Oleh Reza A.A Wattimena
Di dunia ini, tak banyak masalah. Kita hanya punya satu masalah, yakni “manusia”. Manusia merusak alam. Manusia membunuh hewan sembarangan.
Hutan dibabat untuk sumber dayanya. Laut dirusak demi pariwisata. Alam dihancurkan demi energi yang merusak. Semua demi memuaskan kerakusan “manusia”.
Karena paham agama kematian, manusia merasa berhak menguasai semua mahluk hidup. Seenaknya, ia membunuh dan menyiksa hewan. Bahkan, begitu banyak hewan disiksa atas nama agama, yakni agama kematian. Semua ini terjadi, karena kebodohan “manusia”.
Gunung dihancurkan untuk logam berharga. Peradaban dihancurkan demi perusahaan milik manusia. Manusia bahkan saling membunuh satu sama lain. Dengan teknologi yang canggih, manusia kini bisa berperang untuk saling memusnahkan, sekaligus menghancurkan semua kehidupan di bumi.
Tak heran, beberapa orang berpendapat, bahwa dunia akan lebih baik, jika manusia punah. Hewan akan hidup dalam keseimbangan. Tumbuhan akan hidup dalam keberlimpahan. Seluruh bumi menari, ketika “manusia” mati.
Apa itu “Manusia”?
Manusia bukanlah sesuatu yang alamiah. Ia adalah ciptaan dari pikiran. Ia adalah sebuah konsep filsafat. Konsep ini melahirkan banyak kesalahan berpikir, sekaligus penderitaan bagi banyak mahluk.
Di dalam bukunya yang berjudul Sein und Zeit (Ada dan Waktu), Martin Heidegger, pemikir Jerman, tidak menggunakan kata manusia. ia menggunakan kata Dasein. Artinya adalah “ada di sana”. Ia menolak menggunakan kata manusia, karena kata itu memuat konsep filsafat tertentu yang bersifat terbatas.
Ia tidak melanjutkan analisis tentang ini lebih jauh. Saya bergerak dari titik ini, dan mencoba merumuskan lima kesesatan berpikir dari konsep “manusia”. Yang pertama, manusia merasa menjadi mahluk yang paling cerdas dari semua mahluk. Ini anggapan sesat yang muncul dari kebodohan, dan sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan.
Yang kedua, manusia merasa menjadi pusat dunia. Ia merasa menjadi satu-satunya mahluk yang sadar. Yang ketiga, karena merasa paling cerdas dan menjadi pusat dunia, ia pun merasa menjadi mahluk yang paling penting. Pandangan ini diperkuat dengan ajaran agama kematian dari tanah yang gersang.
Empat, dengan pandangan sesat ini, manusia pun merasa berhak membunuh hewan dan tumbuhan demi kepuasannya. Alam rusak, semata karena kerakusan serta kebodohan manusia. Lima, konsep manusia mengandaikan adanya ego di dalam diri setiap orang. Dengan perjalanan waktu, konsep ego ini membengkak, dan menjadi ego yang bersifat dualistik antagonistik.
Penderitaan lalu menjadi buahnya. Manusia-manusia yang menderita saling menyakiti satu sama lain. Konflik, diskriminasi dan perang pun tak terhindarkan. Manusia adalah satu-satunya mahluk yang membunuh spesiesnya sendiri untuk kepentingan kerakusan dan kekuasaan.
Membunuh “Manusia”
Maka, “manusia” itu harus dibunuh. Kesesatan berpikir yang lahir dari konsep “manusia” haruslah ditinggalkan jauh-jauh. Sudah terlalu lama, kesesatan berpikir ini membuat kita menderita, dan alam rusak. “Dasein” (Ada di sana) ala Heidegger harus diubah menjadi “Nichts” (Ketiadaan).
Setelah “manusia” dibunuh, apa yang terjadi? Kita akan menjadi mahluk hidup yang berdampingan dengan semua mahluk di alam semesta ini. Tidak ada yang lebih tinggi. Tidak ada yang lebih rendah. Kesadaran kita akan menjadi seluas semesta, dan jati diri kita yang sejati pun bisa dialami seutuhnya.
Keseimbangan kosmik pun bisa tercipta. Perdamaian di dalam hati dan di dalam hidup bersama bisa terwujud. Dari waktu ke waktu, konflik tetap terjadi. Namun, itu semua bisa diselesaikan secara sadar dan rasional untuk keadilan bersama.
Maka, jangan ragu untuk membunuh “manusia”.
====
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/