Politik Kematian di Masa Kegelapan

Gambar oleh Blekotakra

Oleh Reza A.A Wattimena

“Keadaan sulit mas, sekarang. Proyek tak menentu, bahkan kerap dihutangi tanpa kejelasan. Pemasukan pun cenderung berkurang. Belum berita bencana setiap hari yang membuat saya semakin tak percaya dengan negara.”

Begitu ungkap seorang sahabat. Ia adalah seorang kontraktor yang banyak bekerja dengan BUMN. Ia bekerja di berbagai tempat di Indonesia. Ia adalah satu orang dari 200 juta orang lebih di Indonesia yang hidup dalam ketidakpastian. Lanjutkan membaca Politik Kematian di Masa Kegelapan

Menghidupi Kenikmatan, Menikmati Kehidupan

Gambar karya Soca Panggiring

Oleh Reza A.A Wattimena

Sekitar jam 4 sore, saya duduk di kamar. Cuaca sedang cerah. Matahari bersinar langsung ke kamar. Saya mematikan lampu. Seluruh kamar saya berwarna jingga terang. Saya melihatnya. Saya menikmatinya. Oh… sungguh nikmat sekali…

Sambil menikmati warna jingga yang menusuk kamar, saya bernafas. Saya memejamkan mata, dan merasakan napas yang lancar. Tak ada rasa sakit. Tak ada halangan. Oh.. sungguh nikmat sekali… Lanjutkan membaca Menghidupi Kenikmatan, Menikmati Kehidupan

Zen, Jalan Pencerahan dan Kesadaran Ekologis

Oleh Reza A.A Wattimena

Di dalam waktu yang relatif, sudah 11 tahun saya menyentuh Zen. Sudut pandang saya berubah total. Nilai-nilai kehidupan saya pun mengalami revolusi mendasar. Secara keseluruhan, hidup menjadi terasa lebih ringan dan jernih.

Di saat ini, jari jemari saya menyentuh keyboard komputer. Udara sejuk menerpa Jakarta. Cuaca mendung sekaligus menyegarkan. Ada suara musik mengiringi jari jemari saya yang tengah menari. Disini dan saat ini, hidup saya adalah Zen. Lanjutkan membaca Zen, Jalan Pencerahan dan Kesadaran Ekologis

Dilema Hukum dan Transformasi Kesadaran

Gambar karya Zdzislaw Beksinski

Oleh Reza A.A Wattimena

2002, saya lulus SMA. Sekarang, kita menyebutnya kelas 12. Masa depan terbuka dengan segala kemungkinan. Saya mesti melanjutkan belajar, dan mungkin sambil menemukan pekerjaan sampingan.

Hukum pun menjadi salah satu bidang yang menarik. Saya tertarik dengan beragam isu hak-hak asasi manusia. Pada titik terdalam, hukum juga amat dekat dengan filsafat. Ia bisa membantu hidup banyak orang. Lanjutkan membaca Dilema Hukum dan Transformasi Kesadaran

Bekerja dengan Cinta

Gambar karya Andrea Vasgaard Art

Oleh Reza A.A Wattimena

Tukang AC itu datang untuk melakukan servis AC di kamar saya. AC tua itu memang kerap bermasalah. Ia berbunyi aneh, dan kerap kali tidak dingin. Yang datang adalah tukang tua, berusia sekitar 60 tahun.

Saya pun agak heran. Ternyata, ia adalah pemilik usaha servis AC. Sebelumnya, ia punya dua karyawan. Tapi, dalam proses, mereka pergi begitu saja, tanpa memberikan keterangan.

