
Oleh Reza A.A Wattimena
2002, saya lulus SMA. Sekarang, kita menyebutnya kelas 12. Masa depan terbuka dengan segala kemungkinan. Saya mesti melanjutkan belajar, dan mungkin sambil menemukan pekerjaan sampingan.
Hukum pun menjadi salah satu bidang yang menarik. Saya tertarik dengan beragam isu hak-hak asasi manusia. Pada titik terdalam, hukum juga amat dekat dengan filsafat. Ia bisa membantu hidup banyak orang.
Namun, niat itu redup, dan saya memilih untuk melanjutkan belajar filsafat secara mendalam. Dunia hukum Indonesia begitu busuk. Korupsi membayangi setiap kasus hukum yang ada. Secara umum, hukum berpihak pada penguasa politik dan orang-orang kaya, serta menindas mereka yang miskin.
Saya menulis skripsi pada 2004 tentang filsafat hukum. Saya membandingkan tiga pemikir hukum di dalam tradisi Eropa, yakni Rousseau, Locke dan Habermas. Pada 2006, skripsi itu diterbitkan menjadi buku dengan judul Melampaui Negara Hukum Klasik: Locke-Rousseau-Habermas. Di 2025 ini, buku itu sudah habis terjual.
Hukum Membatasi Kekuasaan
Melihat sejarahnya, hukum memiliki kaitan unik dengan kekuasaan. Aristoteles, seorang pemikir Yunani Kuno, melihat hukum sebagai alat pembatas kekuasaan. Aristoteles membahas konsep hukum di dalam bukunya yang berjudul Politics, atau Politika. Hukum harus dibentuk dengan akal budi manusia, dan bukan semata kehendak penguasa.
Ia melihat setidaknya dua bentuk tata masyarakat (social order), yakni tata masyarakat berpijak pada kekuasaan manusia, dan tata masyarakat yang berpijak pada hukum. Ketika tata masyarakat hanya berpijak pada satu orang penguasa, maka ketidakadilan akan terjadi. Sebaliknya, jika hukum dibuat dengan berpijak pada akal budi, dan masyarakat mengacu padanya, maka keadilan bisa didekati, walaupun tidak pernah mutlak.
Melompat jauh kurang lebih 4000 tahun, Habermas, seorang pemikir Jerman, memiliki pandangan serupa. Hukum hanya bisa sah, jika ia lahir dari proses komunikasi antara manusia yang bebas dominasi dan setara. Ia menyebutnya hukum yang berpijak pada rasionalitas komunikatif (kommunikative Vernunft). “Hukum”, demikian tulis Habermas di dalam bukunya yang berjudul Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats, “membuat dialog-dialog demokratis menjadi kekuasaan politis.”
Hukum yang sudah jadi juga terbuka untuk perubahan. Proses-proses komunikasi di dalam ruang publik bisa menuntut perubahan itu. Keadilan pun bisa didekati dengan meningkatkan mutu sekaligus jumlah proses komunikasi di dalam ruang publik. Inilah kiranya demokrasi yang sehat di dalam masyarakat majemuk yang telah mengalami proses globalisasi, sekaligus revolusi digital.
Hukum Pengabdi Kekuasaan
Pandangan lain tentang hukum juga berkembang, yakni hukum sebagai pengabdi kekuasaan. Secara intuitif, kita bisa bilang, bahwa pandangan ini kiranya bisa menggambarkan apa yang terjadi di Indonesia. Di dalam bukunya yang berjudul Leviathan or The Matter, Forme and Power of a Commonwealth Ecclesiasticall and Civil, Thomas Hobbes menggambarkan proses terjadinya hukum. Ia adalah pilihan yang mungkin, setelah manusia saling berperang dan saling menghancurkan satu sama lain.
Untuk mengindari kehancuran total, manusia memilih satu orang untuk memegang kekuasaan mutlak. Ia pun diberikan kekuasaan mutlak untuk menciptakan serta menjaga tatanan. Satu orang inilah yang disebut sebagai Leviathan. Ia bagaikan monster perkasa dengan kekuatan besar untuk menjaga tatanan.
