomasi, 2007, hal. 160.

[35] Lihat, Tomasi, 2007, hal. 162.

[36] Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, New York: Viking Press, 1954, 129, dalam Tomasi, 2007, hal. 162.

[37] Lihat, ibid, hal. 163.

[38] Lihat, ibid.

[39] Lihat, ibid, hal. 169.

gambar dari: http://slowmuse.files.wordpress.com/2008/07/nietzsche.jpg

Sudah dipublikasikan di www.dapunta.com

Penulis:

Reza A. A Wattimena

Pengajar di Fakultas Filsafat, Universitas Widya Mandala, Surabaya, Anggota Komunitas Diskusi Lintas Ilmu COGITO, dan peneliti di Forum Kajian Multikulturalisme (FORKAM), Universitas Widya Mandala, Surabaya

Filsafat dan Manajemen Bisnis: Dua Sisi dari Satu Koin yang Sama?

Peter-Drucker
Google Images

Manajemen, telah menjelaskan mengapa, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, kita dapat mempekerjakan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang besar dalam jumlah banyak untuk

melakukan suatu kerja yang produktif.”

Peter Drucker

Pandangan umum mengatakan, bahwa filsafat itu sulit. Filsafat itu abstrak dan bahasanya susah untuk dipahami. Di sisi lain ilmu manajemen adalah ilmu yang praktis. Manajemen memikirkan tentang tindakan dan sibuk dengan penerapan di dalam kehidupan nyata. Kedua bidang itu seolah tidak memiliki kaitan. Manajemen itu praktis. Filsafat itu abstrak. Tidak ada jalan tengah di antara keduanya. Benarkah pandangan seperti itu?

Peter Drucker, seorang ahli bisnis dan professor di bidang manajemen terkemuka di dunia, menolak pandangan itu. Baginya praktek dan ilmu manajemen memiliki dimensi filosofis yang sangat mendalam. Manajemen tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Tanpa filsafat manajemen tidak memiliki fondasi pengetahuan yang kuat. Tanpa manajemen filsafat akan berhenti menjadi pengetahuan dan insight yang belum diterapkan ke dalam praktek. Tata politik mengandaikan filsafat politik dan manajemen politik yang kokoh. Tata bisnis mengandaikan filsafat bisnis-ekonomi dan manajemen bisnis yang juga kokoh. Oleh karena itu kedua displin itu sebenarnya saling bertautan tanpa pernah bisa dipisahkan.

Peter Drucker lahir di Wina pada 1909. Ia sekolah di sana dan di Inggris. Ia meraih gelar doktor dalam bidang hukum publik serta hukum internasional. Ia pernah menjadi wartawan di Frankfurt, Jerman, dan bekerja sebagai ekonom di sebuah bank internasional di London. Pada 1927 Drucker pindah ke Amerika Serikat. Ia banyak menulis buku tentang manajemen, ekonomi, dan masyarakat. Buku-bukunya dibaca oleh banyak orang dan diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa. Di samping itu Drucker juga telah menulis Autobiografi, dua novel, dan beberapa kumpulan esei. Ia menjadi kolumnis tetap di berbagai majalah dan jurnal internasional.

Latar Belakang

Sebagai suatu displin ilmiah, manajemen masih muda usianya. Praktek bisnis yang dilakukan oleh perusahaan-perusahan dengan menggunakan modal raksasa juga sama. VOC Belanda adalah perusahaan multinasional dengan modal besar yang kiranya pertama kali muncul tercatat di dalam sejarah. Di Eropa pada masa yang sama, perusahaan produsen Katun di Manchester milik Friedrich Engels adalah yang terbesar. Jika anda ingat Engels adalah sahabat dekat Karl Marx. Selamat bertahun-tahun Engels membantu Marx dalam urusan finansial. Mereka bahkan pernah menulis buku bersama. Engels adalah seorang pengusaha katun. Di perusahaannya tidak ada manajer, dalam arti seperti yang kita kenal sekarang ini. (Drucker, 2001, 3) Yang ada adalah mandor, yang sebenarnya juga adalah pekerja. Sang mandor menjaga efektivitas dan displin pekerjanya. Marx menyebut kelompok pekerja saat itu sebagai “kelompok proletar”.