Alhasil, ia harus mengerjakan servis AC sendirian. Ia sebenarnya sudah lelah, dan ingin menikmati masa tua. Namun, ini tidak memungkinkan. Ia tidak menemukan orang yang bisa membantunya. Lanjutkan membaca Bekerja dengan Cinta

Mengenal Tiga Mutiara

Gambar karya Paul Bond

Oleh Reza A.A Wattimena

Apa pendapat mas Reza tentang Suharto yang diangkat menjadi pahlawan nasional? Beberapa pesan di media sosial masuk ke saya dengan tema tersebut. Sejujurnya, saya tak peduli soal ini. Namun, demi menanggapi beberapa pertanyaan tersebut, saya mulai mencari informasi.

Kesimpulannya cukup sederhana dan jelas. Pemberian gelar pahlawan nasional Suharto adalah sebuah kesalahan cara berpikir, dan hasil dari proses yang korup. Lepas dari segala yang telah ia lakukan, dengan berpijak pada begitu banyak penelitian ilmiah, kita bisa melihat, bahwa banyak kasus pelanggaran HAM dan korupsi yang menempel ke Suharto serta keluarganya. Ia adalah sosok yang kontroversial dan problematis, serta sama sekali tak cocok untuk menjadi pahlawan nasional. Lanjutkan membaca Mengenal Tiga Mutiara

Benda-Benda yang Mendoakan Kita

Gambar dari Sean David Williams

OOO (Object-Oriented Ontology) dan Pemuda yang Dikejar Hutang Pinjol

Oleh A. Rahadian, Esais dan Peneliti budaya.
Pernah memperbaiki kipas angin tanpa obeng.
Ia menulis tentang hubungan antara teologi, benda, dan kesunyian perkotaan,
dan tinggal di Jakarta Selatan.

Badri Widodo dan Iman pada Benda-Benda

Namanya Badri Widodo, guru honorer di sebuah SD negeri di Pasar Manggis, Jakarta Selatan.
Setiap kali ia memperkenalkan diri di pelatihan guru, orang-orang tersenyum kecil — bukan karena leluconnya, tapi karena namanya.
“Wah, hampir kayak Presiden, Pak,” kata mereka.
Badri hanya tertawa sopan. Dalam hati, ia tahu: satu-satunya kesamaan dirinya dengan Presiden ke-7 hanyalah nama dan sepeda — bedanya, sepeda Badri sudah tanpa rem.

“Nama Badri Widodo mungkin terdengar seperti presiden,
tapi nasibnya lebih mirip kursi sekolah: menopang banyak beban, jarang diperbaiki.” Lanjutkan membaca Benda-Benda yang Mendoakan Kita

Darimana Manusia-manusia ini Muncul?

Gambar dari Tomasz Alen Kopera

Oleh Reza A.A Wattimena

Awal November 2025, malam itu, Jakarta dingin. Saya tergerak untuk keluar dan menikmati segarnya udara Jakarta tersebut. Saya hendak ke Puncak, Bogor, dengan mengendarai motor. Perjalanan pun, ternyata, penuh warna.

Sepanjang jalan, saya melihat begitu banyak motor dengan suara knalpot menggelegar. Mayoritas berkelompok, dan tak menggunakan helm. Plat nomor juga tidak ada. Kehadiran mereka sungguh membahayakan masyarakat luas. Lanjutkan membaca Darimana Manusia-manusia ini Muncul?

Mencium Bau Bangkai Busuk

Gambar karya Man Ray (Emmanuel Radnitzky), Joan Miró, Yves Tanguy, dan Max Morise.

Oleh Reza A.A Wattimena

Katanya, dia sudah menjadi suci. Dia berubah menjadi religius. Pakaiannya berubah. Ia bahkan meninggalkan teman-teman lama, dan berteman dengan orang-orang baru yang “terlihat” suci juga.

Ibadahnya kuat dan sering. Ucapannya selalu mengutip buku yang “dianggap” suci. Ia juga gemar membawa nama Tuhan. Kini, bisnisnya pun juga terkait dengan agama, dan tampak membawa limpahan uang yang tak jelas asal usulnya.

