Benda-Benda yang Mendoakan Kita

Gambar dari Sean David Williams

OOO (Object-Oriented Ontology) dan Pemuda yang Dikejar Hutang Pinjol

Oleh A. Rahadian, Esais dan Peneliti budaya.
Pernah memperbaiki kipas angin tanpa obeng.
Ia menulis tentang hubungan antara teologi, benda, dan kesunyian perkotaan,
dan tinggal di Jakarta Selatan.

Badri Widodo dan Iman pada Benda-Benda

Namanya Badri Widodo, guru honorer di sebuah SD negeri di Pasar Manggis, Jakarta Selatan.
Setiap kali ia memperkenalkan diri di pelatihan guru, orang-orang tersenyum kecil — bukan karena leluconnya, tapi karena namanya.
“Wah, hampir kayak Presiden, Pak,” kata mereka.
Badri hanya tertawa sopan. Dalam hati, ia tahu: satu-satunya kesamaan dirinya dengan Presiden ke-7 hanyalah nama dan sepeda — bedanya, sepeda Badri sudah tanpa rem.

“Nama Badri Widodo mungkin terdengar seperti presiden,
tapi nasibnya lebih mirip kursi sekolah: menopang banyak beban, jarang diperbaiki.”

Usianya tiga puluh empat. Ia mengajar PPKn, kadang menggantikan guru agama yang sakit.
Gajinya dua juta rupiah sebulan; utangnya memang tak sebesar proyek Whoosh, tapi cukup untuk membuat malam-malamnya tak tenang — pinjol sudah menagih empat kali lipat dari gaji bulanannya.

Nomor-nomor asing terus mengirim pesan ancaman:

“Badri Widodo bangsat, lunasi tagihanmu. Kami tahu alamat sekolahmu.”

Namun di tengah tekanan itu, Badri punya harta aneh: koleksi buku filsafat bekas dari kios loak di Kwitang — Being and Time, The Phenomenology of Spirit, dan The Speculative Turn¹.
Yang terakhir ia temukan di antara komik dan novel cinta remaja.
“Mungkin takdir,” katanya, sambil menepuk debunya pelan.

Di ruang guru yang catnya mengelupas, Badri sering berbicara sendiri di depan papan tulis — tentang dunia yang tak adil, tentang manusia yang terlalu bangga pada pikirannya, tentang benda-benda yang setia.

“Kita selalu mengira kita mengajar murid,
padahal meja dan papan tulis lebih sabar daripada kita semua.”

Bagi Badri, setiap benda di sekolah itu adalah sahabat: kursi yang goyah, kipas yang berdecit, kapur yang cepat habis. Mereka diam, tapi konsisten. Ia mulai curiga — jangan-jangan benda-benda lebih beriman daripada manusia.

Kota yang Hilang Pusat

Jakarta tahun 2025 adalah kota tanpa pusat.
Harga kebutuhan pokok naik 12 persen, daya beli kelas menengah ke bawah merosot 7,3 persen².
Orang-orang kehilangan kemampuan untuk berharap; politik terasa seperti sandiwara lama, dan optimisme hanya tersisa dalam podcast Deddy Corbuzier.

Bagi Badri, hilangnya harapan itu terlihat jelas di wajah murid-muridnya yang datang ke kelas tanpa senyum.
Ia tertawa getir setiap kali mendengar jargon “Merdeka Belajar.”

“Kami bahkan belum merdeka makan,” katanya, sambil menyalakan kipas rusak.

OOO — Object-Oriented Ontology — lahir dari dunia seperti ini: dunia yang jenuh oleh narasi manusia, muak dengan ego subjek yang terus menjelaskan tapi tak pernah mendengarkan.
OOO tak memberi kelegaan, tapi penghiburan yang aneh — bahwa bahkan ketika kita merasa tak berdaya, kita masih bagian dari dunia yang bekerja dengan caranya sendiri.

Filsafat yang Lahir dari Kelelahan

OOO muncul di awal abad ke-21 lewat pemikiran Graham Harman, Levi Bryant, dan Timothy Morton³.
Ia menolak pandangan modern yang menempatkan manusia sebagai ukuran segalanya.
Dalam OOO, setiap benda punya otonomi ontologis — motor, batu, kabel listrik, bahkan ide: semua memiliki cara berada yang tak dapat direduksi menjadi fungsi bagi manusia⁴.

Levi Bryant menulis:

*“Objects do not wait for humans to represent them; they are already acting, relating, and forming worlds even in our absence.”*⁵
Objek tidak menunggu manusia untuk mewakilinya; mereka sudah bekerja, berelasi, dan membentuk dunia, bahkan tanpa kita.

Timothy Morton menulis dalam Realist Magic:

*“We never really touch objects, and it is precisely in that gap that love for the world begins.”*⁶
Kita tak pernah benar-benar menyentuh benda-benda, dan justru dalam jarak itulah cinta kepada dunia bermula.

