
Oleh Reza A.A Wattimena
Apa pendapat mas Reza tentang Suharto yang diangkat menjadi pahlawan nasional? Beberapa pesan di media sosial masuk ke saya dengan tema tersebut. Sejujurnya, saya tak peduli soal ini. Namun, demi menanggapi beberapa pertanyaan tersebut, saya mulai mencari informasi.
Kesimpulannya cukup sederhana dan jelas. Pemberian gelar pahlawan nasional Suharto adalah sebuah kesalahan cara berpikir, dan hasil dari proses yang korup. Lepas dari segala yang telah ia lakukan, dengan berpijak pada begitu banyak penelitian ilmiah, kita bisa melihat, bahwa banyak kasus pelanggaran HAM dan korupsi yang menempel ke Suharto serta keluarganya. Ia adalah sosok yang kontroversial dan problematis, serta sama sekali tak cocok untuk menjadi pahlawan nasional.
Jaman Edan
Rezim omon-omon gemoy fufufafa memang gemar membuat keputusan-keputusan korup. Rezim ini sudah busuk sejak awal. Mereka seolah tuli pada kritik dan kepentingan rakyatnya. Begitu banyak keputusan sungguh membuat rakyat marah.
Saya pun merasa marah. Ada rasa benci dan jijik muncul di hati. Saya merasakan energi yang kuat di daerah dada dan sekitarnya. Saya yakin, begitu banyak orang di Indonesia, dan bahkan dunia, yang merasakan hal serupa, ketika harus berhadapan dengan rezim korup ini.
Secara global, kita memang hidup di masa kegelapan. Sains dan teknologi memang berkembang. Namun, semua itu dibayar dengan kerusakan alam yang amat dasyat. Harga termahal adalah berkembangnya senjata pemusnah massal sebagai buah dari teknologi dan sains modern.
Secara khusus, Indonesia juga sedang dicekam kegelapan. Hantu korupsi mencekik republik ini sampak ke jantung terdalamnya. Tidak ada pemimpin yang layak dipercaya. Kita seolah tersesat di rimba belantara yang penuh dengan hewan buas.
Sambil dicekam oleh kebencian dan kemarahan besar terhadap para penguasa republik ini, saya membaca sebuah buku. Judulnya Emotional Rescue: How to Work with Your Emotions to Transform Hurt and Confusion into Energy That Empowers You, dan ditulis oleh Dzogchen Ponlop Rinpoche. Saya sudah cukup lama memiliki buku ini. Baru sekitar November 2025 ini, saya ada kesempatan untuk membacanya.
Ia melihat, betapa emosi kerap menyiksa manusia. Kemarahan dan kebencian menusuk dada. Rasa rindu dan cinta yang meluap, sehingga orang kehilangan keseimbangan. Ada tiga mutiara yang ia tawarkan, ketika emosi mencekik, yakni mutiara melepas, mutiara mengubah dan mutiara pembebasan.
Disebut mutiara, karena ia sungguh berharga. Kekayaan dan kekuasaan tidak bisa melepas manusia dari derita yang muncul dari pikirannya. Kenikmatan hanya menunda sesaat, lalu melahirkan rasa hampa berikutnya. Hanya metode yang tepat, yang berharga bagaikan mutiara, yang bisa membebaskan manusia dari siksaan batinnya sendiri.
Melepas
Saya adalah manusia yang tempramen. Sepanjang masa pendidikan formal dulu, kemarahan mewarnai hidup saya. Konflik dengan orang lain, dengan beragam sebab, juga tak terhindarkan. Derita yang diakibatkan juga tak terkira, baik untuk saya sendiri, maupun orang lain.
Tiga mutiara dari Dzogchen Ponlop kiranya amat berharga. Yang pertama adalah mutiara melepas. Ketika emosi kuat mencekik, kita diajak untuk sadar. Artinya, kita tahu, ada suatu energi yang datang, dan siap meledak. Kita mencoba menganalisisnya dengan akal sehat yang kita punya.
Kita mencoba melihat, apa dampak dari kemarahan? Apakah kemarahan akan menyelesaikan masalah? Apakah kita akan diuntungkan? Bagaimana dengan orang lain yang menjadi arah amarah kita?
Begitu pula juga bentuk-bentuk emosi yang lain, seperti cemas, takut, sedih dan sebagainya. Kita bertanya pada diri kita sendiri. Apakah emosi ini bisa membantu hidup saya? Atau justru kehadiran mereka hanya membuat rumit hidup saya?
Dengan analisis semacam itu, kita menyadari semua emosi yang ada. Kita lalu bisa berjarak darinya. Dari jarak tersebut akan muncul kejernihan. Kita lalu bisa melepas emosi tersebut, atau memilih untuk mengikutinya dengan kesadaran penuh.
Mengubah
Mutiara kedua adalah mutiara mengubah. Emosi yang merusak langsung diatasi dengan emosi yang membangun. Ketika kebencian datang, kita menyadarinya. Lalu, kita menerapkan metode untuk langsung mengubahnya, yakni dengan mengingat obyek yang membangun rasa welas asih di dalam diri kita.
Kemarahan diubah menjadi welas asih. Ketakutan diubah menjadi kegembiraan. Metodenya adalah visualisasi gambaran dari ingatan yang melahirkan emosi tertentu, lalu emosi tersebut dipertahankan lewat pengamatan. Emosi merusak pun diubah menjadi emosi-emosi yang menopang kebahagiaan.
Membebaskan
Mutiara ketiga adalah pembebasan. Kita melihat esensi dari semua emosi yang datang. Kita menatap dan mengamati emosi tersebut. Lalu, kita pun sampai pada kesimpulan, bahwa setiap emosi itu kosong pada intinya. Ia bagaikan asap yang bergerak, tanpa pusat.
Setiap emosi dan pikiran hanyalah ekspresi dari kesadaran murni. Kesadaran murni itu berada sebelum pikiran. Ia bersifat kosong, namun sadar penuh. Inilah esensi dari semua emosi, pikiran maupun perasaan, sekaligus merupakan diri kita yang sebenarnya. Sama sekali tak ada yang perlu ditakutkan dari semua emosi yang kita rasakan.
Ketiga mutiara ini bisa digunakan sesuai keperluan. Ada kalanya, kita perlu melepas. Di saat lain, kita perlu mengubah. Di saat lainnya lagi, kita perlu membebaskan. Ketiga mutiara ini akan membawa kita menjadi tuan atas beragam pikiran maupun perasaan yang ada. Ini adalah sebuah pembebasan dari penderitaan.
Sekali lagi, kita perlu terus ingat, bahwa kita hidup di abad kegelapan. Begitu banyak peristiwa di dunia yang akan mengguncang batin kita. Rasa kecewa, marah dan takut akan menjadi emosi kuat di batin banyak orang. Dari semua emosi yang merusak tersebut, kita lalu membuat keputusan-keputusan yang juga merusak. Tiga mutiara dari Dzogchen Ponlop ini kiranya bisa membantu kita, supaya tetap bisa menemukan keseimbangan dan kejernihan di tengah jaman edan ini…