Oleh Reza A.A Wattimena
Maret 2024, Indonesia sedang berduka. Dunia politik kacau. Ekonomi berantakan. Cuaca mendung dan hujan berkepanjangan membawa bencana banjir, persis karena kinerja pemerintah yang buruk. Ada delapan hal kunci yang perlu menjadi perhatian bersama.
Pertama, demokrasi Indonesia rusak parah. Keadilan dan kemakmuran rakyat pun terancam. Pengangkang konstitusi dan HAM, kemungkinan, akan menjadi presiden. Politik Indonesia di ambang kehancuran.
Dua, hak-hak asasi manusia diabaikan. Korban ketidakadilan diinjak harkat dan martabatnya. Si pemimpin busuk lupa janjinya. Lidahnya sungguh tak bertulang.
Tiga, kepastian dan wibawa hukum rusak parah. Para calon pemimpin tak menghormati hukum, konstitusi dan rasa keadilan masyarakat. Kebijakan jauh dari penalaran etis, akal sehat dan nurani. Jika pengangkang konstitusi dan HAM sungguh menjadi pemimpin bangsa, maka seluruh kebijakan yang mereka buat, termasuk pemilihan menteri dan pejabat, akan menjadi ilegal, dan tidak sah secara moral.
Empat, berbarengan dengan semua itu, harga bahan pokok melonjak. Rakyat semakin sulit hidupnya. Kemiskinan tersebar luas di berbagai penjuru Indonesia. Sementara, kelompok kaya yang korup, dan kerap duduk di pemerintahan, semakin kaya, dan memuaskan kerakusannya.
Lima, politik Indonesia pun terbelah. Hampir tak ada dasar yang menjadi jembatan berbagai aliran politik. Pancasila hanya tinggal lambang tanpa isi. Kelompok radikal agamis, nasionalis dan oligarki korup saling berperang, tanpa mempedulikan kepentingan rakyat yang lebih luas.
Enam, akarnya adalah rezim politik yang membusuk. Sudah sejak awal, rezim ini busuk dan korup dari akarnya. Permainan propaganda dan politik pencitraan berusaha mengaburkan kebusukan itu. Ia menipu rakyat, menikam demokrasi, menghancurkan rasa keadilan dan meredupkan cita-cita luhur Indonesia.
Tujuh, banyak politisi hidup dalam ketersanderaan politik. Mereka tidak berani berkata dan bersikap sejalan dengan nilai-nilai moral yang luhur. Sebaliknya, mereka diam saja, dan bahkan turut serta, di dalam pola-pola korup politik Indonesia. Jika mereka berani menyuarakan apa yang adil dan benar, maka mereka akan kehilangan jabatan politiknya, bahkan difitnah dan dipenjara, karena mereka, sejatinya, juga korup.
Delapan, semua ini kiranya bisa dipahami dengan menggunakan konsep kolonisasi ruang publik (Öffentlichkeitskolonisierung) dan krisis legitimasi (Legitimationskrise) dari Jürgen Habermas. Ruang publik dikuasai kekuatan negara dan bisnis, sehingga masyarakat sipil kehilangan kekuasaannya. Agama, yang sejatinya bagian dari masyarakat sipil, juga dikangkangi oleh kekuatan negara dan bisnis.
Negara semakin bersikap sewenang-wenang: melanggar hukum, hak asasi dan rasa keadilan rakyat. Bisnis semakin rakus, merusak alam dan mempermiskin rakyat. Agama digunakan sebagai pembenaran bagi penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan. Masyarakat sipil semakin hidup dalam kemiskinan dan ketidakadilan yang terus berulang. Seluruh tata politik pun kehilangan legitimasinya.
Ada empat hal yang bisa dilakukan. Pertama, jika terbukti curang, maka pemilu harus diulang. Pesta demokrasi tidak boleh diracuni oleh kepentingan busuk. Harga yang mesti dibayar terlalu mahal. Indonesia bisa pecah, jika perusak konstitusi, HAM dan rasa keadilan menjadi pemimpin bangsa.
Dua, sebagai rakyat, kita harus tetap berpijak pada tingkat kesadaran yang tinggi, akal sehat serta kejernihan nurani. Kita memerlukan ketiganya untuk hidup. Dalam politik dan ekonomi, ketiganya adalah unsur yang amat penting. Jika pemilu diulang, kita perlu kembali memilih dengan tingkat kesadaran yang tinggi, akal sehat serta kejernihan nurani.
Tiga, jika pemilu tak diulang, maka kita memasuki masa kegelapan. Kita perlu mengambil peran oposisi yang kritis terhadap rezim yang korup dan busuk. Kita perlu menggunakan ketajaman akal sehat dan kejernihan nurani untuk membongkar berbagai kemunafikan, kesalahan cara berpikir dan korupsi rezim busuk tersebut. Jika perlu, kita turun ke jalan secara masif dalam jangka waktu yang panjang untuk menekan rezim korup terkait.
Empat, di tingkat pribadi, kita perlu terus melakukan transformasi kesadaran. Alam semesta, pada hakekatnya, adalah sebuah jaringan besar yang terhubung satu sama lain. Tak ada musuh, dan tak ada orang lain. Pada tingkat yang lebih dalam, kenyataan adalah tarian dari kekosongan dan penampakan (appearance) itu sendiri.
Politik akan selalu penuh cerita. Namun, perjalanan untuk kesadaran akan kekosongan dari segala sesuatu adalah jalan sejati untuk sampai pada pembebasan. Sambil berjuang mewujudkan kebaikan bersama di dunia sosial politik, kita menemukan kejernihan dan kedamaian yang sejati di dalam batin. Dua hal ini yang perlu terus ada di dalam keseimbangan yang dinamis.