
Oleh A. Rahadian
Bara di dalam batin.
Ada dua Arka yang hidup dalam tubuh yang sama — dan keduanya, dalam caranya masing-masing, mencintai kebenaran dengan cara yang menyakitkan.
Arka secara administratif tercatat sebagai seorang mahasiswa Kampus Negeri di Depok semester 7 Fakultas MIPA. Sama seperti semua manusia, Arka memiliki banyak episode dalam hidupnya.
Episode Yang pertama: ateis rasionalis, yang menjadikan nalar sebagai altar.
Episode Yang kedua: apologet Ortodoks, yang menjadikan kemurnian sebagai senjata.
Keduanya menolak sisi manusiawinya sendiri
Arka dulu percaya bahwa kebenaran harus tajam, seperti pisau bedah. Ia belajar dari Dawkins, Dennett, dan Hitchens; ia mencintai argumen sebagaimana orang lain mencintai lagu.
Di forum-forum kampus, ia menolak agama seperti dokter menolak infeksi.
“Iman,” katanya, “adalah anestesi bagi ketakutan manusia terhadap kematian.”
Namun di balik ketegasan logikanya, ada kelembutan yang ia sembunyikan dengan hati-hati — sesuatu yang ia tak berani sebutkan bahkan pada diri sendiri.
Ia tahu sejak remaja bahwa ia tertarik pada sesama jenis, dan itu menanamkan rasa bersalah yang sunyi di dadanya.
Di dunia yang menuntut kepastian, ia menutupi kelembutannya dengan logika; di hadapan cermin, ia belajar membenci dirinya demi tampak tegar di hadapan dunia.
Maka ketika ibunya wafat, seluruh struktur pikirannya runtuh.
Ia membaca The God Delusion di ruang tunggu rumah sakit, seolah di dalam argumen ada penghiburan. Tapi ketika mesin oksigen dimatikan, teori-teori itu terasa seperti logam dingin di kulit.
Ia menulis di buku catatan kecil:
“Sains bisa menjelaskan mengapa bunga tumbuh. Tapi tidak bisa menjelaskan mengapa aku menangis.”
Ia mulai membaca hal-hal yang dulu ia hina: Agustinus, Simone Weil, Kierkegaard.
Dan di salah satu halaman Gregorius Palamas, ia menemukan kalimat:
“Hati manusia adalah cermin energi ilahi yang tak diciptakan.”
Kalimat itu seperti pelukan yang tak diharapkan. Ia tidak paham seluruh maknanya, tapi ia merasa dilihat — bahkan dalam dirinya yang ia anggap rusak.
Sejak itu, ia mulai datang ke gereja kecil Ortodoks di pinggiran kota, diam-diam.
Ia masuk lewat pintu samping, pada jam paling sepi, duduk di sudut bangku belakang. Ia takut ada yang mengenali wajahnya dari forum debat lama. Ia takut ada yang tahu rahasianya — bahwa ia datang bukan karena suci, melainkan karena lelah.
Namun di dalam cahaya lilin, dalam bisikan doa kuno, ia menemukan sejenis ketenangan yang tidak menuntut penjelasan.
Ia tak tahu apakah itu iman, tapi itu sesuatu yang lebih hidup daripada logika.
Dalam setahun, Arka berubah dari seorang skeptis menjadi pembela iman yang gigih.
Ia menulis artikel panjang menentang relativisme moral, mengutip bapa-bapa Gereja, menyerang sekularisme, dan mencemooh gereja modern yang “lunak terhadap dosa.”
Tulisan-tulisannya disalin, dibagikan, dipuji. Di kalangan apologet muda Ortodoks, ia menjadi semacam bintang baru.
Namun di balik layar, ia menulis doa-doa yang tak pernah ia publikasikan:
“Tuhan, mengapa aku harus membela-Mu seperti musuh? Mengapa aku harus memukul untuk meyakinkan diriku bahwa aku mencintai-Mu?”
Di depan jemaat gereja, ia bicara tentang kekudusan. Di kamar, ia menangis dalam diam.
Ia tahu bahwa sebagian dari militansinya bukan karena iman yang murni, tapi karena rasa bersalah yang mendalam — keinginan untuk menebus sesuatu yang tak bisa ia ubah.
Di hadapan orang, ia adalah penjaga ortodoksi.
