
Oleh Reza A.A Wattimena
Bagaimana rasanya jadi Bung Reza? Begitu tanya seorang sahabat, ketika kami sedang bekerja di Solo. Ia bercerita, betapa hidupnya amat rumit. Ia adalah pejabat tinggi negara setingkat menteri. Setiap saatnya, begitu banyak tugas yang mesti ia kerjakan. Ini ditambah dengan unsur politik korup kekuasaan yang terus menekannya dari berbagai sisi, terutama dari musuh-musuh ideologis maupun politiknya.
Sulit sekali menemukan waktu untuk tenang. Tidur menjadi teman yang rapuh. Pelariannya hanyalah berolahraga, sehingga ia merasa amat lelah, dan terbakar habis (burnt out) sebagai manusia. Sebaliknya, ia melihat, bahwa hidup saya begitu sederhana. Banyak waktu di rumah untuk menulis serta membaca, dan sesekali memberikan kuliah umum.
Di Jakarta, teman lain bercerita. Karirnya sedang naik. Ia dibutuhkan oleh begitu banyak orang. Dalam sehari, setidaknya, ia harus menghadiri empat rapat, kerap kali di tempat yang jaraknya berjauhan.
Di satu sisi, ia bangga, karena ia begitu dibutuhkan, bahkan oleh orang-orang yang dianggap penting di masyarakat. Di sisi lain, ia merasa begitu lelah. Ada hari-hari, dimana ia tidak tidur, karena pikirannya terus bergerak sepanjang malam. Ada juga hari-hari, dimana ia bekerja seperti mayat hidup: terus bergerak, walaupun tak sungguh sadar, apa yang sedang terjadi.
Saya melihat, bahwa ini semakin menjadi gejala umum manusia abad 21. Mereka terbakar habis, atau burnt out. Ada yang dibakar oleh rutinitas kehidupan, termasuk mereka yang menjadi ibu atau bapak rumah tangga. Ada juga yang dibakar oleh trauma masa lampau dan kecemasan masa depan yang mencekik jiwa.
Ada juga kesan, bahwa terbakar habis adalah sebuah kebanggaan. Orang harus sibuk dan terkuras habis, jika ingin hidup sukses. Sibuk pun menjadi tanda keberhasilan hidup. Orang yang memiliki banyak waktu luang adalah orang miskin, atau sama sekali tidak dibutuhkan oleh masyarakat.
Dampak Merusak
Dampak merusaknya pun parah. Banyak orang menderita penyakit mental. Pikiran dan emosi yang ada menyiksa mereka. Tak jarang, orang jatuh ke dalam depresi, dan kemudian melakukan bunuh diri, karena siksaan yang sudah tak tertahankan.
Ketika pikiran dan emosi kacau, mutu hidup manusia pun menurun. Kebahagiaan seolah jauh dari genggaman. Rasa cukup seolah tak pernah datang berkunjung. Dikelilingi kemewahan dan beragam kecanggihan teknologi, orang tetap merasa hampa, bahkan tersiksa, di dalam batinnya.
Ketika batin manusia kacau, hubungan dengan manusia lain pun rusak. Orang berada dekat secara fisik, namun jauh secara hati dan pikiran. Orang merasa kesepian, persis ketika hidup di tengah kerumunan jutaan manusia di sekitarnya. Marx punya konsep yang tepat untuk menggambarkan hal ini, yakni keterasingan (Entfremdung). Contoh paling jelas adalah perceraian yang semakin menjadi hal biasa sekarang ini.
Ketika terjepit, orang berlari ke para psikolog dan terapis. Sudah jatuh pun orang tertimpa tangga. Ilmu psikologi modern berpijak pada pemahaman yang tak tepat, sehingga cenderung merusak cara berpikir manusia, entah dengan kebodohan, ataupun dengan kedangkalan. Manusia-manusia yang terbakar habis ini tidak hanya menderita, tetapi juga diperas secara ekonomi oleh para terapis busuk.
Ketika psikologi, dan juga psikiatri, buntu, orang masuk ke dalam dunia spiritual. Dunia ini pun tak luhur. Begitu banyak penipu berkeliaran, mulai dari yang menawarkan hipnoterapi, sampai tawaran untuk melihat masa depan, ataupun kehidupan sebelumnya. Begitu banyak manusia-manusia menderita yang terjebak di dalamnya, dan semakin tersesat.
Ketika pikiran rusak, badan pun ikut rusak. Hubungan ini sudah disadari penuh oleh para filsuf sepanjang sejarah. Daya tahan tumbuh menurun, sehingga infeksi menjadi amat mungkin terjadi. Penyakit kronis, yakni kegagalan fungsi organ tertentu, kini seolah menjadi hal biasa di dalam masyarakat.
Ketika manusia-manusia hidup dalam penderitaan dan kebingungan, politik pun kacau. Pemimpin politik adalah cerminan dari mutu masyarakatnya. Kita melihat pemimpin-pemimpin busuk nan korup berkuasa di dunia, termasuk di Indonesia. Ini, sesungguhnya, juga adalah buah dari pilihan-pilihan yang kita buat.
Kita tak lagi mampu melihat apa yang benar, yakni yang sesuai dengan kenyataan sebagaimana adanya. Kita terkunci di kepala kita sendiri, dengan beragam konsep salah yang kita punya. Di dalam terpaan perkembangan teknologi digital yang penuh dengan informasi, kita justru semakin bodoh dan dangkal. Inilah paradoks revolusi digital yang menerkam peradaban manusia sekarang ini.
