
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman
Seorang pemuda Indonesia belajar di Jerman. Di lingkungannya, ia dianggap berbakat, karena masih muda, cerdas, dan memiliki karakter baik. Ia pun mendapatkan beasiswa penuh untuk belajar lagi. Harapan banyak orang bertumpu pada pundaknya.
Sesampainya di Jerman, ia kaget. Iklim individualisme dan otonomi individu yang begitu tinggi membuatnya sulit untuk membangun hubungan dengan orang lain. Beberapa kali, ia mencoba menjalin relasi, namun gagal. Ia pun berhenti mencoba.
Di Jerman, ia berjumpa dengan satu kelompok yang memiliki latar belakang agama sama dengannya. Daripada membangun relasi yang lebih luas, ia merasa lebih nyaman bergaul dengan mereka. Maka, aktivitasnya pun hanya dilakukan dalam konteks hubungan dengan kelompok agama tersebut. Semakin hari, ia semakin menutup diri, dan membenci orang-orang yang berasal dari latar belakang lain.
Ini kisah nyata, dan banyak terjadi pada orang-orang yang sedang merantau ke negeri asing, entah untuk bekerja, atau belajar. Justru karena merantau ke negeri asing, orang malah semakin menjadi tertutup dan fanatik dengan identitas kelompoknya sendiri. Di tengah masyarakat asing yang terdiri dari beragam kultur, orang justru membentuk kelompok-kelompok kecil yang serupa dengannya, dan menutup diri dari hubungan yang lebih luas dengan kelompok lain. Apa yang sebenarnya terjadi? Lanjutkan membaca Akar-akar Fanatisme