Hukum adalah ciptaan tangannya, guna menciptakan dan melestarikan tatanan sosial politik yang ada. Hukum bukanlah pembatas kekuasaan, melainkan alat sekaligus pengabdi kekuasaan. Ia adalah ciptaan dari kekuasaan, supaya tatanan yang ada tetap terjaga. Pandangan Hobbes ini dikenal sebagai realisme di dalam filsafat hukum.
Pandangan ini kiranya diperkuat oleh Marx, terutama di dalam bukunya yang berjudul Das Manifest der kommunistischen Partei. Dengan tegas, Marx menulis, bahwa hukum adalah ciptaan kelas yang berkuasa secara ekonomi maupun politik. Dengan begitu, hukum hanya menjadi topeng bagi penindasan kelas dan ketidakadilan struktural yang mengakar di masyarakat. Hukum tidak pernah netral, melainkan dapat dilihat sebagai sebuah medan pertempuran antar kekuatan politik yang ada di masyarakat.
Jadi, di satu sisi, kita memiliki Aristoteles dan Habermas. Mereka melihat hukum secara normatif, yakni sebagai pembatas kekuasaan. Di sisi lain, kita memiliki Hobbes dan Marx. Mereka melihat hukum sebagai alat kekuasaan.
Di dalam dua tegangan pandangan ini, dilema hukum terlihat jelas. Di dalam keseharian, kita pun mengalaminya. Kita berharap, hukum bisa menghadirkan keadilan dengan membatasi kekuasaan yang semena-mena. Kadang, harapan itu menjadi nyata. Kadang, ia hanya menjadi harapan kosong.
Hukum dan Transformasi Kesadaran
Di dalam filsafat Asia, hukum bukan hanya ciptaan akal budi ataupun proses kekuasaan, tetapi juga mengacu pada hukum yang lebih tinggi, yakni hukum kosmos. Para pemikir Asia menyebutnya sebagai Dharma, yakni hukum-hukum universal kenyataan. Dharma menempatkan manusia sesuai dengan jalan hidupnya masing-masing, lalu menghadirkan keadilan bagi tatanan yang ada. Dharma juga menyediakan pengetahuan tentang hakekat terdalam dari kenyataan, yakni sementara, kosong dan sadar sepenuhnya.
Dilema hukum ini bisa dilampaui, jika ada transformasi kesadaran. Hukum tidak hanya bisa dirumuskan dengan bantuan akal budi. Akal budi manusia telah menyempit menjadi akal budi instrumental yang hanya mengabdi pada kekuasaan belaka. Kemungkinan untuk pembebasan melalui komunikasi, seperti pandangan Habermas, juga kiranya amat tidak mungkin.
Tentang hal ini, selama 2023 sampai 2025, saya mengembangkan Teori Transformasi Kesadaran. Teori ini juga memiliki turunan untuk bidang politik dan etika, yakn Teori Politik Progresif Inklusif dan Etika Natural Empiris. Semua saya kumpulkan dalam buku Teori Transformasi Kesadaran Unlimited. Buku ini bisa langsung dilihat disini: https://rumahfilsafat.com/wp-content/uploads/2025/08/teori-transformasi-kesadaran-unlimited.pdf
Untuk melampaui dilema hukum, satu hal mesti dilakukan, yakni transformasi kesadaran. Artinya, persepsi manusia tentang kesadarannya harus diperluas, sehingga ia merasakan seluruh kenyataan sebagai bagian dari dirinya sendiri. Sejatinya, semua manusia perlu melakukan ini. Dalam konteks hukum, para penegak hukum wajib melakukannya.
Praksis hukum pun tidak lagi diletakkan di dalam akal budi. Ia juga akan berhenti menjadi pengabdi kekuasaan yang bersifat semena-mena. Dengan kesadaran seluas kenyataan, manusia akan secara intuitif menggunakan nuraninya untuk membuat keputusan yang tepat, sesuai dengan keadaan sebagaimana adanya di depan mata. Ia tidak akan tunduk pada tekanan kekuasaan yang penuh dengan bau ketidakadilan.
Bagaimana melakukan transformasi kesadaran? Saya mengembangkan sepuluh latihan kesadaran. Ini semua juga bisa dilihat di dalam buku Teori Transformasi Kesadaran Unlimited. Buahnya tidak hanya kejernihan di dalam membuat keputusan, baik hukum secara khusus maupun kehidupan secara umum. Keseimbangan dan kejernihan hidup juga menjadi buahnya…