Dapat juga dikatakan bahwa perusahaan katun milik Engels belumlah mengenal manajemen. Yang mereka kenal adalah pembagian kerja, yang sebenarnya hanya merupakan satu aspek kecil dari manajemen. Sekarang ini manajemen sebagai ilmu sudah berkembang begitu pesat. Bahkan menurut Drucker, manajemen adalah salah satu displin ilmu yang berkembang paling pesat dalam sejarah. (Drucker, 2001, 4) Dalam waktu singkat yakni sekitar 150 tahun, manajemen sebagai displin telah memberikan pengaruh yang begitu besar bagi peradaban manusia. Praktek manajemen telah mengubah kegiatan penataan bisnis di negara-negara Barat. “Praktek manajemen”, demikian Drucker, “telah menciptakan ekonomi global dan membuat peraturan-peraturan baru untuk negara-negara yang hendak berpartisipasi di dalam ekonomi sebagai orang-orang yang setara.” (Drucker, 2001) Orang yang tidak memahami manajemen akan mengalami kegagapan menghadapi berbagai perubahan dan tantangan yang muncul di abad ke-21 ini.

Tujuan dasar dari manajemen adalah untuk membuat beragam orang bekerja sama untuk tujuan yang sama, berpijak pada nilai-nilai yang sama, struktur kerja yang sama, pelatihan yang sama, dan perkembangan bersama yang diarahkan untuk menanggapi berbagai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. (Drucker, 2001, 5) Sampai sekarang tujuan itu masih sama. Namun yang berubah sekarang adalah ukuran dan kualitas dari tata bisnis yang dilakukan. Dulu manajemen hanya berfokus untuk mengatur sekumpulan orang yang tidak memiliki keahlian apapun, dan hanya bekerja untuk tujuan-tujuan jangka pendek saja. Sekarang dan akan terus berkembang di masa depan, manajemen digunakan untuk mengatur orang-orang yang memiliki pendidikan dan keahlian yang tinggi. Mereka mengabdi tidak hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan jangka pendek, tetapi untuk masa depan kebudayaan manusia dan memiliki pengaruh yang sangat luas ke seluruh dunia. (Drucker, 2001)

Para pemimpin dunia dan pemikir di bidang akademik mulai menyadari pentingnya praktek dan analisis manajemen sejak awal perang dunia pertama. Namun jumlah mereka masihlah sangat sedikit. Menurut Drucker sekarang ini sepertiga dari penduduk dunia adalah mereka yang juga dikenal sebagai “para manajer yang profesional” di bidangnya masing-masing. (Drucker, 2001, 5) Dalam arti ini para manajer profesional tersebut juga menjadi agen perubahan yang signifikan, baik dalam segi kualitas maupun kuantitas. “Manajemen”, demikian tulis Drucker, “telah menjelaskan mengapa, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, kita dapat mempekerjakan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang besar dalam jumlah banyak untuk melakukan suatu kerja yang produktif.” (Drucker, 2001) Memang tidak ada masyarakat sebelumnya yang bisa melakukan hal ini. Tidak hanya dulu pada awal abad kedua puluh, belum ada orang yang sungguh-sungguh mengerti, bagaimana mengatur orang-orang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang berbeda-beda untuk mewujudkan tujuan bersama.

Drucker lebih jauh menulis, bahwa Cina telah maju lebih dahulu dalam hal manajemen, jika dibandingkan dengan peradaban Barat. Kekaisaran Cina kuno mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi semua orang, baik yang berpendidikan ataupun tidak. Pada waktu itu tidak ada satupun negara Eropa yang mampu melakukan hal yang sama. Sekarang ini menurut Drucker, Amerika Serikat memiliki jumlah penduduk yang sama dengan Kekaisaran Cina Kuno dulu. Sekitar 1 juta mahasiswa lulus dari perguruan tinggi setiap tahunnya. Hanya sedikit diantara mereka yang mampu menemukan pekerjaan yang tepat dengan pendapatan yang juga tepat. (Drucker, 2001, 5)

