
Oleh Reza A.A Wattimena
Sekitar jam 4 sore, saya duduk di kamar. Cuaca sedang cerah. Matahari bersinar langsung ke kamar. Saya mematikan lampu. Seluruh kamar saya berwarna jingga terang. Saya melihatnya. Saya menikmatinya. Oh… sungguh nikmat sekali…
Sambil menikmati warna jingga yang menusuk kamar, saya bernafas. Saya memejamkan mata, dan merasakan napas yang lancar. Tak ada rasa sakit. Tak ada halangan. Oh.. sungguh nikmat sekali…
Tak beberapa lama, saya harus buang air kecil. Saya berjalan ke WC. Air kencing mengalir. Lancar. Tak ada halangan. Saya menikmatinya.. oh… sungguh nikmat sekali…
Di sore hari, saya berjalan keluar. Ada tukang somay lewat. Lalu, tukang bakso datang mengikuti. Saya memperhatikan itu semua. Saya hidup. Mereka hidup. Langit berwarna jingga terang. Senja sudah datang. Udara segar. Sambil memejamkan mata, saya merasakannya… oh.. sungguh nikmat sekali…
Selalu Beserta Kita
Sesungguhnya, kenikmatan selalu beserta kita. Ia menempel di dalam kehidupan. Ia melekat di dalam kesadaran. Kenikmatan adalah ciri mendasar dari kesadaran dan kehidupan itu sendiri.
Kita hanya perlu memperhatikannya. Kita hanya perlu berhenti, dan merasakannya. Saat bernapas, ada kenikmatan, asal kita menikmatinya. Saat duduk dan berdiri, juga ada kenikmatan, asal kita juga memperhatikannya.
Inilah tradisi Yoga tertinggi. Tidak ada tempat khusus. Tidak ada posisi tubuh spesial yang harus dipertahankan. Cukup disini dan saat ini, perhatikan kehidupan,.. lalu nikmati…
Kehidupan, Kesadaran dan Kenikmatan
Ketiga kata ini adalah sama. Kehidupan adalah kesadaran. Kenikmatan selalu terkandung di dalamnya. Sekali lagi, kita hanya perlu berhenti.. dan memperhatikannya..
Di dalam tradisi Yoga, ini disebut juga sebagai Satchitananda. Ini terdiri dari tiga kata. Sat berarti keberadaan, atau kehidupan. Chit berarti kesadaran. Ananda berarti kenikmatan yang meluap.
Sesungguhnya, ini adalah diri kita yang asli. Ia berada sebelum pikiran dan perasaan yang datang serta berlalu. Inilah keadaan batin yang kosong, sadar sekaligus tanpa batas ruang dan waktu. Diri kita adalah keabadian. Disinilah kenikmatan sejati sungguh ada, yang tidak tergantung pada rangsangan dari luar.
Tuhan
Lebih dalam dari itu, Tuhan juga selalu ada di dalam kehidupan, kesadaran dan kenikmatan. Keempat kata itu, sesungguhnya, mengacu pada hal yang sama. Tuhan, dengan kata lain, adalah Satchitananda. Tak ada keterpisahan sedikit pun.
Keterpisahan hanya merupakan ciptaan pikiran kita. Ia tidak ada di dalam kenyataan. Ia tidak ada di dalam semesta kehidupan. Menjadi tercerahkan berarti bangun dari ilusi keterpisahan yang menjadi sumber derita dan konflik antar mahluk.
Ketika Tuhan dipisahkan dari kehidupan, kedunguan lahir. Orang memuja Tuhan, tetapi merusak kehidupan. Orang memuja agama, tetapi menyiksa manusia. Inilah yang kita saksikan setiap harinya di Indonesia.
Syukur Tiada Tara
Berhenti…. dan menikmati. Tak perlu posisi khusus. Tak perlu tempat dan waktu khusus. Disini dan saat ini, berhenti.. lalu nikmati.
Tak perlu juga imajinasi. Tak perlu afirmasi dan visualisasi. Itu semua hanyalah tipuan untuk memeras uang. Cukup disini dan saat ini, berhenti.. lalu nikmati…
Rasa syukur pun lahir di dada. Bukan syukur atas rejeki atau kekuasaan. Tetapi syukur atas kehidupan/kesadaran/Tuhan/Kenikmatan=Satchitananda yang melampaui ruang dan waktu. Syukur sepanjang masa pun menjadi rasa yang menyala alami di dada.
Melampaui Penderitaan
Jika kehidupan adalah kenikmatan, lalu darimana penderitaan lahir? Penderitaan adalah ciptaan pikiran. Kita mengenang masa lalu, lalu melekat padanya, atau membencinya. Derita tak ada di dalam kehidupan. Ia adalah ilusi yang lahir dari pikiran.
Sejak kecil, kita dipaksa untuk hidup dalam kata dan konsep. Kita dipaksa untuk menghafal dan menghitung. Hasilnya, kita justru semakin bodoh dan menderita. Kita lupa untuk hidup.
Tradisi Yoga dan Zen mengajak orang untuk menciptakan jarak dengan pikiran maupun perasaan yang ia punya. Diri kita yang sejati bukanlah pikiran dan perasaan yang mudah berlalu. Diri kita yang sejati adalah Satchitananda. Ia berada sebelum pikiran, perasaan, kata dan konsep. Diri kita yang sejati selalu menyatu utuh dengan semua mahluk, dan dengan seluruh semesta kenyataan yang ada.
Mendalami ini berarti kita sungguh menikmati kehidupan. Tak hanya itu, kita juga menghidupi kenikmatan. Setiap tarikan dan hembusan napas adalah kenikmatan. Setiap detak jantung pun adalah kenikmatan. Setiap senyum adalah kemerdekaan.
Sesungguhnya, kita tak pernah berpisah dengan Sang Pencipta, dan juga dengan kenikmatan itu sendiri. Kita hanya perlu berhenti.. dan memperhatikannya…