Politik Multikulturalisme


Technorati Tags: filsafat,politik,multikulturalisme

Oleh: Reza A.A Wattimena

Kabinet Indonesia bersatu II sudah terbentuk. Sumpah dan komitmen politis sudah diucapkan. Harapan dan kesangsian bermunculan di masyarakat. Sama seperti pemerintahan sebelumnya, Kabinet Indonesia Bersatu II ini adalah hasil kompromi dari berbagai kepentingan, terutama kepentingan yang ada di partai politik. Namun apakah kompromi tersebut sungguh mampu mencerminkan kepentingan dan kebutuhan setiap kelompok yang ada di masyarakat? Ataukah kompromi politik yang terjadi sifatnya hanya pembagian kekuasaan, tanpa ada keterkaitan dengan kepentingan masyarakat luas?

Pemerintahan Multikultural

Indonesia adalah negara dengan banyak bangsa. Tidak hanya itu beragam ‘bangsa’ yang ada di Indonesia juga memiliki kelompok-kelompok identitas partikular di dalamnya. Dalam arti ini Indonesia adalah bangsa multikultur. Kultur sendiri adalah pandangan hidup, pandangan dunia, horison makna, dan nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang atuapun suatu kelompok sebagai dasar pemikiran ataupun tindakannya. Adanya beragam kultur bisa menjadi potensi kekayaan budaya bangsa yang besar, sekaligus potensi pemecah dan pemicu konflik.

Pemerintahan berdasar politik multikulturalisme haruslah memberikan ruang bagi semua identitas partikular yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat. Setiap kelompok identitas partikular haruslah memiliki wakil di parlemen maupun di kabinet. Inilah ide dasar dari parlemen dan kabinet multikulturalisme. Kepentingan setiap kelompok identitas kultural partikular haruslah diberikan tempat untuk kemudian berdialog dengan kepentingan identitas kultural partikular lainnya.

Selama ini parlemen hanya terdiri dari perwakilan propinsi yang telah memenangkan pemilu legislatif. Kabinet eksekutif pemerintahan pun hanya merupakan hasil kompromi politik dari partai-partai politik besar. Dalam kondisi ini kepentingan dan pemikiran yang berkembang dari kelompok identitas partikular yang tersebar di seluruh Indonesia seringkali tidak mendapatkan ruang untuk didengar. Padahal kehadiran jutaan kelompok identitas partikular di seluruh Indonesia sangat menentukan jati diri bangsa secara keseluruhan.

Jika parlemen dan kabinet tidak memberi ruang bagi perwakilan setiap kelompok identitas partikular, maka demokrasi akan tersumbat. Kepentingan dan pemikiran mereka yang unik seturut dengan kulturnya tidak akan terdengar. Identitas kelompok mereka akhirnya terancam musnah. Jika kelompok-kelompok identitas partikular di Indonesia musnah, maka potensi kekayaan budaya bangsa akan musnah. Indonesia dapat terjatuh kembali menjadi negara totaliter.

Keberadaan parlemen dan kabinet multikulturalisme memungkinkan setiap kelompok identitas partikular yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia mendapatkan pengakuan yang selayaknya. Adanya pengakuan terhadap keberadaan kelompok identitas partikular merupakan awal perkembangan identitas nasional bangsa Indonesia yang multikultur. Pengakuan merupakan syarat eksistensi suatu kelompok ataupun individu. Identitas kelompok partikular bisa berkembang secara dialogal dengan identitas kelompok lainnya, jika pengakuan sudah diberikan.

Prinsip dasar yang harus dijadikan acuan adalah, bahwa setiap kultur memiliki nilai pada dirinya sendiri. Setiap orang ataupun kelompok berhak hidup seturut dengan kultur yang mereka yakini secara otentik. Pemerintahan multikultural adalah cerminan dari masyarakat Indonesia yang juga multikultur. Pemerintahan multikultural bisa menjamin otentisitas kehidupan dari individu ataupun kelompok yang dipimpinnya. Di dalam masyarakat yang otentik, potensi konflik sosial antar kelompok sangatlah kecil. Kekerasan di dalam masyarakat pun bisa dikurangi.

Kompromi Politik

Pada level praktis keberadaan parlemen dan kabinet multikulturalisme bisa memberi warna positif bagi kompromi politik yang terjadi di pemerintahan, terutama eksekutif dan legislatif. Dewasa ini kompromi politik yang terjadi adalah kompromi antar kepentingan golongan yang berkuasa di pemerintahan. Masyarakat secara umum termasuk kelompok-kelompok identitas partikular tidak mendapatkan ruang untuk sungguh memperjuangkan kepentingan mereka. Akibatnya banyak kelompok identitas partikular tersebut merasa asing dengan pemerintahan yang ada. Apatisme politik pun tercipta. Orang tidak lagi peduli dengan politik bangsanya.

Jika parlemen (legislatif) dan kabinet (eksekutif) memberikan tempat yang memadai untuk setiap kelompok identitas partikular, maka kompromi politik yang terjadi adalah kompromi untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama, karena setiap kelompok identitas partikular hanya bisa berkembang dalam relasi dengan kelompok identitas partikular lainnya. Inilah inti dari politik multikulturalisme. Kesejahteraan bersama hanya dapat tercipta, jika setiap kelompok identitas partikular memperjuangkan kepentingannya dalam relasi dialogal dengan kelompok identitas partikular lainnya. Para politikus dan akademisi bisa mulai melihat kemungkinan terwujudnya politik multikulturalisme di Indonesia.***

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Derrida dan Dekonstruksi

Technorati Tags: ,,

Metode Dekonstruksi

Jacques Derrida



Reza A.A Wattimena

            Pada bab sebelumnya kita sudah berusaha memahami konsep hermeneutika di dalam filsafat Hans-Georg Gadamer. Baginya hermeneutika adalah suatu upaya untuk menafsirkan teks untuk mendapatkan pemahaman tertentu. Dua konsep yang kiranya menjadi inti di dalam hermeneutika Gadamer adalah konsep peleburan horison-horison (fusion of horizons) dan konsep lingkaran hermeneutik. Konsep peleburan horison-horison berisi penjelasan Gadamer mengenai proses penafsiran yang melibatkan isi asli teks sekaligus pikiran maupun perasaan orang yang membacanya. Peleburan kedua hal ini menghasilkan suatu tafsiran yang menciptakan pemahaman yang baru. Pembaca dengan latar belakang historis maupun konseptualnya menyatu dengan teks yang juga memiliki makna dan latar belakangnya sendiri.

            Sementara konsep lingkaran hermeneutik berisi penjelasan Gadamer tentang proses memahami suatu teks. Baginya makna keseluruhan suatu teks hanya dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami bagian-bagian teks tersebut. Dan sebaliknya bagian-bagian di dalam teks tersebut hanya bisa dipahami dengan memahami keseluruhan maknanya. Pengandaian dari konsep ini adalah, bahwa keseluruhan dan bagian memiliki koherensi. Hal ini berlaku bahkan untuk teks-teks yang sekilas dibaca tampak tidak memiliki koherensi, seperti fragmen-fragmen para filsuf Yunani Kuno, ataupun tulisan-tulisan aphoristik di dalam filsafat Nietzsche. Gadamer menyediakan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan bagi orang untuk membaca teks, memahaminya, dan kemudian mengembangkannya.