Di hadapan Tuhan, ia hanyalah seorang anak yang ingin dicintai apa adanya.
Dan di suatu malam ketika angin dingin menyusup lewat jendela gereja, ia menyadari sesuatu yang sederhana tapi menakutkan:
bahwa seluruh perang intelektual dan moral yang ia jalani — baik melawan ateisme maupun melawan dirinya sendiri — hanyalah cara lain untuk menunda perjumpaan dengan kasih yang tanpa syarat.
Belakangan ia menulis di jurnalnya:
“Aku takut pada dua hal yang sama: ketiadaan dan penerimaan. Yang satu membuatku hilang, yang satu membuatku telanjang.”
Dan di situlah Arka berdiri — di antara dua api:
di antara nalar yang tak mampu memeluknya, dan iman yang belum mau menerimanya.
Keduanya membakar dari arah berlawanan, dan di tengah nyala itu, perlahan-lahan, sebuah doa tumbuh — doa tanpa kata, tanpa jawaban, tapi penuh kejujuran.
Gejala yang mendunia
Apa yang terjadi pada Arka bukan peristiwa pribadi semata. Ia hanyalah cermin dari perubahan yang lebih besar — theological turn — gelombang global di mana generasi modern yang tumbuh dalam skeptisisme kini berbalik mencari struktur iman yang tegas.
Di Inggris, survei YouGov 2023 menunjukkan peningkatan signifikan jumlah anak muda Katolik, sementara angka Anglikan menurun drastis¹.
Di Amerika, laporan Christianity Today (2024) mencatat gelombang konversi dari Protestan ke Katolik dan Ortodoksi karena “kerinduan pada keutuhan doktrin dan keindahan liturgi”².
Riset Orthodox Studies Institute (2023) menemukan bahwa 60% konversi ke Ortodoksi dipicu oleh alasan teologis³.
Sementara survei paroki 2023 di AS menunjukkan 45% konvert terinspirasi pascapandemi — ketika isolasi dan kehilangan memberi ruang untuk menimbang ulang makna⁴.
Di Finlandia, penelitian Conversion and Community menunjukkan bahwa liturgi yang teratur dan komunitas yang berakar memainkan peran penting dalam stabilisasi spiritual⁵.
Di Indonesia, riset PPIM UIN Jakarta (2022) menemukan paradoks serupa: Gen Z paling rendah religiositasnya, tapi paling konservatif secara moral⁶.
Mereka skeptis terhadap lembaga, namun lapar pada kepastian.
Sosiolog Peter Berger menulis bahwa dunia modern tidak menjadi sekuler, melainkan “plural secara spiritual”⁷. Tapi pluralitas tanpa jangkar justru menimbulkan disorientasi.
Antropolog Adam Possamai menamai fenomena ini hyper-real religion⁸—agama yang lahir dari kejenuhan terhadap dunia artifisial, tempat orang mencari yang tidak bisa diganti oleh layar: misteri.
Dalam konteks itu, Arka bukan penyimpangan. Ia adalah pola:
manusia modern yang lelah dengan relativisme, lalu berbalik mencari iman yang memeluknya dengan ketegasan.
Namun seperti banyak lainnya, Arka menemukan bahwa iman yang terlalu kaku bisa menjadi sangkar baru.
Anatheisme: Iman Setelah Kehilangan Iman
Suatu malam, ketika kota telah tidur, Arka menatap layar kosong di mejanya.
Ia baru menulis artikel apologetik tentang “bahaya iman modern,” tapi hatinya dingin.
Ia menatap ikon di dinding — wajah Kristus Ortodoks yang tenang, menatap balik dirinya.
Dan dalam tatapan itu, Arka merasa ditanya sesuatu:
“Apakah engkau mencari-Ku, atau membela-Ku dari ketakutanmu sendiri?”
Ia teringat bacaan dari Richard Kearney, dalam Anatheism: Returning to God after God:
*“After the death of God, there remains a call — to return to God after God.”*⁹
Kalimat itu membuatnya diam lama. Ia sadar, yang mati dalam ateismenya dulu bukanlah Tuhan, tapi gambaran Tuhan yang ia ciptakan.
Dan yang lahir dari apologetikanya kini bukan Tuhan sejati, melainkan bayangan lain dari dirinya sendiri — versi yang berperisai.