Begitu cerita seorang teman. Kita sedang bernostalgia. Ada teman lain yang mendadak berubah “terlihat” suci. Saya hanya tertawa, dengan secuil rasa mual di perut. Lanjutkan membaca Mencium Bau Bangkai Busuk

Madilog dan Anak-Anak Tuhan di Jakarta Selatan

Gambar dari https://suaramuslim.net/riwayat-hidup-bapak-republik-indonesia/

Oleh A. Rahadian, esais dan peneliti budaya. Karyanya berfokus pada hubungan antara ide, estetika, dan politik intelektual di Indonesia modern. Tulisan-tulisannya pernah muncul di Basis, Tirto, dan Jurnal Kalam. Ia tinggal di Jakarta.

Anak-Anak Tuhan dan Rak Buku yang bertuah

Mereka mencari makna bukan di langit, melainkan di antara rak buku dan etalase kopi. Mereka berbicara tentang struktur sosial yang menindas dengan nada sakral—seolah setiap kalimat Gramsci adalah ucapan Nabi Musa.

Itulah “anak-anak Tuhan” di Jakarta Selatan: generasi yang menemukan tanah suci di toko buku independen, mengganti lektor dengan moderator diskusi, dan menukar Mazmur dengan Madilog. Mereka datang dengan  keyakinan baru: bahwa keselamatan bisa dicapai lewat bacaan yang tepat. Lanjutkan membaca Madilog dan Anak-Anak Tuhan di Jakarta Selatan

Ethics After Wittgenstein (2021): Usaha Meninjau Kembali Moral dalam Bahasa

Oleh Syarif Maulana

Etika Menurut Wittgenstein dalam Tractatus dan A Lecture on Ethics

Ludwig Wittgenstein (1889 – 1951) adalah pemikir kelahiran Wina, Austria-Hungaria yang gagasannya telah memicu babak penting dalam filsafat abad ke-20 yaitu investigasi terhadap bahasa. Semasa hidupnya, ia hanya sempat menerbitkan satu buku yaitu Tractatus Logico – Philosophicus (1921) dan satu artikel ilmiah berjudul Some Remarks on Logical Form (1929). Karya-karyanya yang lain, termasuk yang paling terkenal yaitu Philosophical Investigations (1953), diterbitkan setelah ia meninggal.

Setelah selesai menerbitkan Tractatus, Wittgenstein tidak banyak menulis lagi karena merasa telah menyelesaikan seluruh problem filsafat melalui buku tipisnya itu. Meski demikian, lebih dari dua puluh tahun kemudian setelah kelahiran Tractatus, Wittgenstein mulai menulis Philosophical Investigations yang isinya banyak mengritik gagasannya sendiri dalam Tractatus. Sayang, bukunya yang terakhir itu tidak sempat diterbitkan di masa dirinya masih hidup. Apa sebenarnya isi buku Tractatus yang terjemahan ke dalam bahasa Inggrisnya hanya setebal 100-an halaman itu? Mengapa Wittgenstein bisa memiliki keyakinan bahwa bukunya tersebut menyelesaikan seluruh problem filsafat? Apa hubungannya inti gagasan Tractatus dengan etika sebagaimana akan dibahas dalam artikel ini? Lanjutkan membaca Ethics After Wittgenstein (2021): Usaha Meninjau Kembali Moral dalam Bahasa

Video adalah Esensi Spiritualitas

Oleh Thubten Wangchuk (Gede Agustapa), Sedang menekuni ajaran Buddha di bawah bimbingan Guru Khenpo Thubten Dorji Rinpoche

Di semua tradisi Dharma (Hindu, Buddha dan Jaina), mereka sepakat, bahwa semua penderitaan yang dialami oleh manusia dan semua makhluk penyebabnya adalah avidya. Avidya adalah bahasa sanskerta. Bahasa Palinya adalah Avija. Avidya sering diterjemahkan sebagai kebodohan atau ketidaktahuan. Namun menterjemahkannya seperti itu bukanlah hal yang tepat, jika mengaitkannya dengan metode dan realiasi. Terjemahan yang tepat adalah Tidak Melihat.

