
Oleh Reza A.A Wattimena
Beberapa teman meminta saya menuliskan soal pemilihan presiden 2024 nanti. Saya sebenarnya kurang tertarik. Namun, karena memang dibutuhkan, saya coba menyempatkan waktu untuk menulis soal ini. Tinjauan saya lebih dari sudut pandang filsafat transendental dan teori transformasi kesadaran.
2024 adalah tahun politik. Banyak hal terkait Indonesia akan ditentukan pada masa-masa itu. Tantangannya sebenarnya tetap sama, yakni ketimpangan sosial yang amat besar dan radikalisme agama yang tersebar di berbagai bidang. Dua hal itu terkait dengan praktek busuk yang terus menolak untuk lenyap, yakni korupsi di berbagai sektor kehidupan Indonesia.
Satu prinsip, kita harus memilih. Kita tidak boleh menolak untuk memilih. Sikap semacam itu tak membuahkan hal baik apapun. Diktum klasik kiranya perlu terus diingat, bahwa politik demokratis tidak hanya soal memilih pemimpin terbaik, tetapi juga mencegah orang-orang jahat berkuasa.
Filsafat transendental, menurut Immanuel Kant, seorang pemikir Jerman, terkait dengan prinsip-prinsip, atau kondisi-kondisi, universal yang melahirkan pengetahuan. Dalam konteks pemilihan presiden, kita menggunakan prinsip-prinsip universal yang berlaku rasional. Kita tidak melihat orangnya secara pribadi, apalagi agamanya. Ada lima prinsip transendental universal yang ingin saya tawarkan.
Pertama, rekam jejak seorang presiden haruslah bersih dari korupsi, radikalisme agama dan pelanggaran hak-hak asasi manusia di masa lalu. Dalam politik nyata, rekam jejak yang sepenuhnya bersih amat sulit diperoleh. Namun, kita bisa menggunakan logika minus mallum, yakni kita memilih yang terbaik di antara yang terjelek. Kita memilih calon yang paling bersih di antara calon-calon lainnya, walaupun ia tidak sungguh bersih seratus persen.
Dua, tingkat kesadaran seorang presiden haruslah tinggi. Di dalam teori transformasi kesadaran, tingkat dua atau tiga kiranya harus dicapai. Tingkat dua adalah kesadaran immersif, dimana empati, simpati dan solidaritas dengan manusia maupun kelompok lain sudah terbentuk. Tingkat ketiga adalah kesadaran holistik-kosmis, dimana kesatuan dengan seluruh alam semesta sudah dicapai.
Dari beragam calon yang ada, yang mana sudah mencapai setidaknya kesadaran immersif, atau bahkan kesadaran holistik kosmik? Ini yang harus kita teliti bersama. Jangan terpana dengan omongan luhur. Jangan terpana dengan agama yang ia anut.
Tiga, di alam demokrasi yang masih berproses, seperti Indonesia, presiden harus mencerminkan keutamaan-keutamaan demokratis. Ia harus mampu berpikir kritis, rasional dan mendengarkan pendapat dari sudut pandang lain. Ia juga harus mampu berdebat dan berbeda pendapat dengan pijakan data serta argumen yang rasional. Kita harus sungguh jeli melihat hal ini.
Empat, di masa digital, seperti sekarang ini, kesadaran digital juga diperlukan. Seorang presiden harus mampu berkomunikasi dengan rakyat yang ia pimpin di dunia digital. Ia juga harus mampu menggunakan dunia digital untuk meningkatkan kinerja kerjanya. Ini hal yang sama sekali tidak bisa diabaikan sekarang ini.
Lima, bagi seorang presiden, kemampuan penyelesaian masalah secara adil, efektif dan efisien mutlak diperlukan. Keadilan tak bisa dikorbankan atas nama efisiensi dan efektivitas. Begitu pula sebaliknya, efisiensi dan efektivitas penyelesaian masalah tak bisa diabaikan, karena sibuk mencari keadilan. Presiden Indonesia di 2024 harus mampu mencapai keseimbangan antara efektivitas, efisiensi dan keadilan di dalam penyelesaian masalah.
Kelima prinsip ini bersifat universal. Ia bisa digunakan tidak hanya untuk memilih presiden, tetapi juga pimpinan di dalam berbagai konteks. Melihat konteks Indonesia menuju 2024 ini, saya pikir, pilihannya sudah cukup jelas. Jangan ragu lagi untuk memilih presiden… dengan kesadaran penuh.