
Oleh Reza A.A Wattimena
“Ja, lu mendalami ilmu agama ga?” Begitu tanya seorang teman. Beberapa kali sebelumnya, saya sudah mendengar kata itu: ilmu agama. Kuping saya tergelitik mendengarnya.
Sejatinya, agama adalah organisasi ciptaan manusia. Agama bukanlah ilmu. Ia bekerja untuk merebut dan mempertahakan kekuasaannya di tengah masyarakat. Ciri khas agama adalah ia menjual konsep Tuhan, dan bermain dengan rasa takut manusia. Di masyarakat yang miskin dan bodoh, agama berkembang pesat, bahkan menjajah.
Itulah yang kiranya terus terjadi di Indonesia. Dengan menggunakan agama, para politikus busuk menipu kita. Dengan menggunakan agama, uang dan sumber daya ekonomi diperas habis. Tak hanya itu, juga kerap atas nama agama, orang diperkosa. Pelakunya, yang kerap kali seorang pemuka agama, melarikan diri begitu saja.
Bangsa kita memang lemah daya pikirnya. Siksaan kolonial masih membekas di sanubari kita. Serbuan agama kematian dari tanah gersang terus menghambat kemajuan daya nalar dan sikap kritis kita. Di tengah semua keadaan ini, agama terus menjadi alat politik maupun ekonomi untuk mempermiskin serta memperbodoh bangsa.
Pada intinya, agama tidak memiliki ciri ilmu pengetahuan. Agama cenderung dogmatis. Ia memaksakan seperangkat argumen yang cenderung tak masuk di akal sehat. Jika orang bersikap kritis, ia mesti siap mengalami kekerasan. Ada yang dikucilkan, dibunuh dan bahkan dibakar hidup-hidup di hadapan umum. Eropa dan Timur Tengah kenyang dengan kejadian semacam itu.
Hakekat ilmu adalah sebaliknya. Ia berpijak pada akal budi manusia. Keyakinan hanya boleh muncul, jika ditopang oleh akal budi dan eksperimen yang berulang. Kekerasan tidak memainkan peranan di dalam penciptaan maupun perkembangan ilmu.
Ilmu juga berkembang dari pengamatan empiris. Ia berpijak pada panca indera manusia. Agama kerap mengabaikan pengamatan empiris. Dalam banyak hal, agama lebih dekat dengan khayalan beberapa orang yang dipaksakan kepada banyak orang.
Sikap kritis juga merupakan dasar terpenting dari ilmu. Sikap kritis berarti orang mengolah dulu apa yang ia tangkap dengan panca indera. Ia tidak percaya begitu saja, hanya karena banyak orang telah meyakini sebuah pandangan. Ia berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting pada satu pandangan, walaupun itu dianggap bisa merusak ketenangan masyarakat. Agama cenderung menjauhi sikap kritis, sehingga orang kerap dipaksa untuk menelan secara buta semua pandangan yang diajarkan.
Ilmu pengetahuan juga dibangun dari sistematika berpikir. Ia berpijak pada sebab akibat yang bisa diikuti dengan akal sehat. Setiap argumen adalah turunan logis dari argumen sebelumnnya. Sementara, di dalam agama, kita melihat begitu banyak lompatan logika dan hal-hal tak masuk akal yang cenderung dipaksakan untuk dipercaya.
Yang juga penting, di dalam ilmu, kesalahan adalah hal biasa. Orang membuat argumen yang tak tepat, mungkin karena proses bernalar yang tak sempurna. Ia mengakuinya, dan mengubah pendapatnya. Juga mungkin ada data-data baru yang membuat para ilmuwan mengubah pandangannya. Ini adalah sesuatu yang amat sehat dan penting di dalam perkembangan ilmu.
Agama cenderung bersikap tertutup. Ia merasa sudah sampai pada kebenaran yang mutlak. Ia cenderung merasa mewakili suara Tuhan. Sikap semacam ini yang membuat agama menjadi keras pada perubahan dan perbedaan pendapat, sehingga membuahkan konflik.
Jadi, agama bukanlah ilmu. Ia memiliki ciri yang berbeda dengan ilmu pengetahuan. Agama adalah organisasi ciptaan manusia dengan seperangkat ajaran yang cenderung bersifat tertutup. Kemungkinan perubahan masih menjadi mungkin, ketika agama disuntik dengan akal sehat dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan.
Inilah yang saya sebut sebagai agama kehidupan…
Tentang agama kehidupan, bisa dilihat di link berikut: https://rumahfilsafat.com/buku-teori-transformasi-kesadaran-teori-tipologi-agama/