Kata Vidya diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi Widya berasal dari akar kata vid artinya adalah melihat, mengetahui, menyadari. Ini adalah sebuah kata kerja abstrak yang artinya pekerjaan yang dapat dilakukan secara pasif. Dapat dilakukan tanpa melakukan apapun, tanpa badan ini bergerak. Hanya dengan menjadi sadar, hadir, ada dan melihat. Kata Veda juga berasal dari akar kata yang sama dan karenanya Veda sebagai pustaka dapat diterjemahkan sebagai Kumpulan pengetahuan. Namun Ketika menjadi pengetahuan ia bukan lagi menjadi sebuah penglihatan melainkan menjadi kumpulan informasi. Di dalam Bahasa Indonesia kata Widya memiliki arti ilmu pengetahuan. Lanjutkan membaca Video adalah Esensi Spiritualitas

Ketika Terbakar Habis (Burnt Out)

Fire & Ice: Opposites Attract – Surreal Fantasy – Fantasy Poster – Fantasy Artwork

Oleh Reza A.A Wattimena

Bagaimana rasanya jadi Bung Reza? Begitu tanya seorang sahabat, ketika kami sedang bekerja di Solo. Ia bercerita, betapa hidupnya amat rumit. Ia adalah pejabat tinggi negara setingkat menteri. Setiap saatnya, begitu banyak tugas yang mesti ia kerjakan. Ini ditambah dengan unsur politik korup kekuasaan yang terus menekannya dari berbagai sisi, terutama dari musuh-musuh ideologis maupun politiknya.

Sulit sekali menemukan waktu untuk tenang. Tidur menjadi teman yang rapuh. Pelariannya hanyalah berolahraga, sehingga ia merasa amat lelah, dan terbakar habis (burnt out) sebagai manusia. Sebaliknya, ia melihat, bahwa hidup saya begitu sederhana. Banyak waktu di rumah untuk menulis serta membaca, dan sesekali memberikan kuliah umum. Lanjutkan membaca Ketika Terbakar Habis (Burnt Out)

Memahami Kecemasan bersama Kierkegaard

Gambar karya TatiTheOverlord

Oleh Michael Guntur Panca

Arman duduk berderet rapih bersama para pencari kerja lainnya. Pakaian mereka seragam; kemeja putih agak kusam dengan name teg tercantol di kantong. Sambil menunggu giliran interview, pikiran Arman berlari-lari tak karuan. “Apakah aku akan diterima kerja? Apakah HRD-nya akan suka dengan jawabanku? Kalau tidak diterima kerja, bagaimana aku bisa membayar kontrakan?” Pertanyaan-pertanyaan itu bergulir dan bertubrukan. Detak jantungnya semakin cepat, dengkulnya terus begetar dan matanya meloncat dari satu sisi ke sisi lain.  Kecemasan menyergap tubuh. 

Pengantar

Kecemasan adalah perasaan yang aneh. Banyak gelisah, bercampur sedikit takut dan dilapisisi suasana gamang. Perasaan ini membuat kita bertanya, “Ini perasaan apa sih? Mengapa kita merasa cemas? Wajar nggak? Darimana datangnya kecemasan?” Saking anehnya, kecemasan adalah perasaan khas manusia. Batu tidak bisa cemas. Bunga Mawar tidak bisa cemas. Saya tidak pernah melihat kucing, duduk bengong dengan mata kosong membayangkan masa depan (atau setidaknya saya belum menemukan penelitian bahwa kucing bisa merasa cemas). Kecemasan adalah perasaan yang sangat mendasar. Perasaan ini menyentuh sisi terdalam eksistensi manusia sehingga membedakan manusia dari eksistensi-eksistensi lain. Lanjutkan membaca Memahami Kecemasan bersama Kierkegaard

Mengapa Menjadi Anti Tuhan dan Bertuhan Terasa Sama Saja?