            Pada bab ini saya akan memperkenalkan anda dengan metode dekonstruksi yang dirumuskan oleh Jacques Derrida. Sebagai acuan utama saya menyandarkan diri pada tulisan Nicholas Royle yang berjudulDerrida.[1] Yang menarik dari pemikiran Derrida adalah kemampuannya untuk menggambarkan sekaligus mengubah pikiran kita tentang dunia, termasuk di dalamnya tentang kematian, kehidupan, budaya, filsafat, sastra, dan tentang politik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Royle, filsafat Derrida setidaknya berdasarkan pada dua tujuan, yakni menggambarkan dan mengubah cara berpikir pembacanya ataupun pendengarnya.

            Tentu saja di dalam pandangan umum, tindak mengubah dan menggambarkan realitas adalah dua jenis tindakan yang berbeda. Untuk menggambarkan berarti untuk menyatakan apa adanya realitas yang ditemui, baik itu realitas alam maupun realitas sosial. Untuk menggambarkan berarti orang sudah terlebih dahulu mengandaikan adanya kondisi-kondisi obyektif nyata yang sudah ada sebelumnya (pre-existing condition) di dalam realitas. Sebaliknya untuk mengubah orang perlu berpikir dengan cara yang berbeda. Namun bisakah pikiran yang berbeda juga mengubah realitas ke arah yang berbeda? Inilah pertanyaan yang kiranya menjadi titik awal yang pas untuk membahas pemikiran Derrida.[2]

Mengubah Teks

            Mengubah realitas menurut Derrida juga berarti mengubah teks, dan teks itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk mengubah realitas orang perlu terlebih dahulu mampu memahami dan menggambarkan realitas. Ada keterkaitan yang mendalam antara menggambarkan (to describe) dan mengubah (to transform). Titik berangkat Derrida adalah teori tindakan tutur (speech act theory) yang banyak dikembangkan di dalam teori komunikasi maupun linguistik. Sebelum merumuskan pemikirannya sendiri secara orisinil, ia banyak mendalami teori tindakan tutur, terutama seperti yang dirumuskan oleh J.L Austin. Buku yang menjadi acuan utama Derrida adalah How to do Things with Words, karangan Austin. Menurut Austin setiap tindakan berbicara manusia dapat diartikan dengan dua cara, yakni secara konstatif, atau secara performatif.

            Pernyataan konstatif adalah pernyataan tentang fakta sebagaimana adanya. Biasanya pernyataan ini sifatnya deskriptif, yakni menggambarkan sesuatu secara langsung tanpa penilaian apapun. Misalnya saya sedang menulis di notebook. Atau anda sedang membaca tulisan ini. Kedua pernyataan itu adalah pernyataan konstatif. Di sisi lain pernyataan performatif adalah pernyataan yang tidak hanya melibatkan kata-kata, tetapi juga perbuatan yang menyertai kata-kata itu. Biasanya pernyataan performatif itu berbentuk janji, ancaman, doa, pengakuan, tantangan, taruhan, deklarasi perang, dan deklarasi. Dengan kata lain pernyataan performatif tidak hanya mau menggambarkan fakta, melainkan juga mau mengubahnya. Menyatakan secara performatif berarti menyatakan sekaligus melakukan sesuatu.

            Di dalam upacara pernikahan, mempelai pria dan wanita menyatakan bahwa mereka siap untuk selalu setia sampai mati, baik dalam kondisi susah maupun senang. Pernyataan “saya bersedia” tidak hanya berupa pemaparan atas keputusan masing-masing mempelai, tetapi juga pernyataan yang membuahkan tindakan. Dengan kata lain sejak hari itu, kedua mempelai siap untuk saling mencintai secara penuh satu sama lain. Hal yang sama kiranya berlaku untuk pernyataan perang. Sebuah negara yang menyatakan perang terhadap negara lain juga mengandaikan adanya tindakan nyata, seperti memobilisasi pasukan, mengungsikan warga-warga di daerah berbahaya, dan sebagainya.

            Tulisan-tulisan Derrida seringkali berupa pembacaan ulang terhadap salah satu teks yang cukup berpengaruh di dalam sejarah filsafat. Di dalam proses pembacaannya, ia tidak hanya menggambarkan apa yang menjadi maksud asli pengarang teks, tetapi juga mengubah pemahaman kita tentang teks tersebut. Akan tetapi janganlah buruk sangka terlebih dahulu. Derrida adalah seorang pembaca yang sangat cermat. Ia sangat sabar meneliti teks-teks yang ia baca. Beberapa teks yang pernah dimaknainya kembali adalah tulisan Plato yang berjudul Phaedrus, tulisah Shakespeare yang berjudul Romeo and Juliet, tulisan Kafka yang berjudul Before the Law, dan bahkan American Declaration of Independence.

Sekilas orang akan mengira, bahwa Derrida hanya menggambarkan kembali apa yang sudah tertulis di dalam teks. Namun pendapat ini hanya separuh benar. Ia memang seorang pembaca dan pengajar yang sangat tajam dan detil. Namun ia juga mengubah pemahaman kita tentang teks-teks yang ia baca. Ia menjauh dari tafsiran dominan, dan membuat tafsirannya sendiri atas teks-teks yang ia baca. Di tangan Derrida teks-teks kuno itu berubah menjadi suatu teks yang menyegarkan dan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dapatlah dikatakan bahwa Derrida tidak hanya melakukan tindakan konstatif, yakni menggambarkan teks, tetapi juga tindakan performatif, yakni mengubah teks tersebut menjadi sesuatu yang baru.[3]

Dekonstruksi

            Dengan demikian Derrida tidak hanya menggambarkan maksud teks-teks yang dibacanya secara persis, tetapi juga mengubahnya menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua konsep itu yakni deskripsi/penggambaran (description) dan transformasi (transformation) dapat digabungkan menjadi dekonstruksi (deconstruction). Sekilas konsep dekonstruksi ini tampak aneh dan kontradiktif. Bagaimana mungkin membaca secara tepat sekaligus mengembangkan makna teks dengan mengubahnya? Namun itulah yang kiranya dilakukan Derrida. Menurut penelitian Nicholas Royle, Derrida sendiri tidak begitu suka dengan kata tersebut. Konsep itu pun melepaskan diri dari Derrida, dan mulai menjadi sebuah paham, yakni sebuah isme. Sejak saat itu konsep dekonstruksi terus menjadi subyek perdebatan banyak pemikir lintas displin ilmu.

            Royle bahkan berpendapat bahwa kita dapat memahami filsafat Derrida tanpa menggunakan konsep dekonstruksi sama sekali. Memang hal itu akan sangat sulit, namun bukan berarti tidak mungkin. Di dalam kamus filsafat dan kamus Bahasa Inggris, seperti dikutip oleh Royle, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk mengubah konstruksi dari suatu benda. Di dalam kamus filsafat, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu strategi analisis yang dikaitkan dengan filsuf Perancis, Jacques Derrida, yang bertujuan untuk membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak dipertanyakan, serta membuka kontradiksi internal di dalam filsafat maupun teori-teori bahasa.

