Madilog dan Anak-Anak Tuhan di Jakarta Selatan

Gambar dari https://suaramuslim.net/riwayat-hidup-bapak-republik-indonesia/

Oleh A. Rahadian, esais dan peneliti budaya. Karyanya berfokus pada hubungan antara ide, estetika, dan politik intelektual di Indonesia modern. Tulisan-tulisannya pernah muncul di Basis, Tirto, dan Jurnal Kalam. Ia tinggal di Jakarta.

Anak-Anak Tuhan dan Rak Buku yang bertuah

Mereka mencari makna bukan di langit, melainkan di antara rak buku dan etalase kopi. Mereka berbicara tentang struktur sosial yang menindas dengan nada sakral—seolah setiap kalimat Gramsci adalah ucapan Nabi Musa.

Itulah “anak-anak Tuhan” di Jakarta Selatan: generasi yang menemukan tanah suci di toko buku independen, mengganti lektor dengan moderator diskusi, dan menukar Mazmur dengan Madilog. Mereka datang dengan  keyakinan baru: bahwa keselamatan bisa dicapai lewat bacaan yang tepat.

Di ruang diskusi sempit di Pasar Santa, seseorang membaca keras-keras kalimat pembuka buku itu; di pojok ruangan, kamera mirrorless merekam segalanya—bukan untuk dokumentasi akademis, tapi untuk reels. Sementara di luar, gerimis jatuh di trotoar tempat mereka memarkir Vespa dan motor listrik.

Bagi sebagian kalangan muda ibukota , Madilog adalah mobil sport intelektual: barang berat tapi cantik, keras kepala tapi keren di feed. Ia mungkin tidak sering dibaca, tapi selalu dipamerkan. Sebuah tanda keanggotaan dalam gereja baru: iman pada progresivitas, kehausan akan makna, dan sedikit rasa bersalah karena lahir di tengah kenyamanan.

Menurut survei New Naratif (2024), penjualan buku politik kiri di toko-toko independen meningkat 40 persen dalam lima tahun terakhir—dan Madilog menempati posisi teratas.¹ “Di sini,  buku bisa jadi fashion statement yang bertuah” kata seorang kurator literasi di Panglima Polim. “Punya Madilog di rak buku  seperti punya Maserati ideologis—berkilau, jarang dikendarai.”

Anak-anak Tuhan itu tak berdoa pada santa, tapi pada dialektika.
Mereka percaya nalar bisa menyelamatkan dunia, atau setidaknya memberi makna di tengah penjajahan algoritma.

Nama yang Menyelamatkan: Mengapa Ia Memilih “Ilyas Husein”

Selain bernama Ibrahim Datuk Sutan Malaka , pemuda itu  juga dikenal  dengan nama: Ilyas Husein. Itu nama yang ia pilih sendiri—bukan untuk menyamar semata, tapi untuk bertahan sebagai manusia di tengah dunia yang ingin membunuhnya. Nama itu sederhana, nyaris anonim, seperti batu di jalan; tak ada yang akan menoleh dua kali jika mendengarnya.

Dia punya masalah : Dia  tidak lagi bisa menyebut dirinya Tan Malaka. Nama itu sudah menjadi legenda berbahaya: diburu Belanda, diawasi Jepang, dicurigai kawan sendiri. Setiap huruf “Tan Malaka” membawa ancaman kematian.

Maka ia menjadi Ilyas—bukan tokoh revolusi, tapi lelaki pengembara dengan selembar buku dan segenggam dendam. Dengan nama itu ia bisa menulis, berjalan di pasar tanpa dicurigai, berbicara dengan petani tanpa membuat mereka gugup. “Ilyas” adalah kemerdekaan kecil yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri: nama yang bisa hidup di antara rakyat, nama yang bisa menulis tanpa dikenali, nama yang tidak lagi punya sejarah selain pikirannya.

Di bawah nama itu, ia menulis Madilog—bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai orang buangan yang ingin membangun rumah di dalam kepala manusia lain. Dan seperti semua nama samaran, “Ilyas Husein” bukan penipuan; ia adalah bentuk kasih sayang terakhir kepada bangsa yang belum siap mengenal nama aslinya.²

Pada 1942–1945, Asia Tenggara hidup dalam kontradiksi. Jepang datang dengan slogan “Asia untuk Asia,” tapi menjajah lebih brutal daripada Belanda.³ Soekarno dan Hatta bernegosiasi; Ilyas bergerak di bawah tanah.

Di Sumatera Barat dan kemudian di Lampung, ia hidup dengan nama samaran itu, berpindah setiap kali tentara Jepang mencurigai keberadaannya. Ia menulis dalam keheningan malam, sementara di luar, perang membakar dunia. Baginya, setiap dentuman senjata di Pasifik hanyalah gema dari sesuatu yang lebih dalam: perang antara nalar dan kepasrahan.

