
Oleh Reza A.A Wattimena
Tukang AC itu datang untuk melakukan servis AC di kamar saya. AC tua itu memang kerap bermasalah. Ia berbunyi aneh, dan kerap kali tidak dingin. Yang datang adalah tukang tua, berusia sekitar 60 tahun.
Saya pun agak heran. Ternyata, ia adalah pemilik usaha servis AC. Sebelumnya, ia punya dua karyawan. Tapi, dalam proses, mereka pergi begitu saja, tanpa memberikan keterangan.
Alhasil, ia harus mengerjakan servis AC sendirian. Ia sebenarnya sudah lelah, dan ingin menikmati masa tua. Namun, ini tidak memungkinkan. Ia tidak menemukan orang yang bisa membantunya.
Saya pun menggali info lebih jauh. Kata beliau, anak muda sekarang malas bekerja. Mereka mau cepat kaya, tetapi tidak mau usaha. Ini amat berbeda dengan generasinya dulu yang kerap bekerja keras, karena dipaksa oleh kebutuhan hidup.
Semi curhat, ia melanjutkan. Generasi sekarang tak percaya proses. Mereka banyak melihat media sosial. Akhirnya, mereka mengira, keberhasilan hidup hanya bisa diperoleh dengan jalan cepat, yakni nampang di dunia digital dengan segala keanehannya.
Generasi Para Idiot
Saya merenungkan percakapan singkat tersebut. Memang, harus diakui, kita hidup di generasi para idiot. Kebodohan dianggap sebagai sesuatu yang baik. Kedalaman berpikir dan hidup berkesadaran dianggap kuno, ketinggalan jaman.
Nietzsche memiliki konsep untuk keadaan ini. Ia menyebutnya sebagai pembalikan semua nilai (die Umwertung aller Werte). Moralitas tuan (Herrenmoral), seperti keberanian dan keperkasaan, dianggap jelek. Moralitas budak (Sklavenmoral), seperti rendah hati dan mengalah, dianggap sebagai nilai tertinggi.
Saya pernah menulis tentang teori jatuh bangunnya bangsa (cek: https://rumahfilsafat.com/2024/06/13/jatuh-bangunnya-bangsa-sebuah-teori/ ). Memang, generasi idiot selalu lahir, justru ketika keadaan damai, dan semua terlihat baik-baik saja. Kedunguan justru bertumbuh, ketika sebuah bangsa maju, dan jatuh ke dalam kesombongan.
Saya pun kembali berkaca. Apakah saya bekerja dengan penuh kesadaran pada proses? Apakah saya terjebak pada budaya mau cepat sukses? Apakah saya termasuk generasi idiot yang menuhankan kedangkalan, dan meremehkan kedalaman?
Saya bekerja untuk mewujudkan panggilan hati. Dorongan hati saya adalah menulis dan mengajar dengan segala cara yang mungkin. Dasar ilmu saya adalah filsafat. Sudah hampir 30 tahun, saya melakukan ini semua. Ada rasa bahagia dan puas terasa di dada.
Secara khusus, saya mengembangkan Rumah Filsafat. Ini adalah komunitas manusia yang berpikir dan berkarya. Tujuannya sederhana, namun inspiratif, yakni mewujudkan dunia yang sadar dan bernalar sehat. Walaupun sederhana, Rumah Filsafat kini aktif menggarami dunia dengan ide-ide pencerahan yang berakar pada filsafat Eropa maupun filsafat Asia.
Karma Yoga
Sewaktu menulis ini, saya sedang membaca Bhagavad Gita. Ini adalah bagian dari karya yang lebih besar, yakni epos Mahabharata. Ia menceritakan kisah sejarah perang antara dua keluarga yang terjadi kurang lebih 7000 tahun yang lalu. Di dalam kisah itu, banyak hal terkait kehidupan ditampilkan, dan direfleksikan secara mendalam.
Satu konsep menarik perhatian saya, yakni Karma Yoga. Ini adalah jalan untuk mencapai pembebasan penuh lewat bekerja. Konsep ini dijabarkan oleh Krishna, ketika ia berbincang dengan Arjuna di medan perang. Arjuna ragu, karena ia harus berperang dan membunuh para guru maupun saudaranya. Krishna mencoba untuk meyakinkan Arjuna
Arjuna adalah seorang ksatria. Tugas ksatria adalah berperang untuk mewujudkan keadilan dan kebajikan. Ia tidak boleh pilih kasih, hanya karena ada hubungan saudara dengan musuhnya di dalam perang. Menjalankan tugas sebagai seorang ksatria adalah tugas Arjuna, sekaligus jalan untuk mencapai pembebasan penuh (Moksha), jika dilakukan dengan penuh kesadaran.
Pembebasan adalah pencerahan itu sendiri. Kedunguan runtuh, dan orang bisa melihat kenyataan sebagaimana adanya. Segalanya adalah kosong, dan terus berubah. Yang tetap hanyalah kesadaran diri murni, yang berada sebelum pikiran. Krishna menyebutnya sebagai Atman, dan Gautama, nantinya, menyebutnya sebagai Buddha.
Sebenarnya, banyak jalan untuk sampai pada pembebasan ini. Orang bisa menempuh jalan intelektual, yakni memahami unsur terdalam kenyataan. Orang bisa menempuh jalan pertapa, yakni mencapai pembebasan lewat jalan meditasi. Ada juga melalui jalan devosional, dimana orang menyerahkan seluruh hidupnya pada satu bentuk proses spiritual tertentu.
Karma Yoga ini unik. Ia amat pas dengan cara hidup manusia abad 21. Kerja menjadi bagian dari jalan pembebasan. Orang tidak perlu melarikan diri ke gunung, atau ke pertapaan, untuk terbebaskan dari kebodohan dan penderitaan.
Di dalam Bhagavad Gita, Krishna melanjutkan. Karma Yoga, sejatinya, adalah jalan tertinggi, terutama untuk para ksatria, seperti Arjuna. Orang bekerja dengan cinta dan pengabdian penuh pada proses. Dengan jalan ini, kebenaran tertinggi akan menyingkapkan diri padanya.
Bekerja dengan Cinta
Mungkin, konsep Karma Yoga terdengar terlalu berat. Saya menyebutnya: bekerja dengan Cinta. C nya harus huruf besar. Orang mengerjakan apa yang menjadi kewajiban sekaligus panggilan hatinya dengan Cinta seluas semesta itu sendiri.
Bekerja dengan Cinta berarti bekerja dengan totalitas. Pekerjaan dilakukan dengan kesadaran penuh. Ia dipilih dengan cermat, dan juga dikerjakan dengan cermat. Totalitas lalu tidak hanya menjadi etos kerja, tetapi juga cara hidup.
Bekerja dengan Cinta berarti melihat pekerjaan sebagai persembahan bagi Sang Hidup. Ia bercokol di dalam segala hal, juga di dalam diri kita. Bekerja pun menjadi sebuah tindakan yang amat mulia. Ada kesucian di dalamnya.
Bekerja dengan Cinta berarti bertekun di dalam proses, dan tidak memikirkan hasilnya. Proses sebaik mungkin itu sendiri adalah hasil yang ingin dicapai. Setiap pekerjaan dilakukan sebagai tujuan mulia suci pada dirinya sendiri. Setiap saat, orang pun mencicipi pencerahan yang menerangi kegelapan batinnya.
Sampai akhir 2025 ini, saya yakin, bahwa saya bekerja dengan Cinta. Setiap karya adalah keluhuran sekaligus kesucian itu sendiri. Setiap karya adalah persembahan untuk Sang Hidup. Hasilnya? Saya tak pernah memikirkannya…