Mengapa Kita Menghancurkan Diri Sendiri?

Samsul Nurdin diantara Sabu dan Judol

Oleh A. Rahadian.

Kita sering membayangkan kehancuran diri sebagai sesuatu yang dramatis—sebuah dentuman besar yang memecah hidup menjadi dua. Tetapi bagi kebanyakan dari kita, sabotase diri jauh lebih sunyi: ia datang dari notifikasi kecil, dari rutinitas yang menekan, dari keputusan yang begitu remeh sehingga kita bahkan tak ingat kapan kita membuatnya.

Kecanduan, baik pada layar, pekerjaan, judi, atau zat, tidak lahir dari kekosongan moral, melainkan dari dunia yang memproduksi kelelahan dan kesepian. Dunia yang membentuk subjek-subjek rapuh yang perlahan menggerogoti diri sendiri sebagai cara bertahan hidup.

Pertanyaannya bukan lagi: “Mengapa orang seperti ini tidak kuat?”
Tetapi: “Dunia seperti apa yang membuat seseorang ingin berhenti menjadi dirinya sendiri?”

Untuk menjawabnya, kita harus menengok satu kehidupan kecil di tengah kota besar—seorang lelaki bernama Samsul Nurdin.

Samsul

Nama Samsul Nurdin—nama Arab yang berarti matahari, cahaya iman—tidak pernah cocok dengan tubuhnya. Nama itu seperti berjuta watt cahaya yang dipaksa masuk ke tubuh yang bahkan kesulitan bangun pagi. Di ITC Kuningan, ia dikenal sebagai “Bang Samsul”, lelaki kurus dengan bahu bungkuk, wajah pucat seperti neon yang hampir padam, dan tangan yang bergetar halus saat memegang ponsel.

ITC sendiri adalah dunia kecil yang lelah:
bau karpet basah, plastik panas, udara AC yang sudah tua, lengkingan eskalator yang terdengar seperti keluhan logam yang memaksa.
Lampu-lampu neon menggantung seperti syaraf—selalu menyala, tetapi tampak tersiksa.

Di tengah itu semua, Samsul duduk diam.
Menjaga kios ponselnya seperti seseorang menjaga reruntuhan yang tetap berdiri hanya karena tidak ada pilihan untuk runtuh.

Dan dalam diam itu, perlahan-lahan hidupnya mulai retak.

Tubuh yang Retak dalam Sunyi

Tubuh Samsul tidak jatuh secara heroik; tubuhnya merosot.
Punggungnya melengkung seperti seng yang dipaksa menerima panas bertahun-tahun.
Matanya selalu merah, bukan karena menangis, tetapi karena jam-jam panjang tanpa tidur.
Kakinya sering goyah, seolah tanah di bawah hidupnya tidak stabil.

Dunia yang memaksa manusia mengejar tanpa istirahat membuat tubuhnya terseret ke titik habis.
Karena itu ucapan Byung-Chul Han menjadi semacam penjelasan fisiologis tentang Samsul:

“In the exhaustion society, the subject exploits itself until it collapses.” — Byung-Chul Han¹

Samsul runtuh bukan karena ia tidak kuat, tetapi karena ia telah dieksploitasi oleh ritme hidup yang tidak disengaja—ritme yang perlahan menelan tubuhnya.

Gue kuat kok, Mak…katanya suatu pagi.

Tubuhnya, pelan-pelan, menjawab: Tidak.

Judi Online: Gema Kecil yang Membesar

Judi online tidak datang sebagai badai.
Ia datang sebagai angin kecil: notifikasi, pop-up, iklan pendek di aplikasi musik.

Itu bukan setan yang membisikkan.
Itu suara yang lahir dari kelelahan:

Coba sekali… gak apa-apa…

Dan ketika Samsul mengklik, algoritma bekerja lebih cepat daripada batinnya.
Seperti yang dicatat Shoshana Zuboff, pengalaman manusia telah menjadi bahan mentah bagi industri besar:

“Surveillance capitalism extracts human experience as raw material.” — Shoshana Zuboff²

Yang dirampas dari Samsul bukan hanya uangnya—
tetapi pengalamannya, kecemasannya, ritme napasnya, kebiasaannya yang sedang rapuh.

Klik kecil itu bukan keputusan moral.
Itu refleks tubuh yang sedang mencari celah untuk bernafas.

Statistik besar tentang ratusan triliun rupiah perputaran judol³ tidak pernah menggambarkan tangan yang bergetar kecil saat menekan “Spin”.
Statistik tidak menangkap:
keringat dingin kecil, kilatan ketakutan, atau layar ponsel yang semakin panas.

Dan di sela-selanya, sabu masuk.
Sebagai cara untuk berjudi lebih lama⁴.
Sebagai cara untuk tetap terjaga.
Sebagai cara untuk tidak merasa apa-apa.

Kesepian sebagai Infrastruktur

Kesepian di ITC bukan perasaan pribadi; itu struktur.

Di antara AC yang mendesah, pedagang yang saling curiga, dan pembeli yang datang seperti angin lewat, kita menemukan apa yang dikatakan Wendy Brown:

“Neoliberalism produces an insecure, isolated subject.” — Wendy Brown

Samsul adalah subjek itu: seseorang yang menjadi atom dalam sistem yang memecah manusia menjadi unit-unit terpisah.

Dan ketika kesepian itu dipasarkan kembali kepadanya lewat iklan, notifikasi, dan permainan berhadiah kecil, kita melihat betapa tepatnya ucapan Eva Illouz:

“Capitalism commodifies loneliness.” — Eva Illouz

Kesepian Samsul bukan hanya gejala; ia adalah komoditas.
Ia dipanen, diperdagangkan, dan dikembalikan padanya sebagai hiburan digital.