Namun di balik semua strategi dan sembunyi-sembunyi itu, ada manusia yang sunyi—dan marah.

Ilyas: Pikiran yang Tak Bisa Pulang

Suatu hari kamis di malam gersang yang tidak terlalu sunyi, Ilyas menatap langit Sumatera dan berpikir betapa jauh jarak antara ide dan tanah air. Ia rindu kampungnya di Pandan Gadang, tapi tahu, jika ia kembali, ia akan ditangkap atau dibunuh. Dalam kesepian itu, ia mulai menulis—bukan hanya untuk menjelaskan dunia, tapi untuk membalas dunia.

Di kepalanya, kemerdekaan bukan sekadar bendera, melainkan kejelasan berpikir.
Ia ingin bangsanya berdiri tegak bukan karena perjanjian politik, tapi karena logika.
Namun di bawah keyakinan itu tersembunyi sesuatu yang lebih tajam: dendam—
dendam terhadap kolonialisme yang merampas martabat lewat kebodohan yang ditanamkan pelan-pelan;
dendam terhadap kaum terpelajar yang sibuk berpidato tapi jarang membaca kenyataan;
dan dendam terhadap dirinya sendiri, karena pernah percaya bahwa satu kepala bisa menebus sejarah.

Ia menulis dengan ritme berulang yang mirip dzikir tapi nadanya getir.
Dalam satu catatan kecil yang kemudian ditemukan setelah kematiannya, ia menulis:
“Kita tak hanya dijajah senjata, tapi juga oleh rasa rendah diri terhadap pikiran sendiri.”⁴
Mungkin di sanalah seluruh Madilog berakar—bukan dari teori, tapi dari rasa kalah yang ingin ditebus dengan pikiran yang tak lagi bisa ditaklukkan.

Ia tahu tulisannya mungkin tak akan dibaca siapa pun.
Namun, seperti orang yang menulis surat kepada masa depan, Ilyas menulis untuk republik yang belum ada, dengan keyakinan bahwa pikiran adalah satu-satunya rumah yang tak bisa diasingkan.

Setelah menyelesaikan satu bab, ia keluar rumah, menatap ke arah barat—ke arah Eropa yang sedang terbakar perang, ke arah dunia yang kehilangan akal.
Ia tersenyum kecil.
“Barangkali,” pikirnya, “akal sehat memang selalu lahir di antara reruntuhan.”

Lalu ia kembali ke mejanya, dan menulis kalimat yang kelak menjadi jantung bukunya:

“Berpikir dengan logika bukan sekadar soal otak, tetapi soal keberanian menjadi manusia.” (Madilog, h. 16)

Mengenali Roh dalam Pendahuluan Madilog : Logika Sebagai Revolusi

Madilog (Pustaka Rakjat, 1946) terdiri dari 339 halaman, dengan pendahuluan sepanjang 18 halaman (1–18).
Bagian ini bukan sekadar pengantar; ia adalah manifestasi iman rasional.

“Bangsa yang masih berpikir dengan mistika tidak akan mampu berdiri di atas kaki sendiri.” (Madilog, h. 3)

Bagi Ilyas, penjajahan sejati bukan pada tubuh, melainkan pada cara berpikir.
Mistika—segala bentuk penerimaan buta terhadap nasib dan kekuasaan—adalah rantai yang tak terlihat.

“Dengan otak yang berpikir mistika, orang tidak dapat membangun jembatan, membuat mesin, atau mengerti ilmu bumi.” (Madilog, h. 5)

“Mistika menjadikan manusia budak hal-hal yang tidak dapat dibuktikan; logika menjadikannya tuan atas kenyataan.” (Madilog, h. 7)

Pendahuluan Madilog adalah panggilan perang spiritual: lawan bukanlah roh jahat, tapi kebiasaan berpikir yang salah.
Rasionalitas dijadikan bentuk kesalehan baru—berpikir sebagai ibadah.

Kekuatan pendahuluan Madilog ialah keberaniannya: memindahkan revolusi dari medan perang geriliya ke arena pikiran.
Tentu saja di balik kejeniusan Tan Malaka itu tersimpan kenaifan yang indah.

“Kalau kepala sudah berpikir dengan logika, maka tangan pun akan bekerja dengan logika.” (Madilog, h. 9)

Ilyas dengan polos percaya perubahan mental akan otomatis melahirkan kemerdekaan.
Sebuah ide yang indah, tapi mengabaikan kenyataan bahwa logika tidak memberi makan lambung yang kosong.

