Video adalah Esensi Spiritualitas

Oleh Thubten Wangchuk (Gede Agustapa), Sedang menekuni ajaran Buddha di bawah bimbingan Guru Khenpo Thubten Dorji Rinpoche

Di semua tradisi Dharma (Hindu, Buddha dan Jaina), mereka sepakat, bahwa semua penderitaan yang dialami oleh manusia dan semua makhluk penyebabnya adalah avidya. Avidya adalah bahasa sanskerta. Bahasa Palinya adalah Avija. Avidya sering diterjemahkan sebagai kebodohan atau ketidaktahuan. Namun menterjemahkannya seperti itu bukanlah hal yang tepat, jika mengaitkannya dengan metode dan realiasi. Terjemahan yang tepat adalah Tidak Melihat.

Kata Vidya diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi Widya berasal dari akar kata vid artinya adalah melihat, mengetahui, menyadari. Ini adalah sebuah kata kerja abstrak yang artinya pekerjaan yang dapat dilakukan secara pasif. Dapat dilakukan tanpa melakukan apapun, tanpa badan ini bergerak. Hanya dengan menjadi sadar, hadir, ada dan melihat. Kata Veda juga berasal dari akar kata yang sama dan karenanya Veda sebagai pustaka dapat diterjemahkan sebagai Kumpulan pengetahuan. Namun Ketika menjadi pengetahuan ia bukan lagi menjadi sebuah penglihatan melainkan menjadi kumpulan informasi. Di dalam Bahasa Indonesia kata Widya memiliki arti ilmu pengetahuan.

Vidya, dalam Bahasa latin, menjadi Videre dalam bentuk kata dasarnya, dan menjadi Video, ketika digunakan oleh orang pertama tunggal, yang artinya saya melihat. Menariknya, dalam Bahasa Rusia, melihat adalah Vidith dalam bentuk kata dasarnya, dan ketika digunakan sebagai saya melihat menjadi Visu. Begitu juga kata visual, visi, vision, semuanya berkaitan dengan melihat dan penglihatan.

Mengapa memahami kata ini penting? Sebab para Rsi, para Yogi para Guru yang, memiliki realisasi, dan kemudian mengajar selalu menggunakan Bahasa yang tepat, mereka sangat presisi. Dengan begitu, murid dapat dengan cepat menangkap maksudnya, dan tanpa salah memahami. Namun ketika kata itu digunakan oleh masyarakat umum, oleh akademisi dan kaum terpelajar, tapi tanpa realisasi, kata tersebut mengalami pergeseran makna. Setelah beberapa generasi, atau setelah banyak generasi, makna sesungguhnya terlupakan. Hal yang dimaksud oleh Guru di masa lalu menjadi dipahami berbeda oleh generasi sekarang.

Mengapa dari Avidya (Tidak Melihat) muncul segala penderitaan? Karena Tidak Melihat kenyataan yang sebenarnya, maka muncullah persepsi tentang adanya diri. Dalam tradisi Samkya, persepsi tentang diri ini disebut ahamkara. Aham artinya aku, dan kara artinya bentukan atau formasi. Kata ahamkara menjadi angkara dalam Bahasa Indonesia. Dalam tradisi Yoga, Rsi Patanjali menyebutnya sebagai Asmita, rasa ke akuan (mi), Bahasa latin disebut ego (aku). Sakyamuni Buddha menyebutnya atta.

Dari “aku” muncul bayangannya yaitu “milikku.” Kemudian muncul pihak lain, milik orang lain. Muncul perbandingan, iri hati, keinginan menggengam, takut kehilangan, kekhawatiran, kemarahan dan sebagainya. Lebih dalam lagi, karena salah mengira

adanya diri, maka muncullah kematian dan kelahiran kembali di berbagai alam penderitaan. Singkatnya, segala penderitaan para makhluk di berbagai alam samsara muncul karena Tidak Melihat (Avidya).

Obat dari segala penderitaan itu adalah Penglihatan atau Melihat, Vidya, Vidyo, Video. Ketika seseorang melihat dengan jelas ke dalam dirinya, dan ke dalam segala fenomena, ia tidak menemukan siapa pun di sana. Di momen itu lah Sidharta Gautama tidak ada lagi. Tapi penglihatan ada, keterjagaan yang kuat dan selalu ada (Buddha) hadir disana menggantikan Sidharta. Sejak itu lah beliau adalah Buddha, yang Terjaga.

Menggunakan perumpaan ombak dan samudera; ombak tidaklah benar-benar ada. Ombak hanyalah fenomena dari Samudra. Seluruh ombak tidak terpisahkan dari Samudra yang maha luas itu. Setiap ombak adalah Samudera itu sendiri. Sidharta Gautama adalah ombak, dan Buddha adalah Samudra. Ia menyadari, bahwa ia adalah samudera sekaligus ombak di saat yang sama. Ia melihat tidak ada diri pada Sidharta juga pada segala sesuatu yang lain. Oleh karenanya, ia tak terpisahkan dengan ruang yang maha luas ini, dan dengan segala sesuatu yang ada ini: tak terbatas, tak berawal, tak berakhir, tak ada kematian dan tak ada kelahiran kembali, namun selalu ada.

Buddha, dengan kekuatan tapanya, tidak saja melihat kekosongan dan kesatuan segala sesuatu, tapi beliau juga melihat dengan jelas, dan dengan terang benderang, bagaimana muncul dan lenyapnya segala fenomena disebabkan oleh kesalingtergantungan antara sebab dan kondisi. Hal-hal mewujud menjadi ada dikarenakan ada sebab dan ada kondisi yang mendukung untuk ada. Hal-hal berhenti menjadi ada atau lenyap, dikarenakan sebabnya untuk tetap ada, dan kondisi untuk tetap ada, sudah tidak ada lagi.

Tidak berhenti pada realiassinya, Buddha juga mengajarkan dan menyusun kurikulum pengajaran. Beliau memulai dari empat kebenaran mulia, jalan mulia beruas delapan dan sebagainya. Beliau mengajar dari desa ke desa, dari tempat pertapaan ke tempat pertapaan lainnya, dari kota ke kota, dari Kerajaan ke Kerajaan. Beliau mengajar ke semua kalangan. Ia membantu para makhluk untuk terbebaskan dari lingkaran penderitaan kelahiran Kembali. Oleh karenanya, beliau disebut Anuttara Samyak Sambuddha yang jika diterjemahkan menjadi Keterjagaan yang tertinggi, sempurna dan benar.

Salah satu metode meditasi yang Buddha ajarkan disebut Vipasana atau Vipasyana dalam Bahasa sansekerta yang artinya Melihat dengan Jelas, dengan seksama, dengan terang benderang. Seluruh ajaran Buddha, seluruh metode, bahkan dari berbagai tradisi Dharma, adalah untuk melihat, dan tetap berada pada penglihatan tersebut. Oleh karenanya, Melihat adalah esensi dari spiritualitas, khususnya spiritualitass dari tradisi Dharma. Lihat, tetap Melihat, tetap berada pada penglihatan itu, adalah inti ajaran, sekaligus metode, latihan dan juga hasil.

Itulah sebabnya pencerahan spiritual sering dilambangkan dengan mata.

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.