Apakah Laut Takut pada Ombak?

Erica Wexler

Oleh Reza A.A Wattimena

Teman lama tiba-tiba menghubungi. Ia ingin berjumpa. Kami membuat janji untuk berjumpa di kafe dekat tempat tinggal saya. Percakapan dimulai dengan sedikit nostalgia, kabar terbaru lalu masuk ke inti pembicaraan.

Hidupnya dilanda badai. Perceraian dan pemecatan kerja datang berbarengan. Ah, saya teringat kisah hidup saya sendiri. Memang, rasa sakit yang timbul dari dua hal ini sungguh tak terbayang. Lanjutkan membaca Apakah Laut Takut pada Ombak?

Semiotika Ijazah

Oleh Reza A.A Wattimena

Apakah ada yang tertarik melihat ijazah saya? Saya rasa tidak. Saya bukan pejabat publik, dan bukan artis. Namun, jika anda mau, saya bisa memperlihatkannya. Tidak ada masalah sama sekali.

Lima tahun terakhir, Indonesia dibuat susah oleh masalah remeh, namun sangat mendasar. Ijazah Jokowi, mantan presiden, tetap menimbulkan banyak pertanyaan kritis, bahkan sampai hari ini. Kini, di 2025, Gibran, anaknya, yang terpilih menjadi wakil presiden dengan cara-cara kontroversial, juga dipertanyakan soal ijazahnya. Lanjutkan membaca Semiotika Ijazah

Satu-satunya Masalah Manusia

Tomasz Alen Kopera

Oleh Reza A.A Wattimena

2003, saya belajar filsafat manusia di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Pada masa itu, sejujurnya, saya lebih suka menjadi seorang demonstran, daripada menjadi mahasiswa. Namun, filsafat manusia adalah mata kuliah wajib. Saya pun mengikutinya dengan penuh rasa ingin tahu.

Hal terpenting yang saya dapat dari kuliah itu adalah soal kebebasan. Kebebasan manusia terletak pada kemampuannya menanggapi keadaan yang ada. Keadaan itu sendiri tak bisa sepenuhnya ditentukan. Ada orang lain, masyarakat dan alam yang menentukan keadaan di luar diri kita. Lanjutkan membaca Satu-satunya Masalah Manusia

Menebar Benih di Musim Dingin

Jacek Yerka – The Winter Wave (2005)

Oleh Reza A.A Wattimena

Setiap hari, saya menerima begitu banyak pesan dari media sosial. Beberapa mengirim ke email. Ada yang bertanya soal filsafat dan perluasannya. Mayoritas bertanya soal jalan keluar dari penderitaan hidup yang berat.

Ada yang berduka, karena patah hati. Ada yang berduka, karena bersentuhan dengan kematian. Ada yang berduka, karena sulit menemukan pekerjaan yang pas. Begitu banyak penderitaan tersebar di dunia ini.

Ada yang sudah belajar beragam hal. Ada yang sudah mengikuti retret meditasi berulang kali. Ada yang sudah belajar Yoga, sampai layak  menjadi anggota sirkus. Namun, penderitaan selalu merongrong, dan mereka kerap merasa tak berdaya. Lanjutkan membaca Menebar Benih di Musim Dingin

Media Sosial, Kesadaran Kelas dan Amok Massa

(Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

Oleh Reza A.A Wattimena

Jakarta, 31 Agustus 2025, sekitar jam 3 pagi, saya langsung berhadapan dengan massa penjarah. Mereka bukan demonstran. Mereka bukan mahasiswa, ataupun masyarakat sipil yang menuntut keadilan. Mereka adalah massa bayaran berusia sekitar 20 tahunan yang ditugaskan untuk merusak.

Mereka mengenakan masker dan menggunakan helm. Mereka mengendarai motor dengan knalpot brong yang merusak telinga. Mereka tak peduli moral dan hukum. Mereka dibayar untuk merusak, lalu langsung mengirimkan foto-foto bukti kerusakan tersebut pada sang penyandang dana kerusuhan.

