Sebelum Bahasa, Siapa Saya?

main-qimg-2ceaa3ae666ef6bbbea250b0b2a3c092Oleh Reza A.A Wattimena

Saya di Bali di pertengahan November 2023 ini. Di sana, saya berjumpa dengan beragam orang dari penjuru dunia. Mereka mencari hal yang sama, yakni kebahagiaan. Di Ubud, tempat saya tinggal, saya berjumpa dengan sekumpulan orang yang berusaha menemukan kebahagiaan lewat jalan spiritual.

Saya sendiri sedang di dalam perjalanan yang sama. Saya menggunakan filsafat, ilmu pengetahuan dan beragam aliran spiritualitas untuk mencapai pencerahan. Akal budi, sikap kritis dan keterbukaan pikiran adalah hal-hal yang amat penting dalam proses ini. Tanpa itu semua, orang bisa tersesat.

Di dalam ketersesatan, orang menemukan kebingungan. Ia tidak memiliki arah yang jelas. Ia juga tidak memiliki dasar yang jelas. Ia mudah ditipu oleh para guru palsu.

Tak sedikit yang terjebak pada sekte yang mematikan. Uang mereka diperas. Beberapa menjadi korban pemerkosaan. Beberapa mati bunuh diri, karena tekanan dari sekte mematikan tersebut.

Para pencari spiritual ini merindukan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Namun, di Indonesia, mereka kerap dihalangi dan ditekan oleh agama kematian dari gurun tandus. Akal budi mereka dibasmi, dan empati mereka ditindas. Cara beribadah mereka merusak tata hidup bersama, dan perempuan ditindas dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Semua itu menghasilkan penderitaan yang tiada tara. Politik adalah cerminan batin rakyat. Politik yang korup dan kacau di Indonesia adalah cerminan batin masyarakat Indonesia yang penuh penderitaan. Perubahan sosial ke arah keadilan dan kemakmuran bersama hanya mungkin dengan melakukan perubahan total di tingkat pribadi.

Dalam konteks ini, pencerahan adalah sebuah kebutuhan. Pencerahan adalah lenyapnya semua pikiran, bahasa dan konsep. Orang lalu mengalami dunia utuh sebagaimana adanya. Penderitaan pun lenyap bersama dengan kesalahpahaman yang mendasarinya.

Ada banyak tradisi spiritual filosofis. Semuanya mengarah pada satu titik sebelum pikiran muncul. Tak ada konsep dan bahasa. Tak ada kata dan pikiran. Semua sempurna sebagaimana adanya.

Sebelum bahasa, siapa saya? Bahasa adalah segalanya. Ia termasuk pikiran dan seluruh kenyataan yang ada. Tak ada apapun yang berada di luar bahasa.

Apa yang ada sebelum bahasa? Tidak ada saya. Tidak ada diri. Yang ada adalah kehidupan murni, sebelum konsep dan bahasa muncul.

Bahasa itu, sesungguhnya, berbahaya. Ia menjadi rintangan dari pengalaman manusia yang utuh disini dan saat ini. Bahasa menjadi perantara yang menganggu kemurnian serta keutuhan pengalaman manusia. Bahasa, yang sebenarnya alat bantu, kini berubah menjadi penjara yang membuat manusia menderita.

Sejatinya, bahasa hanyalah karangan manusia. Alam semesta tak mengenal bahasa. Bahasa tak punya acuan yang kuat pada kenyataan. Ia adalah khayalan yang dianggap sebagai kenyataan.

Bahasa juga membawa manusia ke dalam dualisme. Hidup dipisahkan di antara baik dan buruk, benar dan salah. Hati manusia menjadi keras, dan tindakannya menjadi kejam, seringkali atas nama moralitas agama kematian. Bahasa tidak hanya menciptakan jarak dengan kenyataan, tetapi juga kekerasan dan perang yang berakar pada cara berpikir yang sesat.

Maka, kita perlu mencapai pencerahan. Artinya, kita perlu kembali ke ranah sebelum bahasa. Lalu, kita bertanya, siapa saya, sebelum bahasa? Yang ada adalah keheningan yang berpijak pada kesadaran penuh, yakni pengalaman utuh dan penuh atas kenyataan sebagaimana adanya disini dan saat ini.

Di titik ini, tak ada waktu. Tak ada derita, dan tak ada bahagia. Hidup menjadi seimbang dan jernih dari saat ke saat.

Sebelum bahasa, kita menyentuh keabadian. Kita menjadi sadar dan hidup sepenuhnya. Identitas diri tertunda, dan orang menemukan sesuatu di sana. Ada sesuatu sebelum bahasa yang tak pernah lahir, dan tak pernah mati.

Para master menyebutnya diri sejati (True Self). Para yogi menyebutnya jiwa universal (Universal self, Universal soul). Para master Zen dan Tibetan Buddhis menyebutnya hakekat Buddha (Buddha Nature). Kelompok agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam) menyebutnya Tuhan. Namun, itu semua salah. Keadaan sebelum bahasa ini, sebenarnya, tak bernama, dan berbahaya untuk menamainya.

Bahayanya terletak pada ilusi yang diciptakannya. Orang mengira, konsep dan bahasa adalah kenyataan. Mereka bereaksi atas bahasa. Jika dihina, mereka marah. Jika dipuji, mereka naik ke surga. Orang menjadi budak dari bahasa.

Orang hidup dalam konsep, dan tercabut dari kenyataan. Orang tak mengalami dunia sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana bayangannya semata. Orang, dengan kata lain, hidup dalam delusi, ilusi dan halusinasi. Karena ini pula, ia jatuh dalam penderitaan berat yang terus berulang.

Kembali ke sebelum bahasa, kita menemukan kebebasan dan kebahagiaan. Kita menjadi sepenuhnya sadar dan hidup, tanpa bahasa yang menodai pengalaman. Tak perlu menunggu surga setelah mati, yang kerap hanya mimpi penuh ilusi. Disini dan saat ini, sebelum bahasa, siapa saya?

Peluk keheningan yang lahir dari ketidaktahuan dan keterbukaan yang muncul. Latih hal ini sesering mungkin, sampai menjadi kebiasaan. Kita lalu hidup dari titik keseimbangan dan kejernihan, serta siap menanggapi berbagai perubahan keadaan yang terjadi. Inilah hidup yang tercerahkan.

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.