Royle sendiri mendefinisikan dekonstruksi sebagai sesuatu yang bukan seperti yang dipikirkan orang banyak, pengalaman akan yang tak mungkin, cara berpikir untuk menggoyang apa yang sudah dianggap mapan, apa yang membuat identitas dari sesuatu itu juga sekaligus bukan merupakan identitas, dan masa depan yang masih belum ada itu sendiri.[4] Tentu saja beragam definisi tersebut pasti membuat orang bingung. Namun Derrida sendiri tidak pernah secara jelas mendefinisikan arti dari konsep dekonstruksi. Ia hanya menerapkannya dan membiarkan pembacanya merumuskan sendiri. Maka dapatlah dikatakan bahwa hakekat dari dekonstruksi itu sifatnya plural. Tidak ada satu definisi utuh yang bisa menjelaskan makna terdalam dari dekonstruksi.

Dekonstruksi juga tidak hanya bergerak di tataran filsafat, melainkan juga menyentuh literatur, politik, seni, arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Di dalam kajian lintas ilmu, dekonstruksi dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Di dalam tulisan-tulisannya, Derrida berulang kali menuliskan bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah itu sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks.  Derrida mau melakukan de-sedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa di dalam teks.

Dekonstruksi sebagai Gempa Tekstual

            Di dalam teks dekonstruksi hendak menciptakan gempa dengan terlebih dahulu mengungkapkan kontradiksi di dalam teks tersebut. Hal tersebut hanya bisa dilakukan, bila teks sudah dibaca dan dimengerti secara teliti. Sekecil apapun kontradiksi yang ada, tetap saja ia mampu membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tak terpikirkan bagi keseluruhan teks terkait. Di dalam proses penelusurannya terhadap teks-teks filsafat yang ada, Derrida tidak memperlakukan para filsuf sebelum dia sebagai individu, melainkan sebagai suatu teka teki yang harus dipahami dan kemudian dipecahkan. Inilah yang menyebabkan tulisan-tulisan Derrida terasa bagai labirin yang tak berujung. Ini juga yang menyebabkan sulitnya kita menentukan posisi khas Derrida.

Setiap karyanya harus selalu ditempatkan pada situasi dan konteks yang tepat, yang melatarbelakangi teks tersebut. Dekonstruksi yang diterapkan Derrida tidak mau memberikan pandangan umum mengenai filsafat, melainkan lebih tertarik bermain dengan detil-detil yang sebelumnya tidak diperhatikan. Bahkan satu kalimat kecil yang tampaknya tidak bermakna bisa menjadi titik tolak untuk mengubah makna keseluruhan teks. Derrida lebih jauh menambahkan, bahwa dekonstruksi sudah selalu berada di dalam teks itu sendiri. Dengan kata lain setiap teks sudah selalu memiliki potensi untuk medekonstruksi, atau men-destabilisasi, dirinya sendiri. Dengan dasar ini ia pernah menyatakan, bahwa segala sesuatu di dalam teks selalu bisa dipisah dan dibagi terus menerus. Tidak ada bagian dari teks yang sifatnya stagnan atau permanen. Tidak ada atom di dalam teks.

Jika tidak ada kesatuan utuh yang sifatnya permanen di dalam teks, maka teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Tidak ada tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan ini kita bisa memahami beberapa konsep lainnya yang kiranya identik dengan pemikiran Derrida, yaknidifferance, jejak-jejak, dan iterabilitas. Kata differance adalah kata yang aneh. Kata ini tidak terdapat di dalam kamus bahasa manapun. Kata itu sendiri terdiri dari dua kata yakni untuk membedakan (to differ), dan untuk menunda kepastian (to defer).  Kebenaran dan makna di dalam teks harus terus dibedakan dan ditangguhkan kepastiannya.[5]

Karena kebenaran selalu harus, dan mampu, ditangguhkan dan dibedakan terus menerus, maka kebenaran itu sendiri pada dasarnya tidak ada. Menurut Derrida yang bisa kita temukan dan ketahui adalah jejak-jejak dari kebenaran itu sendiri, dan bukan kebenarna pada dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan konsep jejak (trace) di dalam pemikiran Derrida. Sementara iterabilitas adalah kemampuan suatu teks untuk selalu dimaknai terus menerus di dalam konteks yang berbeda-beda. Teks adalah sesuatu yang lentur dan lincah. Teks adalah tanda yang bisa terus diulang dan dibedakan sesuai dengan horison pembaca dan penafsirnya.

Di dalam bukunya tentang Derrida, Royle mengajukan tesis bahwa dekonstruksi Derrida adalah sebuah gempa tekstual. Tujuan utama dekonstruksi adalah untuk menggoyang, memindahkan, dan mengubah semua konsep bahasa, psikologis, tekstual, estetis, historis, etis, sosial, politik, dan bahkan religiusitas. Di dalam tulisannya tentang Plato, Derrida tidak hanya menggambarkan kembali apa yang ingin disampaikan oleh Plato, tetapi ia juga secara kreatif mengubah dan menafsirkan apa yang dimaksud Plato secara baru dan tak terduga. Hal yang sama juga diterapkannya pada tulisan-tulisan cerita pendek yang ditulis oleh Kafka, dan bahkan skenario drama yang ditulis oleh Shakespeare. Dalam arti ini dekonstruksi lebih dari sekedar metode, terutama jika metode dipahami secara sempit sebagai suatu cara untuk mendekati dan memahami realitas. Dekonstruksi adalah suatu upaya untuk memahami teks, baik teks literatur ataupun realitas itu sendiri, lalu mengubahnya untuk memperoleh makna yang baru. Royle bahkan menegaskan bahwa dekonstruksi itu memiliki sifat mistik untuk mengubah dan menggoyang kepastian makna teks.[6]

Derrida juga menambahkan bahwa inti dekontruksi adalah mengaburkan perbedaan-perbedaan yang telah dibuat oleh manusia, terutama perbedaan yang sifatnya oposisi, seperti baik-buruk, ada-tidak ada, dan sebagainya. Tidak hanya itu dekonstruksi juga mau memahami arti kata ‘dan’ dengan cara berbeda. ‘Dan” fungsinya adalah membedakan sekaligus menambahkan; baik ‘dan’ buruk, Ani dan Dewi, makan nasi dan minum air. Lebih jauh Derrida juga menambahkan, bahwa karena kata ‘dan’ selalu memiliki dua arti, maka tidak ada kepastian di dalamnya. Dengan kata lain arti kata ‘dan’ tidaklah pernah stabil. ‘Dan’ bisa berarti oposisi sekaligus menambahkan. Karena itu oposisi dan menambahkan itu sifatnya saling terkait. Maka oposisi tidak pernah stabil, karena itu memiliki potensi untuk mengubah, dan menambahkan apa yang sebelumnya tidak ada.