Tak ada polisi. Tak ada tentara. Hanya warga yang saling menjaga. Penjarahan terjadi dalam skala amat kecil, namun tak ada api yang menyebar. Kami, sesungguhnya, cukup beruntung. Lanjutkan membaca Media Sosial, Kesadaran Kelas dan Amok Massa

Jaket Hijau yang Memerah

Oleh Reza A.A Wattimena

Saya tak kenal Affan Kurniawan. Ada 20 juta lebih manusia di Jakarta ini. Namun, berita kematiannya sungguh membuat saya terpukul. Era digital membuat semua informasi menjadi begitu mudah mengalir.

Sejak pagi, hati saya pilu. Beberapa kali, air mata menetes. Mungkin, karena ia meninggal dengan jaket hijau khas ojek online. Sepuluh tahun terakhir, hidup saya banyak terkait dengan jaket hijau tersebut.

Setiap hari, mereka datang ke rumah saya. Ada yang mengantar paket. Ada yang mengantar makanan. Bisa dibilang, bagi saya, dan bagi jutaan rakyat Indonesia, jaket hijau itu sudah seperti anggota keluarga. Lanjutkan membaca Jaket Hijau yang Memerah

Selalu Utuh dan Penuh

Dreamstime

Oleh Reza A.A Wattimena

“Mengapa terus berbelanja? Apakah elo membutuhkan semua barang itu”? Jawabannya singkat: “tidak. Gua belanja, supaya hepi”. Begitu secuil percakapan saya dengan seorang kawan.

Jika tidak belanja, katanya, ada rasa hampa di dada. Ada rasa bosan yang mencekik. Dengan adanya ponsel cerdas, semua info untuk belanja bisa didapat. Belanja hal-hal yang tak perlu pun menjadi amat mudah. Lanjutkan membaca Selalu Utuh dan Penuh

Jangan Gembira, Kita Belum Merdeka…

Joan Miró’s Person Throwing a Stone at a Bird, 1926

Oleh Reza A.A Wattimena

17 Agustus 2025, saya merasa sendu. Saya tak sendirian. Seluruh Indonesia, kiranya, juga merasa yang sama. Ada perayaan, tetapi kebanyakan sekedar basa basi, tanpa rasa tulus yang asli.

Indonesia sedang gelap. Indonesia sedang kusut. Masa depan bangsa seolah tanpa harapan. Pemerintah hidup foya-foya di atas derita rakyatnya, dan terus mengeluarkan berbagai kebijakan bodoh. Sesungguhnya, tak ada yang perlu dirayakan. Lanjutkan membaca Jangan Gembira, Kita Belum Merdeka…

Kemerdekaan dan Panggilan Mencintai

Jörg Hövel

Oleh Dhimas Anugrah, Penulis buku “Filosofi Kematian” (Kanisius, 2024) dan Ketua Circles Indonesia, komunitas pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains.

Delapan puluh tahun kemerdekaan Republik Indonesia adalah sebuah rahmat yang patut kita rayakan. Bukan hanya lewat upacara seremonial tentunya, tapi juga melalui perenungan filosofis yang agak mendalam. Sejarah bangsa ini tidak terjadi begitu saja, melainkan dibentuk oleh arah dasar keberadaan manusia sebagai makhluk yang mencari makna.

Dalam filosofi eksistensial, Martin Heidegger memperkenalkan konsep Sein zum Tode, atau berada menuju kematian, yaitu kesadaran bahwa manusia sepanjang hidupnya selalu bergerak menuju akhir. Eksistensi manusia tak bisa dilepaskan dari kefanaan. Heidegger menyatakan bahwa manusia yang sadar akan keberadaannya “selalu telah menuju akhirnya” (Being and Time, 1962). Lanjutkan membaca Kemerdekaan dan Panggilan Mencintai

Berfilsafat di Negara Bandit

Cook and Becker and Gearbox Software

Oleh Reza A.A Wattimena

Negara Bandit, itu konsep yang keluar dari pikiran Pak Fransisco Budi Hardiman, mentor sekaligus sahabat saya dalam berpikir. Setiap berjumpa dengannya, inspirasi selalu menyala. Begitu banyak ide bertebaran di kepala. Mereka menunggu untuk dituangkan di dalam tulisan.