Sekarang ini pengetahuan seorang ahli adalah pengetahuan yang sangat terspesialisasi. Seorang bisa sangat memahami struktur tulang binatang tertentu, tetapi bisa buta sama sekali terhadap bidang lainnya. Jika bekerja sendirian seorang ahli tidak akan menghasilkan apapun. Dalam hal ini praktek manajemen memungkinkan beberapa ahli yang memiliki pengetahuan berbeda untuk mencapai tujuan yang sama secara produktif. Praktek bisnis modern mempekerjakan sepuluh ribu orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang beragam, serta mengarahkannya untuk mewujudkan suatu tujuan secara produktif. Mereka adalah para ahli yang berasal dari sekitar 60 displin ilmu yang berbeda, seperti para insinyur dengan bidang-bidangnya masing-masing, desainer, ahli marketing, ahli ekonomi, akuntan, ahli sumber daya manusia, dan sebagainya. Tanpa praktek manajemen yang tepat, kecil kemungkinan para ahli tersebut mampu menghasilkan sesuatu yang signifikan bagi kehidupan bersama. Dengan demikian praktek manajemen, yang didasarkan pada teori yang tepat, dapat membuat beragam pengetahuan yang berbeda, yang dimiliki juga oleh orang yang berbeda, menjadi efektif dan produktif. “Berkembangnya praktek manajemen”, demikian Drucker, “telah mengubah pengetahuan dari hanya ornamen sosial menjadi modal utama untuk ekonomi.” (Drucker, 2001)

Menurut Adam Smith setiap masyarakat membutuhkan waktu setidaknya seratus tahun untuk menciptakan tradisi tumbuhnya pekerja ahli pada level teknis dan manajerial, dan terciptanya masyarakat yang siap menjadi konsumen dari produk-produk mereka. Akan tetapi realitasnya berbicara berbeda. Pada waktu perang dunia pertama meletus, banyak sekali pekerja yang tidak memiliki keahlian apapun ‘dipaksa’ untuk menjadi pekerja profesional di pabrik-pabrik nyaris dalam waktu sekejap mata. Banyak perusahaan di Eropa menerapkan suatu paradigma ekonomi baru, yakni mempekerjakan banyak orang dalam skala pekerjaan yang juga masif. Para manajer pabrik besar melakukan analisis atas tipe-tipe pekerjaan yang mungkin, dan membaginya ke dalam bagian-bagian kecil, sehingga teknik yang dibutuhkan untuk memenuhi bagian kecil itu bisa dipelajari dalam waktu singkat.

Misalnya sebuah pabrik ingin memproduksi mobil. Tidak perlu ada sekelompok orang yang membuat mobil. Mobil dibagi ke dalam bagian-bagian, seperti roda, kaca, badan mobil, dan sebagainya. Roda pun dibagi lagi ke dalam bagian kecil-kecil, seperti karetnya, mur, ataupun bagian cat. Bagian kecil-kecil tersebut dipegang oleh beberapa orang. Mereka bisa mempelajari teknik membuat bagian yang kecil-kecil tersebut dalam waktu singkat. Cara berpikir dan praktek manajemen semacam ini juga dipraktekkan oleh Jepang beberapa waktu setelah perang dunia pertama. Dua puluh tahun setelah perang dunia kedua berakhir, Korea Selatan menerapkan cara yang sama. Akibatnya mereka memperoleh kemajuan industri dalam waktu singkat, dan bisa merebut pasar di negara-negara lain.

Pada dekade 1930-an beberapa ahli manajemen dari Harvard Business School, seperti Thomas Watson, Robert E. Wood, Roebuck, an George Mayo, mulai mempertanyakan kembali mekanisme produksi dan manajemen yang tengah berlangsung. Mereka pun berpendapat bahwa cara berpikir dan praktek manajemen yang lama tersebut sudah tidak lagi memadai. Walaupun produktif tetapi manajemen semacam itu tidak fleksibel, menguras banyak modal, tidak memanfaatkan aspek sumber daya manusia secara maksimal, dan memiliki pengaturan yang tidak tepat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu cara manajemen baru. Para ahli tersebut berpaling para sistem manajemen berbasis pengetahuan (knowledge based management). “Setiap orang di dalam sistem inovatif ini”, demikian Drucker, “akan menerapkan pengetahuan ke dalam pekerjaan, sistem dan informasi akan menggantikan kerja tangan dan kerja alat.” (Drucker, 2001, 7) Dalam arti ini mereka menggantikan semboyan “kerja keras” menjadi “kerja cerdas”. (Drucker, 2001)