Menurut Derrida setiap teks selalu sudah mengandung tegangan dan paradoks di dalamnya. Bahkan dapat juga dikatakan, yang terpenting di dalam teks adalah menemukan apa yang tak terkatakan, dan kemudian mengolahnya menjadi suatu pemaknaan yang baru. Di dalam pembacaannya terhadap tulisan-tulisan Austin, terutama yang terkait dengan linguistik (filsafat bahasa), Derrida menemukan kontradiksi di dalam konsep Austin mengenai pernyataan performatif. Bagi Derrida setiap bentuk pernyataan performatif, yakni pernyataan yang disertai dengan tindakan ataupun penegasan, selalu terkandung kemungkinan untuk tidak menjadi tindakan ataupun penegasan. Misalnya di dalam pernyataan “saya berjanji”, ada kemungkinan janji tersebut tidak akan terwujud, sehingga pernyataan itu tidak akan menjadi pernyataan performatif. Kemungkinan bahwa suatu pernyataan performatif tidak akan pernah menjadi tindakan bukanlah kemungkinan sampingan, melainkan sudah selalu merupakan kontradiksi di dalam pernyataan itu sendiri.[7]

Kesimpulan

            Dekonstruksi adalah sebuah metode sekaligus melampaui metode itu sendiri. Dekonstruksi tidak hanya menggambarkan teks, baik teks literatur ataupun teks sebagai realitas, apa adanya, melainkan juga mau mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detil teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terungkapkan bisa tampil dan justru menjadi dominan. Dalam bahasa Derrida dekonstruksi hendak menemukan kontradiksi dan menggetarkan seluruh teks. Menurut Royle di dalam tulisannya tentang Derrida, dekonstruksi adalah sebuah gempa yang menggetarkan seluruh teks, dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga. Kemungkinan untuk melakukan dekonstruksi sudah selalu terkandung di dalam teks itu sendiri. Kemungkinan yang tampak seperti hantu, namun sama nyatanya seperti teks itu sendiri. Dekonstruksi itu sendiri adalah teks.***


[1] Pada bab ini saya mengacu pada Nicholas Royle, Derrida, London: Routledge, 2003.

[2] Lihat, ibid, hal. 21.

[3] Lihat, ibid, hal. 22.

[4] Lihat, ibid, hal. 24.

[5] Lihat, ibid, hal. 26.

[6] Lihat, ibid.

[7] Lihat, ibid, hal. 29.

Kesadaran Kritis dan Pendidikan Demokrasi

Kesadaran Kritis

dan Pendidikan Demokrasi

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Pendidikan perlu untuk menumbuhkan kesadaran kritis peserta didiknya. Pendidikan harus mengajak peserta didik untuk jeli melihat ketidakadilan di dalam kehidupan sosial, bersikap reflektif, merumuskan pemikirannya tentang ketidakadilan itu, dan kemudian mengajukan solusi untuk melenyapkannya. (Amelia, 2009) Pendidikan yang masih berfokus pada pengajaran teknis yang sempit di dalam tembok-tembok displin ilmu tidak akan pernah mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kesadaran kritis. Di dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia, pendidikan yang berfokus pada penciptaan kesadaran kritis amatlah diperlukan. Sebuah negara yang masih berfokus pada penciptaan ‘tukang-tukang’ ilmiah tidak akan mampu menciptakan kultur demokratis yang diperlukan, guna menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera melalui jalan-jalan demokratis.

Pendidikan sebagai Penyadaran

Argumen tersebut dirumuskan oleh Paulo Freire untuk melawan semua bentuk penindasan yang terjadi pada masyarakat Sao Paulo, Brasil pada masa ia hidup. Ia berpendapat bahwa pendidikan tidak boleh steril dari politik. Sebaliknya pendidikan harus mampu ikut serta di dalam proses untuk mewujudkan politik yang berakar pada keadilan. Pendidikan harus melibatkan dirinya di dalam dinamika sosial masyarakat, termasuk di dalamnya dinamika ekonomi, politik, dan budaya.

Freire juga menegaskan bahwa pendidikan perlu untuk membuka mata peserta didik terhadap penindasan yang terjadi di depan matanya, yang mungkin selama ini belum disadari. Pengandaian dasar Freire adalah bahwa realitas selalu menyimpan ketidakadilan dan penindasan di baliknya. Realitas harus terus dicurigai sebagai sesuatu yang menyembunyikan ketidakadilan. Proses pendidikan adalah proses untuk menyadarkan peserta didik, sehingga mereka tergerak untuk membongkar ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di depan mata mereka.

Di Indonesia mayoritas guru dan dosen belum mengetahui atau meresapi pemikiran Freire tersebut. Mereka berfokus pada transfer pengetahuan teknis, tanpa ada dorongan lebih jauh untuk membuka mata peserta didik terhadap ketidakadilan sosial yang terjadi sehari-hari di Indonesia. Akibatnya peserta didik menjadi tidak peka terhadap situasi sekitar mereka. Dan lebih parah lagi, mereka justru menjadi orang-orang yang melestarikan dan bahkan mengembangkan penindasan sosial yang ada.

Pada hemat saya pola pendidikan semacam itu sama sekali tidak membebaskan dan menyadarkan. Sebaliknya pola pendidikan semacam itu pada akhirnya akan menghancurkan masyarakat secara umum. Para peserta didik menjadi orang yang angkuh dan berpikir konservatif. Mereka merasa diuntungkan dengan adanya penindasan, maka mereka lalu diam saja, atau justru memperparah keadaan. Dalam arti ini tujuan pendidikan telah gagal sejak awal.

Dipaksa untuk Bebas

Proses penyadaran dan pembebasan memang tidak datang dari surga. Sebaliknya proses tersebut harus diawali dengan penderitaan dalam bentuk paksaan. Secara normatif hal tersebut memang tidak bisa dibenarkan. Namun secara realistik setiap bentuk kebebasan selalu muncul dari adanya penindasan dan paksaan.

Setiap orang bebas untuk memilih makanan kesukaannya. Namun terlebih dahulu ia perlu belajar cara makan yang tepat. Untuk memperoleh pengetahuan tentang cara makan yang tepat, ia harus dipaksa belajar oleh orang tuanya. Setiap orang berhak untuk menuliskan pemikirannya secara bebas. Namun untuk bisa menulis, ia perlu dipaksa untuk belajar oleh guru dan orang tuanya.

Dengan demikian kesadaran dan kebebasan adalah sesuatu yang muncul dari bangkai peradaban yang memang berisi penindasan. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) juga muncul dari pengalaman traumatis atas perbudakan dan penjajahan. Maka sudah sewajarnya untuk bisa berpikir kritis, orang perlu untuk dilatih dalam tekanan dan paksaan terlebih dahulu. Harapannya ia kemudian menjadi sadar, dan tergerak dari dalam untuk mengembangkan kesadarannya itu.

Pendidikan Demokrasi

Di dalam masyarakat demokratis, setiap orang berhak untuk berpikir dan menyampaikan pemikirannya tersebut. Ia berhak untuk membentuk kelompok ataupun organisasi, dan menyampaikan pemikirannya di dalam organisasi itu. Dalam arti ini dapatlah disimpulkan, bahwa konsep kebebasan sangatlah penting di dalam masyarakat demokratis. Namun kebebasan macam apa yang perlu untuk dirawat dan dikembangkan?