Agama pun kini turut membusuk. Di Indonesia, cengkraman agama kematian dari tanah gersang merusak akal sehat dan kejernihan nurani bangsa. Kita semakin ketinggalan dari negara lain yang berlomba dalam mengembangkan teknologi dan ilmu pengetahuan. Kita menjadi bangsa terbelakang yang doyan beribadah, namun penuh kemunafikan dan ketololan berpikir.
Dalam kerangka yang lebih besar, kita terus memperuncing permusuhan antar bangsa. Benturan antar peradaban kiranya hampir tak terhindarkan. Tak hanya perang dagang (trade war) yang merugikan semua pihak, tetapi juga konflik bersenjata yang semakin lebar, dan tak kunjung berhenti. Kemungkinan terburuk adalah perang nuklir yang akan melenyapkan manusia dari bumi.
Akar Masalah
Lima hal kiranya penting untuk dicermati. Pertama, kenyataan memiliki ciri dasar entropik. Artinya, ia akan tercipta, bergerak semakin kompleks, dan akhirnya lenyap, karena kekacauan yang muncul dari kompleksitas itu. Ini berlaku tidak hanya untuk dunia sosial politik, tetapi juga untuk seluruh kenyataan di alam semesta ini.
Gejala manusia terbakar habis (burn out) kiranya adalah bagian dari kenyataan entropik ini. Hidup manusia, sejatinya, amatlah sederhana. Kita hanya perlu makan, tidur, buang air dan bercinta. Namun, dengan perkembangan jaman, pikiran dan emosi kita menjadi semakin rumit, dan akhirnya menjadi kacau, karena kerumitan yang tak terkendali tersebut.
Dua, salah satu bentuk kekacauan terjadi di dalam kesadaran manusia itu sendiri. Semakin hari, kesadaran kita semakin menyempit. Kita hanya melihat diri kita semata sebagai bagian dari kelompok sosial tertentu yang bersifat sempit, seperti agama, bangsa, ras dan etnis. Kita kehilangan pemahaman tentang hakekat diri kita sendiri yang, sejatinya, seluas alam semesta itu sendiri. Di dalam teori transformasi kesadaran, saya menyebutnya sebagai kesadaran distingtif-dualistik. (Cek buku ini: https://rumahfilsafat.com/wp-content/uploads/2025/08/teori-transformasi-kesadaran-unlimited.pdf)
Tiga, ketika kesadaran menyempit, akal sehat pun buntu. Akal, sesungguhnya, hanyalah pelayan kehendak. Kehendak manusia amat terkait dengan kesadarannya. Tak heran, di jaman serba digital ini, akal sehat justru semakin sakit, serta nurani semakin tak jernih.
Empat, kesempitan itu terlihat jelas di dalam tindakan yang kita pilih. Di Indonesia, dunia politik adalah cermin langsung kebodohan kita sebagai bangsa. Koruptor busuk diangkat sebagai pejabat, bahkan diberikan penghargaan oleh presiden yang juga korup sampai ke hatinya. Ketika dunia kepemimpinan politik membusuk, seluruh tata kehidupan pun menjadi membusuk, mulai dari penegakan hukum, kehidupan beragama yang merusak sampai dengan perilaku keseharian di dalam ruang publik.
Lima, kita, kiranya, mengalami banalitas kedangkalan (Banalitat der Oberflachlichkeit). Berpikir dan bertindak dangkal kini menjadi trend yang diikuti banyak orang. Semakin dangkal pikiran dan tindakannya, semakin ia merasa bangga sebagai manusia. Gejala ini dapat dengan mudah dilihat di dalam media sosial sebagai dampak langsung dari revolusi digital yang melanda hidup kita.
Bagaimana keluar dari kelima hal ini? Teori transformasi kesadaran, dengan turunannya, yang melingkupi teori politik progresif inklusif, teori tipologi agama, etika natural empiris dan epistemologi pembebasan, kiranya persis ingin membongkar kelima akar masalah di atas. Titik tolaknya adalah perluasan kesadaran, sehingga kita bisa hidup sebagai diri kita yang sebenarnya, sebelum pikiran, bahasa, konsep, teori dan identitas sosial dirumuskan. Dari kesadaran yang meluas tersebut, cara berpikir dan tindakan kita akan semakin beradab.
Pesan Akhir
Pada akhirnya, kita tak perlu terbakar habis. Yang rumit sebenarnya bukan hidup, melainkan pikiran kita sendiri yang dicekik oleh kebingungan. Kita tak paham tentang diri kita yang sebenarnya. Akibatnya, kita pun mengira pikiran dan emosi kita sebagai sesuatu yang nyata.
Sesungguhnya, kita bisa sibuk, sambil tetap seimbang di dalam batin. Kuncinya memang latihan kesadaran, sebagaimana saya jelaskan dengan detil di dalam buku Teori Transformasi Kesadaran Unlimited sebelumnya. Namun, memang perlu untuk terus diingat, bahwa kita memiliki pilihan untuk bersantai lahir batin, dan melepaskan tanggung jawab yang ada, walaupun sementara. Pilihan yang kiranya semakin menjadi kebutuhan sekarang ini…
====
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/