25 tahun, mereka bersama. Suka dan duka dilalui bersama. Kini, karena beragam sebab, mereka harus berpisah. Luka dan trauma yang tercipta pun nyaris tak tertahankan.
Sang suami bercerita ke saya, sambil meneteskan air mata. Cukup jarang saya melihat pria dewasa menangis, apalagi di masyarakat patriarkis yang teracuni agama kematian dari tanah gersang ini. Apa tak ada yang bisa diusahakan? Tidak, begitu katanya.
Dua hal yang sungguh menyakitkan, sekaligus merupakan jalan untuk menuju pembebasan, yakni persentuhan dengan kematian, dan patah hati yang mendalam. Seorang teman mengalaminya. Saya juga pernah mengalaminya. Ini bagaikan tamparan keras kehidupan yang membangunkan kita dari keterlenaan.
Melepas yang telah pergi, baik yang berpisah maupun yang sudah mati, adalah sesuatu yang amat sulit dilakukan. Juga ada emosi menyakitkan yang lahir dari peristiwa perpisahan tersebut. Biasanya, kemarahan, kesedihan dan penyesalan datang menghantui. Kita juga diajarkan untuk melepas semua emosi yang menyakitkan tersebut.
Tak jarang saya mendengar orang berkata, bahwa kita mesti melepas masa lalu. Melepas menjadi saran umum untuk kesembuhan. Melepas menjadi kata ajaib untuk menarik manusia keluar dari penderitaan. Seolah, melepas itu semudah mengedipkan mata.
Kita juga disarankan untuk melepas trauma yang mencekik jiwa. Ia sudah lewat. Yang tersisa hanya ingatan yang memang amat menyakitkan. Namun, melepas trauma sungguh tak mudah, apalagi jika disertai kelekatan atas apa yang sudah tak lagi ada.
Melepas, sekali lagi, tak bisa hanya dengan kata. Ia juga tak bisa hanya dengan kehendak. Keinginan untuk melepas justru bisa menghasilkan tegangan baru yang melahirkan penderitaan. Inilah yang kiranya terlupakan dari pikiran serta mulut sesat para „profesional di bidang kesehatan mental“, seperti psikolog, psikiater ataupun mereka yang mengaku sebagai guru spiritual.
Jadi, apa arti melepas? Bagaimana kita bisa melepas orang-orang yang telah pergi, baik karena pertengkaran, ataupun karena kematian? Bagaimana kita melepas emosi-emosi yang menyakitkan? Bagaimana kita melepas penyesalan sekaligus kecemasan yang mencekam batin?
Melepas, sesungguhnya, berarti membiarkan sebagaimana adanya. Kita tak menyentuh perasaan maupun pikiran kita. Kita tak menyentuh emosi yang datang mencekik jiwa. Kita membiarkan mereka semua sebagaimana adanya.
Apa yang datang dibiarkan datang. Kita cukup mengamati dan menyadarinya secara lembut. Mungkin, ada rasa sakit dan sesak di dada, karena emosi yang begitu kuat mencekik. Tak perlu dilawan atau ditolak. Cukup amati dan sadari secara lembut.
Apa yang pergi cukup dibiarkan pergi. Mungkin, rasa cinta yang dulu ada kini sudah lenyap. Orang yang dulu mengisi hidup kini pergi jauh. Ada rasa yang tersisa di dada, dan itu pun cukup diamati serta disadari secara lembut.
Ada cinta di dalam sikap membiarkan keadaan sebagaimana adanya. Inilah cinta yang sejati, yang tidak dikotori oleh kelekatan emosional yang meledak-ledak. Ada kebijaksanaan di dalam membiarkan semua terjadi sebagaimana adanya. Kita lalu menjadi ruang kosong yang sadar, dan siap mengalami semua yang terjadi dengan keterbukaan serta kelembutan.
Membiarkan sebagaimana adanya itu melepas. Membiarkan berarti tidak mencari, ketika lenyap, dan tidak mencengkram, ketika ia ada. Ketika sesuatu dibiarkan sebagaimana adanya, kita terbebaskan. Saat ke saat, kita melepas berarti saat ke saat, kita membiarkan semua sebagaimana adanya. Kejernihan, keseimbangan batin dan welas asih pun akan lahir secara alami, guna menginspirasi tindakan yang tepat.
Saya menemani teman saya tersebut di dalam kesedihannya. Saya hanya berkata, cukup alami semua sebagaimana adanya. Tak ada yang perlu ditolak. Tak ada yang perlu dilepas. Biarkan semua datang dan pergi, seperti segala hal yang ada di alam semesta ini…
semoga ia paham…