Di dalam negara bandit, penguasa saling menyandera. Kebuntuan politik, hukum dan ekonomi pun tercipta. Yang menjadi korban adalah masyarakat luas. Tidak ada lagi acuan terhadap “kebaikan bersama”. Lanjutkan membaca Berfilsafat di Negara Bandit

Filsafat Telah Mati, Ketika Para Filsuf Kegocek Influencer (Bagian 3)

Janni Fewster

Oleh Syarif Maulana, Filsuf dan Budak Cinta

Jangan-jangan saya sendirilah yang kegocek, karena menulis ini hingga bagian ketiga (mudah-mudahan bagian terakhir). Saya teringat pernah menulis perkara perselisihan filsafat analitik dan filsafat kontinental yang dimulai pada tahun 1913, ketika 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Waindelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jerman, Austria, dan Swiss untuk tidak lagi mengizinkan ranah psikologi eksperimental masuk ke departemen filsafat (Kusch, 1995: 191-192).

Sederhananya, psikologi eksperimental ditolak sirkel filsafat, karena menyederhanakan problem filsafat menjadi sekadar perkara mental subyektif.  Penolakan atas apa yang oleh orang-orang filsafat kala itu disebut “psikologisme”, membelah aliran filsafat menjadi dua kubu yang lestari hingga sekarang: turunan Edmund Husserl menjadi kelompok aliran filsafat kontinental, sementara turunan Gottlob Frege menjadi kelompok aliran filsafat analitik. Penjelasan terkait kedua aliran tersebut tidak akan dibahas dalam artikel ini. Lanjutkan membaca Filsafat Telah Mati, Ketika Para Filsuf Kegocek Influencer (Bagian 3)

Buku Terbaru: Teori Transformasi Kesadaran Unlimited

Buku ini adalah kumpulan lima teori yang saya kembangkan. Ada lima teori, yakni teori transformasi kesadaran, teori tipologi agama, teori politik progresif inklusif, etika natural empiris dan epistemologi pembebasan. Pijakannya adalah penelitian saya di bidang filsafat, politik dan neurosains selama lebih dari dua puluh tahun. Selamat membaca, dan semoga menemukan pencerahan.

Jakarta, Juli 2025

Reza A.A Wattimena Lanjutkan membaca Buku Terbaru: Teori Transformasi Kesadaran Unlimited

Tak Ada Cobaan

Leonora Carrington

Oleh Reza A.A Wattimena

Katanya, Indonesia sedang diuji. Kemiskinan terus membesar. Ketimpangan sosial ekonomi terus meluas. Di antara derita rakyat yang dicekik kemiskinan dan kebodohan tanpa henti, pemerintah dan oligarki minoritas hidup dalam gelimang kemewahan.

Katanya, ujian ini adalah cobaan dari tuhan. Masalahnya, kok ujian tak ada hentinya? Memang tuhan tak ada kerjaan lain, selain menguji manusia? Tuhan macam apa yang terus membuat manusia terpuruk dalam kemiskinan dan kebodohan? Lanjutkan membaca Tak Ada Cobaan

Hospitalitas Etis dan Moralitas Homoseksualitas

A piece from Igor Morski’s ‘Nature’ series.