Kebebasan yang diperlukan adalah kebebasan yang berakar pada kesadaran kritis orang yang tergerak oleh penindasan ataupun ketidakadilan sosial yang terjadi di depan matanya. Kebebasan di dalam masyarakat demokratis bukanlah kebebasan tanpa arah dan anarkis, melainkan kebebasan yang berorientasi pada upaya-upaya kritis, guna menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dalam arti ini kebebasan dan kesadaran kritis adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan! Pendidikan memainkan peranan yang sangat penting untuk menciptakan kesadaran kritis di pikiran para peserta didik. Ingat, ditangan merekalah masa depan Bangsa Indonesia ditentukan.***

Soft Skill, Komunikasi dan Kemajuan Demokrasi

Soft Skill, Komunikasi,

dan Kemajuan Demokrasi

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Komisi tiga DPR meminta keterangan dari Kapolri dan KPK mengenai kasus penangkapan Bibit-Chandra dan kerumitan kasus di balik penangkapan tersebut. Di dalam proses meminta keterangan dan mengajukan pendapat terlihat sekali kurangnya kemampuan para wakil rakyat kita di dalam berkomunikasi. Mereka cenderung berbicara berputar, dan sedapat mungkin menyembunyikan inti pembicaraan sampai akhir. Akibatnya pendengar yang ingin menyimak isi pembicaraan menjadi lelah dan bosan terlebih dahulu.

Ketidakmampuan berkomunikasi secara baik itu rupanya bukan hanya menjadi ‘penyakit’ DPR, tetapi juga sebagian besar rakyat Indonesia. Hal ini terjadi karena pola pendidikan yang terlalu berfokus pada ketrampilan teknis displin ilmu, seperti teknik, hukum, dan ekonomi, dan mengabaikan pendidikan soft skill dalam bentuk kemampuan berkomunikasi dan menyusun argumen secara singkat dan tepat. Akibatnya banyak orang sangat ahli di bidang ilmunya masing-masing, tetapi tidak mampu berkomunikasi ataupun menyampaikan pendapatnya secara singkat, padat, dan tepat.

Padahal komunikasi sangatlah penting di dalam kehidupan manusia. Kegagalan berkomunikasi akan menciptakan kesalahpahaman. Kesalahpahaman adalah awal dari semua bentuk konflik. Konflik akan bermuara pada terciptanya korban, baik korban jiwa ataupun material. Kita sebagai bangsa harus mulai memberikan perhatian pada pendidikan soft skill yang akan memungkinkan peserta didik mampu berkomunikasi secara jelas, singkat, dan tepat. Para wakil rakyat dan politikus di masa depan diharapkan mampu mengajukan argumen dan pemikiran mereka secara jelas, singkat, dan tepat.

Soft Skill dan Roh di Baliknya

Sekarang ini banyak sekolah ataupun universitas menyelenggarakan pendidikan soft skill. Pendidikan itu biasanya melibatkan kurikulum yang mengajarkan peserta didik untuk mampu berkomunikasi, bersikap pro aktif, jujur, mampu berbicara di depan umum secara jelas, padat, dan tepat, mampu bekerja di dalam tim, dan mampu bertahan di dalam tekanan pekerjaan ataupun tugas. Kurikulum tersebut terlihat ideal. Namun seperti yang berulang kali dikatakan oleh B. Suprapto, pendidikan soft skill tidak boleh terjatuh di dalam teknikalitas, seperti transfer ilmu ataupun pengetahuan semata, tetapi juga harus mengedepankan semangat dan roh pencarian kebenaran di dalamnya. (B.Suprapto, 2009)

Rupanya B. Suprapto masih mengidealkan semangat pencarian kebenaran yang sungguh terasa di kalangan para filsuf Yunani Kuno 2500 tahun yang lalu. Mereka tidak memiliki kurikulum soft skill, tetapi mereka menerapkannya secara nyata di dalam proses pencarian kebenaran dan kebijaksanaan. Itulah fajar filsafat di dalam peradaban manusia, yakni ketika beberapa orang berkumpul untuk berdiskusi, guna mencari kebenaran dan kebijaksanaan di dalam hidup mereka. Dengan mengedepankan diskusi dan argumentasi rasional, para filsuf tersebut memulai sebuah pencarian yang nantinya akan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Banyak institusi pendidikan sekarang ini mulai memperhatikan pentingnya soft skill. Namun perhatian dan pendidikan yang mereka berikan masih bersifat teknis semata. Semangat mencari kebenaran dan kebijaksanaan tidak ditularkan oleh para guru ataupun dosen, karena mereka sendiri tidak memiliki semangat tersebut. Para guru, dosen, maupun peserta didik harus kembali mempelajari semangat pencarian kebenaran dan kebijaksanaan yang diajarkan oleh para filsuf Yunani Kuno.

Soft skill juga harus didasarkan pada semangat pencarian kebenaran. Tanpa itu soft skill hanya akan terjebak pada teknikalitas transfer pengetahuan, seperti pada ilmu-ilmu lainnya. Tujuan soft skill untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara tepat, jelas, dan singkat pun tidak akan tercapai. Kesalahpahaman dan konflik sosial kemungkinan besar akan terjadi, seperti yang sudah seringkali dialami oleh bangsa ini.

Soft Skill dan Demokrasi

Di dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia, proses komunikasi memainkan peranan yang sangat penting. Di dalam bukunya yang berjudul The Theory of Communicative Action, Habermas, seorang filsuf Jerman, berpendapat, bahwa tindakan komunikatif yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan bersama adalah kunci integrasi masyarakat majemuk, seperti Indonesia. (Habermas, 1984) Paradigma komunikatif juga dapat menjadi paradigma ideal di dalam penelitian ilmu-ilmu sosial yang sebelumnya masih sangat bersifat positivistik (hanya mengakui hal-hal yang dapat diketahui oleh panca indera sebagai dasar pengetahuannya). Di dalam filsafat politiknya, Habermas juga berpendapat, bahwa inti dari negara demokratis adalah proses diskursus yang melibatkan warga negara di dalam proses komunikasi, guna mencapai kesepakatan mengenai segala sesuatu yang terkait dengan persoalan bersama. (Habermas, 1994).

Dengan demikian kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas, singkat, dan tepat adalah sesuatu yang sangat penting di dalam masyarakat demokratis. Jika para wakil rakyat, pemerintah, dan jajaran birokrasi pemerintahan, bisnis, serta masyarakat sipil telah menguasai soft skill berkomunikasi secara tepat, jelas, dan singkat yang kemudian dibalut oleh semangat pencarian kebenaran dan kebijaksanaan, maka proses demokrasi di Indonesia akan berjalan dengan lancar. Kesalahpahaman akan dapat dihindari. Rakyat pun akan semakin bergairah terlibat di dalam diskusi-diskusi publik yang terkait dengan permasalahan bersama. Rakyat tidak lagi bingung, lelah, dan bosan, ketika mencoba mendengarkan sidang DPR, ataupun diskusi-diskusi demokrasi lainnya.***

Rokok dan Kebebasan

Technorati Tags: ,,

Cogito

Seminari Tinggi Providentia Dei, Surabaya

November 2009

Edisi Rokok dan Kebebasan

Rokok: Kebutuhan Tubuh

yang Memenjarakan Jiwa

Oleh: Kristoforus Sri Ratulayn Kino Nara

Bagi sebagian besar orang, rokok telah menjadi kebutuhan yang bahkan disamakan dengan kebutuhan untuk makan dan minum. Kebutuhan akan rokok sudah menjadi kebutuhan yang sangat sentral. Mereka disebut sebagai perokok berat. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa rokok telah menjadi “istri” kedua mereka. Tentu banyak faktor yang harus kita lihat dalam membicarakan masalah ini. Namun dalam pembahasan ini, kita akan melihat bagaimana kebutuhan akan merokok ditinjau dari sisi filsafat.