Gambar karya Bruce Rolff

Oleh  A. Rahadian

Bara di dalam batin.

Ada dua Arka yang hidup dalam tubuh yang sama — dan keduanya, dalam caranya masing-masing, mencintai kebenaran dengan cara yang menyakitkan.

Arka secara administratif tercatat sebagai seorang mahasiswa Kampus Negeri di Depok semester 7 Fakultas MIPA. Sama seperti semua manusia, Arka memiliki banyak episode dalam hidupnya.
Episode Yang pertama: ateis rasionalis, yang menjadikan nalar sebagai altar.
Episode Yang kedua: apologet Ortodoks, yang menjadikan kemurnian sebagai senjata.
Keduanya menolak sisi manusiawinya sendiri Lanjutkan membaca Mengapa Menjadi Anti Tuhan dan Bertuhan Terasa Sama Saja?

Tentang Tubuh Manusia

Oleh Reza A.A Wattimena

Tubuh. Pagi itu, tema tersebut menjadi tema diskusi saya dengan F. Budi Hardiman, guru dan teman diskusi saya. Ia sedang melakukan penelitian mendalam soal itu. Filsafat menjadi pisau bedah intelektualnya.

Di dalam filsafat, tubuh kerap dipinggirkan. Tubuh dianggap sebagai penjara jiwa. Itulah kiranya pandangan terkenal dari Plato, seorang filsuf besar dari masa Yunani Kuno. Pandangan tersebut menempel erat di dalam tradisi Yudeo-Kristiani-Islam, dan terus bertahan di masa sekarang. Lanjutkan membaca Tentang Tubuh Manusia

Ketika Keinginan Menjadi Benar Berubah Menjadi Bencana

Gambar karya Pawel Kuczynski

Oleh A. Rahadian

Prolog: Liturgi Baru Seorang Lelaki yang Ingin Benar

Pada pukul sebelas malam, Dion—seorang aktivis yang rajin menulis utas tentang patriarki, keadilan gender, dan trauma kolektif—menyetel laptopnya di kafe yang hampir tutup. Di depannya, cangkir kopi dingin separuh habis; di kepalanya, adrenalin bekerja seperti khotbah yang tak sabar dikhotbahkan. Ia baru saja menemukan sebuah komentar “problematis” dari seorang akademisi tua di media sosial—kalimat ambigu tentang “perempuan dan kebebasan tubuhnya.”

Bagi Dion, ini bukan sekadar komentar. Ini adalah tanda dosa baru yang tak boleh dibiarkan lewat begitu saja. Ia mulai mengetik utas panjang dengan ritme yang nyaris liturgis: kalimat pertama moral, kalimat kedua politis, kalimat ketiga penuh emosi—lalu tautan, tagar, dan tangkapan layar. Ia tahu, dalam waktu kurang dari satu jam, utasnya akan beredar, dikutip, ditambahi komentar, dan mungkin—jika algoritma berkenan—mengubah opini publik. Lanjutkan membaca Ketika Keinginan Menjadi Benar Berubah Menjadi Bencana

Publikasi Ilmiah Terbaru: Apakah Kecerdasan Buatan Memiliki Kesadaran?