Jadi kita sudah melihat lahirnya sebuah displin ilmiah dan praktek baru, yakni praktek manajemen. Suatu teknik yang sebenarnya sudah lama berkembang di dalam peradaban manusia, tetapi baru sungguh menjadi bagian dari pengetahuan pada awal abad kedua puluh ini. Manajemen telah berubah paradigma, mulai dari manajemen berbasis bagian-bagian kecil dengan skala masif menjadi manajemen yang berbasis pada pengetahuan dalam bentuk informasi dan komunikasi yang sistematis. Pertanyaan tetaplah sama apa sebenarnya yang dimaksudkan sebagai manajemen ini? Apakah manajemen itu melulu terkait dengan teknik dan tips-tips praktis untuk mengatur orang? Atau ada yang lain? Apa dimensi filosofis dari manajemen?

Dimensi Filosofis Manajemen

Menurut Drucker manajemen memang meliputi suatu area disiplin ilmiah dan praktek yang luas. Akan tetapi cara berpikir dan praktek manajemen memiliki beberapa prinsip esensial yang bersifat filosofis. (Drucker, 2001, 10) Pertama, manajemen adalah soal manusia. Fungsi utama manajemen adalah memungkinkan terjadinya kerja sama, yakni untuk membuat kekuatan orang-orang yang berbeda menjadi relevan, dan kelemahan mereka menjadi tidak relevan. Ini adalah alasan dari keberadaan organisasi, apapun bentuknya. Dalam hal ini praktek manajemen sangatlah penting. Misalnya ada orang yang memiliki kemampuan arsitektur yang hebat. Akan tetapi ia tidak mampu melakukan penghitungan uang secara cermat. Ia lemah dalam soal keuangan. Di dalam organisasi kelebihan orang itu, yakni dalam hal menciptakan bagan arsitektur yang akurat, dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mendatangkan keuntungan. Sementara kelemahannya yakni ketidakmampuannya menghitung uang secara cermat, bisa menjadi tidak relevan, karena organisasi tersebut telah mempekerjakan orang yang bisa menghitung uang secara cermat. Dalam hal ini kelemahan si arsitek menjadi tidak relevan. Sementara kelebihannya menjadi sangat berguna.

Dewasa ini semua orang praktis bekerja dalam suatu organisasi yang memiliki pola manajemen tertentu, baik itu besar maupun kecil. “Kemampuan kita untuk berkontribusi di dalam masyarakat”, demikian Drucker, “juga sangat tergantung dari sejauh mana kemampuan, dedikasi, dan usaha kita dipergunakan oleh organisasi tempat kita bekerja.” (Drucker, 2001, 11) Seorang ahli biokimia tidak akan bekerja secara maksimal, jika ia bekerja sebagai penjual roti. Ia akan bekerja secara maksimal pada tempat, di mana kemampuannya sungguh dihargai dan dapat digunakan sebaik mungkin, seperti di perusahaan obat, atau di universitas misalnya. Di perusahaan obat atau universitas, si ahli biokimia bisa memberikan kontribusi yang signifikan bagi masyarakat sesuai dengan potensi yang ia miliki.

Kedua, karena manajemen terkait dengan integrasi dari beragam orang untuk mencapai tujuan yang sama, maka praktek tersebut berakar kuat di dalam kultur. Praktek manajemen di manapun tempat dilakukannya, pada hakekatnya, adalah sama. Akan tetapi pola penerapannyalah yang berbeda. Menurut Drucker salah satu tantangan terbesar bagi para praktisi manajemen sekarang ini adalah menemukan pola manajerial yang cocok dengan kultur tempat mereka hidup dan berkembang. Pola itulah yang bisa dijadikan tititk tolak untuk melakukan praktek manajemen secara tepat. (Drucker, 2001) Salah satu kunci sukses Jepang meraih kemajuan pesat di bidang manajerial adalah kemampuan mereka menemukan pola praktek manajemen yang sesuai dengan kultur yang mereka miliki. Pola manajemen berbasis kultur inilah yang mendorong mereka mengembangkan berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi, politiks, sosial, dan budaya.