Oleh Dhimas Anugrah, Ketua Circles Indonesia (Komunitas Pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains)

Pendahuluan

Pertanyaan tentang homoseksualitas menyentuh preferensi personal dan aspek biologis, sekaligus membuka ruang bagi perbincangan etis yang lebih kompleks. Ketika seseorang bertanya, “Apakah homoseksualitas berada dalam ranah etika?,” ia mengundang refleksi tentang cara manusia memahami martabat, kebebasan, dan tanggung jawab dalam relasi sosialnya. Dalam kehidupan kontemporer yang sarat dengan tuntutan akan otonomi dan pengakuan, muncul dorongan kuat memposisikan orientasi seksual sebagai bagian dari identitas personal yang tak perlu dinilai secara etis. Namun, pendekatan ini sering kali luput membaca kenyataan bahwa manusia adalah makhluk moral, makhluk yang terus bertanya bukan hanya tentang “apa adanya,” tapi juga tentang “apa yang seharusnya.”

John Corvino, seorang filsuf moral dan pendukung hak-hak kaum homoseksual, secara gamblang menegaskan bahwa moralitas tidak dapat direduksi menjadi urusan privat. Ia menulis,

“Some people claim that morality is a “private matter’ and that, in any case, people’s rights shouldn’t hinge on others’ moral opinions. I think this view is badly mistaken. Morality is about how we treat one another, and thus it is quintessentially a matter for public concern. It’s about the ideals we hold up for ourselves and others. It’s about the kind of society we want to be: what we will embrace, what we will tolerate, and what we will forbid” (What Is Wrong with Homosexuality?, 2013: 6). Lanjutkan membaca Hospitalitas Etis dan Moralitas Homoseksualitas

Refleksi Indonesia Kusut

Mario Nevado

Oleh Reza A.A Wattimena

Saya amat menikmati berkendara motor jarak jauh. Suatu hari, setelah menelusuri area Tangerang Selatan, saya mengisi bensin di Jalan Arteri Pondok Indah. Sambil menunggu antrian, saya berjumpa dengan seorang pemuda yang sedang duduk. Di bahunya terkalung tas, dan ditangannya tertumpuk dokumen-dokumen.

Ia tampak lelah dan bingung. Saya bertanya, “Ada yang bisa dibantu mas?” Ia seolah terkejut sekaligus gembira dengan sapaan tersebut. Senyum kecil teruntai di wajahnya. Lanjutkan membaca Refleksi Indonesia Kusut

Filsafat telah Mati, Ketika Para Filsuf Kegocek Influencer (Bagian 2)

Oleh Syarif Maulana, Filsuf dan Budak Cinta

Pertanyaannya, kenapa para filsuf ini begitu terpesona dengan sosok influencer dan bukannya mengajukan kritik – sebagaimana lazimnya para filsuf terhadap apapun yang trendi di zamannya? Padahal dilihat secara sepintas pun, banyak hal ganjil dari para influencer. Mereka sering berbicara atas namanya sendiri, seolah-olah gagasannya sendiri, tanpa referensi yang bisa dipertanggungjawabkan, yang kita terima karena mereka adalah “individu yang kredibel dan terpercaya”.

Hal yang sering menyilaukan kita adalah ucapan-ucapan para influencer yang ditopang aspek ad populum, kuantitas pengikut dan penyuka yang luar biasa, mengangguk pada apapun yang keluar dari liurnya. Inilah nabi baru era algoritma, diimani secara membabi buta oleh jemaahnya yang iya iya aja, ketika junjungannya mengatakan “hapus logika mistika” atau “tutup jurusan filsafat”. Pesonanya begitu dahsyat hingga sebagian filsuf memutuskan untuk mengkritik sambil malu-malu kucing, semi menjilat pantat, seraya berbisik dengan suara gemetar, seolah minta diajak pada jalan keselamatan, “Ajak aku pada engagement-mu.” Lanjutkan membaca Filsafat telah Mati, Ketika Para Filsuf Kegocek Influencer (Bagian 2)

“Spiritualitas” Ketidakadilan

Oleh Reza A.A Wattimena

2014-2015, karir profesional saya hancur. Fitnah disebarkan begitu luas oleh salah satu orang terdekat dalam hidup saya. Di masyarakat yang tak kritis dan doyan bergunjing, fitnah ditelan dengan riang gembira. Atasan dan para rekan kerja menelan fitnah, dan memutuskan untuk menjatuhkan saya secara profesional.