Ignas Kleden belakangan menyebut Madilog sebagai “rasionalisme yang bermimpi menjadi etika.”⁵
Ilyas Husein ingin mengganti iman dengan akal, tapi gaya tulisnya kadang terdengar seperti khotbah.
Ia ingin menghapus mitos, tapi menulis logika dengan nada religius.

Madilog Hari Ini: Dari Ide Jadi Ikon

Kini, delapan dekade kemudian, Madilog telah bereinkarnasi sebagai barang prestise intelektual.
Ia berdiri di rak toko buku antara Sapiens dan Capital in the 21st Century,
dikutip di Instagram dengan latar kopi hitam,
dan menjadi pelengkap gaya hidup bagi generasi yang percaya bahwa berpikir adalah bentuk branding.

Namun Tan Malaka barangkali akan memaafkan itu.
Ia menulis untuk bangsa yang bahkan belum mengenalnya.
Mungkin ia akan bahagia melihat anak-anak Tuhan di Jakarta Selatan membaca bukunya sambil tersenyum di kedai buku,
karena di balik semua gimmick itu, mereka sedang melakukan hal yang sama yang dulu ia lakukan di hutan:
berusaha berpikir di tengah penindasan.

Pada gagasan puncaknya, Madilog bukan saja kitab tentang logika, tapi tentang batas logika itu sendiri.
Ilyas menulis dengan keyakinan bahwa nalar dapat menjelaskan dunia,
namun setiap halaman Madilog justru memperlihatkan bagaimana dunia selalu lolos dari jaring pikiran.

Tan Malaka. yang kala itu berusia 43 tahun, tampaknya sudah cukup matang untuk percaya bahwa semua hal memiliki sebab, bahwa dengan cukup waktu dan ketekunan, kegelapan bisa dijelaskan.
Namun di situlah muncul keterbatasan epistemiknya: keyakinan bahwa mengetahui sama dengan memahami; bahwa pengetahuan dapat menebus kenyataan.
Padahal, seperti segala sistem berpikir, Madilog pun berdiri di atas fondasi yang bisa goyah—asumsi bahwa dunia bersedia tunduk pada urutan sebab-akibat yang bisa dipetakan.

Ilyas menolak mistika karena dianggap kabur, tapi ia tak sepenuhnya sadar bahwa rasionalitas pun adalah bentuk kabut—lebih halus, lebih teratur, tapi tetap menutupi sesuatu.
Logika menjelaskan bagaimana sesuatu terjadi, tapi tak pernah bisa menjawab mengapa manusia menginginkannya.
Ia bisa menjabarkan revolusi, tapi tidak bisa menjelaskan kesepian seorang manusia di tengah revolusi itu.
Ia bisa menalar kebebasan, tapi tidak bisa mendefinisikan apa rasanya bebas.

Itulah batas epistemik Ilyas: ia ingin menjadikan akal sebagai peta dunia, tapi ia sendiri tersesat di dalamnya.
Ia tahu dunia ini kacau, dan mencoba menatanya lewat bahasa sebab-akibat—namun setiap baris yang ia tulis menegaskan bahwa keteraturan itu hanyalah cara manusia melawan ketidakpastian.

Di titik itu, Madilog menjadi karya yang menyentuh karena ketidaksempurnaannya.
Ia menunjukkan bahwa berpikir bukan jalan keluar, melainkan cara manusia menanggung absurditas dengan martabat.
Ilyas tidak menemukan jawaban; ia menemukan batas—dan dari batas itulah kebijaksanaan muncul.

Mungkin itu sebabnya anak-anak Tuhan di Jakarta Selatan masih membaca—atau sekadar memamerkan—buku ini.
Karena di balik semua retorika  rasionalitasnya, Madilog menawarkan pengakuan yang paling jujur:
bahwa bahkan logika, yang tampak paling kuat, tidak akan menyudahi penderitaan manusia, ia hanya mereka-reka  penjelasan tentang asal-usul penindasan.
Dan akhirnya dengan cara yang cendikia, Ilyas mengajarkan kita bahwa menerima ketidaktahuan juga bagian dari berpikir; karena berpikir bukan berarti tahu segalanya, tapi berani menatap yang belum diketahui tanpa menyerah pada ketakutan.

Catatan

  1. New Naratif dan Kilas Ide, “Tren Bacaan Politik di Indonesia,” laporan riset pembaca independen, 2024.
  2. Harry A. Poeze, Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia (Leiden: KITLV Press, 1988), 222–228.
  3. Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1965), 214–215.
  4. Arsip surat Hasan (Tan Malaka) kepada temannya di Padang, 1943, KITLV Leiden.
  5. Ignas Kleden, Sastra dan Politik: Esai-Esai Budaya (Jakarta: LP3ES, 1999).

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.