Oleh Reza A.A Wattimena
Mengapa orang kecanduan? Ada banyak penelitian soal ini. Saya akan melihat dari sisi filsafat dan spiritualitas, terutama dari pemikiran Gabor Mate. Dua sisi itu, pada hemat saya, menyentuh unsur terdalam dari kecanduan.
Kecanduan adalah pengalaman nikmat yang terus ingin diulang, walaupun ia berbahaya bagi kehidupan. Kecanduan itu seperti menjilat madu di atas pisau tajam. Rasanya manis dan nikmat. Namun, darah dan rasa sakit mengucur deras dari luka yang terbuka di lidah.
Ada beragam bentuk kecanduan. Ada kecanduan narkoba dan alkohol. Ini yang biasanya langsung berurusan dengan aparat penegak hukum. Ada juga kecanduan yang lebih halus, namun sama berbahayanya, yakni kecanduan belanja, pornografi, seks, rokok, gadget, media sosial, olahraga, bekerja, menjalin relasi, agama, kekuasaan dan sebagainya.
Di dalam tradisi Buddhis, ada analogi yang bagus untuk ini. Orang yang kecanduan itu seperti hantu lapar. Perut dan nafsu makannya besar. Namun, mulutnya kecil, sehingga ia tidak akan pernah terpuaskan, dan selalu merasa lapar.
Hantu lapar hidup di neraka. Neraka bukanlah tempat yang ada di dalam waktu. Neraka adalah keadaan batin. Orang kecanduan itu tak pernah terpuaskan, apapun yang ia lakukan untuk mencapai kenikmatan.
Trauma, Derita dan Luka
Obyek kecanduan itu memberi kenikmatan. Masalah terlupakan. Hidup menjadi enteng dan mudah. Semua seolah baik-baik saja.
Namun, kenikmatan dari kecanduan itu, sebenarnya, hanyalah pengalihan. Yang ditutupi adalah derita. Ada rasa sakit yang ingin diabaikan dengan kenikmatan yang merusak. Inilah akar dari kecanduan.
Darimana derita dan sakit itu muncul? Akarnya adalah trauma. Trauma adalah peristiwa menyakitkan di masa lalu yang terus mengulang dirinya di dalam pikiran korban. Ia sudah lewat, tetapi terus terjadi setiap saat.
Di dalam diri para pecandu, ada trauma mendalam, akibat kekerasan yang terjadi padanya. Kekerasan ini terjadi di masa lalu, dan biasanya merupakan kekerasan fisik maupun psikologis yang berlangsung dalam jangka waktu panjang. Namun, ia terus mengulang dirinya di dalam diri korban. Trauma menciptakan derita dan rasa sakit yang tiada tara.
Derita ini tak terobati. Rasa sakit yang dirasakan juga amat besar. Yang tersisa adalah kekosongan batin di dalam diri korban. Untuk mengisi kekosongan dan mengobati rasa sakit yang tiada tara itu, obyek kecanduan pun dicari dan dikejar dengan gencar.
Maka, musuhnya bukanlah para pecandu. Musuhnya juga bukanlah kecanduan itu sendiri. Musuh terbesar adalah trauma yang melahirkan derita dan rasa sakit yang begitu mencekik. Jika orang mampu melampaui derita dan trauma yang ia punya, maka kecanduan pun akan lenyap dengan sendirinya.
Kecanduan Kekuasaan
Kekuasaan pun juga membuat candu. Orang melekat padanya. Ia tak mau lepas darinya, walaupun waktunya berkuasa sudah lewat. Akhirnya, ia membuat banyak hal bodoh dan korup untuk mempertahankannya.
Ada trauma yang tersembunyi di balik kecanduan akan kekuasaan. Biasanya, si pecandu kekuasaan adalah orang yang terbuang. Ia sering direndahkan, terutama karena status ekonomi dan politiknya. Hal ini menciptakan derita dan luka yang mendalam, melahirkan trauma dan membuatnya menjadi pecandu kekuasaan yang merusak.
Kecanduan kekuasaan biasa dialami oleh para politisi. Indonesia pun tak asing dengan pola ini. Para pemimpin politik biasanya adalah para pecandu yang mengidap trauma mendalam. Batin mereka penuh derita dan hampa, karena trauma yang terabaikan.
Mereka tak bisa diharapkan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Hati mereka hampa dan penuh derita. Pikiran mereka kacau. Perubahan hanya dapat dicapai dengan kerja sama dari beragam orang dan organisasi yang memiliki visi serupa, serta niat baik yang tulus.
Melampaui Trauma, Melampaui Kecanduan
Akar masalah dari kecanduan adalah trauma. Bagaimana melampaui trauma? Ada lima hal yang bisa ditempuh. Pertama, kita perlu belajar untuk menderita dengan tidak menghindar darinya. Selama kita masih hidup dengan tubuh dan pikiran ini, derita tak terhindarkan.
Dua, kita juga perlu belajar merasa sakit. Kita lahir ke dunia dengan rasa sakit. Kita menjalani hidup dengan rasa sakit. Menjelang kematian, rasa sakit juga tak bisa terhindarkan.
Tiga, derita dan sakit harus dialami seutuhnya. Keduanya harus dialami dan dirasakan sepenuhnya, tanpa penilaian apapun. Setiap bentuk penolakan pada derita dan sakit hanya akan memperbesar keduanya. Inilah paradoks yang terletak di dalam jantung hati spiritualitas.
Empat, kita juga mesti terus melihat kesementaraan dari semua pengalaman, termasuk derita dan bahagia yang datang silih berganti. Segala pengalaman itu sementara, karena ia kosong dari inti yang tetap. Tidak hanya pengalaman manusia, segala hal di dalam kenyataan pun memiliki ciri serupa. Pemahaman ini membawa kita pada kedamaian di tengah segala perubahan hidup yang serba tak pasti.
Lima, yang terpenting, kita mesti memahami sekaligus mengalami diri kita yang sejati. Diri sejati itu terletak sebelum pikiran dan bahasa muncul. Ia adalah kesadaran murni yang mengalami dunia sebagaimana adanya, tanpa penilaian apapun. Ketika kita menyentuh diri sejati, kita menyentuh sang pencipta.
Di titik ini, seperti dikatakan oleh Gabor Mate, kita mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Ada rasa penuh dan utuh yang muncul. Beragam hormon kebahagiaan mengalir, yakni dopamin, serotonin dan oxytocin. Secara alami, segala bentuk trauma dan kecanduan pun runtuh begitu saja.
Sepuluh latihan kesadaran (klik disini) yang saya kembangkan bisa dilatih untuk mengenali diri sejati ini. Teori transformasi kesadaran (Kesadaran dan Agama) kiranya juga bisa memberikan peta yang cukup jelas. Seperti hantu lapar adalah keadaan batin yang sangat menyiksa. Kita merasa lapar dan haus akan cinta, namun tak akan pernah mendapatkannya, walaupun kita mengejar beragam obyek kecanduan yang ada. Apakah anda mau hidup terus sebagai hantu lapar semacam ini?
===
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/