Saya harus menelan ketidakadilan. Saya tak diam saja. Saya memutuskan untuk melakukan konsultasi hukum. Namun, setelah menimbang semua unsur, saya memutuskan untuk menerima ketidakadilan tersebut. Lanjutkan membaca “Spiritualitas” Ketidakadilan

Filsafat telah Mati, Ketika Para Filsuf Kegocek Influencer

Oleh Syarif Maulana, Filsuf dan Budak Cinta

Dua minggu terakhir ini, cukup ramai DM Instagram saya dikirimi pesan dari orang-orang yang meminta respons, terkait pernyataan seorang influencer (saya malas sekali menuliskan namanya). Kata influencer tersebut kira-kira: “jurusan filsafat sebaiknya dihapuskan”, “Filsafat sudah tidak relevan dengan perkembangan teknologi”, “Dulu filsafat mungkin penting, sekarang tidak lagi karena sudah ada pembuktian empiris oleh sains” dan fafifu lainnya yang sebenarnya tidak berbobot dan tidak baru sama sekali, tetapi begitu viral, heboh, dan disikapi serius oleh berbagai komunitas dan pembelajar filsafat.

Entahlah, mungkin para pegiat filsafat sudah buntu mengatasi problem-problem seperti hard problem of consciousness, masalah pikiran – tubuh, atau posisi matematika sebagai entitas yang ditemukan atau diciptakan, dan sebagainya. Kelihatannya bagi mereka, ada hal yang lebih menarik untuk dibela, yakni posisi filsafat di hadapan seorang influencer yang notabene tidak tahu apapun tentang filsafat (kecuali Stoikisme bagian kesetnya saja). Lanjutkan membaca Filsafat telah Mati, Ketika Para Filsuf Kegocek Influencer

Aku Telah Banyak Menderita

Multatuli, pseudoniem voor Eduard Douwes Dekker

Oleh Dhimas Anugrah, Ketua Circles Indonesia, komunitas pembelajar di bidang budaya, filsafat, sains

Hari ini aku berada di Neckarsulm, sekitar 600 kilometer barat daya dari Berlin. Sebuah kota kecil yang tenang, dengan orang-orang yang ramah, dikelilingi hamparan kebun anggur dan desir angin musim panas yang lembut.

Entah mengapa, barusan aku membuka album foto di ponsel. Jariku berhenti pada satu gambar: patung Multatuli. Foto itu kuambil dengan kamera ponsel saat berada di Amsterdam beberapa hari lalu. Lanjutkan membaca Aku Telah Banyak Menderita

Publikasi Jurnal Ilmiah Terbaru: Kaitan Kesadaran dan Pembebasan Menurut Sam Harris

Oleh Reza A.A Wattimena

Abstrak

Tulisan ini membahas pemikiran Sam Harris tentang Kesadaran. Ia menulis tentang kesadaran dalam kaitan dengan pembebasan manusia dari penderitaan yang dibuat oleh kesalahpahaman. Untuk itu, ia menggunakan dasar berpikir yang berpijak pada neurosains dan filsafat, terutama filsafat Asia. Tulisan ini membahas pemikiran Harris tentang kaitan mendalam antara pemahaman kesadaran dan pembebasan, sekaligus memberikan tanggapan atasnya. Ia melihat pembebasan terkait dengan tiga hal, yakni penerimaan pada kenyataan sebagaimana adanya disini dan saat ini, keterbukaan, ketanpadirian, dan kesatuan dengan seluruh alam semesta.

Kata-kata Kunci: Kesadaran, Neurosains, ketanpadirian, Meditasi

Silahkan diunduh di: Jurnal Reza, Kesadaran dan Pembebasan Menurut Sam Harris