Ketiga, setiap organisasi apapun bentuknya selalu membutuhkan komitmen tertentu pada tujuan bersama (common goal), dan diikat oleh nilai-nilai bersama (common values). “Sebuah perusahaan”, demikian Drucker, “haruslah memiliki tujuan yang jelas, sederhana, dan menyatukan.” (Drucker, 2001, 12) Tanpa komitmen kepada tujuan tersebut, tidak ada organisasi. Yang ada adalah gerombolan (mob). Tujuan bersama tersebut juga haruslah jelas, bersifat publik, dan secara konsisten diingatkan serta dipastikan kembali. Tugas utama seorang manajer adalah untuk memikirkan secara mendalam, merumuskan, dan mewujudkan tujuan serta nilai-nilai bersama tersebut.

Keempat, Drucker lebih jauh menjelaskan bahwa praktisi manajemen haruslah mampu membawa organisasi untuk berkembang dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Ia harus mampu membaca situasi, dan memanfaatkan semua peluang yang mungkin diraih. Dalam arti ini setiap organisasi adalah sebuah tempat, di mana aktivitas belajar dan mengajar terjadi. Pelatihan dan pengembangan haruslah dilakukan terus menerus di semua jenjang organisasi. (Drucker, 2001)

Kelima, setiap organisasi selalu terdiri dari beragam orang dengan beragam pengetahuan dan ketrampilan. Mereka melakukan pekerjaan yang berbeda-beda, sesuai dengan kemampuannya. Semua aktivitas tersebut haruslah dilakukan atas dasar komunikasi dan tanggung jawab individu yang kokoh. Dalam hal ini semua anggota organisasi haruslah sungguh memahami tujuan dari aktivitas yang mereka lakukan. Tujuan tersebut haruslah diresapi tidak hanya oleh pimpinan organisasi, tetapi oleh seluruh anggotanya. Setiap anggota harus memahami dan meresapi tujuan organisasi ini. Setiap anggota juga harus memikirkan apa kaitan aktivitas mereka dengan aktivitas anggota lainnya, dan memastikan bahwa anggota lain juga melakukan hal yang sama, yakni mempertimbangkan kepentingan anggota lainnya. Dengan demikian ontologi dari praktek manajemen adalah komunikasi dan tanggung jawab individual yang saling terkait satu sama lain tanpa bisa terlepaskan. (Drucker, 2001, 12)

Keenam, bagaimana menilai kemajuan suatu organisasi? Kriteria apa yang dapat kita gunakan untuk melakukan itu? Memang produktivitas, luasnya pasar, status finansial, dan pengembangan sumber daya manusia sangatlah penting bagi keberlangsungan suatu organisasi. Akan tetapi menurut Drucker, sama seperti penilaian atas kesehatan dan perkembangan manusia tidak bisa hanya dibuat dengan satu kriteria, begitu pula penilaian atas kinerja organisasi tidak bisa dibuat hanya dengan satu kriteria. Kriteria yang ada haruslah beragam dan terus berkembang sesuai dengan perubahan situasi. (Drucker, 2001)

Dan ketujuh, daya guna dan hasil suatu organisasi terletak di luar organisasi itu sendiri. “Hasil dari praktek bisnis”, demikian Drucker, “adalah konsumen yang puas.” (Drucker, 2001, 12) Misalnya daya guna dari rumah sakit adalah pasien yang telah sembuh. Daya guna dari sekolah adalah murid yang telah mempelajari sesuatu, dan menggunakannya untuk bekerja sepuluh tahun kemudian. Itu semua adalah hasil dan daya guna dari suatu organisasi. Semua itu bisa ditemukan di luar organisasi. Di dalam organisasi yang ada hanyalah biaya dan pengeluaran. Inilah prinsip dasar dan alasan keberadaan dari sebuah manajemen organisasi.

