Mencium Bau Bangkai Busuk

Gambar karya Man Ray (Emmanuel Radnitzky), Joan Miró, Yves Tanguy, dan Max Morise.

Oleh Reza A.A Wattimena

Katanya, dia sudah menjadi suci. Dia berubah menjadi religius. Pakaiannya berubah. Ia bahkan meninggalkan teman-teman lama, dan berteman dengan orang-orang baru yang “terlihat” suci juga.

Ibadahnya kuat dan sering. Ucapannya selalu mengutip buku yang “dianggap” suci. Ia juga gemar membawa nama Tuhan. Kini, bisnisnya pun juga terkait dengan agama, dan tampak membawa limpahan uang yang tak jelas asal usulnya.

Begitu cerita seorang teman. Kita sedang bernostalgia. Ada teman lain yang mendadak berubah “terlihat” suci. Saya hanya tertawa, dengan secuil rasa mual di perut.

Bernalar Kritis

Selama lebih dari 25 tahun, saya dilatih di dalam tradisi berpikir kritis. Tradisi ini berpijak pada tiga pemikiran besar, yakni filsafat Nietzsche, pemikiran Karl Marx dan tradisi Teori Kritis Frankfurt. Dasar berpikirnya sederhana. Apa yang tampak tidak pernah merupakan kenyataan sebenarnya, dan selalu ada unsur penindasan di dalamnya.

Tradisi Asia sudah lama mengajarkan ini. Dunia adalah maya, artinya ilusi. Ia tampak ada, tetapi tidak sungguh-sungguh ada. Semuanya, sesungguhnya, hanyalah tarian bayangan yang terus berubah secara abadi.

Penelitian neurosains juga sampai pada kesimpulan serupa. Warna, bau dan bentuk adalah ciptaan struktur biologis manusia. Dengan tubuh dan struktur kesadaran yang kita punya, kita menciptakan kenyataan, sesuai dengan kebutuhan pelestarian diri kita sebagai spesies. Inilah pola kenyataan yang sebagaimana adanya.

Di dalam filsafat sosial, penelitian Michel Foucault kiranya sudah cukup dikenal. Baginya, hubungan antar manusia adalah sebuah hubungan-hubungan kekuasaan (power relations) yang tak sejajar. Selalu ada penindasan di dalamnya, entah terlihat, ataupun tidak. Pengetahuan, baginya, pun adalah sebentuk hubungan-hubungan kekuasaan yang menyembunyikan ketidakadilan.

Hakekat Kemunafikan

Di Indonesia, berpikir kritis adalah sesuatu yang langka. Akibatnya, kesucian hanya menjadi topeng yang tak pernah disingkap. Dengan klaim agamis dan kesucian, orang menipu serta mencuri. Inilah, sesungguhnya, merupakan hakekat dari kemunafikan.

Agama lalu menjadi topeng kemunafikan sekaligus kebusukan. Ini, sebenarnya, bukanlah hal baru. Sudah terlalu lama, agama bermain mata dengan kekuasaan. Ia justru menjadi alat untuk melestarikan kebodohan dan penindasan.

Indonesia jelas sudah kenyang dengan pengalaman ini. Sayangnya, kita juga tak sungguh belajar dari pengalaman kita. Politik dibalut dengan agama untuk menipu rakyat. Ketika para penguasa politik dan agama hidup makmur, rakyat terus tercekik dalam kebodohan dan kemiskinan.

Orang juga hobi jualan agama. Tidak ada barang yang dijual. Tidak ada nilai tambah yang diberikan. Yang dijual hanya mitos yang berpijak pada kebodohan, ketakutan serta kesalahan berpikir yang mengakar.

Maka dari itu, kita harus memutus hubungan antara agama dan kesucian. Agama adalah organisasi manusia dengan tujuan politik dan ekonomi. Cara-cara curang juga kerap kali digunakan untuk mencapai tujuan itu, mirip dengan partai politik. Di abad 21 ini, agama lebih dekat dengan kemunafikan, daripada dengan kesucian.

Tentang Kesucian

Lalu apa sesungguhnya arti kesucian? Kesucian tidak ada kaitannya dengan agama, walaupun konsep dasarnya terselip tersembunyi di dalam semua agama. Kesucian juga tidak ada kaitannya dengan alat kelamin atau hubungan seksual. Orang bisa tidak beragama, suka bercinta, dan mencapai kesucian yang sejati.

Kesucian sebenarnya tak pernah jauh dari manusia. Kesucian sudah merupakan keadaan alamiah setiap mahluk. Sebagai manusia, karena pandangan yang tak tepat, kita melupakannya. Kita mengejar obyek-obyek luar, fanatik beragama, melekat padanya lalu menderita, kerap kali dalam penyangkalan dan kemunafikan.

Secara universal, kesucian berarti orang memahami dirinya yang asli, dan siap menari di dalam kehidupan. Diri kita yang asli berada sebelum pikiran, konsep, teori dan rumusan apapun. Ia adalah kesadaran murni yang mencerap dunia apa adanya. Ada kejernihan dan kedamaian di dalam diri kita yang asli.

Menari di dalam kehidupan berarti orang siap menghadapi segala perubahan yang terjadi di dalam kenyataan. Ada untung, dan ada buntung. Ada bahagia, dan ada yang derita. Ia menari di atas semuanya, menikmati semuanya dan tetap berada sebagai dirinya yang asli.

Pada tingkat mutlak, semuanya adalah kesadaran murni. Sebenarnya, tidak ada kata untuk ini. Ia berada sebelum kata dan bahasa buatan manusia. Tidak ada orang lain dan mahluk lain. Semua adalah bagian dari diri kita yang asli.

Ini mungkin ilusi terbesar yang dimiliki manusia. Kita merasa terpisah dari mahluk lain. Bahkan, kita merasa lebih tinggi dari mereka. Di dalam keterpisahan, kita saling membenci dan membunuh satu sama lain.

Di Indonesia abad 21, kita harus belajar berpikir kritis. Kemunafikan bertebaran di udara. Ketulusan menjadi barang langka. Jangan mau tertipu oleh klaim-klaim kesucian agamis yang tidak dibarengi dengan ketulusan dan cinta yang bersifat universal. Ada bangkai busuk tersembunyi di dalamnya…

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.