Berjumpa dengan Teman Lama

1000_F_301418257_ujLAdfHwmGEF27e3B1HDvTUDpnf0O6P8Oleh Reza A.A Wattimena

Teman lama itu datang. Sudah lama saya tak berjumpa dengannya. Kedatangannya tiba-tiba. Ia membuat saya kaget.

Gejalanya beragam. Dada terasa berat. Saya seperti membawa karung beras 50 kg di dada. Semua aktivitas juga terasa berat dan melelahkan.

Saya kehilangan gairah melakukan apapun. Saya hanya ingin menetap di rumah. Tidak lebih, dan tidak kurang. Teman lama itu hanya ingin datang berkunjung, dan membuat saya tak berdaya.

Apa yang dulu nikmat tidak lagi terasa nikmat. Membaca menjadi hambar. Meditasi menjadi membosankan. Berkendara motor menjadi melelahkan. Semua terasa kering dan tak bermakna.

Kesedihan muncul setiap saat. Kenangan masa lalu yang menyakitkan turut datang. Rasa bahagia seperti jauh dari jangkauan. Yang saya ingin lakukan hanyalah berada di rumah, dan tidak melakukan apapun.

Pemicunya beragam. Kenangan masa lalu yang menikam kuat. Kekecewaan dan kesedihan yang amat sangat. Saya tidak mengundangnya. Mereka hanya datang begitu saja, seperti tamu yang tak diundang.

Saya menyambut teman lama saya itu. Dulu sekali, ia datang. Dulu sekali, saya memusuhinya, dan kami berkonflik. Pada waktu itu, penderitaan yang muncul pun besar sekali.

Kini, saya bersikap lembut padanya. Saya mengakui keberadaannya. Saya menyambut kedatangannya. Ia adalah teman lama, dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan saya.

Teman lama saya itu butuh tempat. Ia ingin diakui keberadaannya. Ia ingin diberikan ruang untuk merasa. Seperti kita semua, ia hanya butuh untuk diakui, dan dicintai. Seperti segala hal di alam semesta ini, ia juga bersifat kosong dan sementara.

Teman saya mengajarkan untuk beristirahat. Saya diajarkan untuk melepas semua yang semu dan berubah. Saya diingatkan kembali untuk memeluk apa yang sungguh penting. Ada yang tak berubah dan mendamaikan di dalam diri setiap orang, dan itu adalah yang terpenting.

Teman lama saya itu menyakitkan. Tapi dia adalah guru yang paling bijak. Dia membuat saya sedih, karena kelekatan saya pada hal-hal yang berubah. Dia mengajarkan saya untuk mengampuni, dan melepas segala hal yang sementara.

Apakah anda punya teman semacam itu?

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.