Apakah Kecerdasan Buatan Memiliki Kesadaran? Memahami Kaitan Antara Kecerdasan Buatan, Konsep Diri dan Kesadaran Moral

Reza A.A Wattimena[1]

DITERBITKAN DI THE ARY SUTA CENTER SERIES ON STRATEGIC MANAGEMENT Oktober 2025 VOLUME 71

Abstrak

Tulisan ini hendak membahas kaitan antara kecerdasan buatan, kesadaran diri dan moralitas. Kesadaran diri terkait dengan konsep diri, dan moralitas terkait dengan kesadaran moral yang memungkinkan entitas bertanggung jawab atas keputusan maupun tindakannya. Awalnya, tulisan ini membahas soal kecerdasan buatan. Lalu, tulisan ini akan mencoba menjawab, apakah kecerdasan buatan memiliki jenis kesadaran tertentu? Tema terpentingnya terkait kaitan antara kesadaran moral dan kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan tidak (belum?) memiliki kesadaran reflektif transendental yang memungkinankan ia sadar sebagai pelaku dari keputusan maupun tindakannya. Namun, kecerdasan buatan, dalam perkembangannya di pertengahan 2024 ini, bisa dianggap memiliki kesadaran minimal yang membuatnya mampu membangun hubungan dengan lingkungan sekitarnya.

Kata-kata Kunci: Kecerdasan Buatan, Kesadaran Diri Minimal, Konsep Diri, Kesadaran Diri sebagai Pribadi, Kesadaran Diri sebagai Pelaku, Moralitas

[1] Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran, Teori Tipologi Agama, Teori Politik Progresif Inklusif dan Etika Natural Empiris. Teori terbarunya adalah Epistemologi Pembebasan.

Silahkan diunduh: Jurnal Reza, Kesadaran dan Kecerdasan Buatan

Luka dan Kerumitan Pengampunan: Refleksi 60 Tahun Peristiwa 1965

Foto dari Tempo. Dok: Uchikowati

Oleh A. Rahadian – Pengurus Pakel 65 (Paguyuban Keluarga 65)

Penanda lupa: Di Lembah Plantungan             

Di bawah langit pagi yang lembab di lembah Gunung Prahu, jalan menuju Plantungan berkelok di antara sawah dan kebun kopi. Udara di sana dingin — dingin yang menyimpan gema masa lalu. Di balik pohon-pohon pinus yang berdiri seperti penjaga tua, masih tampak sisa kawat berduri, berkarat namun tak runtuh, seperti kenangan yang menolak dilupakan.

Lebih dari lima puluh tahun silam, pada April 1971, tempat ini bukan sekadar lembah hijau. Tempat ini adalah bekas rumah sakit lepra peninggalan Belanda yang diubah menjadi kamp reedukasi bagi lebih dari lima ratus perempuan yang dituduh terlibat peristiwa 1965. Rumah sakit yang dulu dirancang untuk menyembuhkan, berubah menjadi ruang penjinakan ide. Di sinilah tubuh, iman, dan keyakinan diuji — di antara udara yang tenang dan langkah-langkah penjaga yang berderap pelan. Lanjutkan membaca Luka dan Kerumitan Pengampunan: Refleksi 60 Tahun Peristiwa 1965

Cancel Culture: Sebuah Pengantar Kritis

(Photo credit: OpenAI’s DALL·E)

Oleh Syarif Maulana

Kita mulai dari kisah yang saya ambil dari The New York Times berjudul Tales From the Teenage Cancel Culture (2019) tentang seorang siswi bernama Neelam untuk menggambarkan bagaimana budaya pembatalan (cancel culture) bekerja dalam kehidupan sehari-hari.

Neelam, seorang pelajar sekolah Katolik di Chicago, duduk di kelas saat seorang teman sekelas memutar lagu Bump N’ Grind karya R. Kelly, penyanyi yang pada saat itu telah dipenjara karena kasus kekerasan seksual terhadap anak. Bagi Neelam, seorang perempuan kulit hitam yang baru saja menonton dokumenter Surviving R. Kelly bersama ibunya, momen itu bukan sekadar soal lagu, melainkan tentang luka, ketidakadilan, dan ketidaksensitifan moral. Ia meminta agar lagu itu dimatikan, tapi sang teman menolak. Bagi temannya itu, musik hanyalah musik, terpisah dari moralitas sang musisi. Lanjutkan membaca Cancel Culture: Sebuah Pengantar Kritis