Manajemen yang Filosofis

Praktek manajemen berurusan dengan tindakan dan aplikasi. Ujian terhadap berhasil tidaknya praktek manajemen adalah hasilnya. Akan tetapi hasil itu tidak melulu terkait dengan uang (economic performance), tetapi juga dengan manusia, nilai-nilainya, dan perkembangannya. Inilah yang membuat manajemen terkait erat dengan kemanusiaan. Bahkan bisa juga dibilang, dimensi filosofis terdalam dari manajemen adalah sisi kemanusiaannya. Manajemen terkait erat juga dengan struktur sosial dari komunitas, di mana praktek manajemen tersebut dilaksanakan. Berbicara melalui pengalaman bertahun-tahun bekerja sama dengan para praktisi manajemen, Drucker berpendapat, bahwa manajemen sangatlah terkait dengan moralitas. Moralitas yang juga selalu terkait dengan hakekat dari manusia itu sendiri, sisi baik maupun sisi buruknya. (Drucker, 2001, 13)

Drucker bahkan menyebut manajemen sebagai bagian dari liberal art, atau seni liberal. Disebut liberal karena manajemen terkait dengan pengetahuan, baik tentang diri maupun tentang dunia, kebijaksanaan, dan kepemimpinan. Disebut sebagai seni karena manajemen terkait erat dengan tindakan dan penerapan praktis.

“Setiap manajer”, demikian tulis Drucker, “mengambil semua pengetahuan dan inspirasi dari ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial, seperti psikologi, filsafat, ekonomi, sejarah, dan etika, dan juga dari ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, para manajer membuat semua pengetahuan ini menjadi fokus dan menghasilkan hasil yang efektif, seperti menyembuhkan orang sakit, mengajar siswa, membangun jembatan,…” (Drucker, 2001)

Dengan alasan-alasan yang telah dikemukanan di atas, manajemen adalah suatu praktek yang berfokus pada kemanusiaan. Tujuan utama manajemen adalah supaya kemanusiaan diakui dan dijadikan prinsip utama. Tanpa aspek kemanusiaan manajemen hanyalah alat untuk membenarkan penindasan, atau selubung yang menutupi ketidakadilan.

Perumusan Lebih Jauh

Pada titik ini saya rasa kita bisa mulai merumuskan dimensi-dimensi filosofis dari praktek manajemen, seperti pengandaian antropologis, sosiologis, ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Pengandaian antropologis adalah paham tentang manusia yang menjadi dasar dari praktek manajemen. Pengandaian ini terkait dengan sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, yakni siapa itu manusia dalam praktek manajemen? Dalam praktek manajemen manusia dipahami sebagai manusia yang memiliki beragam ketrampilan bergabung bersama untuk mewujudkan suatu tujuan. Seperti sudah disinggung sebelumnya, manajemen memungkinan berbagai orang dengan beragam ketrampilan dan ilmu bergabung bersama untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu secara efektif. Seorang ahli nuklir tidak akan bermakna bagi kehidupan bersama, jika ia hanya sendiri. Ia baru sungguh bermakna, jika ia tergabung dalam suatu tim yang terdiri dari beragam orang dan beragam ketrampilan untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu, yang terkait dengan energi nuklir. Mereka bisa secara bersama membangun pembangkit listrik, atau apapun.

Di sisi lain pengandaian sosiologis adalah situasi, kondisi, atau tipe masyarakat yang memungkinkan praktek manajemen berlangsung. Tanpa pengandaian sosiologis yang tepat, praktek manajemen juga tidak akan bermakna. Pengandaian sosiologis dari praktek manajemen terkait dengan fakta, bahwa praktek tersebut selalu berakar kuat pada kultur. Warna manajemen sebuah organisasi biasanya mencerminkan kultur tertentu yang melatarbelakanginya. Dalam arti ini maka praktek manajemen haruslah berangkat dan berkembang di dalam kultur sosiologis suatu masyarakat. Jika tidak begitu praktek manajemen akan terasa asing, dan justru membuat orang terasing dari kultur yang membuat hidupnya bermakna.

Pola manajemen di Eropa Barat dan di Cina berbeda, karena keduanya berangkat dari kultur yang juga berbeda. Jika kita mengatur sebuah organisasi yang berasal dari Cina dengan tata kelola gaya Eropa Barat, maka pengaturan tersebut tidak akan bermakna. Orang-orang Cina yang kita pimpin bisa menanggapi itu sebagai suatu penindasan. Tata kelola atau praktek manajemen tidak akan berjalan. Dengan demikian pengandaian sosiologis dari pratek manajemen adalah kultur, di mana praktek tersebut lahir dan berkembang.

