Dahaga akan Yang Abadi: Sanatana Dharma

colorful-abstract-surrealism-depicting-eternal-cycle-creation_521733-14479Oleh Reza A.A Wattimena

Saya belajar filsafat bertahun-tahun. Tepatnya sudah 25 tahun. Apa sebenarnya yang saya cari? Seperti semua mahluk, yang saya cari adalah pengetahuan yang bermuara pada kebahagiaan.

Kebahagiaan melibatkan unsur kenikmatan dan kenyamanan. Namun, kenikmatan dan kenyamanan itu sementara, sehingga tidak membuahkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Bahkan, keduanya bisa membuat kita kecanduan. Ketika kita tidak memperoleh obyek kecanduan kita, penderitaan pun datang.

Maka, kebahagiaan itu lebih dari sekedar kenikmatan ataupun kenyamanan. Di dalam filsafat, kebahagiaan bisa diperoleh lewat pengetahuan yang sejati. Inilah pengetahuan  tentang yang abadi, yakni tentang hal-hal yang tak berubah. Di dalam filsafat Asia, hal yang abadi ini disebut sebagai Sanatana Dharma, atau hukum-hukum yang abadi.

Pengetahuan tentang hal-hal yang abadi ini adalah pencerahan yang sesungguhnya. Ia melampaui tradisi dan agama yang sudah ketinggalan jaman. Ia bahkan melampaui akal budi yang terjebak pada konsep-konsep belaka. Sanatana Dharma itu bersifat mutlak, abadi dan melampaui rumusan konseptual.

Namun, perjalanan saya mencari pengetahuan yang berujung pada kebahagiaan tak berjalan mulus. Saya banyak terjebak pada teori-teori dualistik. Karena dididik di dalam tradisi Katolik, saya juga cenderung menjadi moralis. Saya gampang menghakimi orang dengan berpijak pada nilai-nilai kolonial Eropa yang dipaksakan kepada saya lewat pendidikan.

Alhasil, saya menderita. Saya bingung, karena terjebak pada rimba beragam teori yang begitu rumit dan absurd. Agama juga tak membantu, karena penjelasannya cenderung dangkal dan dogmatik. Agama-agama banyak menumpahkan darah di dalam sejarah. Alih-alih mengobati kebingungan dan derita, agama justru menjadi pencipta masalah.

Terselip di dalam hati adalah kerinduan akan yang abadi. Kerinduan ini lebih tepat disebut dahaga. Tanpanya, hidup terasa tanpa arti. Kesenangan hanya datang sementara, tanpa pernah sungguh memberikan kepuasan di hati.

Dahaga ini alami di setiap sanubari. Semua karya manusia, mulai dari seni, filsafat, ilmu pengetahuan sampai spiritualitas, adalah pencarian atas yang abadi. Namun, selama kata dan konsep masih ada, yang abadi akan selalu lolos dari genggaman. Sanatana Dharma tak pernah bisa direngkuh oleh kata dan bahasa manusia yang sempit serta kerdil.

Yang abadi bukanlah konsep. Ia lolos dari definisi. Ia tersembunyi dari pencarian akal budi murni. Sampai titik tertentu, akal budi berperan. Namun, di tingkat tertinggi, ia mesti dilepaskan.

Yang abadi juga bukan teori. Ia tidak bisa dirangkai dalam rumus. Ia menolak untuk dipenjara oleh algoritma. Yang ilmiah bisa menangkap jejaknya, namun tak akan bisa memeluk kepenuhan dari yang abadi.

Yang abadi tak berbicara moral. Baik dan buruk hanyalah karangan manusia yang buta. Moralitas hanya untuk mereka yang tak peka pada nurani. Yang abadi menolak segala bentuk ajaran moral yang dangkal dan kejam.

Yang abadi itu tanpa bentuk. Ia kosong. Ia adalah segalanya, sekaligus bukanlah apa-apa. Ia adalah semuanya, sekaligus kosong dan hampa pada saat yang sama.

Yang abadi itu seperti ruang. Ia menampung semuanya, tanpa menilai, apalagi menghakimi. Ia tak terbatas. Yang abadi, Sanatana Dharma, memeluk semuanya, tanpa pernah mengecualikan yang ada.

Yang abadi tak jauh. Ia ada di dalam batin. Ia sedekat nafas kita. Yang abadi adalah hakekat terdalam dari batin manusia.

Yang abadi ada di dalam setiap aktivitas manusia, baik berpikir, merasa, fungsi organ atau sekedar bergerak. Kita hanya perlu mengenalinya. Kita hanya perlu beristirahat di sana. Dahaga pencarian pun akan lenyap seketika.

Ketika dahaga lenyap, kita tak ingin apapun lagi. Kita sudah bersama sang pencipta. Sesungguhnya, kita tak pernah terpisah dengannya. Hanya ilusi hasil pikiran semata yang membuat kita merasa terpisah dari yang abadi, dari sang pencipta.

Ketika beristirahat dengan yang abadi, kita melenyapkan segala kejahatan. Secara alami, kita sudah menolong semesta. Pikiran, perasaan dan tindakan kita mengalir dari keabadian. Ini sudah cukup. Ini sudah sempurna.

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.