Tema “Cogito” kali ini, rokok dan kebebasan, membuat saya ingin mengambil posisi kontra terhadap tema besar itu. Argumen saya adalah bahwa dengan merokok, manusia menjadi tidak bebas. Pada pembahasan ini saya akan membaginya dalam tiga bagian. Pertama, kita akan melihat bagaimana ajaran Plato tentang tubuh dan jiwa. Kedua, analisis dengan mengacu pada teori Plato tentang tubuh dan jiwa dengan kaitannya dalam kebutuhan manusia akan (me)rokok. Bagian terakhir nantinya adalah sebuah kesimpulan, bahwa rokok merupakan kebutuhan tubuh yang memenjarakan jiwa manusia.

Teori Plato tentang Tubuh dan Jiwa Manusia[1]

Plato, seorang filsuf terbesar dalam sejarah filsafat Yunani Kuno, memandang aspek dualisme manusia, yakni bahwa manusia terdiri dari dua hakikat yang berlainan, tubuh dan jiwa. Tubuh mempunyai sifat yang rapuh, mudah berubah, dan tidak tetap. Sedangkan jiwa adalah sesuatu yang kasat mata, tetap dan abadi. Jiwa selalu mempunyai kerinduan untuk mencapai kearifan dan kebijaksanaan.

Bagi Plato tubuh adalah kuburan bagi jiwa. Dalam arti jiwa sudah ada di suatu tempat yang penuh dengan kearifan sebelum dilahirkan. Pada suatu ketika jiwa mengalami inkarnasi dan masuk ke dalam tubuh. Tubuh yang mempunyai sifat rapuh, tidak tetap, dan selalu berubah menjadi penghalang bagi jiwa untuk mencapai kearifan dan kebijaksanaan. Tubuh akan “membingungkan” manusia dalam usaha mencari kebenaran. Menurut Plato berfilsafat berkaitan hanya dengan pikiran atau jiwa manusia.

Plato menambahkan bahwa jiwa bernalar paling indah, ketika tidak satu pun dari hal-hal yang ragawi, seperti pendengaran, peglihatan, duka cita ataupun kesenangan, menghalanginya untuk mencapai kebenaran. Dengan meninggalkan tubuhnya manusia akan mampu menemukan hakikat segala sesuatu (Lih. Phaedo 65c). Tubuh mempunyai sifat mengarahkan seseorang untuk mencari kesenangan, misalnya makan dan minum. Manusia yang terlalu terpengaruh oleh tubuh akan menjadi pemuja tubuh. Inilah yang sungguh menjadi penghambat bagi jiwa untuk mampu bernalar guna mencapai kearifan dan kebijaksanaan.

“Selama kita tubuh manusia yang menemani argumen yang kita kembangkan dalam penyelidikan kita, jiwa kita akan tercampur dengan hal jahat semacam ini, kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan” (Phaedo 66b; bdk. 64d-65d)

Suatu ketika seorang mahasiswa mengalami sakit panas yang memaksanya harus beristirahat untuk beberapa minggu. Padahal ia harus belajar dan memahami materi ujian yang akan dia hadapi. Dengan demikian nampak secara langsung, bahwa tubuh menghalangi jiwa untuk bernalar dan mencapai kebijaksanaan.

Analisis

Pada bagian ini kita akan mengulas lebih dalam mengenai kebutuhan akan merokok dalam kaitannya dengan kebebasan. Dimana letak hubungan antara rokok dan tubuh, sehingga dikatakan merokok menjadikan manusia tidak bebas?

Jelaslah bahwa rokok adalah kebutuhan tubuh. Tubuhlah -yang karena efek nikotin- membuat manusia ketagihan untuk mengkonsumsinya. Jika tidak merokok dalam waktu lama, tubuh akan mengalami kesemutan di lengan dan kaki, berkeringat dan gemetar, gelisah, susah konsentrasi, sulit tidur, lelah atau pusing. Dengan bahasa lain kita bisa mengatakan, bahwa seorang pecandu rokok harus menghisap rokok secara rutin. Rokok adalah kebutuhan tubuh.

Berdasarkan teori yang telah kita lihat pada sub-pembahasan sebelumnya, kita bisa membayangkan apa yang dikatakan Plato, jika ia masih hidup saat ini. Dengan lantang Plato akan berkata, bahwa rokok adalah “kuburan” bagi jiwa manusia. Logikanya demikian: karena rokok adalah kebutuhan tubuh, sedangkan tubuh sendiri adalah penjara bagi jiwa, maka rokokpun adalah sebuah penjara atau kuburan bagi jiwa manusia. Kita bisa mengambil contoh. Suatu ketika seseorang pecandu rokok yang berprofesi sebagi dosen harus memberikan kuliah kepada mahasiswanya. Namun karena kebutuhan akan merokoknya belum terpenuhi, kita bisa mengkira-kira apa yang terjadi pada dosen tersebut, misalnya ia menjadi tidak tenang, sulit berkonsentrasi, dsb.

Kesimpulan

Bagian terakhir ini sekedar untuk lebih menegaskan kembali argumen awal, bahwa (me)rokok adalah kebutuhan yang memenjarakan manusia, terutama ditinjau dari teori Plato tentang tubuh dan jiwa. Rokok adalah kebutuhan tubuh, karena berkaitan dengan tubuh yang juga menjadi penjara jiwa untuk mencapai kebijaksanaan. Maka bisa kita simpulkan bahwa rokokpun menjadi penjara atau kuburan bagi manusia.

Relevansi yang bisa kita ambil dari semua pembahasan di atas adalah; mari kita bersikap kritis terhadap keputusan kita yang memilih untuk “dijajah” oleh rokok. Rokok yang sebenarnya justru memperbudak kita, sehingga tidak dapat mencapai kebaikan. Mari kita tanamkan hidup sehat dan bijaksana tanpa rokok!!!.

Penulis adalah mahasiswa Skolastikat Filsafat Providentia Dei, Surabaya

Rokok sebagai Simbol Kebebasan

Oleh: Yohanes Robertus Franky Tedjokusumo

Setiap hari kita melihat orang yang merokok di sekeliling kita. Sering kali kita mengatakan, bahwa orang yang merokok itu tidak bebas, karena mereka tergantung pada rokok. Namun sebenarnya justru mereka adalah orang yang bebas. Mereka (perokok) bebas untuk mengikatkan diri mereka pada “penjajahan” rokok. Bagi mereka rokok merupakan suatu simbol kebebasan. Dibawah ini saya akan memberikan penjelasan mengapa rokok menjadi simbol kebebasan dengan berangkat dari sisi kemanusiaan kita.