Pengandaian ontologis dari praktek manajemen adalah hakekat dari praktek manajemen. Hakekat itu merupakan “ada”-nya dari manajemen. Inilah esensi dari praktek manajemen. Tanpa hakekat ini praktek manajemen menjadi tidak bermakna. Ontologi dari manajemen adalah jaringan komunikasi intensif antar individu yang memiliki perbedaan keterampilan dan ilmu, namun bekerja untuk mewujudkan tujuan yang sama. Jadi ontologi dari praktek manajemen adalah jaringan komunikasi yang saling bertautan satu sama lain. Jaringan komunikasi itu tidak anonim, melainkan tertata dan mengarah pada tujuan yang jelas. Jaringan komunikasi itu juga mengandaikan adanya tanggung jawab masing-masing individu untuk berkomitmen pada tugas dan tujuan yang ada. Seperti yang juga diingatkan oleh Drucker, tujuan bersama tersebut haruslah terus diingatkan dan dipastikan kembali. Tujuan itu haruslah menjadi bagian dari identitas dan cita-cita bersama. Tanpa itu organisasi tidak lebih dari sebuah gerombolan.

Bagaimana pengandaian ontologis tersebut dapat diketahui? Jawaban atas pertanyaan ini membawa kita pada pengandaian epistemologis dari praktek manajemen. Fakta bahwa manajemen merupakan suatu jaringan komunikasi terarah pada tujuan tertentu dapatlah langsung diuji secara empiris maupun analitis. Keluarga, dalam arti keluarga inti ataupun klan, merupakan bentuk organisasi tertua. Bentuk itu berkembang menjadi masyarakat, kota, negara, dan kini berkembang menjadi perusahaan-perusahaan bisnis. Penelitian empiris atas berbagai tipe masyarakat menunjukkan pola yang kurang lebih serupa, walaupun memang karaktek hakikinya berbeda-beda. Dengan demikian ontologi manajemen, yakni sebagai jaringan komunikasi intensif antar individu yang memiliki beragam ketrampilan berbeda namun mengabdi pada tujuan yang sama, dapatlah diuji secara inderawi melalui pengalaman langsung. Epistemologi dari praktek manajemen adalah pengalaman empiris dan historisitas manusia.

Konsep manajemen sebagai jaringan komunikasi intensif antar beragam individu tersebut juga bisa diuji secara analitis. Konsep jaringan komunikasi sudah ada di dalam konsep manajemen. Manajemen adalah komunikasi, sekaligus lebih dari itu, yakni komunikasi intensif untuk mewujukan suatu tujuan tertentu secara efektif. Definisi ini tidak perlu melulu diuji melalui pengalaman, tetapi dapat dipahami secara analitis dengan akal budi. Seperti pengetahuan bahwa anak dari paman saya adalah sepupu saya, begitu pula konsep manajemen dapat dipahami secara analitis sebagai jaringan komunikasi intensif antar beragam inividu yang mengabdi pada tujuan bersama. Pengetahuan ini bisa diuji secara empiris, historis, maupun analitis.

Aksiologi adalah cabang dari filsafat yang mempelajari tentang hakekat nilai. Aksiologi mau memahami arti nilai secara umum, dan bukan hanya nilai moral saja. Aksiologi mau mengakui fakta, bahwa banyak nilai yang berkembang di dalam masyarakat, dan nilai tersebut saling berbeda dan bahkan bertentangan satu sama lain. Di dalam praktek manajemen, pada hemat saya, ada lima nilai yang kiranya menjadi titik tolak, yakni nilai pengabdian, kemanusiaan, ekonomi, lingkungan hidup, dan estetika. Seperti sudah disinggung sebelumnya, tujuan utama dari sebuah organisasi terletak di luar organisasi tersebut. Dan itu adalah sebentuk pengabdian pada masyarakat yang lebih luas. Di dalam organisasi yang ada adalah pengeluaran. Sementara di hadapan masyarakat luas, organisasi bisa memberikan sumbangan yang besar.

Organisasi juga berhadapan dengan manusia yang memiliki daging, darah, dan historisitas masing-masing. Dan mereka itu bukan hanya pekerja, tetapi juga manusia yang memiliki harkat dan martabat. Dalam hal ini prinsip kemanusiaan menjadi pemandu semua kegiatan berorganisasi. Manusia haruslah dipandang sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan alat untuk tujuan-tujuan lainnya. Setiap pimpinan suatu organisasi, apapun bentuknya, haruslah mampu melawan cara berpikir rasionalitas instrumental strategis yang banyak terjadi sekarang ini. Inilah cara berpikir yang mau menjadikan manusia sebagai alat untuk tujuan-tujuan lain di luar manusia itu sendiri.

