Agama/Ideologi Kematian di Indonesia

Tempus-fugit-by-Mario-Nevado-Art-P-1Oleh Reza A.A Wattimena

Ah, pantat saya sudah gatal. Saya ingin berkendara motor jarak jauh. Sudah lama sekali, saya tak melakukan ini. Cuaca sudah mendukung, dan saya sedang ada waktu, serta cukup sehat.

Pertengahan Juni 2024, jam 1 pagi, saya terbangun. Badan segar. Tanpa banyak berpikir, saya berkemas, dan berangkat dengan motor menuju Puncak, Bogor.

Perjalanan nyaman sekali. Udara dingin, tapi tak hujan. Satu kali, saya berhenti untuk mengisi bahan bakar, dan beristirahat. Sisanya, saya jalan terus.

Tak lama, saya menikmati Puncak. 30 menit di atas, saya menikmati udara dingin, teh hangat, sambil berbincang dengan bapak-bapak tukang parkir, lalu kembali ke Jakarta. Badan mulai terasa lelah. Ngantuk pun mulai datang berkunjung.

Saya beristirahat di pom bensin terdekat daerah Bogor. Saya minum, dan melakukan pelemasan otot sedikit. Perhatian saya teralih. Di rumah ibadah terdekat, sekitar jam 4 pagi, ada orang bernyanyi keras.

Suaranya jelek sekali. Speakernya pecah. Tidak hanya jelek dan pecah, suaranya juga kencang sekali. Ini polusi suara di pagi hari yang, seharusnya, hening dan menyegarkan.

Kata-katanya juga tak jelas. Ia seperti orang bergumam kosong. Suaranya seperti orang gila. Mengapa warga sekitar dan pemerintah mendiamkan kebisingan yang merusak semacam itu?

Saya tidak melihat wujud fisik rumah ibadahnya. Letaknya agak jauh. Di kejauhan seperti ini saja, saya masih mendengar suara bising yang merusak telinga tersebut. Mengapa beribadah harus menganggu orang lain, dan menciptakan kebisingan yang merusak telinga?

Agama/Ideologi Kematian

Pertama, inilah ciri utama agama kematian (Lihat: Kesadaran, agama dan politik). Kata agama, sebenarnya, kurang tepat. Agama menghadirkan keteraturan dan harmoni (A-Gama). Kata yang lebih tepat sebenarnya adalah ideologi kematian, yakni ideologi yang terpaku pada kematian, dan mengorbankan segala yang indah dan berharga di dalam hidup.

Dua, ideologi/agama kematian memiliki kesadaran rendah. Mereka tidak peka pada lingkungan sekitarnya. Mereka hanya peduli pada kepentingannya sendiri. Bagaimana mereka bisa mengenali Tuhan semesta di dalam diri, jika mereka terus merusak lingkungan dengan suara bising?

Tiga, buah dari kesadaran rendah adalah kebodohan dan kemiskinan. Inilah yang kiranya terjadi pada kelompok agama/ideologi kematian. Dimanapun berada, kelompok ini selalu membuat masalah. Teroris dunia abad 21 dikuasai oleh kelompok ideologi/agama kematian ini.

Empat, dampak politiknya juga luas. Negara penuh koruptor juga cerminan dari agama/ideologi kematian ini. Pemerintah dipenuhi koruptor. Pelaku pembunuhan dan penculikan, beserta anak haram konstitusi yang menjadi wakilnya, justru dipilih menjadi pemimpin.

Lima, ini terjadi, persis karena kedunguan rakyatnya. Karena pengaruh kuat agama/ideologi kematian ini, akal sehat terbunuh. Nurani menjadi bungkam. Buahnya adalah kemiskinan multidimensional, dari kemiskinan budaya, cara berpikir sampai dengan ekonomi.

Enam, karena miskin dan bodoh, bangsa kita terus dijajah bangsa lain, tanpa henti. Uang triliunan rupiah dibuang ke negara tanah gersang untuk dongeng yang penuh kebodohan. Orang asing selalu dipandang lebih bermartabat dari anak bangsa sendiri. Kekayaan alam kita banyak, namun dikeruk oleh pihak asing, sehingga kita miskin dan bodoh di tanah yang kaya.

Tujuh, kita juga saling bertengkar di antara kita sendiri. Agama dijadikan alasan untuk bersikap biadab. Agama dijadikan alasan untuk bersikap bodoh serta menindas. Kecantikan perempuan lenyap. Budaya leluhur dibuang. Inilah ciri mendasar yang melekat pada agama/ideologi kematian di Indonesia.

Delapan, agama/ideologi kematian tidak meninggalkan apapun yang berharga di Indonesia. Sebaliknya, agama/ideologi kematian ini merusak mental, cara berpikir dan nurani kita. Kita menjadi buta. Perilaku kita di dalam keseharian pun rusak, mulai dari korupsi, mengabaikan hukum sampai menciptakan kebisingan yang merusak telinga.

Sembilan, ini mungkin yang paling mengerikan, kita menjadi tak mampu hening. Agama/ideologi kematian penuh dengan aturan moral bodoh, dan mitos belaka. Akibatnya, batin kita dipenuhi dengan keriuhan yang sia-sia. Kita tak mampu hening, dan semakin jauh dari Tuhan yang, sebenarnya, selalu ada di dalam hati nurani kita sendiri.

Membuang Agama/ideologi Kematian

Sudah terlalu lama, kita diperbodoh dan dipermiskin oleh agama/ideologi kematian ini. Kita harus melakukan transformasi kesadaran (lihat: Kesadaran, agama dan politik) , dan membuang jauh-jauh agama/ideologi kematian ini kembali rumahnya di tanah gersang sana. Hanya dengan melakukan ini, kita bisa sungguh menjadi bangsa maju, dan bukan bangsa terbelakang yang hidup dalam delusi serta dongeng, seperti sekarang ini. Kita mulai dari diri kita sendiri, dan lingkungan sekitar kita, lalu bergerak dalam organisasi yang memiliki visi serupa.

Pagi itu, saya melanjutkan perjalanan. Dalam hati, saya bertanya. Kapan bangsa ini bisa keluar dari agama/ideologi kematian ini? Saya sedih dan lelah melihat bangsa yang begitu besar, namun diperbudak oleh agama/ideologi kematian dari tanah gersang yang menawarkan kemiskinan serta kebodohan belaka.

Mau sampai kapan?

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.