Filsuf Charles Taylor menulis bahwa manusia modern hidup dalam “ruang iman yang penuh kemungkinan,” di mana setiap keyakinan berdiri di samping keraguan¹⁰.
Arka mengerti: iman bukan jawaban final, melainkan gerak antara dua ketakpastian.
Sementara James K. A. Smith menulis, “We are what we love, not what we think.”¹¹
Mungkin itulah yang hilang dari dirinya — ia telah berpikir tentang Tuhan, tapi belum mencintai-Nya.
Ia mulai berhenti menulis untuk membela, dan mulai membaca untuk mendengar.
Ia belajar berdoa tanpa kata, hanya dengan duduk.
Dan di dalam kesunyian itu, ia mendapati sesuatu yang belum pernah ia temui baik dalam sains maupun dogma: kehadiran yang lembut, yang tidak memaksa dipahami.
Ia menulis di jurnalnya:
“Iman sejati bukan kepastian, tapi keberanian untuk tinggal di antara dua kegelapan — antara hilang dan ditemukan.”
Sunyi yang Kedua
Beberapa bulan kemudian, seseorang anonim mengirim pesan:
“Mas Arka, apakah saya harus kehilangan iman dulu untuk menemukannya lagi?”
Arka membaca lama, lalu menjawab:
“Tidak. Kadang Tuhan tidak menunggu kehancuran. Ia menunggu kejujuran.”
Setelah itu, ia mematikan layar dan menatap lilin di mejanya.
Api kecil itu bergetar pelan, lalu stabil. Ia mengerti sekarang — bahwa iman tidak meniadakan gelap, melainkan memberi keberanian untuk menapaki gelap itu.
Ia mulai berhenti mengajar tentang Tuhan, dan mulai menemani mereka yang mencari.
Ia berhenti berdebat, dan mulai mendengarkan.
Ia menyadari: mungkin yang paling Tuhan rindukan bukan pembela, tapi sahabat yang mau tinggal dalam diam bersama-Nya.
Dalam catatan terakhirnya,sebelum menjalani kemoterapi Paliatif bagi kanker yang mendera Paru-parunya, Arka menulis di jurnalnya sebuah wasiat:
“Aku telah menyeberang dari sinisme yang membakar ke ortodoksi yang membeku. Keduanya sama dinginnya tanpa kasih. Kini aku ingin berjalan di ruang di antara keduanya — ruang tempat misteri tak perlu dijelaskan, hanya disapa.”
Dan di bawahnya, ia menyalin kalimat dari St. Silouan dari Athos, biarawan Rusia abad ke-19 yang mengajarkan tentang kerendahan hati dan doa di tengah keraguan:
“Hanya hati yang berdamai dengan keraguannya yang bisa mendengar Tuhan tanpa berteriak.”
Silouan, seperti Arka, pernah hidup di ambang kehilangan iman.
Namun dari dalam kegelapan itulah ia menemukan terang yang baru — terang yang tidak menyilaukan, tetapi menghangatkan.
Bagi Arka, kalimat itu menjadi kompas kecil di dunia yang gemar berteriak tentang kebenaran, tapi jarang diam di hadapan misteri.
Itu bukan akhir.
Itu permulaan — dari iman yang lahir bukan dari kepastian, melainkan dari keberanian untuk tetap mencintai di tengah tidak tahu.
Catatan Kaki
- Peter L. Berger, The Desecularization of the World, 1999.
- YouGov–Bible Society Survey, Religious Affiliation Among UK Youth, 2023.
- Christianity Today, Why Young Protestants Are Turning to Catholicism and Orthodoxy, 2024.
- Orthodox Studies Institute, Converts to Orthodoxy Survey, 2023.
- L. Ilola, Conversion and Community: Experiences from the Orthodox Church of Finland, 2019.
- Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM UIN Jakarta), Survei Religiusitas Generasi Z dan Milenial, 2022.
- Peter L. Berger, The Desecularization of the World, 1999.
- Adam Possamai, Religion and Popular Culture: A Hyper-Real Phenomenon, Routledge, 2018.
- Richard Kearney, Anatheism: Returning to God after God, Columbia University Press, 2010.
- Charles Taylor, A Secular Age, Harvard University Press, 2007.
- James K. A. Smith, You Are What You Love: The Spiritual Power of Habit, Brazos Press, 2016.