Oleh Reza A.A Wattimena
Di dalam waktu yang relatif, sudah 11 tahun saya menyentuh Zen. Sudut pandang saya berubah total. Nilai-nilai kehidupan saya pun mengalami revolusi mendasar. Secara keseluruhan, hidup menjadi terasa lebih ringan dan jernih.
Di saat ini, jari jemari saya menyentuh keyboard komputer. Udara sejuk menerpa Jakarta. Cuaca mendung sekaligus menyegarkan. Ada suara musik mengiringi jari jemari saya yang tengah menari. Disini dan saat ini, hidup saya adalah Zen.
Jalan Pencerahan
Zen adalah sebuah kata yang penuh salah baca. Dimulai di India, ia disebut sebagai Dhyana. Merambat ke Cina, ia disebut sebagai Chan. Di Korea, persis karena salah baca, ia dikenal sebagai Seon, atau Son. Kini, di Jepang, dan kemudian ke seluruh dunia, ia menjadi Zen.
Zen berkembang dari tradisi kontemplatif Dharma, terutama Buddhisme yang berkembang di India. Ia bukanlah agama, bahkan jauh lebih mendalam dan penting daripada agama. Agama menekankan kepatuhan dan kepercayaan buta. Zen menekankan pengalaman langsung terhadap kehidupan disini dan saat ini, sehingga orang mengalami pencerahan.
Zen juga unik. Ia tidak melekat pada apapun. Ia mengajak manusia kembali menjadi jati dirinya yang asli, sebelum semua identitas sosial ditempelkan padanya. Ia menggunakan beragam identitas sosial tersebut, tetapi tidak pernah terjebak melekat padanya.
Zen juga mengajarkan untuk tidak melekat pada pikiran maupun emosi yang datang dan pergi. Kedua hal itu adalah sumber derita sekaligus sumber bahagia manusia. Jika kita melekat padanya, maka hidup kita akan terus bergoyang antara derita dan gembira. Lingkaran ini disebut juga sebagai Samsara, dan sungguh melelahkan untuk dijalani.
Jika kita memahami dan mengalami jati diri kita yang asli, maka samsara akan terhindar. Kita menjadi langit untuk semua awan perubahan yang ada. Kita menciptakan jarak dengan identitas, pikiran maupun emosi yang datang dan pergi. Seperti langit, kita menampung semua bentuk awan pikiran yang ada, tanpa penolakan.
Juga seperti laut yang siap menerima ombak, apapun bentuknya. Laut tak pernah takut pada ombak. Begitu pula diri sejati kita tak pernah takut pada ombak pikiran maupun perasaan yang datang dan pergi. Batin seluas langit dan sedalam lautan inilah diri sejati kita, atau diri kita yang sebenarnya.
Ia berada sebelum pikiran muncul. Ia berada sebelum kata dan bahasa. Ia hidup sebelum konsep dan teori dirumuskan. Ia sepenuhnya kosong, sadar dan tak terbatas.
Pencerahan berarti menyadari hal tersebut. Setiap saat, apapun yang terjadi di luar diri, kita menyadari diri kita yang asli. Kita kembali ke titik sebelum pikiran, kata, bahasa dan teori muncul. Kejernihan pun tercipta, sehingga kita bisa melihat keadaan sebagaimana adanya, lalu bertindak sesuai dengan kebutuhan di depan mata.
Kesadaran Ekologis
Diri sejati kita tak terpisah dari seluruh mahluk hidup, dan seluruh alam semesta. Menyadarinya berarti menyadari ketakterpisahan antara segala yang ada. Keterpisahan, sebenarnya, adalah kesalahan cara berpikir. Pencerahan berarti orang bangun dari ilusi keterpisahan tersebut, dan menyadari kesatuannya dengan seluruh eksistensi semesta.
Di titik ini, niat untuk merusak kehidupan lenyap sama sekali. Niat untuk menghancurkan alam, apalagi demi uang dan kenikmatan semata, juga lenyap tak berbekas. Zen, sejatinya, sudah selalu bersifat ekologis. Ia sepenuhnya berjalan harmonis dengan seluruh alam semesta yang ada.
Kehancuran lingkungan terjadi, karena manusia mengira, bahwa ia terpisah dari alam yang menghidupinya. Inilah yang disebut sebagai dualisme subyek dan obyek. Manusia dianggap sebagai subyek, dan alam dianggap sebagai obyek yang siap untuk diperas, demi kebutuhan manusia. Ketika ini dilampaui, dengan memahami sertai mengalami diri kita yang asli, maka niat untuk menghancurkan alam pun lenyap seketika.
Menyentuh Keabadian
Diri sejati kita bisa dialami, ketika kita kembali ke titik sebelum pikiran muncul. Inilah titik keabadian. Ia berada di luar ruang dan waktu, karena keduanya hanyalah ciptaan manusia. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencapai titik tersebut.
Koan adalah jalan tercepat. Ini adalah metode khas Zen. Ia adalah sebentuk pertanyaan untuk membawa manusia pada titik sebelum pikiran muncul. Satu Koan kiranya berbunyi begini, “Jika dunia ini tidak memiliki bahasa, lalu siapakah aku?” Tidak ada jawaban untuk itu.
Kita hanya perlu mengalami dan menyelami “rasa tidak tahu” yang lahir dari pertanyaan tersebut. Rasa tidak tahu tersebut memotong berbagai rumusan. Ia mendorong kita masuk pada keterbukaan. Keterbukaan tak terbatas tanpa konsep inilah diri kita yang sebenarnya.
Ada beragam metode lainnya. Dua buku ini kiranya bisa dijadikan acuan: Naskah Reza, Jantung Hati Zen ; Teori Transformasi Kesadaran Unlimited Di tengah berbagai bencana, akibat dari kerakusan kita di dalam merusak alam, dan derita yang lahir dari kesalahan berpikir, Zen adalah jalan terbaik untuk mempertahankan kehidupan. Tunggu apa lagi?