Kebebasan Manusia

Pada dasarnya setiap manusia itu berkehendak. Manusia mempunyai kemampuan menghendaki apa yang disukainya, memilih apa yang dikehendakinya[2]. Arah kecenderungan kehendak manusia biasanya disebut tujuan. Tujuan ini berwujud material atau nonmaterial, fisik atau moral, riil atau semu. Karena itu, manusia bebas untuk memilih.

Karena manusia memiliki kehendak, maka manusia bebas untuk melakukan atau menentukan tujuannya. Kebebasan berarti ketiadaan paksaan.[3] Ada berbagai macam bentuk kebebasan. Ada kebebasan moral, kebebasan fisik, dan kebebasan psikologis.

Kebebasan psikologis disebut juga kebebasan untuk memilih, karena kebebasan itulah yang memungkinkan si subyek untuk memilih diantara berbagai tindakan yang mungkin. Kebebasan manusia tidak hanya terdiri dari kemampuan untuk melakukan apa yang diinginkannya. Sebaliknya, manusia juga memutuskan apa yang ingin diperbuatnya: ini atau itu. Apa yang ingin diperbuatnya tergantung padanya, dan tidak ada paksaan atau kendali dari luar.

Dengan pilihan bebas manusia menghasilkan esensinya atau hakekat dirinya. Mengapa? Setiap pilihan dan keputusan yang manusia buat akan menentukan kepribadiannya. Melalui pilihan-pilihannya manusia mewujudkan karakternya.[4] Maka, dengan begitu secara tidak langsung eksistensi manusia nampak. Manusia memilih untuk merokok untuk mengungkapkan kebebasan mereka.

Sejarah Rokok

Pada awalnya manusia pertama yang merokok adalah suku Indian di Amerika. Suku ini menggunakan rokok untuk memuja dewa-dewa atau roh. Pada abad ke-16, bangsa Eropa menemukan benua Amerika dan menjajah mereka. Bangsa Eropa ikut menghisap rokok, dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Namun orang Eropa merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki, dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam.[5]

Manusia memilih untuk merokok, karena kehendaknya sendiri, meskipun ia tahu bahaya dari rokok, yakni ketergantungan dan menderita banyak penyakit seperti kanker, jantung, pernafasan, pencernaan, efek buruk bagi kehamilan, emfisema. Ada banyak alasan mengapa manusia merokok. Ada yang mengatakan bahwa kalau tidak merokok, mereka tidak dapat berpikir, tidak ada inspirasi, bahkan ada yang merasa lebih tenang bila merokok. Bagi para perokok berat, mereka lebih memilih tidak makan dari pada tidak merokok. Alasan-alasan ini yang membuat mereka tetap memilih merokok, meskipun mereka menyadari bahwa mereka dijajah oleh rokok.

Sejak bangsa Eropa mulai menghisap rokok, esensi rokok sudah berubah dari sarana ritual menyembah dewa-dewa menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan merokok menjadi simbol mereka (bangsawan Eropa). Kebiasaan ini mulai diikuti oleh banyak orang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia bebas untuk melakukan apa pun yang mereka kehendaki. Kehendak mereka untuk merokok merupakan pilihan mereka atas diri mereka. Tindakan yang mereka pilih ini mau menyatakan, bahwa mereka adalah manusia yang bebas. Mereka bebas memperlakukan tubuh mereka sesuai dengan apa yang mereka kehendaki.

Bebas untuk Dijajah

Para perokok ini telah memilih untuk membiarkan tubuh mereka “dijajah” oleh rokok. Mereka menghendaki tubuh mereka dikuasai oleh rokok. Mereka bebas untuk mengikatkan diri mereka pada sesuatu. Pilihan inilah yang menampakan sisi kebebasan mereka sebagai manusia. Pilihan mereka ini menunjukkan bahwa tidak ada keterpaksaan pada diri mereka dalam memilih apa yang ingin dilakukannya, yakni merokok.

Pada akhirnya, pilihan dan keputusan untuk merokok menunjukkan jadi diri mereka. Pilihan ini juga telah menunjukkan karakter para perokok. Eksistensi mereka menjadi jelas. Mengapa? Sebab pilihan ini membantu kita (para perokok) mengenali siapa teman kita saudara kita, dan orang-orang yang kita kenal.

Akhir-akhir ini pemerintah mengeluarkan perda antirokok. Perda ini memberikan batasan bagi para perokok. Pemerintah melarang orang untuk merokok di sebarang tempat, dan memusatkan pada suatu ruang yang di-design untuk para perokok. Ada larangan merokok di tempat-tempat umum, seperti di mall, kendaraan umum, dan lain sebagainya.

Perda ini telah membatasi kebebasan manusia untuk melakukan apa yang dikehendakinya secara bebas. Secara tidak langsung perda ini mematikan sedikit esensi dari manusia. Akhirnya eksistensi manusia menjadi kurang nampak, sebab kebebasan manusia terkurung.***

Sumber Acuan:

Louis Leahy, Siapakah Manusia?, Kanisius, Jogjakarta, 2001

Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20: Jean-Paul Sartre: Orang Lain, Neraka?, Kanisius, Jogjakarta, 2000

www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2009 pukul 11.15 WIB

Penulis adalah Mahasiswa Skolastikat Filsafat Providentia Dei, Surabaya

Filsuf Bulan Ini:

THOMAS AQUINAS (1224-1274)

Oleh: AGUSTINUS RYADI

Thomas Aquinas lahir di desa Aquino, sebuah desa di antara Roccasecca dan Napoli, Italia, pada 25 Nopember 1224. Ia berasal dari keluarga bangsawan. Aquinas dikirim oleh kedua orang tuanya untuk menjalani pendidikan di sebuah sekolah di pertapaan para rahib Benediktin dari Monte Cassino pada umur lima tahun. Pada tahun 1239 ia mulai kuliah di Universitas Napoli setelah ia tinggal selama sembilan tahun di biara tersebut.

Aquinas bergaul akrab dengan para biarawan Ordo Dominikan di Napoli. Hal ini membuat dia masuk biara ini pada tahun 1244. Namun langkah Aquinas ini tidak disetujui oleh segenap keluarganya, karena mereka menghendaki Aquinas menjadi seorang rahib Benediktin di Monte Cassino. Karena sikap keluarganya itu, pemimpin umum Ordo Dominikan mengirim Aquinas ke Paris, Perancis, untuk belajar teologi, kemudian ke pusat studi Christendom, dan ke Koln. Ia belajar di bawah bimbingan Albertus Agung, seorang Doctor Universalis, selama empat tahun (1248-1252). Upaya Santo Albertus untuk menggunakan filsafat Aristoteles dalam berteologi mempengaruhi arah dan gaya pemikiran Aquinas. Setelah itu, ia kembali ke Universitas Paris untuk melengkapi studi teologi selama empat tahun (1252-1256).