Kata-kata itu bagai wahyu bagi Badri.
Ia menatap dinding kelas yang retak dan merasa ada kehidupan di dalamnya — sesuatu yang diam, tapi bekerja.
OOO bukan ingin men-dehumanisasi manusia, tapi menundukkan egonya.
Bahwa manusia bukan pusat ciptaan, melainkan satu simpul kecil di antara miliaran entitas yang saling menopang.

OOO mengajarkan manusia berhenti menjelaskan segalanya,
dan mulai mendengarkan dunia yang diam.

Objek yang Berdoa dalam Diam

Suatu malam, listrik sekolah padam.
Badri menyalakan lilin di ruang guru dan menatap kipas tua di pojok ruangan.
Entah kenapa, ia merasa benda itu bukan rusak — hanya lelah.
Ia tersenyum. “Mungkin benda pun butuh sabat,” bisiknya.

OOO menolak gagasan bahwa benda mati itu mati.
Setiap benda berpartisipasi dalam jaringan realitas, memancarkan daya yang tak selalu terlihat.
Dalam bahasa teologi, ini adalah immanensi ilahi — Tuhan yang bekerja bukan dari luar ciptaan, melainkan dari dalam keterhubungan antar hal⁷.

Malam itu, lilin, meja, buku, dan bayangan di tembok seolah membentuk paduan doa tanpa kata.
Badri tak lagi merasa sendirian.
Barangkali, pikirnya, keselamatan tidak turun dari langit, melainkan tumbuh dari kesetiaan benda-benda yang tetap menjalankan tugasnya tanpa disembah.

OOO dan Roh yang Tersembunyi

Dalam The Ecological Thought, Morton menulis:

*“We do not live on the Earth, but inside a gigantic mesh of interconnection.”*⁸
Kita tidak hidup di atas bumi, tapi di dalam jaring raksasa keterhubungan.

OOO mengajak manusia berhenti melihat alam sebagai properti, dan mulai mengakuinya sebagai komunitas kosmik.
Benda-benda bukan hamba, tapi rekan ciptaan.
Mungkin di sanalah mukjizat sejati bekerja: bahwa Tuhan tidak mencipta dunia sekali untuk selamanya,
melainkan menegakkannya setiap detik melalui hubungan antar hal-hal kecil.

Ketika manusia berhenti menjadi pusat,
setiap entitas menjadi tempat bagi kehadiran ilahi.
Motor yang menunggu di bawah hujan, kursi yang menyangga tubuh letih, papan tulis yang setia menunggu kapur —
semuanya adalah altar kecil, tempat dunia berdoa untuk tetap ada.

Mungkin Beginilah Tuhan Menyelamatkan Dunia

Pagi itu, Badri menyalakan kipas tua di ruang guru.
Untuk pertama kalinya dalam sebulan, kipas itu berputar.
Ia tersenyum — seperti menyaksikan mukjizat kecil tanpa upacara.

“Terima kasih,” bisiknya, entah kepada listrik, mesin, atau Tuhan.

OOO bukan teologi, tapi diam-diam membawa manusia ke wilayah religius:
kesadaran bahwa yang ilahi mungkin bekerja dari dalam hal-hal remeh.
Tuhan mungkin tak lagi berbicara lewat nabi atau kilat,
melainkan lewat benda-benda yang setia: motor yang tak mogok, pipa yang tetap mengalir, papan tulis yang tak retak.

Keselamatan, dalam dunia OOO, bukan turun dari langit,
tapi tumbuh dari kesetiaan materi terhadap dirinya sendiri.
Tuhan tak perlu turun tangan dari atas,
karena tangan-Nya telah menjelma dalam jaringan hal-hal yang saling menopang.
Ia adalah arus listrik, gravitasi, debu, udara, dan cinta —
yang membuat dunia tetap berlangsung.

Dan di Jakarta yang penat ini,
di antara pinjol, beton, dan utang,
mungkin yang paling kita butuhkan bukan lagi penjelasan besar,
melainkan keberanian untuk mendengarkan dunia
yang sedang bekerja menyelamatkan dirinya sendiri.

Sebab mungkin, Tuhan tak lagi memerintah dunia dari atas langit,
melainkan merawatnya dari dalam benda-benda.

Catatan

  1. Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency (London: Continuum, 2008).
  2. Badan Pusat Statistik (BPS), Survei Sosial Ekonomi Nasional 2025, Jakarta, hlm. 44.
  3. Graham Harman, The Quadruple Object (Winchester: Zero Books, 2011).
  4. Levi Bryant, The Democracy of Objects (Ann Arbor: Open Humanities Press, 2011).
  5. Levi Bryant, The Democracy of Objects, hlm. 72.
  6. Timothy Morton, Realist Magic: Objects, Ontology, Causality (Ann Arbor: Open Humanities Press, 2013), hlm. 19.
  7. Catherine Pickstock, “Matter and Sacrament,” dalam Anglican Theological Review, Vol. 98 (2016), hlm. 271–290.
  8. Timothy Morton, The Ecological Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2010), hlm. 15.

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.