Sabotase Diri: Kebohongan Kecil, Luka Besar

Samsul tidak ingin menyakiti siapa pun.
Ia hanya ingin istirahat dari dirinya.

Mak, ini buat modal.
“Ranti, bentar lagi berubah kok.”
“Bro, pinjem dulu. Besok gue balikin.”

Kebohongan itu tidak lahir dari niat jahat.
Ia lahir dari kelelahan manusia yang tidak mampu lagi mengembalikan dunia ke tempatnya.

Mark Fisher menulis bahwa dorongan merusak diri sering kali adalah keinginan untuk menghapus diri dari logika subjek:

“The self-destructive impulse is the wish to stop being a subject.” — Mark Fisher⁷

Samsul ingin berhenti menjadi “Samsul”.

Dan ketika sabu masuk, ia tidak sedang mencari euforia.
Ia sedang mencari penopang.

“Stimulants are the prosthetics of survival.” — Franco Berardi

Sabu menjadi prostesis untuk jiwa yang sudah tidak mampu menopang beban.

Reruntuhan Kota: Tempat Segala Sesuatu Tetap Bekerja

ITC adalah reruntuhan yang masih berfungsi.
Eskalator serak, karpet lembap, neon bergetar, tetapi semuanya tetap hidup.
Kota ini tidak pernah benar-benar mati—dan tidak pernah benar-benar hidup.

Anna Tsing memberi bahasa untuk dunia seperti ini:

“We live in the ruins of capitalism.” — Anna Tsing⁹

Dan dalam reruntuhan itulah ketidakamanan mengeras seperti batu.
Persis seperti yang dicatat David Harvey:

“Urban poverty is the saturation of precarity.” — David Harvey¹⁰

Samsul hidup dalam ketidakamanan yang jenuh.
Bukan sesekali.
Tapi setiap hari.

Malam Cermin

Ketika Ranti menemukan sachet sabu, sesuatu di dalam Samsul runtuh sedikit lagi.

Bang… ini apa?
“Bukan punyaku.”
Kebohongan refleks.
Bukan rencana.

Ia mengurung diri di kamar mandi.
Cermin kecil itu memantulkan seseorang yang bahkan ia tidak ingin kenal:
mata cekung, kulit keabu-abuan, bibir pecah.

Lu ini siapa, Sul?

Dalam momen itu, tubuhnya bukan lagi subjek moral; ia hanya tubuh yang kehilangan pegangan atas dirinya sendiri.
Berardi menamai momen semacam itu:

“There is a moment when the subject sees itself and realizes nothing can be held.” — Franco Berardi¹¹

Itu bukan pertobatan.
Itu kehampaan.

Fajar Tanpa Penyelamatan

Pagi itu lorong ITC seperti terowongan yang tidak mengarah ke mana pun.
Hanya satu lampu neon menyala—berkedip seperti tanda bahwa dunia belum mati, tetapi mungkin sebaiknya mati saja.

Samsul membuka kios, memandang etalase retak, poster operator yang memudar, kursi plastik yang hampir patah.

Gue capek…

Bukan pengakuan.
Bukan keluhan.
Hanya kebenaran kecil yang akhirnya muncul.

Dan di bawah cahaya redup itu, ia memutuskan:
menjual kios.
Bukan sebagai fase baru.
Bukan sebagai penyelamatan diri.

Hanya karena ia tidak sanggup lagi duduk di sana.

 

Samsul, Tanpa Akhir

Ia kembali ke rumah ibunya.
Ia membantu berjualan.
Kadang menjauh dari sabu, kadang kembali jatuh.
Kadang membuka aplikasi judi, kadang menutupnya cepat-cepat.

Tidak ada resolusi.
Tidak ada epifani.
Tidak ada pembaruan.
Hanya keberlanjutan yang sulit dan sunyi.

Dorothee Soelle menyebut jenis “ketetapan hati tanpa kemenangan” ini sebagai bentuk harapan paling rendah namun paling nyata:

“Hope is a practice of staying.” — Dorothee Soelle¹²

Samsul tetap tinggal.
Dalam tubuhnya yang retak.
Dalam hidup yang berantakan.
Dalam kota yang tidak menolong siapa pun.

Jika ada sesuatu yang menyerupai rahmat, itu datang dari hal-hal kecil yang tidak mengkhianatinya:
kompor tua ibunya,
kursi plastik di ruang tamu,
lantai yang tetap menahan tubuhnya,
dan lampu neon ITC yang dalam ingatannya terus berkedip sedikit lebih lama dari seharusnya.

Samsul tidak sembuh.
Samsul tidak hilang.

Ia ada.
Dan esai ini tidak meminta kita menyelamatkannya—
hanya mengajak kita menemaninya di gelap yang ia pikul seorang diri.

CATATAN KAKI

  1. Byung-Chul Han, The Burnout Society (Stanford: Stanford University Press, 2015).
  2. Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019).
  3. PPATK, Laporan Transaksi Judi Online 2021–2023.
  4. BNN, Pola Penyalahgunaan Sabu Terkait Judi Online (Jakarta: BNN Press, 2023).
  5. Wendy Brown, Undoing the Demos (New York: Zone Books, 2015).
  6. Eva Illouz, Cold Intimacies (Cambridge: Polity, 2007).
  7. Mark Fisher, Capitalist Realism (Winchester: Zero Books, 2009).
  8. Franco Berardi, Heroes (London: Verso, 2015).
  9. Anna Tsing, The Mushroom at the End of the World (Princeton: Princeton University Press, 2015).
  10. David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005).
  11. Franco Berardi, Heroes, 214.
  12. Dorothee Soelle, The Silent Cry (Minneapolis: Fortress Press, 2001).

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.