Tentu saja organisasi tentu butuh uang untuk mempertahankan eksistensinya. Dalam hal ini nilai ekonomis juga sangat perlu untuk menjadi perhatian. Praktek organisasi bisnis yang tidak menjadikan nilai ekonomi sebagai tolok ukur adalah praktek yang absurd. Bahkan meminjam metafor yang digunakan oleh Drucker, jika seorang malaikat agung yang tidak memiliki kepentingan pribadi memimpin sebuah perusahaan, maka sama seperti para pelaku bisnis lainnya, ia harus menjadikan nilai ekonomi sebagai salah satu tolok ukur kerjanya. Jika tidak organisasinya bisa hancur. Runtuhnya suatu organisasi berarti hilangnya salah satu peran sosial yang bisa memberikan kontribusi besar bagi kehidupan masyarakat.

Sekarang ini lingkungan ekosistem manusia sedang terancam musnah. Banyak binatang yang sudah punah. Hutan dibabati. Cuaca semakin panas karena lapisan atmosfer yang melindungi manusia dari radiasi matahari sudah berkurang. Efek rumah kaca pun menambah parah keadaan. Dalam hal ini jelaslah, bahwa praktek manajemen organisasi harus memberikan perhatian pada kelangsungan ekosistem. Nilai pelestarian ekosistem haruslah menjadi salah satu pertimbangan utama di dalam praktek-praktek organisasi. Jika nilai ini tidak diperhatikan, maka ekosistem akan terancam musnah. Jika ekosistem rusak yang musnah tidak hanya organisasi-organisasi terkait, tetapi juga masyarakat sebagai keseluruhan.

Nilai terakhir dari praktek manajemen yang menjadi pengandaian aksiologisnya adalah nilai estetika. Seperti ditulis oleh Drucker, manajemen adalah suatu seni. Oleh karena itu manajemen haruslah memperhatikan aspek estetik dari semua kegiatannya, mulai dari produksi, distribusi, marketing, sampai pengelolaan sumber daya manusia. Itu semua adalah praktek-pratek yang memerlukan kepekaan seni yang bersifat intuitif, dan bukan hanya kalkulasi strategis rasional. Jika praktek manajemen di dalam organisasi mengabaikan aspek estetik, maka organisasi itu tidak lebih dari sekedar organisasi para robot. Robot tidak memiliki kepekaaan intuitif dan estetik. Oleh karena itu robot tidak bisa kreatif dan menciptakan inovasi. Perlahan tapi pasti organisasi itu akan hancur.

Dari uraian ini kita dapat menyimpulkan bahwa praktek manajemen sangatlah terkait dengan filsafat. Tanpa filsafat praktek manajemen adalah praktek para robot yang pucat, miskin inovasi, dan miskin kreatifitas. Mungkin yang banyak terjadi sekarang ini, para pimpinan organisasi kita, apapun bentuknya, mulai menjadi pimpinan para robot-robot. Mereka merasa diri mereka sebagai robot, memandang anak buahnya sebagai robot, dan bekerja juga secara mekanis seperti robot. Jika praktek seperti itu terus dilakukan, maka mereka akan ketinggalan jaman. Mereka kehilangan kemampuan kompetitif. Sudah saatnya para filsuf menengok ke dunia bisnis dan manajemen. Kita perlu lebih banyak “Peter Drucker-Peter Drucker” lainnya, tentu saja yang sungguh memahami kondisi Indonesia.

Sumber: Peter Drucker, The Essential Drucker, HarperCollins Publisher, 2001, hal. 3- 56.

Gambar dari: http://www.saberweb.com.br/estados-unidos-da-america/administradores-dos-estados-unidos-da-america/images/Peter-Drucker.jpg

Sudah dipublikasikan di www.dapunta.com

Penulis:

Reza A. A Wattimena

Pengajar di Fakultas Filsafat, Universitas Widya Mandala, Surabaya, Anggota Komunitas Diskusi Lintas Ilmu COGITO, dan peneliti di Forum Kajian Multikulturalisme (FORKAM), Universitas Widya Mandala, Surabaya