Aquinas disibukkan dengan tugas-tugasnya sebagai Magister Teologi di Universitas Paris selama tiga tahun (1256-1259). Kemudian dia mengajar di beberapa pusat studi teologi di Italia selama sepuluh tahun. Ia juga membantu di lembaga pengadilan kepausan sampai tahun 1268. Ia mendampingi Paus Alexander IV di Anagni (1259-1261), Paus Urbanus IV di Orvieto (1261-1264) dan di Roma (1265-1267), serta Paus Clemens IV di Viterbo (1267-1268). Pada tahun 1269 dia kembali menjadi profesor teologi untuk kedua kalinya di Universitas Paris. Hal ini dapat terjadi karena permintaan ordonya. Pada tahun 1274 ia diminta untuk mendirikan sekolah teologi di Napoli, Italia.

Pola pikir filosofis Thomas Aquinas tampak dalam dua hal, yaitu metode skolastik dan analisa falsafatinya. Skolastik menjadi ciri khas sistem pendidikan di universitas-universitas Abad Pertengahan, yaitu para biarawan-rohaniwan mengelola dan membina lembaga-lembaga pendidikan. Pada zaman Aquinas tidak ada sistem atau ajaran filsafat yang baku dan seragam. Pengajar di pelbagai sekolah bebas mengekspresikan sudut pandangnya sendiri. Namun masih ada unsur-unsur tertentu yang mempersatukan ciri khas sekolah-sekolah. Unsur-unsur tersebut adalah Lectio (kuliah) dan disputatio (debat dialektis).

Pada saat lectio (kuliah), mahasiswa membaca dan membeberkan isi sebuah teks yang telah ditentukan oleh pengajarnya. Membaca sebuah teks harus sesuai dengan keinginan pengarang, yakni keinginan untuk memahami kekayaan makna kata-kata dan kekayaan terminologis yang terdapat di dalam sebuah teks. Bentuk pendidikan semacam ini mengembangkan teknik penafsiran (hermeneutika). Suasana lectio ini menimbulkan pemahaman yang mendalam terhadap otentisitas gagasan para pemikir.

Metode pembelajarannya dinamai disputatio, yakni metode yang meliputi debat dialektis tentang masalah-masalah yang ditemukan dalam teks. Pengajar menemui para mahasiswa untuk menentukan dan mempertimbangkan argumentasi “pro” dan “kontra” dan merumuskan ke dalam jawaban yang sistematis atas pertanyaan yang diperdebatkan pada saat disputatio. Suasana disputatio ini melatih sikap kritis yang sehat, dan cara berpikir yang otonom.

Aquinas, filsuf sekaligus teolog, melengkapi pandangan Agustinus yang didasari oleh gagasan Plato dan terutama Neo-Platonisme, untuk memahami secara rasional pelbagai iman Kristiani. Sebagai misal, Agustinus berusaha membuat sintesa antara filsafat Yunani (Platonisme dan Neo-Platonisme) sebagai batu tumpuan pertama untuk menuju pengajaran kristianitas. Sedangkan Aquinas menggunakan filsafat Yunani (Aristoteles) sebagai dasar filsafat untuk meluruskan iman Kristiani. Dia melihat faktor ketiga, yakni keberadaan Tuhan, yang dapat menjembatani kebenaran yang dicapai oleh iman maupun akal budi. Maksudnya, di satu pihak keberadaan Tuhan dapat diterima dalam iman, di pihak lain dapat dimengerti atas dasar argumen masuk akal. Jadi semua kebenaran adalah masuk akal, karena berasal dari Tuhan sebagai Being yang rasional.

Salah satu karya Aquinas yang menunjukkan bahwa tidak adanya pemisahan antara teologi dan filsafat adalah Summa Theologiae (1265-1273). Buku ini disusun berdasarkan metode disputatio skolastik, yaitu sebuah metode berpikir yang keseluruhannya terdiri atas quaestiones (pertanyaan-pertanyaan) dan articuli. Topik pembahasan selalu dianalisa dan dirinci dalam beberapa bagian. Setiap bagian dari topik itu selalu dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan. Aquinas mengemukakan jawaban-jawaban atas setiap pertanyaan. Sumber-sumber jawaban berasal dari Kitab Suci dan filsuf-filsuf sebelumnya; filsuf-filsuf pra-Sokratik, kalangan Bapa-Bapa Gereja purba, para filsuf Islam, serta filsuf Yahudi. Jawaban-jawaban tersebut ditanggapi lewat kritik. Sesudah itu, Aquinas memberikan pendapatnya sendiri sebagai jawaban akhir atas pertanyaan yang bersangkutan.

Hubungan antara filsafat dan teologi tampak paling jelas dalam pandangan Aquinas terhadap filsafat Aristoteles. Menurut Aquinas, sistem filsafat Aristoteles mengandung kebenaran rasional yang sejati. Problemnya terletak pada “bagaimana memahami filsafat tanpa kehilangan hakekat teologi”. Bagi Aquinas, tidak semua kebenaran teologis dengan sendirinya jelas bagi akal budi manusia. Sebagai misal, kebenaran tentang eksistensi Tuhan. Kebenaran ini berasal dari wahyu, namun masih perlu dijelaskan secara filosofis supaya apa yang diimani dapat dipahami secara rasional.

Pandangan Aquinas tersebut di atas mengandung dua implikasi. Pertama, Aquinas menganggap penting filsafat Aristoteles karena filsafat Aristoteles digunakan sebagai alat untuk membuat sistematisasi, definisi, dan merumuskan argument-argumen mengenai ajaran-ajaran iman tertentu secara logis. Kedua, teologi adalah suatu bingkai dasar untuk memahami pemikiran filosofis dari Aquinas. Pemikiran-pemikiran Aquinas terkait erat dengan konteks teologinya. Dengan demikian Aquinas terkenal sebagai filsuf dan teolog yang mampu menyintesakan seluruh pemikiran kristiani dengan bantuan sistem dan konsep filsafat Aristoteles.

Daftar Pustaka:

Davies, Brian, The Thought of Thomas Aquinas, Clarendon Press, Oxford 1993, hal.1-10.

Gilson, Etienne, The Philosophy of St. Thomas Aquinas, Dorset Press, New York 1948, hal. 37-38.

Grabmann, Martin, S. Tommaso d’Aquino, una introduzione alla sua personalitá e al suo pensiero, Versione del Dottor Giacomo di Fabio, Societá Editrice “Vita e Pensiero”, Milano 1929.

McInerny, Ralph, St. Thomas Aquinas, University of Notre Dame Press, Notre Dame – London 1982, hal. 11-29.

Saranyana, Joseph, History of Medieval Philosophy, Sinag-Tala, Manila 1996, hal. 186-188.

Weisheipl, James A., Friar Thomas D’Aquino: His Life, Thought, and Works, The Catholic University of America Press, Washington DC 1983.

Penulis adalah Pengajar di Universitas Katolik Widya Mandala dan

Skolastikat Filsafat Seminari Tinggi Providentia Dei,

Surabaya


[1] Untuk bagian ini, saya mengacu pada teori Plato tentang tubuh dan jiwa dalam bukunya yang berjudul Phaedo.

[2], hal. 175

[3] Idem, hal. 182

[4] Lih., hal. 77

[5] www.wikipwdia.com. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2009 pukul 11.15 WIB